Anda di halaman 1dari 10

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DITINJAU DARI SEGI PANDANGAN HIDUP BERSAMA

Oleh: Soerjanto Poespowardojo

I. Pendahuluan

Dalam setiap undang-undang selalu terdapat secara eksplisit ataupun implisit pandangan-
pandangan dan nilai-nilai dasar yang melandasi penyelenggaraan negara. Pembukaan UUD 1945
dengan jelas menyatakan bahwa Pancasila adalah Dasar Negara. Dengan demikian Pancasila
merupakan nilai dasar yang normatif terhadap seluruh penyelenggaraan Negara Republik Indonesia.
Dengan perkataan lain Pancasila merupakan Dasar Falsafah Negara atau Ideologi Negara, karena
memuat norma-norma yang paling mendasar untuk mengukur dan menentukan keabsahan bentuk-
bentuk penyelenggaraan negara serta kebijaksanaan-kebijaksanaan penting yang diambil dalam
proses pemerintahan.

Untuk menghindarkan kesalahpahaman, perlu disini dikemukakan lebih dahulu apa yang
saya maksudkan dengan “Ideologi”. Terdapat dua acuan tentang ideologi dengan isi yang berbeda,
bahkan bertentangan. Yang satu dalam pengertian negatif, dan yang lain dalam pengertian positif.

Ideologi ditangkap dalam artian negatif, karena dikonotasikan dengan sifat yang totaliter
yaitu memuat pandangan dan nilai yang menentukan seluruh segi kehidupan manusia secara total,
serta secara mutlak menuntut manusia hidup dan bertindak sesuai dengan apa yang digariskan oleh
ideologi itu, sehingga akhirnya mengingkari kebebasan pribadi manusia serta membatasi ruang
geraknya. Demikian pula istilah “ideologis” dengan sendirinya menurut paham ini sudah
mengandung arti negatif pula, sehingga seringkali dipakai untuk mengungkapkan cemooh atau
ejekan, karena di belakangnya sebetulnya tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan
tertentu.

Akan tetapi, kalau kita menengok sejarah kemerdekaan negara-negara dunia ketiga di Asia,
Afrika, dan Amerika Latin yang pada umumnya telah mengalami masa-masa penjajahan oleh bangsa
lain, ideologi merupakan pengertian yang positif terutama sekitar Perang Dunia II, karena menunjuk
kepada keseluruhan pandangan cita-cita, nilai dan keyakinan yang ingin mereka wujudkan dalam
kenyataan hidup yang konkret. Ideologi dalam artian itu bahkan dibutuhkan, karena dianggap
mampu membangkitkan kesadaran akan kemerdekaan, memberikan orientasi mengenai dunia
beserta isinya serta antar kaitannya, dan menanamkan motivasi dalam perjuangan masyarakat untuk
bergerak melawan penjajahan, dan selanjutnya mewujudkannya dalam sistem dan penyelenggaraan
negara. Demikian pula istilah “Ideologis” pun disini diartikan secara positif, karena mengacu kepada
karakteristik, makna dan fungsi ideologi yang diyakini mampu memberikan semangat dan arahan
yang positif, bagi kehidupan masyarakat yang harus berjuang melawan berbagai bentuk penderitaan
dan kemiskinan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa baik para politisi, ilmuwan, budayawan di Indonesia pada
umumnya maupun Pemerintahan sejak tahun lima puluhan mempergunakan istilah ideologi dalam
artian yang positif, maka cukup alasanlah kalau saya pun menyesuaikan diri dan mempergunakan
istilah ideologi dan ideologis dalam makalah ini dengan artian yang positif. Kalau ada niat
menunjukkan konotasi yang negatif, maka hal itu akan saya kemukakan dengan membubuhkan
istilah lain yang mempunyai arti yang jelas, seperti ideologi totaliter, ideologi non-demokratis dan
lain sebagainya.

Sesuai dengan semangat yang terbaca dalam Pembukaan UUD 1945, Ideologi Pancasila yang
merupakan Dasar Negara itu berfungsi baik dalam menggambarkan tujuan negara RI maupun dalam
proses pencapaian tujuan negara tersebut. Ini berarti bahwa tujuan negara yang secara material
dirumuskan sebagai “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial” harus mengarah kepada terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur dan sejahtera sesuai
dengan semangat dan nilai-nilai Pancasila. Demikian pula proses pencapaian tujuan tersebut dan
perwujudannya melalui perencanaan, kebijaksanaan dan keputusan politik harus tetap
memperhatikan dan bahkan merealisasikan dimensi-dimensi yang mencerminkan watak dan ciri
wawasan Pancasila.

Kalaupun makna Ideologi Pancasila sudah jelas, yaitu sebagai keseluruhan pandangan, cita-
cita, keyakinan dan nilai bangsa Indonesia yang secara normatif perlu diwujudkan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, namun kesadaran masyarakat akan ideologi bangsa itu
bertingkat. Ini berarti bahwa kesadaran ideologi masyarakat berjalan dalam proses dan mengenal
tahapan dalam intensitasnya. Hal itu tergantung pada bagaimana masyarakat mempersepsikan
ideologi, yang tentu saja berkaitan dengan permasalahan dan Zeitsgeit masing-masing periode.

Sejarah kesadaran ideologis masyarakat sebenarnya dapat ditelusuri sejak Zaman


Pergerakan Nasional. Namun sejarah kesadaran ideologi masyarakat terhadap Pancasila dalam
penyelenggaraan hidup bernegara bermula secara formal sejak 18 Agustus 1945. Pada kesempatan
ini saya berusaha mengamati gejala-gejala kesadaran ideologis itu sebagai realitas sosial dalam
penyelenggaraan hidup kenegaraan dan merefleksikannya untuk menemukan beberapa visi yang
terkandung didalamnya.

Temuan-temuan itu tercermin dalam tiga bentuk visi yang tidak perlu diartikan secara
eksklusif, melainkan inklusif. Bentuk visi dalam satu periode tidak perlu merupakan negasi terhadap
yang lain, tetapi merupakan tahapan yang berkesinambungan, sehingga saling mengisi dan saling
memperkaya secara integratif menjadi satu wawasan Ideologi Nasional. Tiga tahapan kesadaran
ideologis itu adalah Pancasila sebagai Ideologi Persatuan, sebagai Ideologi Pembangunan dan
sebagai Ideologi Terbuka. Masing-masing mencerminkan lingkup permasalahan yang berbeda dan
mengetengahkan visi yang khas, sehingga implikasinya pun memberikan tuntutan yang spesifik pula.

Sebelum melangkah ke pembahasan tentang tiga tahap tersebut, lebih dahulu saya ingin
membicarakan hakikat ideologi secara lebih mendalam dan meluas, sehingga nampak fungsi yang
diembannya. Pengertian yang benar dan jernih perlu diperoleh, agar ideologi tidak dikacaukan
dengan istilah-istilah lain yang tentunya mempunyai pengertiannya sendiri, seperti filsafat, agama
dan pandangan hidup, walaupun ada kaitannya dengan ideologi.

II. Ideologi: Hakikat dan Fungsinya

Dengan beberapa penjelasan yang telah dikemukakan di atas, ideologi dapat dirumuskan
sebagai kompleks pengetahuan dan nilai, yang secara keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang
(atau masyarakat) untuk memahami jagat raya dan bumi seisinya serta menentukan sikap dasar
untuk mengolahnya. Berdasarkan pemahaman yang dihayatinya itu seseorang menangkap apa yang
dilihat benar dan tidak benar, serta apa yang dinilai baik dan tidak baik.

Demikian pula ia akan menjalankan kegiatan-kegiatan sebagai perwujudan keseluruhan


pengetahuan dan nilai yang dimilikinya. Dengan demikian akan terciptalah baginya suatu dunia
kehidupan masyarakat dengan sistem dan struktur sosial yang sesuai dengan orientasi ideologisnya.
Namun ini tidak berarti bahwa dunia kehidupan masyarakat semata-mata merupakan manifestasi
ideologi, sebagaimana dapat dikemukakan menurut alam pikiran Hegel. Karena ideologi bukanlah
sesuatu yang berdiri sendiri lepas dari kenyataan hidup masyarakat. Ideologi adalah produk
kebudayaan suatu masyarakat dan karena itu dalam arti tertentu merupakan manifestasi kenyataan
sosial juga.

Pada hakikatnya ideologi tidak lain adalah hasil refleksi manusia berkat kemampuannya
mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya. Antara keduanya, yaitu ideologi dan kenyataan
hidup masyarakat terjadi hubungan dialektis, sehingga berlangsung pengaruh timbal balik yang
terwujud dalam interaksi yang di satu pihak memacu ideologi makin realistis dan di lain pihak
mendorong masyarakat makin mendekati bentuk yang ideal. Ideologi mencerminkan cara berpikir
masyarakat, namun juga membentuk masyarakat menuju cita-cita. Dengan demikian terlihatlah
bahwa ideologi bukanlah sekedar pengetahuan teoritis belaka, tetapi merupakan sesuatu yang
dihayati menjadi suatu keyakinan. Ideologi adalah satu pilihan yang jelas membawa komitmen untuk
mewujudkannya. Semakin mendalam kesadaran ideologis seseorang akan berarti semakin tinggi
pula rasa komitmennya untuk melaksanakannya. Komitmen itu tercermin dalam sikap seseorang
yang meyakini ideologinya sebagai ketentuan-ketentuan normatif yang harus ditaati dalam hidup
bermasyarakat.

Dari uraian di atas dapatlah dikemukakan bahwa ideologi mempunyai beberapa fungsi, yaitu
memberikan:

1. Struktur kognitif, ialah keseluruhan pengetahuan yang dapat merupakan landasan untuk
memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian dalam alam sekitarnya.
2. Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta
menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia.
3. Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk melangkah
dan bertindak.
4. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya.
5. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan
kegiatan dan mencapai tujuan.
6. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati serta
memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang terkandung
di dalamnya.

Dengan pengertian-pengertian tersebut apa bedanya ideologi dengan pandangan hidup?

Sebetulnya pandangan hidup juga memberikan orientasi dalam kehidupan manusia.


Pandangan hidup tumbuh bersama kebudayaan dalam bentuk yang sederhana dan umum.
Masyarakat primitif pun mempunyai semacam pandangan hidup yang menunjukkan tatanan bagi
segala sesuatu yang berada dalam jagat raya. Namun dibanding dengan ideologi, pandangan hidup
memberikan orientasi secara global dan tidak bersifat eksplisit. Ideologi pada pihak lain berkembang
terutama dalam abad ke-19 dimana dibutuhkan orientasi yang jelas dan terjabar ke dalam bidang-
bidang kehidupan masyarakat yang telah mengalami proses kemajuan. Sejak revolusi industri dan
revolusi Perancis pada tahun 1789, terjadi perubahan dan pembaharuan di segala bidang menuju
sistem yang baru. Dari pengalaman atas terjadinya perselisihan dan pertentangan sosial, muncullah
sejak itu ideologi-ideologi baru. Sebagai reaksi terhadap sistem monarki yang feodal dan absolut,
timbullah pandangan-pandangan liberal yang menginginkan sistem sosial yang demokratis dan
terbuka. Sebagai reaksi terhadap terjadinya eksploitasi kapitalisme, timbullah orientasi yang ingin
mewujudkan masyarakat adil tanpa kelas. Sebagai reaksi terhadap kolonialisme yang imperialistis,
tumbuh perjuangan nasionalisme yang mendambakan kemerdekaan dan keadilan.
Dengan demikian ideologi dibanding pandangan hidup memberikan orientasi yang lebih
eksplisit, lebih terarah kepada keseluruhan sistem masyarakat dalam berbagai aspeknya, dan
dilakukan dengan cara dan penjelasan yang lebih logis dan sistematis. Oleh karena itu ideologi lebih
siap menghadapi zaman modern dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Walaupun begitu dapat
terjadi bahwa pandangan hidup menjadi ideologi. Ini berarti perlu dilakukan eksplisitasi lebih lanjut
dari prinsip-prinsip dasarnya ke dalam kondisi hidup yang modern dan membersihkannya dari unsur-
unsur magis, agar mampu memberikan orientasi yang jelas dalam mencapai tujuan dan
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.

Kalaupun ideologi membicarakan nilai-nilai dan makna yang mendasar dalam kehidupan
manusia, bahkan memberikan pegangan hidup sekalipun, namun harus dibedakan dari agama.
Agama adalah sistem kepercayaan yang mengakui bahwa jagat raya dan dunia seisinya adalah
ciptaan Tuhan, dan kehidupan yang fana ini akan dilanjutkan dengan kehidupan yang baka. Untuk
mengabdi kepada Tuhan sebagai pencipta dan mendapatkan kebahagiaan kekal dalam alam baka
itu, agama memberikan bimbingan untuk hidup baik menurut ajaran yang diberikan melalui wahyu.
Manusia menerima ajaran itu dengan sikap percaya serta iman yang mengandung harapan.

Ideologi di lain pihak bukanlah agama. Pedoman bermasyarakat yang diberikan oleh ideologi
ditujukan secara langsung untuk kehidupan di dunia ini, walaupun secara tidak langsung mengait
atau mengacu kepada kehidupan yang akan datang. Isi yang dikemukakan ideologi bukanlah wahyu
atau wangsit dari Tuhan, melainkan hasil pikiran manusia berkat daya refleksinya yang tajam
mengenai segala sesuatu dan segala kejadian di sekelilingnya, dan daya kreasinya dalam usaha
memecahkan masalah yang dihadapi serta memperhatikan masa depan. Oleh karena itu sikap
seseorang terhadap ideologinya bukanlah sikap percaya terhadap suatu ajaran, melainkan sikap
natural terhadap prinsip-prinsip hidup yang dikendalikan oleh akal budi.

Dengan demikian wajarlah bahwa seseorang bersikap rasional, bahkan kritis terhadap
ideologi yang diterimanya. Sikap yang demikian itu adalah sehat dan membuat ideologi menjadi
terbuka dan dinamis. Di pihak lain perlu disadari bahwa dalam sejarah ilmu politik, agama dapat
menjadi ideologi, artinya menjadi dasar hidup bermasyarakat dan bernegara. Hal ini mempunyai
konsekuensi-konsekuensi tersendiri, antara lain menunjukkan sifat eksklusif, karena memberlakukan
satu agama dari satu bagian masyarakat sebagai prinsip ideologi bagi seluruh masyarakat. Hal itu
jelas sulit dilaksanakan dalam masyarakat modern yang majemuk dan mengenal berbagai
diferensiasi. Lagi pula dengan turunnya agama menjadi ideologi, agama lalu masuk ke kancah politik,
sehingga ideologi agama langsung atau tidak langsung harus siap untuk ditanggapi secara rasional
dan sanggup menjadi bahan kritikan sosial. Hal itu semua tentunya akan mendatangkan kesulitan
pula bagi masyarakat yang memiliki ideologi agama tersebut untuk disesuaikan dengan kondisi
kehidupan modern yang serba terbuka dan rasional.

Selanjutnya dapatkah ideologi sekarang disamakan dengan filsafat?

Ideologi berbeda dengan filsafat. Ideologi memang mengandung nilai dan pengetahuan
filosofis, tetapi berlaku sebagai keyakinan yang normatif. Sebaliknya filsafat adalah rangkaian
pengetahuan ilmiah yang disusun secara sistematis tentang kenyataan-kenyataan hidup, termasuk
kenyataan hidup bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu filsafat adalah bebas dan tidak
normatif, artinya bergerak menurut hukum-hukum logika dan ilmiah. Dalam filsafat terungkap
pemikiran-pemikiran refleksif yang harus ditanggapi bukan dengan sikap dogmatis, melainkan
dengan sikap yang kritis rasional. Dengan demikian filsafat selalu terbuka terhadap kritikan dan tidak
bersifat eksklusif. Oleh karena itu filsafat sangat berguna bagi ideologi dan proses penjabaran
ideologis. Sebab melalui pendekatan filosofis dikaji secara mendasar hal-hal yang berkaitan dengan
masyarakat, bangsa dan negara. Refleksi filosofis membuat ideologi tetap terbuka, tidak eksklusif
dan tidak totaliter, bahkan sebaliknya menjadi dinamis dan tanggap terhadap perubahan dan
kemajuan melalui interpretasi-interpretasinya yang objektif, rasional dan ilmiah. Dengan demikian
ideologi menjadi tetap relevan.

III. Pancasila sebagai Ideologi Persatuan

Salah satu peranan Pancasila yang menonjol sejak permulaan penyelenggaraan negara
Republik Indonesia adalah fungsinya dalam mempersatukan seluruh rakyat Indonesia menjadi
Bangsa yang berkepribadian dan percaya pada diri sendiri.

Seperti kita ketahui, kondisi masyarakat sejak permulaan hidup kenegaraan adalah serba
majemuk. Masyarakat Indonesia bersifat multi etnis, multi religius dan multi ideologis.
Kemajemukan tersebut menunjukkan adanya berbagai unsur yang saling berinteraksi. Berbagai
unsur dalam bidang kehidupan masyarakat merupakan benih-benih yang dapat memperkaya
khazanah budaya untuk membangun bangsa yang kuat, namun sebaliknya dapat memperlemah
kekuatan bangsa dengan berbagai percekcokan serta perselisihan. Oleh karena itu proses hubungan
sosial perlu diusahakan agar berjalan sera sentripetal, agar terjadi apa yang menjadi populer dalam
tahun-tahun pertama perjuangan: “samenbundeling van alle Krachten”. Di samping itu kemerdekaan
bangsa Indonesia dicapai lewat revolusi. Penggalangan kekuatan tersebut sangat diperlukan untuk
membekali bangsa Indonesia dalam perjuangannya melawan penjajah dan mengusirnya dari bumi
Nusantara.

Dengan melihat situasi bangsa sedemikian itu, maka masalah pokok yang pertama-tama
harus diatasi pada masa itu adalah bagaimana menggalang persatuan dan kekuatan bangsa yang
sangat dibutuhkan untuk mengawali penyelenggaraan negara. Dengan perkataan lain Nation and
Character Building merupakan prasyarat dan tugas utama yang harus dilaksanakan. Dalam konteks
politik inilah Pancasila dipersepsikan sebagai Ideologi Persatuan. Pancasila diharapkan mampu
memberikan jaminan akan perwujudan misi politik itu karena merupakan hasil rujukan nasional,
dimana masing-masing kekuatan sosial masyarakat merasa terikat dan ikut bertanggung jawab atas
masa depan bangsa dan negaranya. Dengan demikian Pancasila berfungsi pula sebagai acuan
bersama, baik dalam memecahkan perbedaan serta pertentangan politik diantara golongan dan
kekuatan politik, maupun dalam memagari seluruh unsur dan kekuatan politik untuk bermain di
dalam lapangan yang disediakan oleh Pancasila dan tidak melanggarnya dengan keluar pagar.

Karena urgensi untuk memecahkan masalah-masalah politik selama dua dasawarsa dalam
penyelenggaraan negara, maka Pancasila dipersepsikan sebagai sintese atau perpaduan yang
mempersatukan berbagai sikap hidup yang berada di tanah air kita. Berbagai aliran dan pendirian
yang berbeda dipertemukan dalam Pancasila. Pancasila merupakan pagar yang di satu pihak
memberikan keleluasaan bergerak, namun di pihak lain memberikan batas-batas yang tidak boleh
dilanggar. Pancasila dapat diinterpretasikan secara luas, tetapi bagaimanapun luasnya tidak dapat
sedemikian rupa, sehingga meliputi pengertian yang bertentangan. Sebaliknya Pancasila tidak dapat
dipersempit, sehingga menjadi monopoli golongan masyarakat tertentu saja.

Persepsi tersebut di atas dapat diperjelas dengan gagasan Bung Karno yang mengemukakan
ibarat wadah dan isi (1953). Negara adalah suatu wadah yang dapat diisi dengan apapun juga.
Karena negara RI disusun berdasarkan Pancasila, maka apapun isi yang dituangkan harus sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila. Bagaimanapun juga, persepsi sedemikian itu memberikan implikasi-
implikasi tertentu.
Dalam alam pikiran di atas, Pancasila merupakan ideologi nasional yang meliputi dan
memayungi segenap orientasi didalamnya. Artinya, adanya pandangan hidup-pandangan hidup
dalam masyarakat diakui dan dibenarkan untuk berkembang, baik dengan mengeksplisitkan potensi
dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, maupun melalui akulturasi. Pengembangan itu
diperlukan untuk memperkuat kebudayaan daerah sebagai sarana artikulasi masyarakat yang
bersangkutan. Di samping itu eksistensi pandangan hidup-pandangan hidup tersebut diperlukan pula
untuk mengisi dan memperkaya ideologi nasional dalam menjalankan fungsinya untuk menggalang
persatuan dan kekuatan bangsa.

Dalam konteks pemahaman seperti itulah pada hemat saya, kebudayaan nasional menurut
penjelasan UUD 1945 merupakan rangkuman dari puncak-puncak kebudayaan daerah. Pertemuan
puncak-puncak kebudayaan itu diharapkan menumbuhkan saling pengertian dan saling penghargaan
yang sangat diperlukan dalam kancah hidup bersama.

Dalam pada itu persepsi politik yang memberikan pembenaran hak hidup bagi pandangan
hidup-pandangan hidup dalam rangka mengisi ideologi nasional pada khususnya, dan pembenaran
eksistensi kebudayaan daerah dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional pada umumnya,
membuka pula peluang terjadinya berbagai interpretasi subjektif yang diberikan oleh masing-masing
kekuatan sosial politik. Berbagai interpretasi itu di satu pihak dapat benar-benar memperkaya
ideologi nasional dan kebudayaan nasional, namun di lain pihak bisa juga memperkosanya, karena
memaksakan suatu pandangan subjektif tertentu kepadanya, demi kepentingan-kepentingan politik
tertentu.

Pandangan yang menyatakan bahwa Pancasila melulu merupakan doktrin revolusi atau
melulu dasar cita-cita kebudayaan sebagaimana tercatat dalam sejarah, adalah contoh pemerkosaan
yang dimaksudkan. Lebih lanjut interpretasi subjektif dapat mencerminkan suatu paham serta
golongan tertentu yang nyata-nyata keluar jalur, karena tidak ada keserasian antara pahamnya
dengan nilai-nilai Pancasila, atau menganggap Pancasila semata-mata sebagai perangkat sopan-
santun belaka, seperti tercermin dalam adanya pemberontakan-pemberontakan di masa lalu.
Dengan perkataan lain suatu pandangan hidup sebagai sub ideologi ditampilkan sebagai tandingan
terhadap Pancasila sebagai ideologi nasional dan memaksakannya dengan kekuatan fisik.

Penampilan Pancasila sebagai Ideologi Persatuan telah menunjukkan relevansi dan


kekuatannya dalam dua dasawarsa sejak permulaan kehidupan serta penyelenggaraan negara RI.
Pancasila merupakan filsafat politik. Rakyat Indonesia telah dibangun dengan kesadaran yang kuat
sebagai bangsa yang memiliki identitas dan hidup bersatu dalam jiwa nasionalisme dan patriotisme.
Namun terlihat adanya kelemahan dalam persepsi pada periode tersebut. Kemiskinan yang parah
dan berlarut-larut kurang mendapatkan perhatian dan kurang ditanggulangi. Rakyat yang sejak lama
mengharapkan perbaikan hidup kurang ditanggapi. Situasi demikian itu ditangkap PKI sebagai
peluang, dengan memanfaatkannya serta mengangkatnya sebagai isu politik utama. Kejelian ini
memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa organisasi politik yang tidak lama sebelumnya telah
mengadakan pemberontakan Madiun, dalam waktu cukup cepat dapat menarik dukungan berjuta-
juta dibelakangnya.

IV. Pancasila sebagai Ideologi Pembangunan

Peristiwa G30S/PKI dan proses yang mengawalinya merupakan titik hitam dalam lembaran
sejarah Negara Republik Indonesia. Bukan saja karena hal itu telah menuntut korban yang tidak
sedikit dan menimbulkan penderitaan di kalangan masyarakat, melainkan juga karena kejadian
tersebut merupakan pengkhianatan terhadap konsensus nasional yang tercermin dalam kesadaran
Pancasila sebagai Ideologi Persatuan, sehingga terganggulah penyelenggaraan kekuasaan yang sah.
PKI dibubarkan dan diumumkan sebagai organisasi terlarang. Marxisme-Leninisme dilarang
disebarluaskan ataupun dipelajari di bumi Indonesia berdasarkan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966.
Kembali ke rel Pancasila merupakan tekad bulat bangsa Indonesia sejak Orde Baru. Ini berarti
konsensus nasional yang telah diinjak-injak oleh golongan pemberontak perlu dikukuhkan kembali.
Rasa persatuan dan kesatuan bangsa tetap merupakan modal yang harus dipupuk dan
dikembangkan dalam hati sanubari masyarakat dan diwujudkan dalam tingkah laku sosial. Di
samping itu timbul kesadaran baru dalam masyarakat bahwa hidup perekonomian perlu ditangani
dengan segera. Mengisi kemerdekaan berarti membangun bangsa dan pembangunan bangsa berarti
memerangi kemiskinan yang menjadi beban penderitaan rakyat sejak lama. Namun pembenahan
ekonomi membutuhkan stabilitas politik sebagai prasyaratnya. Ini berarti bahwa keamanan harus
benar-benar dipulihkan, untuk memberikan peluang bagi pembenahan ekonomi dan mendorong
pertumbuhan yang cepat.

Hak itu semua jelas menuntut adanya legitimasi kekuasaan yang memberikan kewenangan
yang pasti bagi Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah serta kebijaksanaan dalam
mewujudkan cita-cita serta mencapai tujuan yang terkandung dalam Proklamasi Kemerdekaan 1945.
Situasi demikian itu di samping mendorong ditetapkannya rujukan-rujukan politis di lingkungan
Lembaga Tertinggi Negara, juga menumbuhkan kesadaran riil serta visi baru ke arah Pancasila
sebagai Ideologi Pembangunan. Dalam penyelenggaraan hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, Pancasila semakin jelas disadari sebagai Etika Sosial yang mampu memberikan kaidah-
kaidah penting bagi pembangunan yang sedang dilaksanakan. Dalam rangka kesadaran etis demikian
itulah dirumuskan Eka Prasetya Panca Karsa dalam TAP MPR NO. II/MPR/1978 yang menuangkan
pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula
GBHN 1983 menetapkan pendidikan Pancasila termasuk pembinaan pendidikan pelaksanaan
pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila, pendidikan moral Pancasila serta unsur-unsur
yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai 1945 kepada generasi
muda harus ditingkatkan dalam kurikulum sekolah, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan
tinggi, baik negeri maupun swasta dan di lingkungan masyarakat.

Secara konsepsional pun terjadi proses pertumbuhan, karena Pancasila bukan saja dilihat
sebagai sarana persatuan dan kesatuan, melainkan juga mengandung nilai-nilai dasar yang secara
intrinsik dapat digali dan dirumuskan lebih lanjut. Dengan demikian Pancasila bukan saja berfungsi
sebagai pagar atau wasit dalam percaturan politik, melainkan mampu memberikan orientasi dalam
pembangunan, wawasan ke depan dengan konsep-konsep yang secara substansial dieksplisitkan dari
nilai-nilai dasar dalam lima sila. Penyadaran baru ini mendorong dilakukannya berbagai refleksi
untuk menyajikan kekayaan wawasan Pancasila atau pun menghargai kembali serta menampilkan
kembali hasil refleksi yang pernah dikemukakan sebelumnya untuk dituangkan secara lebih
sistematis dan rasional.

Secara mendasar Pancasila dikaitkan dengan kodrat manusia dan martabat manusia,
sebagaimana nampak sekali dalam himpunan bahan penataran P-4. Hal tersebut jelas menunjukkan
bahwa Pancasila memiliki dimensi manusia sebagai ciri khasnya. Orientasi ini pun lebih lanjut
dituangkan ke dalam persepsi tentang pembangunan dengan menyatakan bahwa pembangunan
nasional pada hakikatnya, demikian GBHN, adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.

Demikian juga orientasi pada kodrat manusia tersebut memberikan juga implikasi yang
sangat penting dalam mempersepsikan Pancasila sebagai sumber hukum positif. Pembedaan atau
lebih tepat acuan hukum kodrat yang mendasari hukum positif memberikan arahan yang sangat
penting dalam mengembangkan sistem hukum nasional.

Keyakinan akan nilai-nilau intrinsik ini merangsang pemikiran-pemikiran untuk


mengungkapkan ciri-ciri Ideologi Pancasila, sehingga terungkaplah pernyataan yang secara lebih
eksplisit mengenai Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa dan Pancasila sebagai Kepribadian
Bangsa. Pemikiran atau paham ini mau tidak mau harus meletakkan Pancasila dalam konteks budaya
dan akan dipahami secara lebih mendalam dan eksplisit, sejauh merupakan kebangkitan bangsa
yang terjadi dalam proses sejarah budayanya.

Dengan kesadaran baru yang menumbuhkan berbagai refleksi akan nilai-nilai intrinsik yang
selanjutnya mampu memperkaya wawasan Pancasila sebagai Ideologi Pembangunan, terbentuklah
legitimasi politik pembangunan yang semakin kuat dengan prioritas utama di bidang ekonomi.
Keberhasilan yang nampak terutama dalam pembangunan ekonomi, makin memberikan keyakinan
dan rasa percaya diri. Kebijaksanaan yang ditentukan semakin dirasa mantap dan langkah yang
diambil makin dilihat dengan gamblang. Namun dalam proses pembangunan yang demikian itu,
terutama dalam perencanaan pembangunan ekonomi, terbuka kemungkinan masuknya
pragmatisme. Sikap pragmatisme enggan dan bahkan benci pada kerewelan filosofis dan cenderung
langsung turun pada perencanaan dan program yang praktis. Sikap pragmatisme ini mengandung
suatu bahaya. Sebab keengganan untuk mendiskusikan asumsi-asumsi dasar, persepsi dan nilai-nilai
yang mendasar sebetulnya menunjukkan sikap yang tertutup dan menyembunyikan
kecenderungannya untuk menentukan sendiri asumsi-asumsi dasar, persepsi dan nilai-nilai
mendasar itu secara sepihak, yang pada umumnya hanya menguntungkan kepentingan kelompok
kecil yang memegang kekuasaan. Dengan demikian pragmatisme pada dasarnya merupakan ideologi
tersendiri yang memegang pendirian bahwa pemegang kekuasaan (perencana pembangunan)
sekaligus berhak memutuskan nasib rakyat. Pembangunan dengan demikian hanya akan
menguntungkan elit tertentu saja dan tidak memikirkan kepentingan rakyat banyak.

Untuk mencegah masuknya pragmatisme, baik secara terang-terangan maupun secara


terselubung, maka GBHN khususnya GBHN 1988 menekankan bahwa pembangunan merupakan
pengamalan Pancasila. Ini berarti bahwa dimensi-dimensi Pancasila harus tetap diperhatikan
sebagai nilai-nilai dasar, sehingga Pancasila memberikan pedoman yang jelas dan mengikat bagi
pembangunan, yaitu baik dalam mempersepsikan pembangunan, maupun dalam mengambil
kebijaksanaan serta langkah untuk melaksanakan pembangunan. GBHN 1988 dengan jelas
memberikan arahan yang fundamental dan strategis untuk pembangunan lima tahun ini yang
sekaligus menjalankan pemantapan untuk tinggal landas dalam Pelita VI. Arahan tersebut harus
menjadi sumber dan tolok ukur sekaligus dalam Repelita V sebagai penuangan yang programatis.
Dalam pelaksanaan Repelita V dibutuhkan kepekaan sosial, sehingga masalah-masalah sosial harus
benar-benar dilihat secara realistis dan dibahas secara kritis, dan bukan semata-mata secara
ideologis. Perlu dijaga agar pendidikan ideologis jangan hanya menjadi pragmatisme untuk semata-
mata membuat legitimasi diri.

V. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka

Fungsi Pancasila untuk memberikan orientasi ke depan mengharuskan bangsa Indonesia


selalu menyadari situasi kehidupan yang sedang dihadapinya. Kemajuan Ilmu Pengetahuan,
kecanggihan teknologi dan lajunya sarana komunikasi membuat dunia semakin kecil dan
menguatnya interdependensi di kalangan bangsa-bangsa di dunia. Ini berarti bahwa pembangunan
nasional tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor dalam negeri, melainkan banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang terkait secara mondial. Bangsa Indonesia yang sedang sibuk membangun dengan
usaha memecahkan masalah-masalah dalam negeri seperti kemiskinan, kesenjangan sosial dan lain
sebagainya, mau tidak mau ikut terseret ke dalam jaringan politik dunia, yang semakin dipengaruhi
oleh kekuatan-kekuatan ekonomi raksasa. Globalisasi ekonomi jelas memberikan dampaknya yang
cukup jauh, baik dalam bentuk ancaman ketergantungan yang mempersulit usaha bangsa menuju
kemandirian, maupun dalam bentuk pemupukan modal di kalangan kelompok elit yang tidak selalu
sejalan dengan kebijaksanaan pemerataan kesejahteraan.

Hal itu semua menunjukkan bahwa bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk
survival, yaitu tantangan memiliki cara hidup dan tingkat kehidupan yang wajar secara manusiawi
dan adil. Tantangan itu hanya bisa diatasi apabila bangsa Indonesia di satu pihak tetap
mempertahankan identitasnya dalam ikatan persatuan nasional, dan di lain pihak mampu
mengembangkan dinamikanya, agar mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Dinamika tersebut
mengandaikan kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap proses kehidupan yang baru dan
menjalankan inovasi untuk menciptakan kualitas kerja dan kualitas produk yang makin baik. Daya
saing masyarakat hanya akan meningkat, apabila selalu dipupuk sikap yang rasional dan kritis serta
kreativitas di kalangan masyarakat.

Untuk menjawab tantangan tersebut, jelaslah Pancasila perlu tampil sebagai Ideologi
Terbuka, karena ketertutupan hanya membawa kepada kemandekan. Keterbukaan bukan berarti
mengubah nilai-nilai dasar Pancasila, tetapi mengeksplisitkan wawasannya secara lebih konkret,
sehingga memiliki kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalah-masalah baru. Suatu
ideologi adalah terbuka, sejauh tidak dipaksakan dari luar, tetapi terbentuk justru atas kesepakatan
masyarakat, sehingga merupakan milik masyarakat. Sebaliknya ideologi tertutup memutlakkan
pandangan secara totaliter, sehingga masyarakat tidak mungkin mengambil jarak terhadapnya dan
tidak mungkin memilikinya. Sebaliknya masyarakat dan bahkan martabat manusia akan dikorbankan
untuknya.

Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang bersifat mendasar dan tidak
langsung bersifat operasional. Oleh karena itu setiap kali harus dieksplisitkan. Eksplisitasi dilakukan
dengan menghadapkannya pada berbagai masalah yang selalu silih berganti melalui refleksi yang
rasional, sehingga terungkap makna operasionalnya. Dengan demikian jelaslah bahwa penjabaran
ideologi dilaksanakan melalui interpretasi dan reinterpretasi yang kritis. Di situlah dapat ditunjukkan
kekuatan ideologi terbuka—hal yang tidak didapatkan dalam ideologi tertutup—karena memiliki
sifat yang dinamis dan tidak akan membeku. Sebaliknya ideologi tertutup mematikan cita-cita atau
nilai-nilai dasar dan hanya mampu menunjukkannya sebagai fosil-fosil yang mati.

Dalam menjabarkan nilai-nilai dasar Pancasila menjadi semakin operasional dan dengan
demikian semakin menunjukkan fungsinya bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai
masalah dan tantangan dewasa ini, perlu diperhatikan beberapa dimensi yang menunjukkan ciri khas
dalam orientasi Pancasila. Ada tiga dimensi sekurang-kurangnya, yaitu dimensi teleologis, yang
menunjukkan bahwa pembangunan mempunyai tujuan yaitu mewujudkan cita-cita proklamasi 1945.
Hidup bukanlah ditentukan oleh nasib, tetapi tergantung pada rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan
usaha manusia. Dengan demikian dimensi ini menimbulkan dinamika dalam kehidupan bangsa.
Kehidupan manusia tidak ditentukan oleh keharusan sejarah yang tergantung pada kekuatan
produksi, sebagaimana dikemukakan pandangan Marxisme. Tidak. Manusia terlalu tinggi derajatnya
untuk sepenuhnya ditentukan semata-mata oleh faktor ekonomi. Manusia mempunyai cita-cita,
mempunyai semangat dan mempunyai niat ataupun tekad. Oleh karena itu manusia mampu
mewujudkan cita-cita, semangat, niat ataupun tekadnya itu ke dalam kenyataan dengan daya
kreasinya.
Dimensi kedua adalah dimensi etis. Ciri ini menunjukkan bahwa dalam Pancasila manusia
dan martabat manusia mempunyai kedudukan yang sentral. Seluruh proses pembangunan
diarahkan untuk mengangkat derajat manusia, melalui penciptaan mutu kehidupan yang manusiawi.
Ini berarti bahwa pembangunan yang manusiawi harus mewujudkan keadilan masyarakat dalam
berbagai aspek kehidupannya. Di lain pihak manusia pun dituntut untuk bertanggung jawab atas
usaha dan pilihan yang ditentukannya. Dimensi etis menuntut pembangunan yang bertanggung
jawab.

Yang ketiga adalah dimensi integral-integratif. Dimensi ini menempatkan manusia tidak
secara individualis—melainkan dalam konteks strukturnya. Manusia adalah pribadi, namun juga
merupakan relasi. Oleh karena itu manusia harus dilihat dalam keseluruhan sistem, yang meliputi
masyarakat, dunia dan lingkungannya. Pembangunan diarahkan bukan saja kepada pentingnya
kualitas manusia, melainkan juga kepada peningkatan kualitas strukturnya. Hanya dengan wawasan
yang utuh demikian itu keseimbangan hidup bisa terjamin.

Berdasarkan analisa di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan untuk menjadi arahan
dalam usaha kita menjabarkan Pancasila secara operasional. Penjabaran Pancasila sebagai Ideologi
Terbuka menurut hemat saya perlu memikirkan terciptanya struktur proses berikut ini dalam bidang-
bidang kehidupan masyarakat terutama dalam menyongsong tahap tinggal landas.

Pertama, perlunya dinamisasi kehidupan masyarakat, agar tumbuh mekanisme sosial yang
mampu menanggapi permasalahan dengan daya-daya inovasi, kreasi dan kompetisi.

Kedua, perlunya demokratisasi masyarakat, yang mampu membentuk sikap warga negara
menjadi dewasa dan mampu bertindak berdasarkan keputusan pribadi dan tanggung jawab pribadi.
Kedewasaan demokratis tercermin dalam kesanggupan sikap insan untuk melihat masalah di
lingkungannya, menganalisanya, mengambil keputusan dan berani melaksanakan pilihannya secara
bertanggung jawab.

Ketiga, perlu terjadinya fungsionalisasi atau refungsionalisasi lembaga-lembaga pemerintah


dan lembaga-lembaga masyarakat. Suatu sistem kehidupan mempunyai bagian-bagian yang
menjalankan fungsinya masing-masing. Tidak berfungsinya satu bagian akan mengganggu kelancaran
seluruh sistem, sehingga tidak berjalan secara wajar. Namun beban yang berlebihan pada satu
bagian akan mengganggu pula arus gerak sistem secara keseluruhan. Diperlukan kooperasi dan
koordinasi yang hidup dan seimbang di antara bagian-bagian sistem masyarakat.

Keempat, perlu dilaksanakan institusionalisasi nilai-nilai, yang membuat seluruh mekanisme


masyarakat berjalan dengan wajar dan sehat. Kekuatan dan dinamika kehidupan masyarakat tercipta
bukan saja dalam penghayatan nilai-nilai yang luhur, melainkan harus disertai dengan pelembagaan
nilai-nilai luhur tersebut dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga terjadi hubungan yang saling
mendukung antara aktor (sebagai pelaku) dan struktur (sebagai jaringan yang mengondisikannya).

VI. Penutup

Pembangunan sebagai pengamalan Pancasila harus mampu menciptakan pertumbuhan dan


kemajuan bagi seluruh bangsa secara terpadu. Keterpaduan ditentukan oleh wawasan yang mampu
membuat keseluruhan pembangunan bermakna bagi bangsa Indonesia. Ini berarti bahwa
pembangunan ekonomi merupakan bagian dari keseluruhan perencanaan sosial, sedangkan
perencanaan sosial diletakkan dalam konteks strategi kebudayaan. Dengan demikian terhindarlah
kekhawatiran bahwa pembangunan tumbuh menjadi ideologi tersendiri.

Anda mungkin juga menyukai