Anda di halaman 1dari 19

Topik: Memperkuat ideologi Pancasila sebagai usaha untuk memperkuat wawasan

ideologi Indonesia

I. Pendahuluan

Wawasan tentang ideologi merupakan suatu hal penting yang harus dimiliki bangsa
Indonesia dalam menghadapi ancaman-ancaman Ketahanan Nasional di era Golabisasi.
Globalisasi tidak hanya menjadi tantangan, tetapi juga sekaligus merupakan peluang
untuk lebih mengetahui kehidupan lain di berbagai belahan dunia. Globalisasi dapat
mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara baik secara langsung maupun
tidak langsung. Globalisasi tentunya membawa dampak bagi kehidupan suatu negara
termasuk Indonesia. Dampak globalisasi tersebut meliputi dampak positif dan negatif
diberbagai bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang akan
berpengaruh pada semangat mewujudkan nilai-nilai luhur bangsa.

Sebagai ideologi Indonesia, Secara filosofis Pancasila sudah mencapai titik finalnya.
Artinya, rumusan Pancasila yang ada sekarang paling ideal dan paling sesuai dengan
kondisi bangsa Indonesia yang multikultural dan berbhineka dalam hal Suku, Agama,
Ras, dan Antargolongan (SARA). Meski demikian, ideologi Pancasila tetap saja berada
dalam tantangan yang berat. Tantangan utama ketahanan ideologi Pancasila, bukan saja
datang dari penyokong ideologi yang bertentangan seperti komunisme, melainkan juga
datang dari para pendukungnya sendiri yang tak menghayati nilai-nilai Pancasila secara
konsisten. Tantangan lainnya adalah semakin banyak warga masyarakat yang terhanyut
arus globalisasi sehingga cenderung menghayati gaya hidup liberal seraya
meninggalkan nilai-nilai Pancasila.

Namun, Dewasa ini fenomena intoleransi, politik dengan menggunakan isu SARA
penyebaran informasi hoax, dan tindakan-tindakan provokasi semakin marak seiring
meningkatnya perkembangan teknologi di kalangan masyarakat. Segala macam hal yang
dapat mengancam kerukunan bangsa tersebar melalui sosial media sangat menghiasi
berita baik di media televisi lokal, nasional, maupun Internasional. Nilai kesantunan
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia seakan-akan mulai hilang dari jiwa bangsa
Indonesia. Ideologi Pancasila yang sejatinya dapat digunakan sebagai senjata ampuh
untuk menghalau perpecahan, dewasa ini tampaknya sudah keluar dari moralnya
Pancasila. Secara ontologis maupun aksiologis Pancasila tidak hanya sebagai dasar
negara, tidak hanya sebagai ideologi atau Weltanschauung, tidak hanya cita-cita
mempersatukan semua golongan, tetapi Pancasila adalah suatu moral, suatu pergaulan
hidup antara manusia Indonesia yang satu dengan manusia Indonesia yang lainnya
tanpa memandang tingkatannya, tanpa memandang keturunannya, tanpa memandang
milieusosialnya. [4]

II. Rumusan Masalah

Bagaimana praktik ideologi dalam kehidupan sehari-hari dan dampak perkembangan


teknologi di era globalisasi terhadap ketahanan Pancasila? Bagaimana cara untuk
meningkatkan wawasan bangsa tentang ideologi Pancasila?

III. Ideologi Pancasila

Menurut KBBI, ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas
pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup, cara
berpikir seseorang atau suatu golongan, paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu
program sosial politik.[1]

Jika membicarakan mengenai konsepsi ideologi maka terdapat dua pemaknaan yang
saling bertolak belakang mengenai konsep ideologi tersebut. Ideologi sering
diasosiasikan dengan maknanya yang jahat atau evil, atau tidak baik. Namun sebaliknya,
ideologi padaumumnya sering kali justru merupakan sesuatu yang baik dan memiliki
fungsi-fungsi yang penting; dan oleh sebab itu patut dipelajari. Ideologi itu bermakna
negatif, karena setiap kali orang menyebut ideologi maka konotasi yang muncul adalah
negatif. Barangkali karena makna ideologi yang negatif itulah, ilmuan, terutama jurist
seperti Kelsen menghindari memasukan unsur ideologi dalam hukum. Kelsen
menyerukan kemurnian hukum atau pembersihan hukum dari unsur-unsur ideologi.

Ideologi diasosiasikan dengan sifat totaliter yaitu memuat pandangan dan nilai yang
menentukan seluruh segi kehidupan manusia secara menyeluruh atau total.

Dalam sifatnya yang totaliter itu ideologi menuntut secara penuh kepada manusia untuk
hidup dan berperilaku sesuai dengan apa yang sudah ditentukan oleh ideologi dan di
dalam ideologi tersebut. Dengan mengikuti segala apa yang sudah digariskan di dalam
dan oleh penggagas ideologi tersebut maka kebebasan pribadi, terutama kebebasan
seorang ilmuan sebagai manusia menjadi terbelenggu oleh semua hal yang harus diikuti
di dalam ideologi tersebut.

Kemerdekaan asasi manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa menjadi
terkungkung dan dibatasi. Tidak ada lagi kemungkinan untuk berinovasi, selain
mengikuti apa yang telah digariskan oleh ideologi tersebut. Singkat kata, manusia dalam
ideologi dengan maknanya yang negatif itu seolah-olah dikenakan suatu kaca mata
kuda. Manusia yang dikungkung dengan kaca mata kuda ideologis itu, dalam Teori
Keadilan Bermartabat haruslah dimanusiakan.

Kaitan dengan itu, seringkali orang menyebut kata ideologis, kemudian timbul
pemahaman yang secara otomatis, bahwa di dalam istilah ideologis itu ada paham atau
ajaran, dan di dalam ilmu hukum dikenal dengan doktrin yang mengandung arti negatif.
Istilah ideologis sering dipakai untuk mengungkapkan ejekan atau cemoohan atas
kepentingan-kepentingan yang menumpang atau memboncengi dan dibawa oleh apa
yang disebut sebagai ideologis.

Sebaliknya, dalam sejarah Indonesia ideologi justru bermanfaat atau dapat dilihat
sebagai sesuatu yang baik. Jika kita mengingat sejarah kemerdekaan Indonesia yang
sebelumnya mengalami masa-masa penjajahan oleh bangsa lain, maka ideologi
merupakan pengertian yang positif bagi bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa
Indonesia atau the founding fathers gigih mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk
membangun dan menyebarkan ideologi serta menginstitusionalisasikan atau
menginternalisasikan dalam diri manusia Indonesia. Tujuan dari internalisasi yang
demikian itu, yaitu dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan
bangsa lain dan bangsa sendiri.

Dalam konteks perjuangan kemerdekaan itu, ideologi menunjuk kepada keseluruhan


pandangan cita-cita, nilai dan keyakinan yang ingin diwujudkan dalam kenyataan hidup
yang konkret. Ideologi dalam pengertian yang demikian tersebut dilihat sebagai suatu
kebutuhan, karena dianggap mampu menjadi semacam bahan bakar untuk
membangkitkan kesadaran akan kemerdekaan, memberikan orientasi mengenai dunia
berserta isinya serta antar kaitan, dan menanamkan motivasi dalam perjuangan
masyarakat untuk bergerak melawan penjajahan, dan selanjutnya mewujudkan dalam
sistem dan penyelenggaraan negara. Oleh sebab itu, kalau kemudian istilah ideologis
kemudian terdengar dalam konteks tersebut, maka itu berarti bahwa istilah itu
bermakna baik dan positif. Baik, sebab istilah ideologis mengacu kepada karakteristik,
makna dan fungsi ideologi yang diyakini mampu memberikan semangat dan arahan
yang positif, bagi kehidupan masyarakat yang harus berjuang melawan berbagai-bagai
bentuk penderitaan dan kemiskinan.

Sesuai dengan semangat yang dapat dibaca di dalam Pembukaan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, ideologi Pancasila yang merupakan Dasar Negara itu berfungsi
baik dalam memberikan gambaran tentang tujuan negara Repubik Indonesia maupun
proses berlangsungnya upaya-upaya untuk mencapai tujuan negara tersebut. Gambaran
tentang tujuan negara dan proses pencapaian yang dalam hal ini juga dipandang sebagai
nilai hukum dalam Pembukaan UUD 1945 asli itu, sebagaimana kita ketahui bersama
adalah:

“...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, pedamaian abadi dan keadilan sosial...”.

Manakala gambaran tentang tujuan negara dan proses untuk mencapai tujuan itu
dipahami sebagai suatu ideologi kebangsaan yang bernama Pancasila, maka itu berarti
bahwa tujuan negara yang secara material rumusannya sudah dikemukakan di atas,
yaitu ada di dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, harus
mengarah kepada terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur dan sejahtera sesuai
dengan semangat dan nilai-nilai Pancasila.

Dengan kata lain ideologi Pancasila memiliki arti sebagai paham yang menggunakan
Pancasila sebagai landasan atau acuan utamanya.

Selain berfungsi sebagai ideologi, Pancasila juga menjadi falsafah dan pandangan hidup
yang menyatukan segala pandangan dan perbedaan, serta memiliki fungsi sentral dalam
berbagai aspek kehidupan seperti aspek pendidikan, sosial, dan ekonomi bangsa. [2]
sehingga dapat mempersatukan bangsa, memelihara dan mengukuhkan persatuan dan
kesatuan itu. Fungsi ini sangatlah penting bagi bangsa Indonesia karena sebagai
masyarakat majemuk sering kali terancam perpecahan.

Menampilkan insan sosial (homo politicus) sekaligus aspek insan usaha (homo
economicus), dalam arti bahwa nalar dan naluri hidup berkelompoknya adalah untuk
mencapai kesejahteraan bersamanya. Sebagai insan yang berfikir, maka berdasarkan
iman, cita, rasa, dan karsanya seseorang akan memiliki pandangan hidup yang akan
menjawab permasalahan yang berkaitan dengan hidupnya. Sebagai warga Negara
dalam kehidupan berkelompok.

Didalam kehidupan antar kelompok, maka apabila tidak terjadi suatu penggabungan
kelompok, maka masing-masing anggota kelompok yakin bahwa pandangan hidup
kelompoknya merupakan suatu kebenaran sejauh yang dapat dipikirkan manusia,
sehingga tumbuhlah falsafah hidup kelompok yang bersangkutan dari pandangan hidup
kelompok tersebut. Di dalam kehidupan berkelompok tersebut meningkat menjadi
bernegara, maka falsafah hidup tersebut disebut didalam rapat-rapat Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) disebut sebagai Filosofische
grondslag dari pada negara yang didirikan.

Falsafah hidup suatu bangsa akan menjelmakan suatu tata nilai yang dicita-citakan
bangsa yang bersangkutan, yang membentuk keyakinan hidup berkelompok sesuai
yang dicita-citakan bangsa yang bersangkutan. Sebagai yang di cita-citakan maka ia
membentuk ide-ide dasar dari segala hal aspek kehidupan manusia di dalam kehidupan
berkelompoknya. Kesatuan yang bulat dan utuh dari ide-ide dasar tersebut secara
ketatanegaraan kita sebut ideologi. Dengan demkian suatu ideologi merupakan suatu
kelanjutan atau konsekuensi logis dari pandangan hidup bangsa, falsafah hidup bangsa
dan akan berupa seperangkat tata nilai yang dicita-citakan akan direalisir di dalam
kehidupan berkelompok. Ideologi ini akan memberikan stabilitas arah dalam hidup
berkelompok dan sekaligus memberikan dinamika gerak menuju ke yang dicita-citakan.
Demikianlah secara teoritis perkembangan tumbuhnya suatu ideologi suatu bangsa, dan
bagi bangsa Indonesia hal itu semenjak 18 Agustus 1945 adalah Pancasila.
Permasalahan yang kedua ialah masalah kehidupan ketatanegaraan. Apabila kita ingin
menganalisa Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan ketatanegaraan, maka hal ini
berarti kita berhadapan dengan kehidupan ketatanegaraan yang konkrit.Dengan
demikian kita pasti tidak akan berhenti pada hal-hal yang bersifat teoritis, universal
belaka melainkan justru kita harus menulusuri teori yang kongkrit yang sudah diwarnai
oleh ideologi yang bersangkutan, sekalipun baru dicita-citakan.

Apabila ada kencenderungan sekedara mencari hal-hal yang universal (teoritis) maka
pada akhirnya kita akan mendapatkan sebagai hasil analisa suatu keadaan bernegara
yang tidak kongkrit. Keadaan semacam ini akan nampak pula apabila suatu bangsa tidak
memahami keadaan bernegara yang bagaimana yang sebenarnya diinginkannya,
sekalipun sudah dirumuskan didalam hukum dasarnya, dengan perkataan lain apa yang
di gambarkan didalam hukum dasar menjadi lamunan belaka. Untuk itu diperlukan
suatu pemahaman tentang teori bernegara bangsa Indonesia, teori inilah yang harus
kita patuhi, sehingga membentuk suatu kehidupan nasional dan dengan demikian
kepatuhan akan menjelma secara ketatanegaraan menjadi disiplin nasional.

Di dalam mencari suatu teori bernegara yang kongkrit, maka sudah barang tentu kita
tidak dapat melepaskan diri dari teori bernegara pada umumnya. Teori bernegara yang
kongkrit dari bangsa Indonesia dapat kita katakan telah mengkaitkan hal-hal yang
umum dan universal dari teori bernegara pada umumnya dengan hal-hal yang khusus
pada suatu kelompok manusia bersumber pada alam dan budaya bangsa, yang oleh
Prof. Soepomo disebut dengan suasana kebatinan bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia yang berarti bahwa segala sikap mental

dan tingkah laku bangsa Indonesia yang mempunyai ciri khas, dan yang membedakan
antara bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Fungsi sebagai kepribadian bangsa
Indonesia bahwa Pancasila adalah merupakan gambaran secara tertulis dan fakta serta
pola prilaku atau gambaran tentang amal perbuatan bangsa Indonesia yang
membedakan dengan bangsa lainnya di dunia ini. Pancasila memberi ciri khas
kepribadian yang tercermin dalam sila-sila Pancasila, yaitu bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang berketuhanan yang maha esa, berkemanusiaan yang adil dan
beradab, berjiwa persatuan dan kesatuan bangsa, berjiwa musyawarah mufakat untuk
mencapai hikmat kebijaksanaan, bercita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Sebagaimana dalam ketetapan MPR No.XI/MPR/1978, Pancasila itu merupakan satu

kesatuan yang bulat dan utuh dari kelima silanya.Dikatakan sebagai kesatuan yang
bulat dan utuh karena masing-masing sila dari Pancasila itu tidak dapat dipahami dan
diberi arti secara sendiri-sendiri, terpisah dari keseluruhan sila-silanya. Memahami atau
memberi arti setiap sila- sila secara terpisah dari sila-sila lainnya akan mendatangkan
pengertian yang keliru tentang Pancasila.

Pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia ditentukan oleh tempat, lingkungan

dan suasana waktu sepanjang masa. Walaupun bangsa Indonesia sejak dulu kala
bergaul dengan berbagai perdaban kebudayaan bangsa lain namun kepribadian yang
merupakan ciri khas bangsa

Indonesia tetap hidup. Sebagaimana halnya Pancasila telah tampak jelas segala nilai-
nilai dari silanya mencerminkan diri bangsa Indonesia. Dengan demikian pancasila yang
digali dari bumi Indonesia menjelma menjadi:

a. Dasar Negara Republik Indonesia, yang merupakan sumber dari segala sumber
hukum di Indonesia;

b. Pandangan hidup bangsa Indonesia, yang dapat mempersatukan dan memberi


petunjuk dalam masyarakat yang beraneka ragam sifatnya;

c. Jiwa dan Kepribadian bangsa Indonesia, karena Pancasila memberikan corak yang
khas dan tidak dapat dipisahkan dengan bangsa lain;

d. Tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia, yakni suatu masyarakat yang adil
dan makmur yang merata merial dan sritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat dengan
suasana kehidupan yang aman, tentram, tertib, dinamis serta dalam lingkungan
pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai;

e. Perjanjian luhur bangsa Indonesia yang disetujui oleh rakyat Indonesia.

Selain itu juga Pancasila membimbing dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya.
Pancasila memberi gambaran cita-cita bangsa Indonesia sekaligus menjadi sumber
motivasi dan tekad perjuangan mencapai cita-cita, menggerakkan bangsa melaksanakan
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.

Pancasila juga memberikan tekad untuk memelihara dan mengembangkan identitas


bangsa. Pancasila memberi gambaran identitas bangsa Indonesia, sekaligus memberi
dorongan bagi nation and character building berdasarkan Pancasila.

Menyoroti kenyataan yang ada dan mengkritisi upaya perwujudan cita-cita yang
terkandung dalam Pancasila, kita tentu harus menerima dan melaksanakan Pancasila
secara konsekuen. Pancasila menjadi ukuran untuk melakukan kritik mengenai keadaan
Bangsa dan Negara.[2]

Dengan fungsi-fungsi tersebut, jika Indonesia tidak memiliki ideologi yang


mempersatukan seperti ideologi Pancasila, maka Indonesia akan mengalami
perpecahan di seluruh Indonesia, pertempuran akan muncul dari Sabang sampai
Merauke, masyarakat Indonesia akan semakin intoleran terhadap suku, agama, ras dan
adat lain.

IV. Praktik nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari

Harus diakui bahwa hingga sekarang nilai-nilai filosofis Pancasila belum menjadi
praktik hidup sehari-hari dari sebagian besar warga bangsa Indonesia. Berkenaan
dengan nilai ketuhanan (sila ke-1) misalnya, kita dapat menyaksikan bahwa pada satu
sisi semakin banyak warga merelativir, bahkan mengabaikan ajaran agamanya. Tetapi
pada sisi lain semakin banyak orang pula yang terpapar radikalisme agama. Sementara
itu, semakin banyak warga masyarakat yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan (sila
ke-2). Hal ini tampak dalam angka kekerasan dalam rumah tangga yang meningkat.
Juga, angka kriminalitas pembunuhan dan aborsi yang cenderung bertambah dari tahun
ke tahun. Nilai persatuan yang dikandung oleh sila ke-3 Pancasila juga kian memudar.
Hal ini terbukti dari semakin meningkatnya kasus konflik antar kelompok masyarakat.
Juga, semakin maraknya ujaran kebencian yang dilontarkan melalui berbagai akun
media sosial. Nilai demokrasi Pancasila (sila ke-4) juga semakin dilemahkan oleh
semakin maraknya praktik politik uang dan politik identitas atau menjadikan etnis,
suku, budaya, agama atau yang lainnya sebagai alat politik. Sementara itu, nilai keadilan
sosial (sila ke-5) semakin tergerus oleh semakin maraknya praktik penyalahgunaan
kekuasaan oleh sejumlah oknum pejabat publik, di pusat ataupun di daerah.
Membumikan Pancasila Berhadapan dengan tantangan yang besar demikian, sudah
semestinya seluruh warga bangsa Indonesia tak boleh diam, berpangku tangan saja
Sebaliknya, mereka harus berusaha untuk semakin membumikan Pancasila melalui
beberapa upaya nyata sebagai berikut.

Pertama, seluruh warga bangsa Indonesia harus meyakini bahwa kebhinekaan adalah
sebuah realitas; hadiah dari sang Maha Pencipta. Mereka harus memandang
kebhinekaan sebagai kekuatan atau keunggulan, bukan sebagai kelemahan atau
kekurangan. Berkenaan dengan itu, pada satu sisi mereka harus membangun soliditas
dengan memperkuat relasi ke dalam kelompoknya sendiri. Namun, pada sisi lain,
mereka juga harus mengatasi kecenderungan primordialisme dengan membangun
relasi ke luar (dengan kelompok yang lain), dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila
sebagai alat perekat untuk mempertahankan integrasi dan kesatuan bangsa. Jika salah
satu atau keduanya diabaikan, maka secara perlahan namun pasti keutuhan dan
ketahanan ideologi Pancasila akan melemah.

Kedua, seluruh warga bangsa Indonesia harus menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai
filter untuk menyaring segala hal yang masuk dari luar namun tak selaras dengan nilai-
nilai Pancasila. Sementara itu, mereka juga perlu bersikap terbuka terhadap nilai-nilai
positif dari bangsa lain dan belajar beradaptasi dengan dinamika dunia akibat arus
globalisasi.

Ketiga, seluruh warga bangsa Indonesia juga perlu melalui berbagai cara
memperkenalkan dan membuktikan kepada bangsa-bangsa lain di dunia bahwa (1)
Pancasila mengandung nilai-nilai universal; dan (2) Pancasila adalah ideologi yang
dapat diadopsi dan oleh bangsa-bangsa di dunia guna membangun dunia yang lebih
beradab, damai dan sejahtera. Artinya, Pancasila adalah sumbangan bangsa Indonesia
bagi dunia, demi terciptanya dunia yang lebih manusiawi. Go global Sebagai bagian dari
masyarakat global, bangsa Indonesia seharusnya berbangga karena ideologi yang
dihayatinya mendapat pengakuan dari bangsa-bangsa lain.

Ideologi Pancasila terbukti mampu menjaga kerukunan dan mendukung keharmonisan


antar warga masyarakat yang berbeda suku dan agama. Karena itu Pancasila perlu
diadopsi di negara lain yang mengalami konflik akibat masalah ideologi. Sebelumnya,
pada November 2010, dalam kuliah umumnya di Universitas Indonesia, Presiden
Amerika Serikat, Barack Obama mengatakan Pancasila adalah falsafah yang inklusif, dan
Bhinneka Tunggal Ika - kesatuan dalam keragaman - adalah contoh Indonesia untuk
dunia. Dengan ideologi tersebut Indonesia akan memainkan peranan penting dalam
abad ke-21 (Tempo.co, 11/11/ 2010). Empat hari sebelumnya, Paus Benediktus XVI,
dalam pidato pembukaan Konferensi Kerukunan Antar Umat Beragama di Barcelona,
Spanyol, menyebut Pancasila sebagai ideologi yang relevan untuk masyarakat global
dewasa ini (BBC News.com, 7/11/ 2010). Jadi, kita semestinya berbangga dan
bersyukur karena memiliki ideologi Pancasila. Pengakuan para tokoh dunia seharusnya
menjadi motivasi bagi kita untuk terus berjuang memperkokoh ketahanan ideologi
Pancasila. Bukan sebaliknya, mengacuhkan apalagi merongrong ketahanan ideologi
Pancasila.

Kita dapat menyaksikan perlindungan hukum atau penguatan nilai atau paham, dan
dalam hal ini nilai, paham atau ideologi kebangsaan itu dalam rumusan pasal-pasal
peraturan perundang-undangan yang melarang setiap subyek hukum atau barangsiapa
agar tidak melakukan tindak pidana yang menyangkut atau mengeni SARA (Suku, Ras
dan Antar-Golongan); baik dalam KUHP, maupun dalam UU yang berada di luar KUHP
namun mengatur mengenai larangan yang sama, seperti misalnya UU Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) misalnya. Legislasi paling
mutakhir di dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila itu, dalam Pasal 28 Ayat (2) j.o.
Pasal 45 Ayat (2) dirumuskan:

“Setiap orang yang memenuhi unsur dengan dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antara
golongan (SARA) dipidana penjara paling lama enam tahun dan /atau denda paling
banyak satu miliar rupiah”.

Selain aspek perlindungan hukum terhadap ideologi kebangsaan yang dapat ditemukan
dalam rumusan pasal-pasal sebagaimana dikemukakan sebagai contoh saja di atas itu,
dalam UU yang paling mutakhir di dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila tersebut
dapat pula ditemukan asas hukum yang berkaitan erat dengan memperkuat ideologi
kebangsaan melalui perdamaian di Indonesia. Dirumuskan dalam Konsiderans
Menimbang huruf (d) UU ITE bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi
harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara dan memperkukuh persatuan
dan kesatuan nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan demi kepentingan

Nasional Kembali kepada apa yang telah saya kemukakan di muka, bangsa Indonesia
sebagaimana layaknya bangsa-bangsa beradab di dunia juga memiliki ideologinya
sendiri, dalam hal ini ideologi tentang kebangsaan Indonesia. Sekali lagi perlu
ditegaskan di sini bahwa ideologi itu ada, atau bersumber dalam jiwa bangsa. Karena
konsepsi jiwa bangsa itu abstrak, ilmu hukum, dalam hal ini Teori Keadilan Bermartabat
menunjukkan jalan keilmuan, bagaimana menemukan secara konkret dan ilmiah
terhadap apa yang disebut jiwa bangsa, dalam hal ini yang dimengerti jiwa bangsa itu
sama dengan paham atau ideologi tentang kebangsaan bangsa Indonesia

sebagai suatu nilai hukum.

V Dampak Kemajuan Teknologi Terhadap Implementasi Nilai-nilai Pancasila

Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi pun juga ikut
berkembang dengan pesat. Dimulai dengan adanya pengenalan terhadap teknologi
internet. Perkembangan internet telah mengubah pola interaksi masyarakat yang
berkontribusi besar terhadap masyarakat, perusahaan atau industri dan pemerintah di
dalamnya. Jika berbicara mengenai dampak dari perkembangan IPTEK, dapat dilihat
bahwa hampir semua aspek dalam kehidupan di dunia ini telah terkena dampaknya.
Dampak yang dihasilkan bagaikan 2 sisi pada mata uang. Di satu sisi membawa dampak
positif, dan di sisi yang lain membawa dampak negatif. Dampak positif dari adanya
IPTEK yaitu, memberikan berbagai kemudahan, memperluas mudahnya akses terhadap
berbagai informasi hingga memperluas wawasan serta pengetahuan. IPTEK
memberikan kemudahan kepada penggunanya untuk mengakses berbagai jenis
informasi sehingga informasi tersebut dapat berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh dari penggunaan IPTEK adalah ketika seseorang ingin mengirimkan
surat tidak harus lagi menggunakan cara lama dengan pergi ke kantor pos terlebih
dahulu. Ia dapat memanfaatkan teknologi sebagai penggantinya, seperti melalui E-mail,
SMS, WhatsApp dan teknologi lainnya.
Selain dampak positif ada pula dampak negatif yang di timbulkan yaitu, hilangnya
budaya tradisional, muncul berbagai kejahatan di dunia maya (cybercrime), hingga
timbulnya berbagai masalah sosial. Ada berbagai faktor baik faktor internal maupun
faktor eksternal yang dapat mendorong seseorang untuk menyalagunakan IPTEK.
Faktor Internal adalah faktor yang ada dalam diri seseorang sementara faktor eksternal
adalah yang berasal dari luar diri sendiri. Salah satunya contoh adalah teknologi
memberikan akses dan kemudahan kepada penggunanya. Jenis kejahatan
seperti cybercrime adalah yang paling sering ditemukan. Kejahatan seperti membobol
identitas seseorang, menyebarkan hoax, penyebaran informasi berbau pornografi,
penyebaran informasi yang bersifat kekerasan, dan masih banyak lagi. Hal ini dapat
terjadi jika pengguna tidak mengetahui dampak apa yang dapat ditimbulkan dari
tindakan yang dilakukannya. Hal lainnya yang mendorong seseorang untuk
menyalahgunakan teknologi adalah kurangnya kewaspadaan dan pengawasan baik dari
diri sendiri, keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Seiring dengan berkembanganya ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak kepada
semakin banyaknya kejahatan yang dapat dilakukan sesorang. Sebagai generasi penerus
bangsa sudah seharusnya memiliki pemahaman terhadap pentingnya makna dari nilai-
nilai etis dalam Pancasila, sebagai dasar penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang semakin berkembang. Di dalam Pancasila terdapat nilai-nilai yang sangat
mendasar dalam kehidupan manusia. Pancasila memperlihatkan nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah dan Mufakat, serta Keadilan Sosial, yang
semuanya itu menjadi pedoman bagi masyarakat Indonesia untuk bertindak dan
bertingkah laku. Sebagai generasi muda, nilai-nilai inilah yang harus diterapkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti dalam sila pertama yaitu, Ketuhanan Yang
Maha Esa, memperlihatkan bahwa berkembangnya ilmu pengetahuan harus selaras
dengan adanya landasan nilai-nilai tersebut, niscaya dapat meminimalisir, mencegah
dan bahkan menghentikan penyalahgunaan IPTEK.

VI. Upaya menjaga dan menguatkan nilai-nilai Pancasila di masyarakat

Cara yang paling efektif untuk memperkuat ideologi Pancasila menurut saya adalah
memulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Seperti meningkatkan toleransi terhadap
suku, agama, ras dan adat lain yang ada di Indonesia.
Dengan begitu, kita bisa memberikan contoh yang baik untuk orang lain agar mereka
dapat mengikuti contoh kita. Karena jika kita tidak memberikan contoh yang baik, maka
tidak akan ada orang yang ingin mendengarkan ucapan kita mengenai pelestarian
ideologi Pancasila. Oleh karena itu salah satu cara melestarikan ideologi Pancasila
adalah dengan hidup bertoleransi antar penganut agama berbeda dan mencintai sesama
manusia tanpa melihat suku, agama, warna kulit, etnis, ras dan golongannya.

Upaya menjaga dan menguatkan nilai-nilai Pancasila di masyarakat dapat dilakukan


dengan tiga hal yaitu melalui pendekatan budaya, internalisasi di semua level
pendidikan, dan penegakan hukum terhadap hal-hal yang tidak sejalan dengan nilai-
nilai Pancasila. Pertama, nilai-nilai Pancasila perlu dikuatkan dengan pendekatan
budaya. Pemerintah melalui Kemdikbud harus menyusun strategi yang tepat, efektif,
dan partisipatif tanpa paksaan. Hal ini bisa dilakukan dengan membangun fasilitas atau
pos-pos budaya di semua wilayah dalam rangka melestarikan sekaligus
mengembangkan kebudayaan lokal yang ada di masyarakat. Kedua, penguatan nilai-
nilai Pancasila di sektor pendidikan. Generasi muda adalah masa depan bagi ideologi
Pancasila. Saat ini paparan ideologi radikal mulai mengancam generasi-generasi muda
kita.

Pemerintah perlu memikirkan strategi yang efektif agar nilai-nilai Pancasila


terinternalisasi dengan baik dalam kurikulum pendidikan nasional. Jika perlu,
pemerintah bisa mengintervensi kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah dan
lembaga pendidikan tinggi. Tidak sedikit sekolah-sekolah yang mengabaikan kurikulum
berbasis nasional khususnya yang terkait dengan pengetahuan kebangsaan dan
kebudayaan. Ketiga, penegakan hukum. Nilai-nilai Pancasila yang ada dalam konstitusi
telah tercermin dalam sejumlah peraturan dan instrumen internasional yang telah
diratifikasi untuk melindungi hak-hak warga negara. Pemerintah tak boleh segan-segan
untuk menegakkan aturan hukum demi menjaga persatuan dan keutuhan bangsa.

Untuk itu Pancasila harus diaktualisasikan mulai dari kesadaran subjektif dan objektif
warga negara itu sendiri. Kesadaran secara subjektif adalah pelaksanaan pada setiap
pribadi perseorangan, setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap
penguasa, dan setiap orang Indonesia. Aktualisasi Pancasila yang subjektif ini lebih
penting karena realisasi yang subjektif merupakan persyaratan baik aktualisasi
Pancasila
yang objektif. Aktualisasi Pancasila yang subjektif ini sangat berkaitan dengan
kesadaran,

ketaatan, serta kesiapan individu untuk merealisasikan Pancasila. Dalam pengetahuan


inilah pelaksanaan Pancasila yang subjektif mewujudkan suatu bentuk kehidupan
dimana kesadaran wajib hukum telah berpadu menjadi kesadaran wajib moral.
Sehingga suatu perbuatan yang tidak memenuhi wajib untuk melaksanakan Pancasila
bukanlah hanya akan menimbulkan akibat hukum namun yang lebih penting lagi akan
menimbulkan akibat moral. Lickona (Budimansyah, 2011:57) mengembangkan
karakter yang baik (good character) yang di dalamnya mengandung tiga dimensi nilai
moral sebagai berikut:

1. Wawasan Moral (Moral Knowing)

a. Kesadaran moral (Moral Awareness)

b. Wawasan nilai moral (Knowing moral values)

c. Kemampuan mengambil pandangan orang lain (Perspectivetaking)

d. Penalaran moral (Moral Reasoning)

e. Mengambil keputusan (Decision-making)

f. Pemahaman diri sendiri (Self Knowledge)

Perasaan Moral

a. Kata hati atau nurani (Conscience)

b. Harapan diri sendiri (Self-esteem)

c. Merasakan diri orang lain (Empathy)

d. Cinta kebaikan (Loving the good)

e. Kontrol diri (Self-control)

f. Merasakan diri sendiri (Humility)

3. Perilaku Moral

a. Kompetensi(Competence)
b. Kemauan (Will)

c. Kebiasaan (Habit)

Dalam pengertian ini maka karakter yang baik ada pada seseorang yang berkaitan
dengan sikap dan tingkah laku seseorang dalam realisasi Pancasila yang subjektif
disebut moral Pancasila. Maka aktualisasi Pancasila yang subjektif ini lebih berkaitan
dengan kondisi objektif, yaitu berkaitan dengan norma-norma moral. Dalam aktualisasi
Pancasila yang bersifat subjektif ini bilamana nilai-nilai Pancasila telah dipahami dan
diresapi seseorang maka seseorang itu telah memiliki moral pandangan hidup.
Bilamana hal ini berlangsung secara terus menerus, maka nilai-nilai Pancasila telah
melekat dalam hati sanubari bangsa Indonesia yang disebut dengan kepribadian
Pancasila. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia telah memiliki suatu ciri khas (yaitu
nilai-nilai Pancasila, sikap dan karakter), sehingga membedakan bangsa Indonesia
dengan bangsa lain. Aktualisasi Pancasila yang bersifat subjektif meliputi pelaksanaan
Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia
dan dalam pelaksanaan konkretnya tercermin dalam tingkah laku dalam kehidupan
sehari-hari.

Kesadaran secara objektif adalah pelaksanaan dalam bentuk realisasi dalam setiap
aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif,
dan semua bidang kenegaraan dan terutama realisasinya dalam bentuk peraturan
perundangundangan negara Indonesia. Menurut Asshiddiqie (2008) bahwa “Pancasila
dan UUD 1945 berisi haluan-haluan bagi kebijakan-kebijakan pemerintahan negara
(state policies) dalam garis besar dengan tingkat abstraksi perumusan nilai dan norma
yang bersifat umum dan belum operasional”. Artinya terbentuknya nilai-nilai dan ide-
ide yang terkandung di dalam haluan negara dalam rumusan Pancasila dan UUD Tahun
1945 dilakukan oleh dan melalui lembaga permusyawaratan rakyat, sedangkan upaya
untuk

mengawal dalam praktik, agar nilai-nilai dan ide-ide yang terkandung di dalam
Pancasila dan UUD Tahun 1945 sungguh-sungguh diwujudkan dalam praktik bernegara
dilakukan oleh lembaga peradilan konstitusi. Dengan kata lain, fungsi ‘state policy
making’ berupa Pancasila dan UUD Tahun 1945 itu dilakukan oleh lembaga Majelis
Permusyawaratan Rakyat, sedangkan fungsi pengawalan atas pelaksanaannya dalam
praktik dilakukan oleh lembaga peradilan (state policy adjudication) dalam rangka
pengawasan melalui penegakan hukum (enforcement). Di antara kedua kutub fungsi
‘policy making’ dan ‘policy enforcing/controlling’ terdapat wilayah ‘policy executing’ yang
merupakan wilayah tanggungjawab eksekutif kekuasaan pemerintahan negara.

Oleh karena itu, kebutuhan bangsa kita untuk menjabarkan rumusan-rumusa nilai dan
norma, merevitalisasi, melaksanakan, memasyarakatkan, mendidik dan bahkan
membudayakan Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945 dalam peri kehidupan berbangsa
dan bernegara adalah merupakan tugas dan tanggungjawab bersama baik masyarakat
maupun pemerintah. Pemerintah tidak boleh melepaskan beban tanggungjawab dengan

hanya memberikan bantuan dan dukungan kepada lembaga legislatif atau pun Lembaga
yudikatif untuk memasyarakatkan Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945. Pemerintah
harus

tampil dengan tanggung jawabnya sendiri melalui tujuan pembangunan nasional yang
bersumber pada hakikat kodrat manusia mono pluralis yang merupakan esensi dari
Pancasila.

Bangsa Indonesia melaksanakan reformasi, pada prinsipnya merupakan upaya untuk


memperbaiki negara yang pada gilirannya yang jauh lebih penting adalah tercapainya
tingkat martabat manusia yang lebih baik. Oleh karena itu, reformasi juga harus
mendasarkan pada suatu paradigma yang jelas, dan dalam masalah ini paradigma yang
harus diletakkan sebagai basis segala agenda reformasi adalah dasar filsafat negara,
yaitu Pancasila. Hal ini bukan merupakan suatu keharusan politik melainkan suatu
keharusan logis, sebab jikalau reformasi itu menyangkut masalah-masalah fundamental
negara yang terkandung dalam staatfundamentalnorm maka hal itu sudah menyimpang
dari makna dan pengertian reformasi, yaitu suatu revolusi

Pancasila perlu diusahakan agar terwujudnya kesadaran dan ketaatan. Kesadaran


adalah hasil perbuatan akal, yaitu pengamalan tentang keadaan-keadaan yang ada pada
diri manusia sendiri. Jadi keadaan-keadaan inilah yang menjadikan objek dari
kesadaran dan berupa segala sesuatu yang dapat menjadi sumber pengamalan manusia.
Pengamalan tersebut bersifat jasmaniah maupun rohaniah dari kehendak manusia.
Untuk itu Kaelan

(2013:27) merincinya sebagai berikut:


1. Rasa, menimbulkan realisasi tentang kejiwaan

2. Akal, yang menimbulkan realisasi tentang kebenaran (ilmu pengetahuan,


pengetahuan, inspirasi, institusi).

3. Kehendak, yang menimbulkan realisasi tentang kebaikan/kebenaran dan realisasi


tentang kebahaagiaan, jadi berkaitan dengan tingkah laku manusia.

Dari uraian di atas jika diurutkan maka agar manusia sampai pada suatu tingkat
kesiapan untuk mengaktualisasikan Pancasila maka yang pertama harus diketahui
adalah tentang pengetahuan yang benar tentang Pancasila, memenuhi meresapi, dan
menyadari, kemudian menghayati dan pada akhirnya mewujudkannya. Jadi tanpa
adanya syaratsyarat tersebut mustahil upaya pelaksanaan realisasi Pancasila dapat
terlaksana dengan baik. Untuk itu diperlukan dalam suatu proses pendidikan yang
terarah dan berkesinambungan. Adapun kesadaran dan kesiapan untuk pelaksanaan
Pancasila dapat

dilakukan dalam praktik hidup sehari-hari, dalam masyarakat, melalui pendidikan,


maupun dalam kenyataan hidup sehari-hari.

Pada dasarnya ada dua bentuk realisasi Pancasila yaitu bersifat statis dan bersifat
dinamis. Statis dalam pengertian intinya atau esensinya yaitu nilai-nilai yang bersifat
rohaniah dan universal, sehingga merupakan ciri khas, karakter yang bersifat tetap dan

tidak berubah. Bersifat dinamis dalam arti bahwa aktualisasi Pancasila senantiasa
bersifat dinamis inovatif sesuai dengan dinamika masyarakat, perubahan, serta konteks

lingkungannya. Misalnya dalam konteks lingkungan kenegaraan, sosial, politik, hukum,


kebudayaan, pendidikan, ekonomi, kehidupan keagamaan, Lembaga Swadaya
Masyarakat, organisasi masa, seni, lingkungan dunia teknologi infromasi dan konteks
lingkungan masyarakat lainnya.

Gagasan atau nilai-nilai dasar Pancasila itu memang perlu disosialisasikan kepada
segenap warganegara Indonesia oleh karena berfungsinya dalam praktik bernegara
membutuhkan dukungan warganya. Bagi warganegara biasa dukungan itu berbentuk
penerimaan terhadap nilai nilainya, internalisasi nilai yang selanjutnya menjadi acuan
penyelesaian soal kebangsaan dan kemampuan kritis jika terjadi penyimpangan
pelaksanaan penyelenggaraan bernegara. Bagi warganegara selaku penyelenggara
negara, sebagai sumber inspirasi bagi pembuatan kebijakan dan menjadi teladan warga
dalam bernegara. Oleh karena itu kesadaran etik maupun kesadaran hukum yang
mencerminkan nilai Pancasila amat penting dimiliki oleh semua warganegara
Indonesia.

Menurut Kaelan (2013) wujud sistem sosial kebudayaan dapat dikelompokkan menjadi
tiga yaitu sistem nilai, sistem sosial, dan wujud fisik baik dalam kebudayaan maupun
kehidupan masyarakat. Dalam hubungan ini Pancasila merupakan core values sistem
sosial kebudayaan masyarakat Indonesia, yaitu merupakan suatu esensi nilai kehidupan
sosial kebudayaan yang multikulturalisme. Oleh karena itu, dalam proses aktualisasi
nilai-nilai Pancasila harus meliputi tiga dimensi tersebut, sehingga dalam hal ini
diperlukan suatu proses doktriner melainkan justru pembudayaan dan internalisasi
dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan sosial
kebudayaan masyarakat nampak semakin kuat pengaruh individualisme,
primordialisme, serta fanatisme etnis, ras, golongan maupun agama.

Bangsa Indonesia adalah multikultural, multi etnis, dan multi religius, oleh karena itu
nilai-nilai persatuan dalam suatu keragaman harus dibudayakan dengan berbasis pada
etika religius dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan sendirinya, revitalisasi
juga harus diikuti dengan upaya pembinaan, pemeliharaan, dan pemanfaatan kekayaan
budaya bangsa.

VII KESIMPULAN

Globalisasi dengan segala dampak yang ditimbulkannya bagi bangsa Indonesia


semestinya memberikan pengaruh positif. Oleh karena itu tantangan nyata bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dihadapi saat ini adalah bagaimana
tindak tanduk dalam merespon fenomena globalisasi dengan berpedoman pada nilai
etika Pancasila sebagai warisan budaya luhur bangsa Indonesia. Pancasila harus
diyakini oleh seluruh elemen masyarakat sebagai nilai-nilai moralitas sehingga arus
globalisasi tetap terjawab dengan nilai-nilai Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. 2008. Membudayakan nilai-nilai pancasila dan kaidah-kaidah

undang-undang dasar negara RI tahun 1945. Dokumen Sekretariat Negara

Budimansyah, Dasim. 2011. Penguatan pendidikan kewarganegaraan untuk membangun

karakter bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.

Kaelan. 2013. Negara kebangsaan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma

Lickona, T. 2012. Educating for character” mendidik untuk membentuk karakter,

bagaimana sekolah dapat mengajarkan sikap hormat dan tanggung jawab. Jakarta:

Bumi Aksara

Lickona, T. 2013. Character matters. Jakarta: Bumi Aksara.

Notonagoro. 1984. Pancasila secara ilmiah populer. Cetakan keenam. Jakarta: Bina

Aksara

Winarno. 2012. Melaksanakan Pancasila Di Orde Reformasi. Jurnal Civicus PKn UPI

Bandung

[1] https://kbbi.web.id/ideologi. Diakses pada tanggal 23 September 2020

[2] https://nasional.kompas.com/read/2019/10/13/21112671/strategi-
menyelamatkan-pancasila?page=all#page2

[3] Sembiring, Jakobus. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI. Diakses pada tanggal 23


September 2020

[4] Aulia, Syifa Siti. “PANCASILA DI ARUS GLOBALISASI DALAM MEMPERKUAT


REFORMASI MORAL INDONESIA”. SEMINAR NASIONAL :

Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila di Era Reformasi. 2017. ISSN: 2598-6384

Anda mungkin juga menyukai