Anda di halaman 1dari 3

Politik Kelas vs Politik Identitas

indoprogress.com/2016/10/politik-kelas-vs-politik-identitas/

Harian Indoprogress 10/10/2016

MOMEN kontestasi Pilkada DKI kini memasuki putaran yang


makin garing, yakni bergulirnya kembali sentiman SARA setelah
sebelumnya tertimbun oleh isu ketidakadilan sosial dan
diskriminasi yang dilakukan oleh Pemprov DKI terhadap rakyat
miskin.

Mencuatnya isu SARA yang merupakan bagian dari Politik


Identitas ini, membuat kontestasi Pilkada ini kebih
mengutamakan emosi ketimbang rasio. Tidak ada diskusi kritis
lagi mengenai program-program seperti apa yang ditawarkan
oleh para kandidat, tetapi seberapa persuasif para kandidat ini
mengulik-ulik emosi calon pemilihnya. Bukannya
mempertanyakan, “bagaimana membangun DKI yang bersih
dan efisien tanpa harus menggusur rakyat miskin”, atau
“bagaimana menjadikan DKI sebagai rumah bagi semua lapisan sosial masyarakat, bukan hanya bagi kalangan
yang berduit dan berkuasa”, atau “bagaimana membangun kota yang partisipatif,” atau “bagaimana membangun
sistem transportasi yang lancar dan nyaman”, dst, dst.

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan saja memaksa para kandidat untuk berpikir secara serius, tetapi juga menuntut
para calon pemilih turut berpikir serius. Sementara isu SARA, jelas tidak membutuhkan kerseriusan seperti itu.

Tetapi menyesalkan bergesernya isu kampanye ke isu SARA tidak menyelesaikan masalah. Apalagi hanya dengan
menghimbau agar supaya para kandidat dan tim horenya tidak memanfaatkan isu ini untuk kepentingan mereka.
Yang lebih mendesak adalah, adakah alternatif di luar politik identitas yang seperti mengepung kita dari semua sisi
ini?

Kami secara tegas menolak Politik Identitas ini, dan sebagai alternatifnya kami menawarkan Politik Kelas. Dan
inilah penjelasannya. Sederhananya, kalau ditanya apa kebutuhan paling mendasar manusia? Jawabannya adalah
kebutuhan untuk bertahan hidup (survive). Dan untuk bisa bertahan hidup, hal paling mendesak dan mendasar yang
dibutuhkan adalah kebutuhan untuk makan, pakaian dan perumahan. Jawaban ini, kata psikolog Abraham Maslow,
sebagai kebutuhan dasar/primer (basic needs), sebelum kebutuhan-kebutuhan lain seperti kebutuhan psikologis
dan kebutuhan pemenuhan diri sendiri. Dengan kata lain, sebelum kita butuh bahasa, musik, seni, agama, dan ilmu
pengetahuan, kebutuhan-kebutuhan dasar ini dulu yang harus dipenuhi.

Karena itu, seluruh pergulatan hidup manusia dari beragam ras, etnis, warna kulit, agama, bangsa, dan bahasa
yang berbeda dipersatukan oleh tujuan untuk mempertahankan hidupnya: untuk makan, berpakaian, dan tempat
tinggal. Pada satu masa, pemenuhan kebutuhan hidup mendasar itu diusahakan dan untuk kepentingan hidup
bersama. Lalu muncul situasi sejarah dimana pemenuhan kebutuhan mendasar itu tidak digunakan untuk
kepentingan hidup bersama. Masyarakat kemudian tercacah-cacah di antara mereka yang menguasai dan yang
dikuasai dan yang tidak atau sedikit memiliki akses terhadap kemakmuran dan mereka yang memiliki lebih banyak
atau menguasai akses terhadap kemakmuran. Dalam masyarakat kapitalis dimana kita hidup sekarang, masyarakat
terbagi dalam dua kelas besar, yakni mayoritas yang harus menjual tenaga kerjanya untuk bisa hidup dan minoritas
yang menguasai alat-alat produksi.

Keterbelahan sosial inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kelas-kelas sosial. Inilah pembelahan sosial yang
paling mendasar dan paling menentukan dalam masyarakat, karena berjangkar pada soal pemenuhan kebutuhan
1/3
dasar manusia untuk mempertahankan hidupnya.

Ketika masyarakat telah terbelah ke dalam kelas-kelas, maka perjuangan paling utama adalah bagaimana
mengusahakan terwujudnya kondisi sosial dimana kebutuhan mendasar manusia tersebut bisa diakses secara
merata oleh semua orang. Sehingga kita tidak lagi melihat ada segelintir orang yang hidupnya bergelimang harta
sehingga ia bisa merealisasikan seluruh potensi-potensi kemanusiaannya, dan mayoritas orang yang hidupnya
papa sengsara, dimana kebutuhan utamanya adalah “apa yang bisa kita makan hari ini.” Inilah yang disebut
perjuangan kelas.

Dalam wujudnya yang konkrit, perjuangan kelas ini mengambil bentuk yang berbeda-beda. Ibu-ibu pegunungan
Kendeng yang mempertahankan tanah dan alamnya dari serobotan pihak korporasi, adalah bentuk perjuangan
kelas itu. Aksi massa ForBali yang mempertahankan kelestarian Teluk Benoa melawan kepentingan korporasi,
adalah bentuk perjuangan kelas. Warga Bukit Duri yang mempertahankan hak hidupnya dari penggusuran yang
dilakukan oleh Pemprov DKI, adalah bentuk perjuangan kelas. Masyarakat Adat yang melawan agresi perusahaan
tambang dan perkebunan, adalah bentuk perjuangan kelas. Kaum buruh yang menuntut kenaikan upah, tunjangan
pensiun dan perbaikan kondisi kerja dalam pabrik, adalah bentuk perjuangan kelas. Warga yang menuntut jaminan
pelayanan kesehatan dan pendidikan yang murah dan berkualitas, adalah bentuk perjuangan kelas. Rakyat Papua
yang menuntut hak menentukan nasib sendiri dari Indonesia karena penindasan yang dilakukan pemerintah selama
ini, adalah bentuk perjuangan kelas.

Perjuangan kelas juga mewujud ketika korporasi dengan segala cara berusaha memperpanjang jam kerja, menekan
upah buruh serendah-rendahnya, memberlakukan sistem kerja fleksibel. Juga ketika korporasi membiayai para
politisi untuk memfasilitasi dan mengamankan kepentingan bisnisnya, Juga ketika mereka membiayai para
intelektual untuk menghegemoni kesadaran rakyat miskin bahwa kemiskinan itu adalah pengaruh kultural. Atau juga
ketika individu korporasi berkompetisi dengan individu korporasi yang lain untuk memenangkan penguasaan pasar.

Begitu mendasarnya perjuangan kelas ini, maka segala macam cara dilakukan oleh kelas berkuasa (secara
ekonomi dan politik) untuk membungkamnya. Itu sebabnya, kelas berkuasa sebenarnya tidak takut dengan adanya
kelas-kelas sosial, karena itu adalah realitas sehari-hari yang tampak di depan mata. Yang mereka takutkan adalah
jika perjuangan kelas itu muncul terbuka ke permukaan. Sebab itu artinya mayoritas rakyat yang tidak memiliki
akses terhadap kemakmuran atau yang terancam kehilangan sumberdaya yang mereka miliki mulai memiliki
kesadaran untuk melawan ketidakadilan yang menimpanya.

Bentuk-bentuk pembungkaman yang dilakukan kelas berkuasa bisa dalam rupa kekerasan bersenjata, pengunaan
kelompok-kelompok paramiliter atau yang kita kenal sebagai preman, serta ancaman pidana penjara. Bisa juga
dalam bentuk lunak melalui pengarusutamaan Politik Indentitas, dan yang saat ini paling mudah adalah dengan
menggunakan isu-isu keagamaan.

Dengan pengarusutamaan isu-isu identitas ini, maka tuntutan rakyat bukan pada mengubah struktur kepemilikan
yang timpang, melainkan tuntutan akan pengakuan bahwa identitasnyalah yang superior dibanding identitas
lainnya. Bukan menentang kebijakan penggusuran rakyat miskin di DKI, tapi berlomba menjadi penafsir paling
benar atas ayat-ayat suci. Konsekuensinya, mereka tidak peduli bahwa dalam identitas yang sama itu
sesungguhynya tidak pernah benar-benar sama, karena di sana ada tidak memiliki akses pada kemakmuran dan
ada yang menguasai sumberdaya kemakmuran itu. Itu sebabnya, kita jarang menemukan bahwa mereka yang
mengusung politik identitas ini mempertanyakan tindakan pemerintah dan korporasi yang merugikan atau menindas
rakyat banyak. Kalau toh ada pemihakan, maka pemihakan itu bersifat parsial, yakni menyasar pada kelompok
yang memiliki identitas yang sama dengannya.

Sederhananya, jika Politik Kelas konfrontasinya bersifat vertikal, yakni melawan kelas berkuasa dan kebijakan-
kebijakannya yang menindas rakyat miskin yang mayoritas. Sementara Politik Identitas konfrontasinya bersifat
horizontal, melawan sesamanya yang sama-sama ditindas oleh kelas berkuasa. Karenanya “mari kita tinggalkan
Politik Identitas ini dan memajukan Politik Kelas”.***
2/3
3/3

Anda mungkin juga menyukai