Anda di halaman 1dari 4

SATYA ARINANTO

Guru besar FH UI
Kompas, 6 Januari 2021

GLOBALISASI DAN TREN PASCA TRUMP

Pada 20 Januari 2021 yang akan datang, Joe Biden akan dilantik sebagai Presiden ke-46 Amerika
Serikat menggantikan Donald trump. Pergantian kepemimpinan di AS ini menimbulkan pertanyaan:
bagaimanakah wajah globalisasi Pasca-trump ?

Dalam pandangan Peterson Institute for International Economics, suatu lembaga riset bersifat
non profit dan norpatisan yang berkantor di Washington DC, globalisasi merupakan suatu kata yang
antara lain dipergunakan untuk menggambarkan interdependensi dari ekonomi, budaya, dan
kependudukan dunia; yang disebabkan oleh perdagangan dan pelayanan, teknologi, aliran investasi,
masyarakat, dan informasi yang melewati batas-batas negara. Banyak negara telah membangun
kemitraan ekonomi untuk memfasilitasi gerakan-gerakan tersebut dalam beberapa abad. Istilah
“Globalisasi” ini mencapai popularitasnya pasca perang dingin pada awal tahun 1900 –an, ketika
pengaturan-pengaturan kerja sama ini telah berhasil membentuk kehidupan sehari-hari yang modern
dewasa ini.

Sebagaimana diketahui, Dolad J Trump yang menjadi Presiden AS sejak 20 januari 20 17 telah
melemparkan semacam granat tangan ke dalam ekonomi global-di antaranya terkait pengaturan
pergerakan barang-barang, berbagai pelayanan, dan modal melewati perbatasan negara-negara dan
berupaya untuk menjamin stabilitas. AS merupakan negara yang berperan penting dalam pembentukan
sistem-sistem tersebut pada masa pasca-perang dunia II. Sebagian karena sistem-sistem tersebut pada
periode paruh kedua dari abad ke-20 telah ditandai berbeda dari periode paruh pertama, yang antara
lain diwarnai oleh peristiwa terjadinya dua perang dunia, yakni perang dunia I dan II, dan juga kejatuhan
besar di bidang keuangan dan industri paa 1929 dan sesudahnya. Atau yang dikenal sebagai Depresi
Besar (Great Depression).

DEPRESI BESAR

Untuk merespon kesulitan-kesulitan dalam masa Depresi Besar tersebut, Presiden ke-32
Franklin Delano Rososevelt (FDR) kemudian menerapkan suatu agenda domestik yang kemudian di kenal
sebagai politik New Deal, atau selengkapnya disebut The New Deal of Roosevelt. Sebagai seorang tokoh
pemimpin dalam partai politiknya, Partai Demokrat,dia kemudian membentuk New Deal Coalition, yang
diantaranya mendefinisikan liberalisme modern di AS dalam periode pertengahan ketiga dari abad ke-
20. Dia satu-satunya presiden AS yang menjabat hingga empat periode; yang periode ketiga dan
keempat dari pemerintahannya didominasi oleh peristiwa Perang Dunia II, yang kemudian berakhir tidak
lama setelah dia meninggal di kantornya. Setelah FDR meninggal, wakil-wakil dari sejumlah negara di
dunia kemudian berkumpul di San Francisco pada 26 juni 1945. Mereka bekerja keras merancang
pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melalui pembentukan Piagam PBB, menggantikan
lembaga sebelumnya, Liga Bangsa-Bangsa.
Disamping itu, pengalaman Presiden FDR yang menjabat hingga empat periode juga telah
membawa implikasi pembentukan Amandemen Pasal XXII Konstitusi AS yang kemudian membatasi
masa jabatan seorang presiden AS menjadi maksimal dua periode.

ANTI GLOBALISASI DI ERA TRUMP

Dalam bukunya, globalization and it’s Discontents Revisited: Anti-Globalization in the Era of
Trump, Joseph Eugene Stiglitz, ekonom terkemuka AS dan guru besar di Columbia University, New York,
berpendapat bahwa walau masih meninggalkan sisa-sisa asap, keadaan dunia pasca-Trump akan sangat
berbeda dengan pada masa sebelumnya. Dalam catatan peraih nobel bidang ekonomi pada 2001
tersebut, pada masa tiga perempat abad sebelum Trump, upaya-upaya yang di tempuh AS lebih
difokuskan pada pembentukan suatu dunia yang lebih terintegrasi secara global, yang melibatkan suatu
suatu rangkaian pasokan dunia, yang terbukti mampu menurunkan biaya barang-barang secara
signifikan. Namun, kehadiran Trump membuat masalah perbatasan negara menjadi suatu masalah yang
serius.

Pada awalnya sejumlah negara –terutama negara-negara berkembang menunjukkan respon


yang kurang menyambut terbuka terhadap globalisasi. Menurut Stiglitz, hal ini terutama terjadi di
negara-negara yang jumlah penduduknya mencapai sekitar 85 persen dari penduduk dunia, tetapi hanya
menguasai sekitar 39 persen penghasilan penduduk seluruh dunia. Khususnya, negara-negara Sub-
Sahara Afrika yang sering kali disebut sebagai wilayah yang dilupakan, dengan jumlah penduduk
diperkirakan akan mencapai 2,1 miliar jiwa pada 2050. Jika sebelumnya para penentang globalisasi
terutama datang dari perekonomian-perekonomian yang sedang bertumbuh atau negara-negara
berkembang, dewasa ini sentimen antiglobalisasi juga muncul dari kalangan kelas menengah atau kelas
di bawahnya di negara-negara industri maju. Presiden Trump mengambil keuntungan dari sentimen
ketidakpuasan terhadap globalisassi ini, dan kemudian mengkristalkan dan menggembar-gemborkannya
lewat kebijakan America First atau Make America Great Again. Ia secara eksplisit juga menyalahkan
globalisasi atas apa yang dihadapi para pekerja di wilayah-wilayah Amerika yang mengalami
kemunduran industri, atau lebih dikenal sebagai wilayah-wilayah America’s Rust Belt (Sabuk karat
Amerika)-terutama dengan ditanda-tanganinya apa yang disebutnya sebagai “perjanjian perdagangan
yang terburuk”.

America’s Rust Belt merupakan wilayah Northeastern dan Midwestern di AS yang telah
mengalami penyimpangan industri sejak sekitar tahun 1980-an. Sebagai respon terhadap kebijakan
Trump ini, muncul suatu upaya yang luar biasa, yaitu AS dan negara-negara maju kemudian
merumuskan aturan-aturan baru tentang globalisasi, dan mereka juga menggerakkan organisasi-
organisasi internasional yang mengatur hal ini. Presiden Trunp dengan mendapatkan dukungan dari
banyak pemilih di AS mengklaim bahwa perjanjian-perjanjian perdagangan global yang ditandatangani
AS selam ini, juga lembaga-lembaga lain yang dibentuknya, bersikap tidak adil terhadap AS. Padahal
negara-negara maju sendirilah yang selama ini telah menetapkan aturan-aturan terkait globalisasi
tersebut dan mereka juga yang mendominasi jalannya organisasi-organisasi internasional terkait rezim
perdagangan bebas yang banyak tidak menguntungkan bagi negara-negara berkembang.
BERAKHIRNYA GLOBALISASI ?

Dalam terbitan 16 Mei 2020, ketika pandemi Covid-19 baru berlangsung beberapa bulan,
majalah terkemuka The Economist menampilkan judul besar pada halaman sampulnya: “Goodbye
Globalization: The Dangerous Lure of Self-sufficiency”. Isinya mengkhawatirkan kecenderungan
berkembangnya sentimen dan era ketika negara-negara di dunia kini cenderung menjadi lebih
nasionalistis dan swasembada. Dalam observasi The Economist ,sebelum adanya pandemi Covid-19 pun,
globalisasi sebenarnya sudah berada dalam kondisi yang bermasalah. Sistem perdagangan terbuka yang
telah mendominasi ekonomi dunia selama beberapa dekade sebelumnya telah dirusak oleh kejatuhan
finansial global dan perang dagang AS-China. Kebijakan Lockdown yang ditempuh banyak negara dalam
upaya membendung penyebaran Covid-19 juga telah menutup perbatasan banyak negara dan membuat
kolapsnya perdagangan global. Sebagai contoh, jumlah penumpang di Bandara Heathrow, Inggris pada
2020 mengalami penurunan hingga 97 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ekspor mobil Meksiko
mengalami kejatuhan sekitar 90 persen pada April 2020 dan 21 persen dari rencana pengapalan
kontainer trans-Pasifik pada Mei 2020.

Dunia sebenarnya memiliki beberapa masa integrasi. Namun sistem perdagangan yang muncul
pada tahun 1990-an berjalan lebih jauh daripada yang pernah terjadi sebelumnya. China menjadi
semacam pabrik dunia dan perbatasan –perbatasan dibuka bagi masyarakat, perusahaan, modal, dan
informasi. Namun setelah kasus kejatuhan Lehman Brothers pada 2008, banyak bank dan perusahaan
multinasional menarik kembali dananya. Perdagangan dan investasi asing mengalami stagnasi relatif
terhadap produk domestik bruto (PDB), suatu proses yang disebut The Economist sebagai
slowbalisation. Kemudian datanglah Presiden Trump dengan perang dagangnya, yang menimbulkan
campuran kekhawatiran mengenai nasib lapangan kerja pekerja kerah biru dan kapitalisme autokratik
China dengan suatu agenda yang lebih luas terkait nasionalisme sempit dan resistensi terhadap aliansi
dagang. Dibawah Trump, biaya tarif yang dikenakan AS terhadap impor telah kembali ke level
tertingginya sejak 1993.

Efek dari berbagai hal tersebut, antara lain adalah negara-negara yang lebih miskin akan
semakin mengalami kesulitan untuk bertahan, dan negara-negara maju biaya hidup akan semakin tinggi.
Dunia yang retak ini akan membuat penyelesaian masalah global semakin berat, termasuk untuk
memulihkan ekonomi. Pada kondisi inilah muncul pertanyaan, sudah saatnyakah kita melambaikan
tangan perpisahan kepada keemasan era globalisasi ?

KECENDERUNGAN PASCA TRUMP

Kelompok populis, baik yang berada di negara-negara berkembang maupun di negara-negara


maju, mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap globalisasi. Padahal, hanya beberapa tahun
sebelumnya, para politisi yang telah memiliki kedudukan kuat menjanjikan bahwa globalisasi akan
embuat kesejahteraan setiap orang jadi lebih baik. Sebagimana diungkapkan oleg Stiglitz, walaupun
masih meninggalkan sisa-sisa asap , keadaan dunia pasca-Trump akan sangat berbeda dengan amsa
sebelumnya . Saat ekonomi dibuka kembali, aktivitas-aktivitas akan pulih. Namun jangan berharap akan
kembalinya dengan cepat suatu dunia yang riang dengan gerakan yang lebih bebas. Pandemi Covid-19
akan memotilasi pergerakan manusia dan migrasi, dan berkubu pada suatu bias yang mengarah kepada
suatu kemandirian tiap-tiap perekonomian. Kebijakan yang lebih berorientasi kedalam semacam ini akan
memperlemah pemulihan ekonomi global, dan membuat ekonomi rentan dan menyebarkan
ketidkstabilan geopolitik.

Dalam Tempo sekitar 2,5 abad ini, hasil-hasil penelitian dalam bidang ekonomi, yang di mulai
dari Adam Smith pada akhir abad ke-18 dan David Ricardo pada awal abad ke-19, menyimpulkan bahwa
globalisasi akan menguntungkan bagi semua negara. Jika kesimpulan yang mereka nyatakan benar,
bagaimana kita menjelaskan mengapa banyak penduduk baik di negara-negara miskin maupun
berkembang memperlihatkan sikap permusuhan terhadapnya? Mungkinkah bahwa bukan hanya para
politisi, tetapi juga para ekonom, telah melakukan kesalahan dalam mengimplementasikan globalisasi ?.
Ketidakpuasan-ketidakpuasan baru terlihat muncul dengan lebih kuat di AS dalam era kepresidenan
Trump, sebagian karena AS telah melakukan hal-hal yang lebih besar-termasuk masalah ketidakadilan
daripada negara-negara lain di dunia. Adanya berbagai kesenjangan hasil-hasil penelitian Adam Smith
dan David Ricardo dengan realitas pancapaian tujuan globalisasi paa saat ini membuat kita belum bisa
memastikan bagaimana globalisasi akan tetap berperan pada era pasca-Trump. Semoga kita masih bisa
berharap akan terciptanya tata dunia baru (the new world order); dan bukannya the new world disorder.

Anda mungkin juga menyukai