Anda di halaman 1dari 6

Krisis Malaise: Depresi Besar yang Pernah

Menghancurkan Amerika
Ilustrasi para pengangguran yang mencari pekerjaan akibat Depresi Besar. tirto.id/Sabit

Oleh: Faisal Irfani - 29 Oktober 2018


Dibaca Normal 3 menit
Badai menggempur.
Kering kerontang dapur
para penganggur.
tirto.id - Dalam film The Big Short, diceritakan Amerika Serikat menghadapi gejolak ekonomi yang parah.
Nilai saham anjlok, kredit macet, perusahaan bangkrut, hingga ketidakmampuan masyarakat dalam
memenuhi tabungan atau menyusun rencana di masa depan. Semua dilanda kepanikan; antara cemas
dan takut menyaksikan negerinya bakal berantakan. Akibat ekspektasi ataupun spekulasi yang terlampau
jauh, tahun itu menjadi saksi bagaimana sebuah wilayah adidaya macam Amerika Serikat mampu terpuruk
ke jurang kedalaman.

Namun, apakah resesi 2008 merupakan riwayat kelam perekonomian Amerika Serikat? Sayangnya tidak.

Pada dekade 1920-an, Amerika Serikat pernah mengalami krisis perekonomian. Publik menyebutnya masa
Depresi Besar (The Great Depression). Sejarah kelam tersebut berlangsung selama 10 tahun, mulai dari
1929 sampai 1939 saat jabatan pemerintahan dipimpin oleh Herbert Hoover.

Depresi Besar merupakan pukulan telak bagi perekonomian Amerika mengingat sepanjang 1920 ekonomi
mereka berkembang begitu pesat. Ekonomi tumbuh pesat, kekayaan negara meningkat lebih dari dua kali
lipat sehingga periode tersebut sempat disebut sebagai “The Roaring Twenties”. Ekonomi yang tumbuh
pesat memicu spekulasi besar-besaran di pasar saham. Indeks saham melejit hingga mencapai puncaknya
pada Agustus 1929.

Mimpi buruk Amerika Serikat mulai datang pada September 1929, ketika harga saham secara perlahan
terus turun. Puncaknya terjadi pada 24 Oktober 1929 ketika terjadi pelepasan saham-saham secara masif.
Sebanyak hampir 13 juta lembar saham berpindah tangan dalam waktu sehari. Indeks saham jatuh sangat
dalam hanya dalam waktu sehari. Dow Jones Industrial Average (DJIA) jatuh hingga 11 persen dalam
sehari. Peristiwa itu disebut publik dengan “Black Thursday”.

Lima hari kemudian, pada 29 Oktober 1929, tepat hari ini 89 tahun lalu, krisis di bursa saham mencapai
titik terparah. Enam belas juta lembar saham terjual dalam suasana kepanikan luar biasa. Orang-orang
menyebut kejadian ini dengan "Black Tuesday" dan menjadi salah satu hari yang paling dikenang dalam
sejarah ekonomi dunia.

Inilah awal mula dari depresi besar yang lazim dikenal sebagai "Krisis Malaise".

Krisis Ekonomi dan Sosial


Kepercayaan konsumen lenyap setelah jatuhnya pasar saham. Mengutip Michael Bernstein di
bukunya The Great Depression: Delayed Recovery and Economic Change in America, 1929-1939  (1987)
jatuhnya pasar saham menyebabkan penurunan daya beli, menyusutnya investasi, guncangan sektor
industri, dan merebaknya pengangguran. Merebaknya pengangguran menyebabkan kredit macet
meningkat, dan penyitaan aset melonjak.

Sementara itu, produksi negara turun. Petani tidak mampu memanen hasil ladang mereka dan terpaksa
membiarkannya membusuk di ladang. Di lain sisi, jumlah tunawisma merebak di kota-kota Amerika. Tak
ada harapan, sedangkan isi perut terserang kelaparan.

Kondisi perbankan juga tak jauh beda. Pada musim gugur tahun 1930, gelombang pertama melanda
perbankan. Masyarakat yang kehilangan kepercayaan menarik dananya di perbankan secara besar-
besaran serta memaksa bank untuk melikuidasi pinjaman guna melengkapi cadangan kas. Belum pulih
seutuhnya, sapuan berikutnya terjadi pada musim semi dan gugur di tahun 1931 sampai 1932. Puncaknya,
pada tahun 1933, banyak bank tutup.

Pemerintah Hoover bukannya lepas tangan. Dalam menghadapi situasi yang mengerikan itu, Hoover
berupaya memberi solusi berupa dukungan kepada bank-bank lewat pinjaman pemerintah. Harapannya,
setelah pinjaman diberikan bank mulai dapat beroperasi normal dan kembali mempekerjakan karyawan.

Harapan boleh diusung, realita yang berbicara lain. Bukannya memberikan perbaikan kondisi, krisis justru
semakin menggeliat parah. Dalam rentang tiga tahun, jumlah pengangguran malah bertambah banyak.
Gene Smiley, profesor dari Marquette University menyatakan lewat tulisannya di Library of Economics and
Liberty, pada tahun 1930 angka pengangguran berada di 4 juta orang. Kemudian meningkat menjadi 6 juta
pada tahun 1931 dan di tahun 1933, jumlahnya mengganas di sekitar 15 juta pengangguran.

Peran Franklin D. Roosevelt

Pergantian presiden kepada Franklin D. Roosevelt memunculkan harapan akan berakhirnya krisis. Dalam
100 hari pertama kerjanya, Roosevelt mendorong Kongres untuk meloloskan undang-undang baru yang
disebut sejarawan Lawrence Davidson dengan “kapitalisme berjaring pengaman subsidi.”

Langkah Roosevelt terlihat lebih konkret jika dibandingkan dengan Hoover. Hoover, seperti yang tertulis
dalam artikel Kyle Wilkison di Collin County Community College District berjudul “The Great Depression
and the New Deal,” tidak berbuat banyak untuk menghentikan krisis. Hoover beranggapan pasar bebas
akan mengoreksi sendiri kesalahan yang ada. Dia juga khawatir bahwa bantuan ekonomi akan membuat
orang-orang malas bekerja. Motivasi terbesar Hoover ialah menjaga agar anggaran dapat seimbang. Saat
Kongres menekan Hoover untuk mengambil tindakan, ia justru memfokuskan kebijakan pada kestabilan
bisnis; sesuatu yang tidak memberi signifikansi di masa krisis.

Kongres akhirnya meloloskan rancangan program yang diajukan Roosevelt. Program yang bernama “New
Deal” ini berisi 47 program yang dibagi dalam tiga tahapan eksekusi dari 1933 sampai 1939. Program-
program yang tertera dalam “New Deal” meliputi penutupan dan pemeriksaan kepada semua bank agar
dapat sehat secara finansial, pemotongan gaji pegawai pemerintah maupun militer sebesar 15%,
mempekerjakan sekitar 3 juta orang selama 10 tahun untuk menggarap lahan publik, menukar emas
dengan mata uang dolar, mendanai pekerjaan di bidang pertanian, konstruksi, pendidikan, maupun
kesenian, dan juga memberikan pinjaman pada para petani untuk menyelamatkan ladang ternak dari
penyitaan.

Kebijakan-kebijakan yang diluncurkan Roosevelt melalui “New Deal” perlahan memperlihatkan hasil. Pada


tahapan pertama, pertumbuhan ekonomi Amerika mencapai angka 10,8%. Lalu, pada tahapan kedua,
pertumbuhan ekonomi turun meski masih di angka tinggi yakni 8,9%. Pada tahun 1936, pertumbuhan
ekonomi kembali naik dan menyentuh angka 12,9%.

Walaupun demikian, konsistensi hasil dari kebijakan “New Deal” tak berjalan mulus. Setelah menunjukkan
tanda pemulihan yang baik di musim semi 1933 hingga 1936, krisis kembali muncul di tahun 1937 saat
Federal Reserve memutuskan untuk meningkatkan persyaratan guna memperoleh cadangan uang.
Terlebih, saat itu Roosevelt juga memotong pengeluaran pemerintah yang membuat ekonomi mengalami
kontraksi di angka 3,3%.

Terlepas dari hasil yang dipetik Roosevelt, sejak mula berlakunya “New Deal” mendapati banyak kritikan.
Hal yang paling jelas ialah ketika penerapan “New Deal” dianggap terlalu sosialis atau tidak mencerminkan
nilai Amerika pada kebiasaannya. Kritikan tersebut diungkapkan para pengusaha di tahun 1934.
Sedangkan Hoover, presiden terdahulu mengatakan kebijakan “New Deal” akan membawa Amerika dalam
gaya fasisme yang dijalankan Mussolini atau Hitler.

Perdebatan lain muncul menyoal bagaimana masa Depresi Besar yang berjalan satu dekade berakhir.
Apakah karena efek kebijakan Roosevelt atau faktor lainnya seperti kondisi Perang Dunia II yang hadir tak
jauh dari waktu itu. Robert Higgs, dalam bukunya berjudul Depression, War, and Cold War: Challenging
the Myths of Conflict and Prosperity  menantang kesimpulan berakhirnya masa Depresi Besar disebabkan
oleh kondisi perang. Menurutnya, walaupun belasan juta warga Amerika turut dalam peperangan, hal
tersebut tidak mengurangi tekanan yang disebabkan masa krisis.

Burton W. Fulson dalam tulisannya yang dimuat di Foundation for Economic Education menyatakan perang
hanya menunda masalah pemulihan akan krisis. Asumsi menggunakan dalil peperangan perlu
dipertanyakan lagi mengingat membangun fasilitas guna memenangkan peperangan juga memerlukan
pendanaan yang banyak. Dan pendaan tersebut bakal membebani anggaran negara.

Sedangkan Pew Research Center dalam penjelasannya menyebutkan dari masa krisis Depresi Besar
terdapat dua pelajaran yang bisa diambil. Pertama, program sosial dan kontrol atas perbankan yang
dilakukan “New Deal” membuat Amerika mendapat manfaat selama beberapa dekade. Kedua,
kepercayaan masyarakat Amerika selepas krisis menuntun ke arah penguatan institusi keuangan guna
melawan tantangan krisis ekonomi di masa mendatang.

Entah apakah program “New Deal” berhasil mengatasi krisis atau tidak, yang jelas setiap negara rentan
terhadap bencana ekonomi seperti Amerika.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 10 Agustus 2017 dengan judul "Depresi Besar yang Pernah
Menghancurkan Amerika". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik
Mozaik.

Baca juga artikel terkait KRISIS EKONOMI atau tulisan menarik lainnya Faisal Irfani


(tirto.id - Ekonomi)

Penulis: Faisal Irfani


Editor: Ivan Aulia Ahsan

Anda mungkin juga menyukai