PERUBAHAN EKONOMI DUNIA: IMPLIKASINYA TERHADAP POLA
PENGELOLAAN ORGANISASI Semenjak tentara Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat menjatuhkan bom atom ke kota Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945, secara formal berakhir sudah perang dunia kedua yang memakan banyak korban, baik jiwa maupun harta benda. Berakhirnya perang dunia kedua sekaligus menandai berakhirnya kolonialisasi terhadap bangsa-bangsa di dunia dan dimulainya tatanan bara masyarakat dunia. Mereka mulai berupaya untuk menata kembali tata kehidupan baru baik dalam bidang politik, keamanan, ekonomi maupun bidang kehidupan lain. Sayangnya upaya tersebut tidak sepenuhnya terealisasi karena beberapa alasan. Pertama, ternyata banyak negara beru tidak siap untuk mengatur diri sendiri karena minimnya infrastruktur sebagai sarana untuk menjadikan negara tersebut sebuah negara yang mandiri. Akibatnya kebergantungan pada negara lain tetap tidak bisa dielakkan. Kedua, masih banyak negara maju yang secara tradisional menguasai negara lain tetap tidak mau kehilangan kekuasaannya terutama karena alasan ekonomi dan politik. Ketiga, karena dalam perang dunia kedua Amerika Serikat merupakan negara yang memenangi perang tersebut maka secara naural Amerika Serikat juga ingin menjadi pemegang kendali dan pemimpin baru dunia. Keinginan Amerika Serikat menjadi pemegang kendali dan pemimpin baru dunia tampaknya tidak bisa dihindarkan karena Amerika Serikat memiliki prasyarat yang dibutuhkannya meski pada saat yang sama Uni Soviet juga berupaya untuk menjadi kekuatan pengimbang. Akibatnya terjadilah dua blok-blok Barat dipimpin Amerika dan Blok Timur dipimpin Uni Soviet. Dalam bidang ekonomi, Amerika juga menjadi negara terdepan yang gencar menyuarakan pentingnya liberalisasi ekonomi dunia. Selain semuanya itu, Amerika tetap berpengaruh dalam aspek kehidupan lain bagi masyarakat bagi dunia seperti pendidikan, sosial dan budaya. Perang dunia kedua menyisakan korban jiwa, raga dan penderitaan-penderitaan lain, pada akhirnya juga menempatkan pemenangnya - Amerika Serikat menjadi negara super power yang kebijakan-kebijakannya sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dunia. Khusus terkait dengan aspek kehidupan ekonomi paska perang dunia kedua, bisa dikatakan bahwa Amerika adalah satu-satunya negara yang survave secara ekonomi. Hampir tidak ada satu negara pun, apalagi negara-negara yang kalah perang, yang mampu mengimbangi kekuatan ekonomi Amerika. Itu pula yang menjadi sebab mengapa negara ini kemudian menjadi pengatur sistem perekonomian dunia. Dengan kekuatan ekonominya, Amerika misalnya berinisiatif dan banyak memberi bantuan ekonomi kepada negara-negara lain dalam rangka pemulihan ekonomi dunia yang hancur akibat perang dunia. Salah satu bantuan yang diterima pemerintah Indonesia misalnya proyek Colombo Plan. Selain itu, Amerika juga memberi bantuan kepada pemerintah di negara-negara Eropa. Bahkan Jepang-negara yang dikalahkan dalam perang dunia kedua juga memperoleh bantuan ekonomi Amerika Kemauan dan kemampuan Amerika membantu pemulihan ekonomi dunia sesungguhnya tidak lepas dari keinginan dan upaya negara tersebut untuk mempertahankan sistem dan kekuatan ekonominya Tanpa dukungan banyak negara bisa dikatakan bahwa keinginan tersebut hampir tidak bisa tercapai. Dengan kata lain, salah satu alasan mengapa Amerika membantu negara-negara lain, disamping alasan kemanusiaan, karena Amerika juga ingin mengekspor sistem dan tata cara pengelolaan ekonomi yang dianggap benar menurut mereka. Akibatnya sangat tidak mengherankan jika negara-negara lain, utamanya yang memperoleh bantuan Amerika, juga diajak untuk mengelola sistem perekonomiannya dengan cara Amerika termasuk cara pengelolaan organisasi perusahaannya. POLA PENGELOLAAN ORGANISASI PERUSAHAAN ALA AMERIKA Dengan didukung oleh perusahaan-perusahaan berskala besar (Chandler Jr. 1959), berakhirnya perang dunia kedua menjadikan Amerika seolah-olah sebagai negara tunggal yang mampu memproduksi barang-barang kebutuhan dunia. Kondisi perekonomian yang monopolistik ini secara ekonomis menyebabkan para produsen memiliki burgaining power yang lebih kuat banding posisi para konsumen. Itulah sebabnya produsen cendrung mendikte para konsumen. Mereka bisa dengan leluasa menentukan jenis dan kualitas produk menentukan kemana produk tersebar harus dijual serta menetapkan harga jualnya. Sementara pihak konsumen dengan posisi tawar yang jauh lebih lemah seolah-olah tidak boleh menuntut terlalu banyak, tidak boleh demanding (cerewet) dan hanya bisa menerima apa yang ditawarkan produsen. Pola hubungan seperti ini akhirnya menciptakan berlakunya prinsip supply creates its we demand-setiap produk yang dihasilkan pasti laku terjual tanpa harus bersusah payah memasarkannya. Akibat langsung dari penerapan prinsip semacam ini, secara psikologis banyak perusahaan Amerika yang memiliki kecenderungan inward looking hanya mau menghasilkan produk terbaik menurut ukuran mereka bukan menurut keinginan pemakai produk. Memprediksi keuntungan merupakan dorongan bagi para produsen untuk terus berupaya meningkatkan kinerja dengan cara meningkatkan efisiensi. perhatian lebih banyak ditujukan pada persoalan internal perusahaan yakni bagaimana membuat sistem produksi lebih efisien dalam rangka untuk meningkatkan laba atau paling tidak menekan harga jual lebih murah. Upaya ini biasanya dilakukan dengan memperbesar skala ekonomi (nronomic of scale) dan skop ekonomi (economic of supe). Dengan economic of sale berarti perusahaan berupaya memperbesar volume produksi dengan harapan bisa membeli bahan baku lebih murah sehingga biaya produksi per unit produk juga lebih murah. Sedangkan economic of scope merupakan tindak lanjut dari economic of scale yakni memperluas jaringan atau jangkauan pemasaran untuk mengimbangi besarnya volume produksi yang mereka buat. Secara historis pola ini seperti dikatakan oleh Christopher Schmitz (1993) telah berlangsung sejak pertengahan abad 19. Pola ini semakin membudaya dan menjadi way of life para pelaku bisnis Amerika setelah Frederick Taylor (1911) mengembangkan teorinya "cientific management" yang akhirnya menjadi landmark dalam pengelolaan perusahaan-perusahaan Amerika. Dengan scientific management dan didukung oleh lingkungan bisnis yang tanpa gejolak dan tingkat efisiensi yang cukup unggi perusahaan-perusahaan Amerika bukan saja mampu memasarkan produk- produknya ke pasar domestik tetapi juga ke pasar luar negeri. Tidak bisa dipungkiri bahwa hadirnya perusahaan-perusahaan dan barang-barang Amerika di negara-negara lain di samping memberikan dampak positif sekaligus juga dampak negatif bagi negara tujuan. Dampak positifnya, secara ekonomis kebutuhan mereka bisa terpenuhi. Sedangkan dampak negatifnya adalah menyebabkan terjadinya perubahan tata nilai dan kehidupan sosial negara tujuan. Hal ini disebabkan karena bersamaan dengan banyaknya perusahaan dan barang- barang buatan Amerika di luar negeri, Amerika juga sekaligus memperkenalkan gaya hidup, pendidikan, budaya dan aspek kehidupan lainnya. PERUBAHAN DALAM POLA PENGELOLAAN ORGANISASI PERUSAHAAN Kekalahan Jepang pada perang dunia kedua menyebabkan negara tersebut hancur bukan saja secara ekonomi tetapi juga aspek-aspek kehidupan lain. Kehancuran ini diperparah oleh kondisi geografis negara tersebut yang tidak menguntungkan. Dengan jumlah penduduk yang melebihi 100 juta jiwa, Jepang pasca perang dunia kedua menghadapi berbagai macam kesulitan utamanya masalah ekonomi mengingat sebagian besar wilayah Jepang terdiri dari lautan, sementara daratannya tidak banyak mengandung sumberdaya alam yang bisa digunakan untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Dalam upayanya untuk memulihkan perekonomian Jepang, pemerintah Jepang dengan sangat terpaksa melakukan rekonstruksi bidang ekonomi yang dalam pelaksanaannya dipandu oleh pemerintah Amerika Serikat. Perang dunia kedua (1945-1950) perusahaan-perusahaan Jepang harus mengikuti semua aralian pemerintah (companies follow over ament guidance). Namun karena kebijakan pemerintah Jepang pada waktu itu tidak lepas dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah Amerika, tidak bisa dihindari terjadinya Amerikanisasi pola pengelolaan perusahaan Jepang Situasi ini terjadi sampai akhir tahun 1960- an. Titik balik: mulai terjadi pada awal tahun 1970-an. Salah satu penyebabnya seperti dikatakan diatas karena krisis minyak dunia yang menyebabkan perusahaan-perusahaan Amerika mulai berguguran Di saat yang sama perusahaan Jepang tidak saja bita bertahan hidup namun juga mampu mengekspor produknya ke Amerika dan sekaligus membaya serta pola manajemen Jepang ke Amerika. Hasil kajian McKenzie menunjukkan bahwa kemampuan Jepang bertahan tidak lepas dari peran budayanya yang begitu kukuh. Budaya bagi bangsa Jepang tidak saja menjadi landasan bagi bangsa Jepang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari tetapi juga menjadi landasan dalam, cara mengelola kegiatan organisasi perusahaan (Van Bremen and Martinez, 1995). Budaya Jepang paling tidak mengajarkan bahwa untuk menjadi bangsa yang kuat, bangsa Jepang tidak boleh bercerai berai melainkan harus bersatu dan tidak boleh saling menyalahkan. orang Jepang misalnya lebih suka menggunakan kata "kita" bukan "saya" sebagai wujud dari kolektivitas bangsa. Demikian juga dibentuknya Sogo shosha dan Kementrian Perdagangan dan Industri Internasional (MITI-Minister of International Trade and Industry) bisa dikatakan merupakan cerminan dari implementasi budaya Jepang. Tidak pelak, keberhasilan perusahaan-perusahaan Jepang mengintegrasikan nilai-nilai budaya setempat ke dalam kehidupan organisasi yang mereka kelola mendapat respon dari berbagai kalangan, utamanya para konsultan dan akademisi Amerika. Meski sesungguhnya Chester Barnard pada tahun 1938 sudah mensinyalkan pentingnya mengintegrasikan budaya ke dalam kehidupan organisasi dan Haire dkk sudah menulis tentang comparative management pada tahun 1967, namun baru tahun 1970-an setelah Jepang berhasil membangun kembali perekonomiannya para konsultan dan akademisi Amerika mulai secara intens mempelajari peran budaya dalam kehidupan organisasi. Selain perusahaan konsultan McKenzie yang mengirim stafnya-Richard Pascale ke Jepang untuk belajar manajemen Jepang, akademisi Amerika mulai secara intens mempelajari manajemen Jepang William Ouchie misalnya mengemukakan Theory "Z", Tom Peters and Richard H. Waterman Jr. menulis "In search of excellence" yang semuanya menitikberatkan pentingnya para manajer memahami budaya dalam konteks manajemen. Di saat yang hampir bersamaan seorang futurist Alvin Toffler menyatakan bahwa dunia sekarang sedang memasuki gelombang ketiga (third wave) yaitu era information society di mana nilai-nilai baru dibawa oleh arus dan gelombang informasi melalui teknologi dan media global sampai ke pelosok dunia termasuk Indonesia. Itulah sebabnya sejak tahun 1980-an orang ramai membicarakan proses pembudayaan nilai-nilai baru, membicarakan konflik budaya dan mempertahankan bagaimana menjaga eksistensi budaya. Walhasiil, semua tulisan-tulisan tersebut pada akhirnya mengubah arah cara pengelolaan organisasi perusahaan dari semula serba formal dan scientific yang dianggap bebas nilai (value free) menuju ke pengelolaan perusahan yang culture based.
Pendekatan sederhana terhadap krisis ekonomi di Yunani: Sebuah perjalanan untuk menemukan krisis ekonomi Yunani yang dimulai pada tahun 2008 dan menggemparkan dunia. Penyebab dan implikasinya