Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH PEREKONOMIAN JEPANG

Amerika mengalami tingkat depresi yang sangat tinggi pada tahun 1930-an karena
kehancuran sistem perekonomiannya. Dan hal itu memberikan efek domino yang sangat
berpengaruh terhadap terjadinya krisis ekonomi negara-negara dunia., termasuk Jepang.
Ekonomi dapat dipulihkan kembali semenjak ditetapkannya Manchuria sebagai “garis hidup
Jepang” yang juga merupakan awal dari gerakan militerisme dan kudeta terhadap perdana
Menteri yang biasa dikenal dengan istilah Go Ichi Go Jiken (15 Mei 1932), sehingga
pemerintahan Jepang dikuasai oleh militer dan Jepang menyatakan keikutsertaannya dalam
Perang Dunia II.

Di Jepang krisis ekonomi ditandai dengan banyaknya perusahaan dan pabrik yang
bangkrut dan Jepang pun dipenuhi dengan pengangguran. Barang-barang manufaktur tidak dapat
terjual di pasar domestik, sehingga terpaksa dilemparkan ke luar negeri dengan harga yang
murah. Harga sutra mentah dan beras yang merupakan andalan ekonomi Jepang sejak zaman
Meiji, nilainya jatuh secara drastis. Selain itu seringkali terjadi pemogokan buruh kerja dan
perlawanan petani. Kondisi ini memberi seperti memberikan kesempatan bagi berkembangnya
ideologi sosialis1.

Pada saat itu pemerintah militer Jepang percaya bahwa Jepang tidak akan mampu
mengalahkan Cina, karena Amerika dan Inggris selalu mengirimkan bantuan ke Cina melalui
Asia Tenggara. Dalam kondisi ini Jepang berencana memutuskan hubungan Inggris dan Amerika
dengan cara menduduki Negara-negara Asia Tenggara. Jepang menerapkan cara yang pernah
digunakan oleh Jerman dalam mengeksploitasi bahan baku negara-negara lain dan merancang
kebijakan dialihkan ke selatan sebagai upaya memperoleh bahan baku di kawasan Asia
Tenggara.

Ketika Hideki Tojo menjadi perdana menteri, ia tetap melakukan negosiasi dengan
Amerika. Akan tetapi dalam kenyataannya Jepang juga sedang meningkatkan kekuatannya untuk
melawan Amerika Serikat. Hal itu dibuktikan dengan adanya penyerangan yang dilakukan oleh
Amerika Serikat ke Pearl Harbour secara tiba-tiba pada tanggal 8 Desember 1941. Hal tersebut

1
W.G. Beasley, Pengalaman Jepang: Sejarah Singkat Jepang, penerjemah Masri Maris (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003), hlm. XXX
merupakan titik awal terjadinya Perang Pasifik dengan hasil tidak menguntungkan bagi pihak
Jepang dengan kekalahan di berbagai medan pertempuran seperti di Midway, Gudalcanal, Birma
dan lain sebagainya. Puncak kertepurukan Jepang lebih didapatkan ketika dijatuhkannya bom
atom di Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945.
Keadaan tersebut menyebabkan Jepang harus menandatangani penyerahan tanpa syarat dalam
Deklarasi Postdam kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 19452.
Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II merupakan awal keterpurukan yang dihadapi
oleh Jepang. Raja yang sama pun tetap memerintah dan tetap menggunakan gelar kerajaan yang
sama, Raja Showa (Hirohito). Dalam lingkup lebih luas, pengaruh-pengaruh dari luar Jepang
seperti politik, ekonomi dan budaya lebih banyak berasal dari Amerika Serikat daripada Eropa
yang menyumbangkan pada perkembangan suatu weltanschauung nasional yang berpusat kepda
perdagangan baik di luar taupun dalam negeri.3

Begitu juga dengan keadaan perekonomian Jepang yang sedang dilanda kehancuran.
Pabrik-pabrik industri tidak bekerja, berjuta-juta orang menganggur karena dibebaskan tugas
kemiliteran demobilisasi. Pertanian tidak dapat menghasilkan cukup untuk memberi makanan
penduduk, meski ada pembagian jatah yang sangat ketat namun tetap saja ada penyelewengan
terhadap makanan tersebut mengakibatkan banyak penduduk yang kelaparan.
Kebangkitan Jepang dari kehancuran dahsyat dalam Perang Dunia II bukan karena
keajaiban, melainkan diperoleh melalui semangat juang yang tinggi, disiplin ketat, dan kerja
keras yang dilandasi nilai-nilai luhur. Setelah sekian periode lamanya, Jepang pun memutuskan
untuk bangkit. Jepang berusaha untuk membangun kembali semangat bangsa Jepang terutama
perekonomian, rakyatnya mencari peluang kerja baru untuk menghasilkan produk bermutu.
Caranya, mereka mendatangkan para ahli dari Amerika Serikat dan hasilnya diolah kembali oleh
ahli Jepang agar sesuai dengan aspek budaya mereka.
Banyak pengimportan buku yang dilakukan oleh Jepang dan kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Jepang. Selain itu mereka juga banyak mengirim tim pengusaha Jepang ke

2
Ibid, hlm. 34.
3
Ibid, hlm. 325
Amerika dan belajar beragam disiplin ilmu. Budaya ulet dalam bekerja menjadi ciri khas mereka
bahkan mereka merasa malu apabila pulang kerja lebih cepat4.
Pada tahun 1947, Jepang memberlakukan Konstitusi Jepang yang baru. Berdasarkan
konstitusi baru tersebut, Jepang ditetapkan sebagai negara yang menganut paham pasifisme dan
mengutamakan praktik demokrasi liberal. Pendudukan AS terhadap Jepang secara resmi berakhir
pada tahun 1952 dengan ditandatanganinya Perjanjian San Francisco. Walaupun demikian,
pasukan AS tetap mempertahankan pangkalan-pangkalan penting di Jepang, khususnya di
Okinawa.
Pasca Perang Dunia II Jepang mengalami perubahan politik yang sangat signifikan, hal
itu ditandai dengan munculnya beberapa partai politik diantaranya partai sosialis, demokratis dan
liberal. Penetrasi ideologi melalui sistem perpolitikan dijadikan sebagai jalan masuk untuk
mengambil simpati rakyat yang trauma dengan sistem perpolitikan sebelumnya. Sebelum terjadi
perubahan sistem pada tahun 1955 dan 1960, Yoshida Shigeru menggunakan kekuatan di bawah
Amerika dan ikatan perjanjian San Fransisco. Namun kebijakan tersebut mendapat tantangan
dari para oposisi yang mulai melakukan pergerakan untuk kembalinya ke politik internasional
sehingga berimplikasi terbentuknya partai Demokrasi Jepang tahun 1954 yang dipimpin oleh
Hatiyama Ichiro.
Pemulihan ekonomi sudah berjalan cukup jauh dan perekonomian dunia sedang berada di
periode pertumbuhan yang cepat. Jepang saat itu sudah mulai memiliki pasar dalam negeri yang
berkembang pesat. Pada tahun 1960 laju ekonomi Jepang mencapai 13,2 persen, laju
pertumbuhan ini terus dipertahankan selama sepuluh tahun berikutnya5.
Selain itu Jepang juga mengusahakan bantuan melalui diplomasi luar negerinya untuk
mendapat dukungan dari negara lain. Ozawa Ichiro menyatakan bahwa setelah Perang Dunia II
Jepang menetapkan lima pokok garis besar politik luar negerinya sebagai upaya menstabilkan
hubungan internasional yang berlangsung antar negara-negara di seluruh kawasan internasional,
yaitu:
1. Mempertahankan kepentingan nasionalnya, yaitu menjadikan tujuan dasar dari politik luar negeri
Jepang adalah untuk kepentingan negeri Jepang sendiri.
4
Kebangkitan Dan Kemakmuran Jepang. Bekerja Keras Berlandaskan Nilai-Nilai Luhur,
http://www.sainsindonesia.co.id/index.php?option=comcontent&view =article&id=59:kebangkitan-dan-
kemakmuran-jepang-bekerja-keras-berlandaskan-nilai-nilai-luhu r&catid=33&Itemid=138, diakses pada 22 April
2014
5
Ibid, hlm. 334-335.
2. Partisipasi global, artinya sebagai ngara maju Jepang memiliki tanggung jawab untuk ikut serta
membangun kerjasama internasional yang tidak sebatas pada permasalahan ekonomi saja tetapi
juga politik.
3. Tujuan-tujuan diplomatik, yaitu menjadikan Jepang sebagai negara yang kuat dan memiliki
tujuan diplomasi yang mapan dengan cara mengembangkan kemampuan strategi untuk
mencapainya.
4. Aliansi Amerika Serikat-Jepang, yaitu Jepang harus kembali mempertahankan hubungannya
dengan AS sebagai tonggak untuk mewujudkan keamanan dan kemampuan strategi untuk
mencapainya.
5. Kawasan Asia-Pasifik, yaitu Jepang harus mengakui arti penting kawasan Asia Pasifik. Dimana
hal tersebut merupakan bentuk diplomasi “pilar kembar” Jepang sebagai anggota dalam
komunitas Asia-Pasifik dan juga kelompok negara-negara demokrasi maju6.

Pada tahun 1970-an Jepang memperoleh julukan “Economic Animal” karena resesi yang
cukup panjang serta kesalahan atas estiminasi dalam penentuan arah perkembangan di berbagai
sektor industri, nampak sedang menyusun kembali kekuatan dengan menempuh pola baru dalam
struktur organisasi perusahaannya yang tidak terlepas dari nilai-nilai kebudayaannya disebut
dengan istilah “Economic Buble” sekitar tahun 1988-1992.

SCAP dibawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, dengan sangat cepat melakukan
demiliterisasi dan bahkan mengupayakan terlaksananya demokratisasi di Jepang secepat
mungkin, langkah berikutnya diciptakan langkah deklarasi tentang “Initial Post Surrender Policy
For Japan” pada tanggal 29 Agustus 1945, yang intinya adalah kebijaksanaan untuk melakukan
liquidasi dimulai pada bulan September 1945 dengn tujuan utamanya adalah melikuidasi
“Holding Company” dari lima buah zaibatsu yaitu Mitsui Honsha, Mitshubisi Honsha,
Sumitomo Honsha, Yasuda Hozensha dan Fuji Sangyoo. Giliran berikutnya lebih dari 30
Holding Company Liquidation Commission (HCLC) yang dibentuk oleh sekutu. Kemudian lebih

6
Rina Sukmara dan Yusy Widarahesty, Perkembangan Diplomasi LUar Negeri Jepang Di ASEAN Pasca Perang Dunia
II (Studi Tentang Sejarah Diplomasi Jepang Dari 1970-1997), (Jakarta: Prosiding Bidang Penelitian Bidang Ilmu
Sosial dan Humaniora, 2011), hlm. 283.
drastis lagi adalah kekayaan darri sekitar 50 orang yang terlibat keluarga zaibatsu dibekukan
bahkan harus menyerahkan saham-sahamnya kepada HCLC. Baru pada tanggal 3 Mei 1947
dibubarkan zaibatsu.
Meskipun konstitusi baru Jepang telah dibentuk ternyata langkah yang telah dilakukan
oleh MacArthur ini tidak berhasil karena terjadinya reinkarnasi raksasa zaibatsu menjadi raksasa
yang termodifikasi yaitu Keiratsu. Tepat sekali kiranya sebuah buku yang ditulis oleh Jhon
Gunter pada tahun 1974 dengan judul “The Riddle of MacActhur”.
Akibatnya, akumulasi kesalahan-kesalahan kebijakan AS inilah yang justru mempunyai
andil besar dalam mempercepat proses reinkarnasi dari raksasa zaibatsu dan muncul raksasa baru
yang dikenal dengan keiretsu serta memiliki pola dasar, struktur dan mekanisme kerja yang mirip
meskipun tidak serupa.
Setelah sekutu mengakhiri pendudukannya di Jepang, hubungan antara Amerika Serikat
dan Jepang masih terjalin dengan baik. Hubungan yang terjalin dengan baik tersebut dibuktikan
dengan adanya sistem Bretton Woods. Salah satu bagian dari sistem baru tersebut adalah General
Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang dibentuk berdasarkan anggapan bahwa
perdagangan bebas adalah sarana terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bagi Jepang
yang pembangunan ekonominya sangat tergantung pada perdagangan luar negeri, sistem
ekonomi baru tersebut sangat bermanfaat dan berharga.
Sistem tersebut tidak hanya memungkinkan Jepang meningkatkan volume perdagangan
dan memperoleh manfaat yang lebih besar, tetapi juga meningkatkan efisiensi dengan
ditempatkanya perusahaan-perusahaan Jepang ke dalam ajang persaingan Internasional dan
memperluas pasar. Tetapi perusahaan yang berorientasi dalam negeri pun harus mengalami
persaingan dengan adanya sistem tersebut, karena terjadinya liberalisasi impor dan pengurangan
tarif impor.

Anda mungkin juga menyukai