Anda di halaman 1dari 15

BAB II

LANGKAH AWAL JEPANG MENJELANG EKSPANSI KE SELATAN

A. Permasalahan ekonomi di Jepang sebelum ekspansi

Modernisasi yang dilakukan Jepang pada masa Restorasi Meiji, negara

Jepang tumbuh menjadi sebuah negara industri dan kapitalis yang kuat. Di dalam

taraf permulaan hasil industri mereka masih menjadi ejekan karena mutunya yang

rendah dan harganya murah. Hasil industri Jepang belum mampu menyaingi hasil

industri Barat, tidak sanggup membuat mutunya sama tinggi dengan industri Barat

serta tak dapat bersaing dalam soal harga.

Sekalipun demikian, Jepang terus berusaha meningkatkan hasil

industrinya. Ketika mereka memerlukan modal besar untuk membangun industri,

mereka tidak meminjam uang kepada negara lain, mereka menjual obligasi di luar

Jepang. Mutu industri yang jadi ejekan terus diperbaiki, sedikitnya dipergunakan

di dalam negeri dan dihargai oleh bangsa sendiri.1

Setelah Jepang membuka diri dari isolasinya dari dunia luar dengan

menerima kedatangan Komodor Perry, penduduknya hanya berjumlah kurang dari

30 juta jiwa dan sekitar tahun 1930 penduduk Jepang berjumlah 70 juta jiwa,

dengan kira-kira hanya 500 ribu orang Jepang yang tersebar di daerah-daerah

koloninya atau beremigrasi ke daerah-daerah lain. Hanya industri yang dapat

menampung pertambahan penduduk yang demikian hebat. Penanaman modal

Jepang juga menunjukkan angka-angka yang meningkat. Pada akhir Perang

1
R. S Boender, op.cit, hlm 172

10
11

Tiongkok-Jepang yang terjadi pada 18942, modal yang ditanam berjumlah 308

juta yen, sedangkan pada tahun 1930 meningkat hampir seratus kali. 3 Modal

penanaman ini ditanamkan pada pabrik-pabrik dan pertambangan, perbankan dan

perdagangan.

Perkembangan industri Jepang ini tidak diikuti oleh perubahan-perubahan

struktur dalam masyarakatnya. Pada abad ke-20 timbul dalam masyarakat Jepang

suatu golongan baru, yaitu golongan bangsawan berdasarkan kekayaan modal dan

tidak berdasarkan atas kepemilikan tanah. Di samping birokrasi dan hierarki

militer dan negara, timbul pula suatu organisasi atas dasar modal, perdagangan

dan industri dalam masyarakat Jepang. Sedangkan pemerintah, di samping

menunjukkan garis-garis pemisah atas dasar berbagai kepentingan industri,

perdagangan dan agraria, juga memperlihatkan permusuhan antarklan yang

masing-masing mempunyai aktivitas ekonomi.4 Akibat struktur feodal masyarakat

ini, menyebabkan rakyat pada umumnya tidak menerima bagian yang setimpal

dari perindustrian. Taraf hidup rakyat masih rendah, juga disebabkan karena

perkembangan industri yang demikian cepat. Hal ini dapat dikatakan sebagai

sebab utama Jepang terpaksa menuju ke sistem ekspansionisme dan kolonialisme.

Tujuannya adalah mencari pasar-pasar baru untuk hasil industrinya. Disamping itu,

Jepang sendiri adalah negara yang miskin akan bahan-bahan mentah dan

pertambangan yang sangat diperlukan untuk industrinya. Ketika populasi

penduduk Jepang meningkat serta sumber daya alam tak mampu mengimbangi

2
Irish Chang, The Rape of Nanking: Holocaust yang Terlupakan Dari Sejarah Perang Dunia Kedua
(terj), (Yogyakarta, NARASI, 2009), hlm 28
3
Peter Kasenda, op.cit, hlm 13
4
Ibid, hlm 16
12

peningkatan populasi masyarakat, maka Jepang memutuskan melakukan apa yang

dulu dilakukan oleh Amerika, Inggris dan Perancis. Menggunakan “kekerasan”

untuk pemecahan masalah.

Di tahun 1920-an, Jepang mengalami masa sulit, keadaan ekonomi buruk

karena produksi pertanian menurun dan kemiskinan membelit seluruh desa di

Jepang. Pada tahun 1923 terjadi gempa di Kanto, termasuk kota Tokyo. Di Tahun

1927 krisis keuangan mengakibatkan bank-bank mulai gulung tikar. Dua tahun

kemudian, terjadi kerugian besar di pasar bursa efek di Amerika Serikat yang

menyebabkan depresi ekonomi di Barat pada tahun 1930-an. Kelesuan pasar

Amerika ini mempengaruhi ekspor bahan dan kain sutra Jepang.5 Akibatnya

mulai timbul banyak konflik antara tuan tanah dan petani atau pengusaha dan

buruh.

Namun di balik itu, depresi ekonomi yang melanda Eropa dan Amerika

Serikat malah menguntungkan pihak Jepang. Eropa yang semula merupakan pusat

kegiatan produksi barang-barang, tidak mampu menghasilkan barang

produksinya. Kekosongan pasokan barang tersebut dimanfaatkan Jepang yang

pada saat itu mulai kebanjiran produk industri yang diakibatkan oleh gerakan

percepatan industrinya. Jepang memiliki kelebihan barang produksi dan

persediaan barang yang melimpah.

Pada tahun 1930-an, di bawah malapetakan krisis ekonomi dunia,

golongan militer sebagai satu-satunya golongan yang tidak korup, didorong untuk

mengambil alih pemerintahan. Tetapi angkatan bersenjatanya ini sudah berubah


5
Meta Sekar Puji Astuti, Apakah Mereka Mata-Mata? Orang-Orang Jepang di Indonesia (1868-
1942), (Yogyakarta: Ombak, 2008), hlm. 10
13

dalam bentuk struktur sosialnya, kepemimpinannya bukan lagi di tangan klen

yang berpengaruh. Akan tetapi golongan-golongan perwira yang berasal dari

kalangan petani menengah atau dari klen samurai yang jatuh miskin. Golongan ini

merupakan faktor politik paling penting yang sangat berpengaruh dalam

pembentukan kabinet-kabinet dan dengan menduduki beberapa tempat penting

dalam kabinet. Selain itu juga menteri-menteri yang memiliki hubungan langsung

dengan kaisar, di tangan siapa keputusan-keputusan terakhir berada. Tujuan

pertama dari politik ini adalah Manchuria, yang status internasionalnya pada

waktu itu dapat diragukan, karena Manchuria pada waktu itu dikuasai oleh Chang

Hsuh Liang yang mempunyai hubungan baik dengan Jepang.6

Maka dengan alasan beberapa insiden, di tahun 1931 Jepang mulai

mencoba menduduki Manchuria dan hal ini terlaksana pada akhir 1932.7 Ketika

Liga Bangsa-Bangsa mengutuk serangan ke Manchuria, Jepang bertindak praktis:

keluar dari organisasi tersebut. Pada tahun 1937 sekali lagi Jepang menyerang

Cina secara brutal. Perbuatan ini dijuluki sebagai The Rape of Nanking. Sebanyak

20.000 pria dewasa dan anak-anak dijadikan sasaran latihan tembak atau bayonet,

dan 20.000 wanita tua atau muda diperkosa dulu sebelum dibunuh. Jepang tidak

mempedulikan pendapat dunia. Jepang sengaja tidak menghadiri Konferensi

Brussel yang diadakan sebagai upaya mengakhiri peperangan tersebut.8 Amerika

Serikat mulai naik pitam terhadap tindakan Jepang tersebut dan mulai bertindak

tegas dengan membekukan semua harta benda Jepang di Amerika dan melakukan

embargo minyak. Bisa dikatakan tindakan Amerika ini sudah sangat terlambat.
6
Irish Chang, op.cit, hlm 35
7
Ong Hok Ham, Runtuhnya Hindia Belanda, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm 13
8
R.S Boender, op.cit, hlm. 11
14

Persiapan perang Jepang untuk berbaris ke Selatan sudah sangat jauh, sudah

sangat matang.

Di dalam tubuh militer Jepang terutama Angkatan Laut, semakin menuntut

untuk segera melakukan ekspansi ke Selatan sebagai penjamin penyuplai sumber

bahan baku industri terutama minyak. Minyak yang merupakan “sumber dari

segala sumber”, tentu saja memiliki makna yang sangat besar bagi Jepang.

Tidaklah terlalu dibesarbesarkan kalau dikatakan Perang Asia Timur Raya itu

dimulai dari minyak dan kalah dengan minyak.9 Bisa dikatakan perhatian

Angkatan Laut terhadap wilayah Selatan, memiliki makna persaingan terhadap

Angkatan Darat yang lebih memilih wilayah Utara yaitu daratan Tiongkok dan

semenanjung Korea.

Angkatan Laut Jepang beranggapan bahwa wilayah Selatan merupakan

wilayah vital bagi Jepang sehingga sangatlah wajar jika Angkatan Laut menaruh

perhatian besar terhadap wilayah Selatan, khususnya Indonesia. Hal ini ditinjau

dari melimpahnya sumber alam terutama minyak, pasar perdagangan yang sangat

menguntungkan dan tempat yang cocok untuk emigrasi rakyat Jepang.

Hal itu didukung oleh hasil penelitian Komite Penelitian Kebijaksanaan

Selatan, yang mensinyalir pentingnya wilayah Selatan terutama dalam kaitannya

dengan masalah penduduk yang pada saat itu menjadi masalah utama

pemerintahan Jepang. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dihimbau kepada

Angkatan Darat agar “memutar haluan” yang sebelumnya sangat mementingkan

9
Ken’ichi Goto, Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (terj), (Jakarta:Yayasan Obor
Indonesia, 1998), hlm 3
15

ekspansi ke daratan Tiongkok. Ekspansi itu kemudian disindir sebagai mencari

ikan di atas pohon. Hasil penelitian menghimbau kepada Angkatan Darat Jepang

agar “Putarlah arah mata angin kita, lihatlah negeri Selatan! Disana terhampar

tanah yang luas tanpa dikembangkan. Tanah itu menyimpan sumber alam yang

sangat kaya dan tak terhingga banyaknya, dan sedang menunggu kita untuk

mengembangkannya.” Hasil penelitian tersebut kemudian dirumuskan dalam

bentuk yang lebih konkret sebagai berikut: (1) Keperluan sumber alam Jepang

harus dipenuhi dengan mengembangkan wilayah Tropis di Selatan dengan

menggabungkan modal dan teknologi Jepang dengan tenaga kerja orang Cina dan

orang asli setempat. (2) Penduduk kita yang terlalu banyak itu dipindahkan ke

Australia dan Selandia Baru. (3) Mendidik orang-orang asli yang masih primitif

untuk menjadi konsumen kuat barang buatan kita. (4) Kekuatan dan kekuatan

Negara Kekaisaran harus jauh melampaui Inggris dan Amerika Serikat dengan

menjalin hubungan secara erat antara Angkatan Laut dan satuan kapal dagang

Negara Kekaisaran yang sedang berlayar di luar negeri dengan pemerintah Negara

Kekaisaran dalam negeri, kita harus mengumpulkan bangsa-bangsa Asia Timur

yang miliaran jumlahnya secara serentak ke dalam payung ini.10

Namun, di dalam tubuh Angkatan Laut sendiri terdapat pihak yang setuju

dan yang tidak setuju. Salah satu pihak yang setuju atas pentingnya ekspansi ke

Selatan adalah Matsuoko Shizuo11. Dia berpandangan bahwa minyak

merupakan bahan keperluan militer yang terbukti sangat penting dalam Perang

Dunia. Sedangkan kelompok minoritas yang menentang ekspansi ke Selatan,


10
Ibid., hlm 18
11
Matsuoko Shizuo merupakan Perdana Menteri Jepang yang menjabat pada tahun 1940. Lihat
Ken’ichi Goto, hlm 18.
16

dihadapkan pada kematian. Sebagai contoh, mantan Perdana Menteri Jepang

Inukai Tsuyoshi (1932) dan Perdana Menteri Jepang Saito Makoto (1936) serta

tujuh Tokoh Masyarakat Jepang, dibunuh oleh militer Jepang pada tahun 1930-

an.12 Berbagai intimidasi dan desakan agar Jepang membatalkan ekspansi ke

Selatan, tidak dipedulikan oleh kaum militer pada saat itu dan pada akhirnya

Jepang tetap melanjutkan rencana ekspansinya ke Selatan.

Telah dikatakan di awal, bahwa tujuan utama dari kaum militer yang

berkuasa semenjak tahun 1930-an itu ialah ekspansi ekonomi dan politik. Sebagai

persiapan untuk tujuan ini mereka perlu mengekang rakyat dengan jalan

memupuk nilai moral dan tradisi-tradisi kebudayaan yang cocok bagi kaum

militer seperti mereka. Rakyat perlu dikekang untuk mendapatkan loyalitas dan

pengabdian terhadap mereka. Loyalitas dan pengabdian rakyat itu perlu dilakukan,

agar rakyat mengikuti segala program mereka jalankan demi kepentingan

ekspansi.

B. Filsafat Hakko Ichiu sebagai landasan Ekspansi Jepang

Di dalam sejarah bangsa Jepang, naluri untuk menguasai negara-negara

lain bukan merupakan suatu hal yang baru. Anggapan sebagai “bangsa terpilih”

cukup menguatkan kepercayaan bangsa ini dalam rangkan mengemban “tugas

suci” dari Jepang. Tugas suci ini adalah untuk menaklukkan dan sekaligus untuk

menguasai negara lain. Bahkan lebih kurang dua ribu enam ratus tahun yang lalu

kaisar Jepang pertama, Djimmu Tenno, disebut sebagai raja pemberi “Sabda Suci”

Hakko Ichiu, yang bertujuan menguasai delapan penjuru mata angin di bawah
12
Film dokumenter BBC, Horror in the East: Episode 2, menit ke-14.05. Lihat Juga Irish Chang,
op.cit, hlm 34.
17

panji-panji Dai Nippon.13 Filsafat Hakko Ichiu merupakan ajaran tentang kesatuan

keluarga umat manusia. Jepang sebagai negara yang telah maju, mempunyai

kewajiban mempersatukan bangsa-bangsa di dunia. Filsafat Hakko Ichiu inilah

yang dipakai oleh Jepang untuk memulai ekspansinya ke Selatan, terutama ke

wilayah Indonesia.

Terkait wilayah, Indonesia dianggap sebagai wilayah yang sangat penting

bagi kemajuan perekonomian Jepang demi bisa melepaskan diri dari

ketergantungan Amerika Serikat dan Inggris akan sumber alam terutama minyak

dan juga untuk meneruskan perang di Tiongkok. Namun, untuk mulai berperang

juga diperlukan sebuah ideologi untuk meyakinkan dunia internasional dan warga

Jepang sendiri. Kaum Militer pun membangun dasar-dasar nasional yang kokoh

untuk ekspansinya, yang bertujuan mewujudkan Hakko Ichiu dan membuktikan

bahwa Jepang adalah suatu “bangsa terpilih” untuk menyusun suatu dunia baru.

Tidak mengherankan bahwa kaum militer yang amat ambisius itu mencari nilai-

nilai moral dan tradisi-tradisi kebudayaan dalam sejarah Jepang. yang cocok untuk

digunakan dalam tujuan tersebut. Mereka mengimpikan suatu gerakan kembali

kepada kepribadian bangsa sendiri. Mereka juga tidak suka terhadap kaum

“moga”, yaitu sebuah sebutan bagi dari “modern girl”, dan kaum “mobo” atau

“modern boy”. Kecenderungan pemuda-pemudi modern dalam tahun 20-an

kepada kebiasaan-kebiasaan dan cara berpikir meniru bangsa Barat, dianggap oleh

kaum militer dan ultranasionalis yang berkuasa sebagai sifat yang akan

memperlemah kemampuan “bangsa terpilih-Negeri Matahari Terbit”, bangsa yang

13
M. A. Aziz, Japan’s Colonialism and Indonesia, (The Hague, M. Nijhoff, 1955), hlm. 3
18

menjadi rakyat dari Dewa Raja turunan Dewi Amaterasu o-Mikami yang suci.

Untungnya, Jepang mempunyai nilai-nilai dan tradisi-tradisi kebudayaan yang

sama bagi seluruh bangsa Jepang, yang dapat dihidupkan kembali sebagai

landasan kekuatan nasional.14 Jepang juga melakukan indokrinasi bahwa Kaisar

Tenno Heika merupakan titisan para Dewa, dan bagi siapapun yang berkorban

demi kaisar maka ia akan segera masuk Surga.

Sebagai penguasa yang berasal dan keturunan “Dewi yang Suci”, Kaisar

merupakan simbol yang kokoh dari kesatuan bangsa. Kedudukan Kaisar yang

kokoh ditengah-tengah naionalis Jepang berasal dan berkembang jauh sebelum

zaman Tokugawa (1600 — 1868) dan dengan sadar dipelihara oleh negarawan-

negarawan Djepang sebagai jalan untuk memindahkan loyalitas feodal kepada

loyalitas nasionalis. Selanjutnya dengan dalih menciptakan dan menyempurnakan

agama negara Sinto, mereka mengindoktrinasi anak-anak sekolah dan kaum

remaja dengan pemujaan fanatik dan kepercayaan buta terhadap Kaisar Tenno

Heika atau Mikado (Gerbang Sorga), mereka menjamin loyalitas dan pengabdian

rakyat yang tidak dapat ditawar-tawar kepada kekuasaan golongannya. Dengan

kejam mereka menindas pikiran-pikiran radikal terhadap kebenaran dari konsepsi

kekaisaran ini. Sejak tahun 1930-an para penguasa baru itu memberi tafsiran yang

lebih menjulang tinggi terhadap pribadi Kaisar, karena Kaisar adalah negara.

Bangsa Jepang sejak dulu memiliki perasaan arogan bahwa Jepang adalah

pemimpin Asia, sehingga sejak Restorasi Meiji Jepang selalu berorientasi ke

negara-negara Barat dan kesadaran Jepang sebagai anggota Asia sangat tipis.

14
Ibid, hlm 7
19

Menjelang perang, Jepang mulai menegaskan kedudukannya sebagai anggota Asia

dan mengklaim dirinya sebagai pemimpin Asia. Mulai saat itulah muncul ide

bahwa Asia harus dipimpin atau dibina oleh bangsa Asia sendiri. Karena itu,

berkembang ide bahwa Asia harus direbut serta dikuasai bangsa Asia. Asia yang

dijajah oleh negara Barat harus dibebaskan dari belenggu. Saat itu Jepang sama

sekali tidak memikirkan nasib Korea dan Taiwan. Mungkin menurut mereka

penjajahan Taiwan dan Korea oleh Jepang tidak masalah karena yang menjajah

adalah bangsa Asia Juga.15

Persepsi tentang wilayah Selatan yang walaupun kaya namun tidak

dikembangkan, lagi pula rakyatnya sedang menderita di bawah penjajahan negara-

negara Barat, serta teori tanggung jawab yang menganggap bahwa

mengembangkan wilayah-wilayah tersebut dan menyelamatkan mereka yang

tertindas adalah tugas Jepang sebagai pemimpin Asia, tentu saja merupakan salah

satu ciri khas paling utama pandangan orang Jepang tentang Selatan. Secara

singkat, persepsi demikian boleh dikatakan merupakan gabungan dari teori

kepemimpinan “Asianisme” dan teori “pengembangan sumber alam” yang

bersifat membenarkan dirinya sendiri.16

Angkatan Laut Jepang, setiap ada kesempatan secara lisan selalu

mengatakan bahwa ekspansi ke Selatan itu bertujuan untuk membebaskan Asia

dari jajahan Barat. Padahal pada kenyataannya, ekspansi Jepang ke Selatan itu

hanya memusatkan pada sumber alam maupun kepentingan militer. Minyak

menjadi faktor yang menentukan bagi keputusan Jepang untuk melancarkan

15
Peter Kasenda, op.cit, hlm 14
16
Ken’ichi Goto, op.cit,hlm. 16
20

perang akhir tahun 1941. Tetapi, motivasi ideologi lebih besar daripada hanya

usaha untuk memperoleh minyak. Bulan Juli 1940, Kabinet Konoye yang

nantinya digantikan oleh kabinet perang di bawah pimpinan Jenderal Hideki Tojo

menyatakan kebijakan nasionalis Jepang adalah pembentukan perdamaian dunia

sesuai dengan cita-cita Hakko Ichi-u.17 Intinya, pembentukan lingkungan yang

didominasi Jepang untuk meliputi bagian-bagian besar dunia. Ajaran tersebut

merupakan dorongan psikologis sekaligus sebagai legitimasi moral politik

ekspansionalisme Jepang ke wilayah-wilayah lain.

C. Spionase Jepang terhadap wilayah Indonesia

Indonesia sewaktu masih dalam pendudukan pemerintah Hindia Belanda,

sudah mulai berhubungan dengan Jepang sejak akhir 1800-an, hubungan yang

dilakukan hanya sebatas hubungan dagang saja. Akan tetapi, tahun 1930-an pada

saat Jepang sedang gencar-gencarnya memperluas wilayah teritorialnya, Jepang

juga membutuhkan persediaan bahan bakar untuk kapal-kapalnya. Indonesia

dibawah pemerintahan Hindia Belanda mulai dilirik oleh Jepang, karena

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak terbesar dengan jarak

yang cukup dekat dengan negara Jepang. Jepang mulai mengadakan studi untuk

mengetahui sejauh mana prospek situasi Lautan Selatan (Indonesia) bagi mereka.

Pada masa tersebut kebijakan politik Jepang terhadap Hindia Belanda secara

bertahap mulai berubah dan dipolitisasi oleh pemerintahan Jepang. Hubungan

yang semula difokuskan pada hubungan dagang, mulai keluar dari jalurnya karena

Jepang mulai berkeinginan untuk menguasai sumber-sumber minyak yang ada di

17
Peter Kasenda, op.cit, hlm. 21
21

Indonesia. Peristiwa ini terus berkembang dan mejadi konflik yang serius.

Kenyataaan ini membuat resah pemerintah Hindia Belanda. Konflik ini

berkelanjutan dan secara ekstrim pemerintah Hindia Belanda menganggap dan

menilai kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Jepang di

Indonesia merupakan kegiatan spionase.

Semakin kuat pandangan pihak Jepang yang melihat Indonesia sebagai

sasaran utama dalam pengembangan industri Jepang, membuat pemerintah Hindia

Belanda merasa semakin was-was terhadap Jepang, dari yang mula-mula hanya

bersifat murni tentang ekonomi, lambat laun berubah menjadi bersifat politik dan

militer. Pemerintah Hindia Belanda bersama-sama dengan pemerintah Belanda,

pada prinsipnya menganut politik luar negeri netral. Akan tetapi, seiring semakin

tegangnya hubungan dengan dengan Jepang maka Belanda pun berusaha

memperkuat hubungan dengan Inggris.

Selain itu, para tukang potret dari Jepang mulai memasuki Indonesia di

sudut-sudut yang terpencil. Dimana tidak ada banyak hasil ekonomis dari

pemotretan, didiami tukang-tukang potret atau tukang-tukang cukur. Sumber lain

dari spionase Jepang adalah perusahaan-perusahaan seperti Veem dan lain-lain,

yang besar dan yang dimiliki oleh pemimpin-pemimpin ekstrem nasionalis di

Jepang.18 Mereka juga mengeksploitasi hutan-hutan dan pertambangan. Biarpun

kadang-kadang perusahaan ini mengalami kerugian, tetapi perusahaan ini tetap

beroperasi demi mendapatkan informasi-informasi mengenai keadaan Indonesia.

Perusahaan-perusahaan ini juga memasukkan bacaan-bacaan terlarang dan agitatif

18
Ong Hok Ham, op.cit. hlm 39
22

terhadap pemerintah Hindia Belanda. Spion-spion Jepang melakukan perjalanan-

perjalanan di Hindia Belanda dan terutama basis Angkatan Laut Hindia Belanda

yang menjadi sasaran.

Persiapan-persiapan pra-militer ini sudah berlangsung pada kira-kira

sekitar Perang Dunia I. Selain pemerintah Jepang, banyak badan tak resmi atau

semi resmi seperti Black Dragon Society melakukan pekerjaan-pekerjaan spionase

di Indonesia. Perkumpulan-perkumpulan “rahasia” Jepang yang ultra nasionalis

dan militaristis berkembang juga di kalangan orang-orang Jepang. Di Indonesia

Nanyo Veem, seorang ultra nasionalis yang agresif menjadi kaki tangan dari

ekspansi Jepang ini. Masyarakat Jepang sendiri sebelum tahun 1930 merupakan

masyarakat migran, yang tenteram dan baik. Namun sejak tahun 1933 jatuh di

bawah pengaruh sikap-sikap anti-Barat. Angkatan laut Jepang memiliki cara

sendiri dalam melakukan spionase di wilayah Indonesia. Angkatn laut mengirim

ratusan kapal-kapal kecil penangkap ikan. Di tahun 1939, perwira-perwira

Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang sering meninjau wilayah Indonesia

sebagai turis, atau sebagai pedagang. Kapten Laut Unawa misalnya, hampir secara

terbuka mempelajari persoalan-persoalan angkatan laut dan perairan pantai

wilayah Indonesia, didampingi oleh agen-agen Jepang yang lain. Kira-kira ada

dua puluh empat perwira yang melancong sebagai turis ke wilayah Indonesia19

Orang Indonesia yang sudah dewasa di sekitar tahun 1940-an pasti ingat

ketika banyak sekali orang Jepang di Indonesia. Ada yang membuka toko potret,

toko mainan anak, toko tekstil dan banyak lagi. Bahkan ada orang Jepang yang

19
Ibid, hlm 40
23

menjadi tukang riba, dan tak segan pergi ke pelosok kampung menagih piutang.

Di daerah Semarang, ada sebuah kantor dagang benama Mitsubishi, letaknya

hanya 100 meter dari benteng Belanda. Kantor ini kemudian ditingkat menjadi

dua, kemudian tiga, lalu empat. Setelah mencapai ketinggian yang diperlukan,

agaknya mereka leluasa dapat mengintip ke dalam benteng Belanda tersebut.

Pernah pula seorang pemilik toko orang Jepang yang dianggap orang aneh, ia

punya hobi memancing ikan di malam hari, tidak membawa pulang ikan ia tidak

peduli. Kesukaannya berdiam diri lama-lama di tepi danau atau pantai. Rupanya

hobi memancing ikan hanya dalih untuk menyelidiki kedalaman air dan jenis pasir

yang kelak akan dijadikan tempat untuk memancing.20

Begitu banyak spion-spion Jepang tersebar, tetapi Belanda tidak

menyadarinya. Keadaan di negara lainnya seperti Filipina, Singapura dan

Malaysia tak banyak berbeda. Inggris dan Amerika tidak banyak melakukan

sesuatu, bahkan lupa mengamati kegiatan semua pedagang Jepang disana.

Salah seorang dari Imigran Jepang yang benar-benar melakukan tindakan-

tindakan mata-mata atau spionase di Indonesia adalah Nishijima Shigetada. Ia

masuk ke Indonesia pada tahun 1937 dan merupakan salah seorang mata-mata

yang bekerja untuk Angkatan Laut Jepang. Ia adalah sarjana lulusan Universitas

Tokyo jurusan bahasa Jerman yang sangat tertarik dengan studi internasional,

khususnya tentang Perang Cina-Jepang. Ia direkrut oleh pihak intelijen Angkatan

Laut Jepang untuk mengembangkan pengaruh Jepang di daerah Lautan Selatan

20
Wawancara dengan Soedirmo, orang Indonesia yang turut dalam Perang Pasifik. Dalam R.S
Boender, hlm 14
24

atau Nanyo.21 Pada awal kedatangannya di Indonesia, ia bekerja di salah satu

jaringan toko Jepang di Surabaya, Batavia dan Bandung. Selebihnya sesuai

peraturannya, ia bertugas untuk mengumpulkan informasi mengenai Indonesia

yang pada saat itu masih di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.

Meskipun kehidupan para imigran Jepang hanya terbatas pada

lingkungannya sendiri, beberapa tokoh Jepang di duga juga turut campur dalam

pergerakan nasionalisme Indonesia. Hal ini terbukti dengan disponsorinya

beberapa kegiatan pergerakan nasional Indonesia, Seperti Budi Utomo, Indische

Partij dan Sarekat Islam oleh pihak Jepang.

Diantara semua cara mendekati orang-orang Indonesia, mungkin

percobaan untuk mempengaruhi kaum nasionalis Indonesia lah yang paling

mengalami kegagalan. Tetapi pada kenyataannya, terdapat kontak secara diam-

diam antara pihak mata-mata Jepang dengan para nasionalis Indonesia meskipun

dengan jalan yang rumit dan sembunyi-sembunyi. Seperti kata Nishijima, “sangat

susah sekali bagi kami untuk menjalin hubungan dengan pihak seperti mereka.

Pemerintah Belanda sangat kuat dan keras. Tidak ada sama sekali kontak secara

langsung antara kami dengan kaum nasionalis. Namun demikian, kita dapat

menjalin hubungan secara diam-diam”.22

21
Meta Sekar Puji Astuti,op.cit, hlm. 134
22
Ibid, hlm 135

Anda mungkin juga menyukai