Anda di halaman 1dari 3

Keterlibatan Jepang pada Perang Dunia II

dan Japanese Miracle


Oleh: Cintya Dara Sakina/195110201111010

Keterlibatan Jepang pada Perang Dunia II tidak lepas dari peristiwa pengeboman pantai timur Jepang oleh
Matthew Perry dan tentara AS dengan 10 kapal perangnya pada 31 Maret 1854. Peristiwa ini menimbulkan
ketakutan dan kekecewaan rakyat atas pemerintah Jepang yang tidak berdaya dalam menghadapi serangan
asing. Oleh karena itu, pemerintahan shogun digulingkan dan Jepang memulai modernisasi.
Dalam proses modernisasi Jepang, Inggris banyak terlibat dalam proses penginternalisasiannya. Hal tersebut
mendorong Jepang untuk bersekutu dengan Inggris. Pada saat itu Jepang berperan sebagai penjaga wilayah
jajahan Inggris di Asia. Ketika Perang Dunia I berakhir, Jepang sebagai sekutu Inggris berada di pihak
pemenang. Untuk meredakan perlombaan industri militer yang dipicu oleh ketegangan politik pascaperang,
diselenggarakan Konferensi “Washington Naval” yang mana Jepang harus mengakhiri persekutuannya dengan
Inggris. Setelah Perjanjian Washington ditandatangani, terjadi perpecahan pada kalangan militer Jepang yang
berujung pada kekacauan politik. Kekacauan tersebut memicu keterlibatan Jepang pada Perang Dunia II.
Militer Jepang semakin bernafsu untuk menguasai daerah yang kaya akan sumber daya alam. Hal ini
dilatarbelakangi oleh pengamatan Jepang terhadap kekalahan Jerman pada Perang Dunia I yang disebabkan oleh
kekurangan sumber daya alam. Namun pada saat itu terdapat perselisihan dalam menentukan daerah yang akan
dikuasai. Angkatan Laut terutama Faksi Armada menginginkan serangan ke selatan (Filipina dan Hindia
Belanda) dengan tujuan Angkatan Laut akan memegang kendali di Jepang. Sementara itu, Angkatan Darat
memilih serangan ke utara (Siberia, Uni Soviet) dengan alasan serangan tersebut jelas lebih membutuhkan peran
Angkatan Darat. Namun sebelum upaya ini dilakukan, Jepang terlibat perang dengan Cina.
Perang dengan Cina sebenarnya tidak ada dalam agenda militer Jepang. Agenda militer Jepang yang
sebenarnya adalah menguasai daerah yang kaya akan sumber daya alam. Dalam hal ini, perang dengan Cina
tentunya menghambat pelaksanaan agenda utama tersebut. Jepang mengalami kerugian material, sumber daya
manusia dan sumber daya alam, serta kerugian dari sisi diplomasi di mata dunia internasional karena kebengisan
tentara Jepang yang melakukan pemerkosaan dan pembunuhan massal di Nanking. Para misionaris Kristen asal
AS yang berada di Cina terus mengabarkan kekejaman tentara Jepang kepada media AS yang membuat publik
AS semakin membenci Jepang.
Kembali pada rencana awal untuk menguasai sumber daya alam, perwira-perwira Angkatan Darat Jepang di
Manchuria tetap bersikukuh untuk meluncurkan serangan ke utara. Mereka berkali-kali bergerak di luar perintah
dari pusat dan terus memprovokasi tentara-tentara Uni Soviet dan Mongolia (saat itu Mongolia adalah sekutu
Uni Soviet). Puncak dari pergerakan di luar perintah tersebut adalah insiden kecil di desa Nomonhan pada 11
Mei sampai 15 September 1939. Dalam insiden ini, pihak Mongol mendatangkan pasukan dari Uni Soviet.
Pertempuran tersebut berakhir dengan kekalahan telak tentara Jepang. Atas kekalahannya terhadap Angkatan
Darat Uni Soviet, Jepang mengurungkan niatnya untuk menguasai Siberia dan mengalihkan rencana
penyerangannya ke negara-negara yang ada di Asia Tenggara.
Dalam upaya memperluas daerah jajahan dan membendung kekuatan Amerika, Jepang membutuhkan sekutu.
Pada tanggal 27 September 1940, Jepang menandatangani “Pakta Tripartit” bersama dengan Jerman dan Italia
yang menandai persekutuan di antara ketiganya. Akibat dari perjanjian politik tersebut, AS secara resmi
menghentikan ekspor baja ke Jepang sekaligus membekukan semua harta Jepang yang ada di AS. Kemudian,
markas besar militer Jepang fokus merancang strategi perang untuk mengalahkan AS dan Inggris. Namun,
perancangan ini dilakukan oleh para perwira muda yang kurang mempertimbangkan untung dan rugi dalam
jangka panjang. Para perwira muda tersebut justru menyetir Jepang menuju peperangan dan dimulai dengan
menjajah wilayah yang kaya sumber daya alam di Asia Tenggara. Proposal perdamaian yang diajukan Jepang
ditolak oleh AS. Secara otomatis, agenda pertemuan Perdana Menteri Fumimaro Konoe dan Presiden Franklin
D. Roosevelt dibatalkan. Karena merasa gagal Perdana Menteri Fumimaro Konoe mengundurkan diri pada 16
Oktober 1941 dan digantikan oleh Perdana Menteri Tojo.
Diplomasi akhirnya menjadi alat untuk mengelabuhi AS agar tidak sadar bahwa Jepang telah mengirim
armada kapal induknya untuk menyerang Pusat Armada Pasifik AS: Pearl Harbour pada tanggal 7 Desember
1941. Pada tanggal 8 Desember 1941, AS menyatakan perang kepada Jepang. Dalam tempo 6 bulan berikutnya ,
Angkatan Laut AS hampir gagal memainkan peran penting dalam Perang Dunia II di kawasan Asia. Sementara
itu, Jepang terus melakukan penjajahan terhadap wilayah yang kaya akan sumber daya alam di kawasan Asia
Tenggara. Akhirnya, pada tanggal 6 Agustus dan 9 Agustus 1945, AS membalas serangan Jepang dengan
menjatuhkan bom atom di dua kota penting di Jepang, yaitu Hiroshima dan Nagasaki. Akibatnya, Jepang
menyerah tanpa syarat kepada sekutu tanggal 14 Agustus 1945. Dengan menyerahnya Jepang, Perang Dunia II
pun secara resmi berakhir dengan ditandatanganinya Dokumen Kapitulasi Jepang pada 2 September 1945 di atas
kapal tempur AS Missouri.
Setelah perang usai, Jepang tentunya berada pada titik keterpurukan. Dua kota penopang ekonomi Jepang
telah hancur berserta dengan banyaknya rakyat yang menjadi korban jiwa akibat peristiwa pengeboman oleh
AS. Pada saat itu, perekonomian Jepang yang sebelumnya telah terkuras oleh keperluan perang dituntut untuk
harus membiayai para korban jiwa, menopang hidup rakyatnya, dan berupaya memperbaiki negara dengan
pembangunan. Pertanyaan yang pertama kali terlontar dari Kaisar adalah berapa jumlah guru yang masih ada.
Hal ini menunjukkan bahwa Jepang mengawali kebangkitannya dari sektor pendidikan dengan alasan bahwa
pendidikan memiliki peran yang mendasar dan penting serta membawa pengaruh dalam jangka panjang. Meski
kondisi negara belum stabil, Jepang tetap mewajibkan anak-anak usia sekolah untuk mendapatkan pendidikan
yang layak. Selain itu, Jepang juga berkonsentrasi penuh untuk memperkuat basis ekonomi dengan menerapkan
prinsip kaizen yang menjadi acuan bagi pola manajemen modern.
Meskipun pada awalnya Jepang mendapatkan bantuan dari AS, tidak ada yang menyangka bahwa perbaikan
ekonomi Jepang bisa dicapai dalam waktu yang singkat. Pada tahun 1960 kondisi perekonomiannya sudah bisa
mengimbangi keadaan sebelum perang. Pertumbuhan cepat ini terus berlangsung hingga tahun 1990-an. Kondisi
tersebut membuat dunia internasional menyebutnya sebagai ‘Japanese Miracle’. Menurut R. Taggart dalam ‘The
Weight of the Yen’, salah satu kunci kesuksesan Jepang terletak pada kemampuannya merencanakan secara
detail langkah bisnis dalam 20-50 tahun mendatang. Mereka juga merencanakan secara teliti bagaimana cara
terbaik untuk merebut pasar. Taktik yang biasa digunakan adalah memenuhi pasar dengan barang yang
sebelumnya sudah dikenal dengan kualitas yang lebih tinggi (meniru barang yang sudah ada namun
menawarkan kualitas yang lebih tinggi). Pada akhirnya, perusahaan Jepang mampu berinovasi dan bersaing
ketat dengan barang produksi Barat di banyak lini, terutama pada peralatan optik, elektronik, dan industri
otomotif.

Sumber:
Sartini dan Saring Arianto, Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FIPPS UNINDRA. 2010. Jepang: Habis Gelap Terbitlah Terang
(Tinjauan Sejarah Jepang Pasca Perang Dunia II). http://portal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/457/1/jepang%20habis%20gelap
%20terbitlah%20terang.pdf. Diakses pada 26 April 2020 pukul 22.12 WIB
https://www.zenius.net/blog/14002/perang-dunia-ii-jepang. Diakses pada 26 April 2020 pukul 22.54 WIB
https://www.google.com/amp/s/historia.id/amp/ekonomi/articles/jepang-dari-isolasi-hingga-industri-vq4yD. Diakses pada 26 April 2020
pukul 23.03 WIB

Anda mungkin juga menyukai