Anda di halaman 1dari 6

Perang Tiongkok-Jepang Kedua (7 Juli 1937 sampai 9 September 1945) adalah perang besar antara Tiongkok dan Jepang,

sebelum dan
selama Perang Dunia II. Perang ini adalah perang Asia terbesar pada abad ke-20.[2]Walaupun kedua negara telah sebentar-sebentar
berperang sejak tahun 1931, perang berskala besar baru dimulai sejak tahun 1937 dan berakhir dengan menyerahnya Jepang pada
tahun 1945. Perang ini merupakan akibat dari kebijakan imperialis Jepang yang sudah berlangsung selama beberapa dekade. Jepang
bermaksud mendominasi Tiongkok secara politis dan militer untuk menjaga cadangan bahan baku dan sumber daya alam yang sangat
banyak dimiliki Tiongkok. Pada saat yang bersamaan, kebangkitan nasionalisme Tiongkok dan kebulatan tekad membuat perlawanan tidak
bisa dihindari. Sebelum tahun 1937, kedua pihak sudah bertempur dalam insiden-insiden kecil dan lokal untuk menghindari perang secara
terbuka. Invasi Manchuria oleh Jepang pada tahun 1931 dikenal dengan nama Insiden Mukden. Bagian akhir dari penyerangan ini
adalah Insiden Jembatan Marco Polo tahun 1937 yang menandai awal perang besar-besaran antara kedua negara. Sejak
tahun 1937 sampai 1941, Tiongkok berperang sendiri melawan Jepang. Setelah peristiwa penyerangan terhadap Pearl Harbor terjadi, Perang
Tiongkok-Jepang Kedua pun bergabung dengan konflik yang lebih besar, Perang Dunia II. Dalam propaganda Jepang, penyerbuan terhadap
Tiongkok merupakan perang suci (seisen), langkah pertama dari slogan Hakko ichiu (delapan sudut dunia di bawah satu atap). Pada tahun
1940, perdana menteri Konoe membentuk Liga Anggota Parlemen yang Percaya Tujuan Perang Suci. Ketika kedua belah pihak secara resmi
mendeklarasikan perang pada Desember 1941, namanya diubah menjadi Perang Asia Timur Raya (大東亜戦争, Daitōa Sensō). Pada waktu
itu, pemerintah Jepang masih menggunakan istilah “Insiden Shina” dalam dokumen resmi. Berdasarkan alasan penggunaan kata “Shina”
dianggap menghina oleh Tiongkok, media Jepang sering menggantinya dengan istilah-istilah lain yang juga pernah digunakan media tahun
1930-an, seperti: Insiden Jepang-China (日華事変 [Nikka Jihen], 日支事変 [Nisshi Jihen].

Latar belakang, Chiang Kai-shek mengumumkan kebijakan KMT dalam perlawanan terhadap Jepang di Lushan pada 10 Juli 1937, tiga
hari setelah pertempuran Jembatan Lugou. Pada tahun 1915, Jepang mengeluarkan Dua Puluh Satu Permintaan terhadap Tiongkok untuk
menambah kepentingan dalam bidang politik dan perdagangan dengan Tiongkok. Setelah Perang Dunia I, Jepang merebut kekuasaan daerah
Shandong dari Jerman. Tiongkok di bawah pemerintahan Beiyang tetap terpecah-belah dan tidak mampu untuk melawan serbuan asing
sampai Ekspedisi Utara tahun 1926-1928, yang dilancarkan oleh Kuomintang (KMT, atau Partai Nasionalis Tiongkok), pemerintahan
saingan yang berpusat di Guangzhou. Ekspedisi Utara meluas ke seluruh Tiongkok hingga akhirnya terhenti di Shandong. Pemimpin militer
Beiyang, Zhang Zongchang yang didukung Jepang berusaha menghentikan gerak maju Pasukan Kuomintang dalam menyatukan Tiongkok.
Situasi ini mencapai puncaknya ketika pasukan Kuomintang dan Jepang terlibat dalam pertempuran yang disebut Insiden Jinan tahun 1928.
Pada tahun yang sama, pemimpin militer Manchuria, Zhang Zuolin juga dibunuh karena ia tidak lagi mau bekerja sama dengan Jepang.
Setelah insiden-insiden ini, pemerintah Kuomintang di bawah pimpinan Chiang Kai-shek akhirnya berhasil menyatukan Tiongkok pada
tahun 1928. (Yangtze), dan wilayah lain Tiongkok yang memang berada dalam kekuatan regional. Jepang sering membeli atau membuat
hubungan khusus dengan kekuatan-kekuatan regional ini untuk merusak usaha pemerintah Nasionalis pusat untuk menyatukan Tiongkok.
Untuk itu, Jepang mencari berbagai pengkhianat Tiongkok untuk bekerja sama dan membantu mereka memimpin beberapa pemerintahan
otonomi yang bersahabat dengan Jepang. Kebijakan ini disebut Pengkhususan Tiongkok Utara (Hanzi: 華北特殊化; Pinyin:
húaběitèshūhùa), atau yang lebih sering diketahui sebagai Gerakan Otonomi Tiongkok Utara. Provinsi bagian utara yang terlibat dalam
kebijakan ini adalah Chahar, Suiyuan, Hebei, Shanxi, dan Shandong. Pada tahun 1935, di bawah tekanan Jepang, Tiongkok menandatangani
Perjanjian He-Umezu, yang melarang KMT untuk menjalankan kegiatan partainya di Hebei dan secara langsung mengakhiri kekuasaan
Tiongkok atas Tiongkok Utara. Pada tahun yang sama, Perjanjian Chin-Doihara ditandatangani dan mengakibatkan KMT disingkirkan dari
Chahar. Dengan demikian, pada akhir 1935, pemerintahan pusat Tiongkok telah disingkirkan dari Tiongkok Utara. Sebagai gantinya, Majelis
Otonomi Hebei Timur dan Majelis Politik Hebei-Chahar dibentuk oleh Jepang.

Penyebab Perang China-Jepang I, Sebab umum, Pada Perang Sino Jepang Pertama, Korea diperebutkan karena dianggap bisa menjadi
batu loncatan bagi Jepang untuk masuk ke daerah Manchuria dan China, serta daratan Asia yang lain. Saat itu, China telah merampas
kemerdekaan Korea dan menutup daerah itu bagi Jepang. Hal inilah yang membuat Jepang merasa harus menghancurkan China dulu
sebelum memasuki daerah lainnya. Selain itu, Korea merupakan negara yang kaya akan bahan mentah untuk industri sehingga Jepang
tertarik untuk menguasainya. Korea juga bisa dijadikan sebagai tempat pemindahan atau penampungan sebagian penduduk, karena saat itu
Jepang telah padat. Sebab khusus, Latar belakang konflik China dan Jepang secara khusus disebabkan oleh Pemberontakan Tonghak di
Korea. Tonghak adalah sebuah partai konservatif yang menganut ideologi campuran antara Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme.
Pemberontakan ini merupakan perang antara golongan konservatif (kaum Tonghak) dengan golongan progresif. Pada waktu itu, golongan
konservatif meminta bantuan ke China, sedangkan golongan progresif meminta bantuan ke Jepang. Karena alasan tersebut, China dan
Jepang sama-sama mengirim pasukannya ke Korea, yang berhasil memadamkan Pemberontakan Tonghak. Namun, China dan Jepang sama-
sama tidak mau menarik kembali pasukannya dari Korea, yang membuat hubungan keduanya pun menjadi tegang. Melihat permasalahan
ini, Rusia, yang juga mempunyai kepentingan ekspansi ke Asia, mengancam akan turun tangan, apabila China dan Jepang tidak menarik
pasukannya dari Korea. Sementara itu, rakyat Korea, yang menginginkan pembaruan dalam negaranya, meminta bantuan kepada Jepang.
Mereka khawatir pembaruan tidak akan pernah terwujud apabila China masih di Korea. Sebab-sebab itulah yang memicu timbulnya perang
antara China dan Jepang. Jalannya Perang China-Jepang I Perang China-Jepang I berlangsung di beberapa wilayah dan dalam waktu
tertentu, sebagai berikut. Perseteruan Songhwan (29 Juli 1894) Pada Juli 1894, Jepang melakukan penyerangan mendadak terhadap
China di Teluk Asan. China pun merusak jalan, jembatan, dan membuat parit, untuk menghalangi tentara Jepang yang bergerak menuju
Songhwan. Namun, langkah itu tetap bisa diatasi Jepang dengan meledakkan meriam di parit yang dibuat China. Perang di Songhwan pun
dimenangkan Jepang. Perseteruan Pyongyang (15 September 1894) Kota Pyongyang dengan kondisi geografis dikelilingi oleh Sungai
Daedong dan bukit, sebenarnya menguntungkan China karena Jepang sulit untuk menembus daerah itu. Namun, ternyata Jepang mampu
sampai di Pyongyang dan merampas perbekalan makanan serta persenjataan China. Akibatnya, China semakin mudah untuk dipukul
mundur menuju daerah Uiju dan Jepang berhasil bergerak ke Sungai Yalu. Pada pertempuran Sungai Yalu, Jepang dengan mudah
memperoleh kemenangan, yang semakin mendekatkan mereka untuk menyeberang ke daratan China. Pertempuran di Daratan China Akhir
1894, Jepang mulai menduduki beberapa kota di China dan semakin dekat dengan ibu kotanya, yaitu Kota Beijing. Kemenangan Jepang di
Sungai Yalu juga mempermudah merebut Kota Jiuliancheng dan Andong, yang dilakukan pada malam hari dan mengagetkan tentara China.
Dampak Perang China-Jepang I, Perang China-Jepang I dinyatakan usai setelah Perjanjian Shimonoseki ditandatangani pada 17 April
1895. Berikut ini isi Perjanjian Shimonoseki. China mengakui kemerdekaan Korea China menyerahkan sebagian Manchuria kepada Jepang
China menyerahkan Taiwan dan Kepulauan Pescadores kepada Jepang China mengganti kerugian perang sebesar 200 juta tael Weihai-wei
akan diduduki Jepang selama China belum membayar kerugian perang Semenanjung Liaotung diserahkan kepada Jepang

Dengan menduduki Semenanjung Liaotung, Jepang berhasil menguasai sebagian kecil daerah di Asia. Berkat kemenangan dalam perang ini,
Jepang menjadi negara yang mempunyai pengaruh besar di Korea dan China. Sebaliknya, China, yang semula dianggap sebagai penguasa
timur jauh dan tertutup dari peradaban asing, dikalahkann oleh negara tetangga yang dulu menjadi pengagumnya. Hilangnya kekuasaan atas
Korea, yang merupakan negara pembayar upeti, membuat China terpukul dan memicu kemarahan rakyatnya. Kekalahan ini mendorong
terjadinya beberapa pergolakan politik dalam negeri China yang dipimpin oleh Sun Yat Sen dan Kang Youwei. Selain itu, Perang China-
Jepang I juga menelan banyak korban. Dari pihak China, ada sekitar 35.000 korban meninggal dan terluka. Sedangkan di pihak Jepang,
terdapat 13.823 korban meninggal dan 3.973 orang terluka.

Perang Imjin, adalah invasi Jepang ke Korea untuk pertama kalinya, yang terjadi dalam dua periode antara tahun 1592 dan 1598. Invasi
pertama, dimulai pada 23 Mei 1592, sedangkan invasi kedua dilancarkan pada 1597, setelah sempat terjadi gencatan senjata antara 1593-
1596. Dalam perang ini, Jepang melawan kekuatan Dinasti Joseon di Korea dan Dinasti Ming yang menguasai China. Tujuan utama Jepang
sebenarnya adalah menaklukkan China, tetapi Korea justru menjadi korban karena letaknya berada di antara dua negara berkonflik tersebut.
Perang Imjin berakhir pada 24 Desember 1598, ketika Jepang dipaksa pulang dengan menanggung kekalahan. Dampak Perang Imjin sangat
serius, terlebih pada hubungan Jepang dan Korea yang tidak pernah pulih hingga sekarang.

Jepang tidak diizinkan lewat, Perang Imjin diinisiasi oleh Toyotomi Hideyoshi, tokoh pemimpin militer yang menyatukan Jepang setelah
120 tahun terpecah belah secara politik. Ia menjadi pemimpin militer tertinggi di Jepang pada 1582, menggantikan Oda Nobunaga. Pada
1577, Hideyoshi, yang masih menjadi bawahan Nobunaga, menulis dalam sebuah surat bahwa ia mempunyai mimpi untuk menaklukkan
China, yang saat itu diperintah Dinasti Ming (1368-1644). Untuk menaklukkan China, ia perlu menaklukkan Korea, atau setidaknya
memimpin pasukannya melewatinya. Pada 1591, Hideyoshi mengirim utusan ke Joseon untuk menemui Raja Seonjo, guna meminta izin
mengerahkan tentara Jepang melalui Korea dalam perjalanannya menyerang China. Permintaan Hideyoshi ditolak Raja Seonjo, karena
hubungan Korea dengan China saat itu memang lebih baik daripada hubungannya dengan Jepang, yang memburuk akibat serangan bajak
laut Jepang. Penolakan itu tidak mengurungkan ambisi Hideyoshi, yang tetap mengumpulkan pasukan hingga mencapai 158.000 orang,
yang terdiri dari samurai dan prajurit berkuda. Hideyoshi juga membangun pangkalan angkatan laut yang besar di Kyushu, tepat di seberang
Selat Tsushima yang menghadap Korea. Kapal yang akan dikerahkan dari pangkalan tersebut terdiri atas kapal perang dan kapal bajak laut,
yang membawa sekitar 9.200 pelaut.Sebagai cadangan, Hideyoshi telah menyiapkan pasukan bersenjata lainya di Kyushu utara. Invasi
pertama Gelombang pertama pasukan Jepang tiba di Busan, Korea, pada 13 April 1592. Sebanyak tiga divisi samurai yang diangkut dalam
700 kapal segera menyerbu pertahanan Busan dan merebut pelabuhannya dalam hitungan jam. Beberapa tentara Korea yang selamat
mengirim utusan ke Raja Seonjo di Seoul, sedangkan sisanya memilih mundur ke pedalaman. Serangan mendadak dari Jepang benar-benar
membuat tentara Korea kalang kabut dan tidak berdaya. Setelah Busan takluk, tentara Jepang menuju Seoul, dan sempat menerima
perlawanan dari sekitar 100.000 pasukan Korea di Chungju. Banyaknya pasukan di Chungju sama sekali tidak mampu menghalau laju
tentara Jepang, yang dilengkapi dengan senjata api yang tidak dimiliki tentara Korea. Ketika kabar mengenai pembantaian di Chungju
sampai di Seoul, Raja Seonjo melarikan diri ke arah utara hingga mencapai Uiju, daerah perbatasan Korea dan China. Pada 12 Juni, tentara
Jepang telah merebut Seoul, yang saat itu masih disebut Hanseong. Tentara Jepang yang sangat perkasa di darat, dihentikan oleh Laksamana
Yi Sun Shin, Komandan Angkatan Laut Kiri Provinsi Cholla. Laksamana Yi Sun Shin tidak hanya sekadar membangun kekuatan angkatan
laut Korea, tetapi juga menemukan kapal jenis baru yang disebut kobukson atau kapal kura-kura, kapal perang berlapis besi pertama di
dunia. Dengan kapal kura-kura dan taktik pertempuran yang brilian, Laksamana Yi menang telak atas Jepang. Tanpa mengorbankan satu
kapal pun, Laksamanan Yi dapat melibas 114 kapal Jepang dan ratusan pelautnya. Meski armada Laksamana Yi jauh lebih kecil daripada
Jepang, mereka jauh lebih terlatih. Pada 8 Juli 1592, Laksamana Yi kembali mempermalukan Jepang. Armadanya yang hanya membawa 56
orang dapat mengepung 73 kapal Jepang dan menghancurkan 47 di antaranya. Tidak hanya itu, 12 kapal Jepang lainnya juga ditangkap dan
sekitar 9.000 tentara serta pelautnya tewas. Kekalahan itu membuat pasukan Jepang di Korea tidak berkutik karena tidak memiliki pasokan,
bala bantuan, atau pun jalur komunikasi. Jepang tidak mengalami perkembangan setelah menguasai Pyongyang pada 20 Juli 1592. Situasi
semakin tidak menguntungkan bagi tentara Jepang ketika puluhan ribu rakyat jelata Korea ikut bangkit dan memulai perang gerilya
melawan mereka. Kaisar Wanli yang memerintah Dinasti Ming akhirnya menyadari bahwa invasi Jepang ke Korea merupakan ancaman
serius bagi China. Kaisar Wanli mengirim sekitar 50.000 pasukan di bawah pimpinan Jenderal Li Rusong ke Korea dan mengalahkan tentara
Jepang di Pyongyang pada Februari 1593. Pasukan Jepang akhirnya mundur ke Seoul, yang disusul dengan upaya perundingan yang
berjalan berlarut-larut karena tidak terjadi kesepakatan. Invasi kedua Negosiasi yang gagal mendorong Hideyoshi untuk mengirimkan 1.000
kapal yang mengangkut 100.000 tentara. Pasukan tersebut dikirim pada 27 Agustus 1597 untuk memperkuat 50.000 tentara yang tersisa di
Busan. Dalam perang putaran kedua ini, Hideyoshi menurunkan targetnya. Ia tidak langsung ingin menaklukkan China, tetapi Korea. Meski
angkatan laut Jepang berhasil mengalahkan angkatan laut Korea dalam Pertempuran Chilcheolyang akibat absennya Laksamana Yi yang
dipenjara Raja Seonjo, tentara Korea jauh lebih siap daripada saat invasi pertama. Terlebih, pasukan China juga masih berada di Korea.
Pasukan Korea semakin perkasa ketika Laksamana Yi dibebaskan dan dikembalikan ke posisinya semula. Pasukan Jepang yang berencana
merebut seluruh pantai selatan Korea kemudian menuju Seoul, dihentikan oleh pasukan gabungan Joseon-Ming di Jiksan (sekarang
Cheonan) dan dipaksa mundur kembali ke Busan. Pada 18 September 1598, Hideyoshi meninggal dunia. Kematian Hideyoshi secara praktis
mengakhiri Perang Imjin. Tiga bulan kemudian, semua pasukan Jepang dipanggil pulang dan meninggalkan Semenanjung Korea. Jepang
tidak hanya pulang tanpa hasil, hubungannya dengan Korea tidak pernah pulih sampai sekarang.

Latar Belakang Terjadinya Perang Jepang-Rusia 1904-1905, Ketika Kaisar Meiji berkuasa sejak tahun 1868, Jepang mengalami
modernisasi di berbagai bidang dengan berorientasi kepada negara-negara barat. Modernisasi ini sukses menghantarkan Jepang menjadi
negara super power baru di benua Asia dengan sifatnya yang imperialis. Sifat tersebutlah yang menyebabkan Jepang melakukan ekspansi
untuk menguasai Korea dan Manchuria guna menanamkan kepentinganya dibidang politik dan ekonomi. Setelah perang Cina-Jepang I
(1894-1895) Jepang berhasil menang dan mengadakan Perjanjian Shimonoseki pada 17 April 1895, Jepang berhasil mendesak pemerintahan
Manchu untuk menyerahkan sebagian wilayah-wilayahnya seperti Taiwan, Kepulauan Pescadores, Manchuria selatan dan Semenanjung
Lioutung termasuk Port Artur didalamnya (Agung, 2012). Akan tetapi Rusia tidak senang atas penguasaan Jepang terhadap Semenanjung
Liaotung. Alasannya karena Jepang dirasa menghalangi sekaligus membahayakan kepentingan politik air hangatnya di perairan Korea dan
Manchuria, Arsitek utama dari kebijakan Rusia di Timur Jauh selama periode ini adalah menteri keuangan Sergei Witte. Tujuan Witte adalah
untuk mengubah kondisi ekonomi Rusia yang pada saat itu kian memburuk melalui eksploitasi komersial dan industri di Cina Utara.
Kepentingan tersebut ditujukan guna memperoleh pelabuhan air hangat dan pembangunan rute darat menuju Eropa. Dengan pemberlakuan
kebijakan tersebut diharapkan Rusia mampu menyalurkan lalu lintas kegiatan ekonomi melalui wilayahnya yang menguntungkan
perdagangan antara Asia Timur dan Eropa Barat. Rencana yang di gawangi Sergei Witte memiliki dasar karena pada saat itu Terusan Suez
menjadi jalur perekonomian utama dunia. (Weels & Wilson, 1999). Rusia kemudian menggandeng negara-negara yang tidak suka terhadap
penguasaan yang dilakukan oleh Jepang. Dengan demikian terciptalah Aliansi atas Rusia-Jerman-Prancis untuk membendung pengaruh
Jepang di Manchuria. Aliansi ketiga negara tersebut kemudian membuat nota keberatan atas diserahkannya Semenanjung Liaotung kepada
Jepang. Karena desakan tersebut Jepang kemudian menyetujui untuk mengubah syarat perdamaian dalam menanggapi nota keberatan dari
Rusia, Jerman dan juga Prancis dengan imbalan tambahan sebesar 30 juta tael perak yang harus dibayar oleh Cina. Karena Pihak Aliansi
berhasil mempertahankan Semenanjung Liaotung menjadi bagian dari wilayah Manchuria, atas jasa tersebut pihak aliansi berhasil medapat
imbalan berupa hak sewa di semanjung Liaotung. (Mainardi,2020) Pada tahun 1896 pemerintah Rusia, atau lebih tepatnya Bank Rusia-Cina
yang disponsori oleh pemerintah diberikan hak untuk membangun jalur rel kereta api melintasi wilayah Cina dari Vladivostok-Chita. Jalur
tersebut memotong rute Trans-Siberia sejauh 450 mil dan memberi pertanda cepat bagi penetrasi ekonomi di wilayah Manchuria. Teruntuk
Rusia berhasil mendapat wilayah Port Arthur (pangkalan militer) dan Dairen (pelabuhan komersil) di bagian semenanjung. Disinilah awal
mula ketidak sukaan Jepang terhadap Rusia (Weels & Wilson, 1999). Langkah yang Rusia ambil ini kemudian mengarah kepada
progresifitas dalam menanamkan pengaruhnya ke China dan Korea (pada saat itu berada di bawah pengaruh China) karena Rusia berhasil
memperoleh sejumlah konsesi di bidang ekonomi. Perluasan tersebut mulai secara langsung bertentangan dengan kepentingan Jepang
dalam mengembangkankan politik ekspansinya ke wilayah daratan Asia. Dengan demikian, para pemimpin Jepang menjadi semakin yakin
konflik dengan Rusia diperlukan (Madison, 2020). Pada tahun 1900, sebuah kelompok konservatif di Cina mendirikan sebuah perkumpulan
rahasia bernama Yi Ho Tuan, yang dikenal orang Barat sebagai “boxer”. Gerakan ini bertujuan untuk menyelamatkan negara dari
pendudukan negara-negara Barat. Gerakan tersebut pertama kali menimbulkan pemberontakan di Shantan dan kemudian menyebar ke
tempat lain, terutama di Beijing. Delegasi asing di Beijing dikepung oleh gerakan tersebut. Merespon hal yang sedang terjadi negara-negara
barat kemudian segera membentuk pasukan internasional yang terdiri dari delapan negara (Amerika Serikat, Inggris Raya, Jerman, Rusia,
Prancis, Italia, Austria, dan Jepang) untuk memerangi Pemberontakan Boxer. Berkat kesatuan tentara internasional, Pemberontakan Boxer
akhirnya dapat ditundukkan dan Protokol Beijing diserahkan pada tahun 1901. Rusia telah memberi tahu negara-negara Barat bahwa
pengiriman bersifat sementara dan pasukan akan segera ditarik jika keadaan sudah pasti. Tetapi kenyataannya tentara Rusia tetap
ditempatkan di daerah tersebut pasca Pemberontakan Boxer berakhir. Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran di negara-negara Barat,
terutama Inggris dan Jepang. Mereka memprotes dengan Amerika Serikat. Mereka mencari integritas teritorial dan jaminan kesetaraan
politik bagi orang asing di Manchuria dan Cina. Rusia tetap acuh tak acuh terhadap protes. Bagi Jepang, tindakan Rusia di Manchuria berarti
mendekati Korea Selatan, mendekati Korea Selatan berarti mendekati Jepang. Jepang Kemudian dengan keras memprotes tindakan Ru sia,
ada beberapa negosiasi di antara kedua negara tersebut namun selalu gagal karena baik dari pihak Jepang ataupun Rusia masih berpegang
teguh pada prinsip masing-masing. Pemerintahan Rusia menyatakan bahwa Jepang tidak berhak mencampuri masalah Manchuria, mengakui
bahwa perselisihan antara kedua negara tidak dapat diselesaikan dengan cara damai, dan Jepang semakin memperkuat pasukannya (Agung,
2011). Konflik tersebut kian memanas akibat kebijakan Rusia yang terkait dengan usaha konsesi kayu yang di prakarsai oleh Aleksandr
Mikhailovich Bezobrazov. Ia telah terlibat dalam skema untuk mengembangkan konsesi kayu di sepanjang sungai Yalu yang menjadi
perbatasan antara Cina dan Korea. Pada 15 Mei 1903 Tsar Nicholas II memerintahkan pengusiran pengaruh asing dari Manchuria dan
penguatan pasukan Timur Jauh. Rusia kemudian memindahkan pasukan militernya ke dekat wilayah perbatasan Manchuria-Korea. Untuk
menindak lanjuti rencananya Bezobrazov kemudian berhasil mengadakan rapat kabinet, yang diketuai oleh Tsar itu sendiri, Suara rapat
menunjukkan keconcondongan untuk membentuk Perusahaan Kayu Timur Jauh Rusia, dengan anggota keluarga kerajaan dan juga para
bangsawan sebagai pemegang saham. Bezobrazov juga memiliki pengaruh kuat dalam pusaran elit politik dan berhasil memerintahkan
penerjunan lebih banyak pasukan ke wilayah Timur Jauh tanpa berkonsultasi dengan Kuropatkin (menteri perang saat itu). Berita mengenai
perkembangan kebijakan Rusia tersebut disertai dengan penolakan Rusia untuk menerapkan perjanjian penarikan prajurit kemudian
membangkitkan semangat Jepang dalam memusihi Rusia. Merespon hal tersebut Jepang kemudian melakukan agenda internal dengan
serangkaian pertemuan pejabat, perwira angkatan darat dan angkatan laut. Pada Mei 1903 terjadi sebuah kesimpulan bahwa perambahan
Rusia harus dihentikan karena sangat mengganggu kepentingan politik-ekonomi Jepang di wilayah Cina dan Korea. Tidak menyadari sikap
permusuhan Jepang, pada bulan Agustus Nicholas merampas otoritas Lamsdorf dan Kuropatkin atas urusan Timur Jauh dengan menunjuk
Alexeyev Viceroy sebagai gantinya. Pada tanggal 23 Juni Kaisar Meiji telah setuju bahwa, Jepang harus berperang dengan Rusia.
Pemerintah Jepang kemudian secara Resmi mengumumkan Perang kepada Rusia pada 10 Februari 1904 (Jukes. 2002). Jepang mengetahui
jika konflik dengan Rusia dikemudian hari bisa pecah sewaktu-waktu mengingat ketegangan yang di alami oleh kedua negara ini tidak
pernah surut. Untuk itu Jepang kemudian menyiapkan strategi-strategi baik sebelum maupun ketika perang meletus dengan Rusia untuk
menciptakan peluang kemenangan yang lebih besar. Sebelum perang berkecamuk Jepang sudah terlebih dahulu menggandeng Inggris untuk
melakukan perjanjian aliansi di tahun 1902 agar jika perang meletus sikap yang diambil oleh Negara Inggris tidak menguntungkan Rusia.
Secara politik Inggris di beberapa tahun terakhir sebelum perang meletus memang memiliki hubungan politik yang kurang mengenakkan
dengan Rusia, dan ketika Jepang menyodorkan sebuah aliansi maka Inggrispun menyambutnya dengan tangan terbuka (Stone, 2014)

Langkah Taktis Kemenangan Jepang Dalam Perang Dengan Rusia, Untuk menindak lanjuti pernyataan tersebut Jepang kemudian
memblokir wilayah Port Arthur dengan segera. Setelah itu Jenderal Kuroki memobilisasi tentara Jepang untuk menduduki wilayah Korea
dan kemudian Dairen. Di Port Arthur kapal-kapal militer milik angkatan laut Rusia berhasil di kalahkan oleh angkatan laut Jepang dibawah
kepemimpinan Jenderal Nogi. Selanjutnya Jepang berhasil menduduki wilayah Rusia di Vladivostok. Dengan kekalahan-kekalahan tersebut
diringi dengan mental tentara Rusia yang terus tergerus pada akhirnya dibawah pimpinan Jenderal Stossel Rusia pada akhirnya menyerah
kepada Jepang (Agung, 2012) Sebelum terjadinya penyerahan, momen yang menjadi penentu dari kemenangan Jepang adalah Pertempuran
antara armada Rusia dan Jepang di spanjang Selat Tsushima Pada 27-28 Mei 1905. Pertempuran laut ini menjadi yang terbesar dalam
sejarah Perang Jepang-Rusia. Jepang mendatangkan tiga skuadron angkatan laut yang terdiri dari 31 kapal perang, 15 kapal torpedo, serta 21
kapal perusak. Sedangkan dipihak Rusia terdapat dua skuadron yang terdiri dari 12 kapal perang, 6 kapal penjelajah, 9 kapal perusak, 2
kapal pengawal, dan 9 kapal angkut. Pertempuran dua hari itu merupakan pencapaian terbesar Angkatan Laut Jepang. Sekitar dua per tiga
dari kapal Rusia dapat ditenggelamkan, enam kapal dapat ditawan dan hanya empat kapal yang berhasil kembali ke Vladivostok (Astuti,
2014). Selain penerapan strategi pemblokiran Port Arthur, Keuntungan terbesar Jepang dalam memenangkan perang adalah karena kekuatan
militer Jepang diposisikan sekitar 100 mil jauhnya dari Semenanjung Korea dengan memanfaatkan lokasi geografis berupa jarak terpendek
dari Pulau Kyushu. Sebaliknya, jarak dengan kereta api dari Moskow ke Port Arthur hampir lima ribu mil. Memperumit masalah
ditimbulkan oleh jarak yang sangat jauh ini adalah fakta bahwa Kereta api Trans-Siberia hanya memiliki satu jalur dan belum sepenuhnya
selesai. Demikian pula, hampir dua pertiga kapal perang Rusia terletak di Laut Hitam atau Laut Baltik. Armada Pasifik Rusia juga dibagi
antara yang baru saja diakuisisi Port Arthur dan pangkalan timur yang berada di Vladivostok. Setiap bala bantuan Rusia harus melakukan
perjalanan dengan kapal dan berlayar di sekitar Tanjung Harapan, perjalanan ini memakan waktu beberapa minggu (Mainardi, 2020). Selain
itu Jepang mulai melakukan kampanye untuk memberikan citra positif kepada negara-negara barat. Sekelompok kecil pejabat kementrian
luar negeri melakukan sebuah survei sistematis mengenai bagaimana cara pandang dunia barat terhadap bangsa dan negaranya. Jepang juga
mengurangi narasi-narasi yang beredar di Eropa mengenai kebengisan yang dilakukan oleh militer Jepang selama perang Cina-Jepang I
(1894-1895) dengan di lakukannya pembantaian dan juga kekerasan terhadap penduduk sipil di wilayah Port Arthur. Di tahun 1900 Jepang
mengumpulkan berbagai Jenis informasi terkait dengan pemerintahan dalam negeri dan juga pandangan bangsa Eropa mengenai konflik
Rusia-Jepang. Di mata bangsa Eropa, Jepang pada saat itu dianggap sebagai bahaya orang-orang Kuning Asia. Pada tahun 1903 Jepang
melakukan manuver hubungan luar negeri dengan mengirimkan Suematsu Kencho ke Eropa dan Kaneko Kentaro ke Amerika Serikat untuk
menempatkan wajah positif pada setap tindakan yang dilakukan. Saat perang berlangsung untuk mengubah citra tentara dan juga negaranya,
atas perintah peminpin-pemimpin militer. Jepang sangat menerapkan protokol-protokol internasional yang telah disepakati di tahun-tahun
sebelumnya. Saat perang berlangsung bahkan penerapanya melebihi dari apa yang diharapkan isi dari protokol tersebut. Contohnya ialah
dalam pelayanan medis, Jepang tidak membedakan baik lawan maupun di pihak sendiri. Ketika medan pertempuran berhasil dikuasai oleh
Jepang para tentara Rusia yang terluka parah dirawat dengan sebaik mungkin, pemberlakuan tahanan militer yang lebih manusawi,
keramahan yang diberikan kepada tenaga medis orang-orang kristen eropa yang pada saat itu secara sukarela turut bergabung untuk
mengobati korban yang terluka, sikap respect kepada musuhnya. Pemberitaan mengenai Jepang di mata orang-orang Eropa ini telah
mengubah pikiran mereka mengenai bahaya kuning Asia yang sebelumnya terjadi di akhir abad ke-20. Keefektifan dari strategi yang
diterapkan dalam memobilisasi tentara, penguasaan kondisi geografis di medan perang, dan juga kekuatan militer Jepang terutama angkatan
lautnya mendapat pengakuan di mata orang-orang Eropa (Kowner,2001) Dalam rangka mengakhiri perang, wacana perdamaian pertama kali
diusulkan oleh pihak Jepang. Rusia kemudian meresponnya dengan diskusi internal untuk menanggapi ajakan Jepang untuk mengakhiri
perang. Pendapat pun pecah ada yang menyetujui dan ada yang menolak ajakan tersebut. Dewan Pertahanan Ketua Grand Duke Nikolay
Nikolayevich dan Menteri Militer V.V. Sakharov berpendapat bahwa perang dapat dilanjutkan, meskipun dengan kesulitan dan kerugian
akan tetapi prediksi memungkinkan Rusia untuk memenangkan perang. Memperhitungkan keadaan masyarakat revolusioner dan situasi
keuangan Rusia yang sulit, meskipun tidak ada yang mempertanyakan kelebihan dan kekuatan tentara dan hasil akhir perang. Grand Duke
Nikolai Nikolaevich memberi tahu tsar bahwa itu akan memakan waktu sekitar satu tahun, 1 miliar rubel, dan 200.000 tewas dan terluka
untuk mengusir Jepang dari Manchuria sepenuhnya. Setelah mempertimbangkan semua pro dan kontra, Tsar Nicholas II menolak untuk
melanjutkan perang. (Shakarov, 2007).

Dampak Perang Jepang Rusia 1904-1905, Dampak yang ditimbukan dari perang ini yang pertama adalah terjadinya kerusuhan di negri
Rusia dan juga ditandatanganinnya perjanjian Poursmouth. Sebelum perundingan berlangsung pada 1905 terjadi penyebaran propaganda
anti pemerintah dan kerusuhan sosial yang meluas di negeri Rusia. Demonstrasi dan pemogokan menghalangi upaya perang dan
penggalangan pinjaman luar negeri. Kerusuhan tersebut yang kelak menjadi bibit dari Revolusi bolshevick di tahun 1917. Pemberontakan
kapal perang Potemkin di Laut Hitam pada bulan Juni 1905 adalah gejala kegelisahan yang juga mempengaruhi tentara Rusia di front
pertempuran Manchuria. Akibatnya, ketika presiden Amerika, Theodore Roosevelt, bertindak atas permintaan rahasia pemerintah Jepang,
secara resmi ditawarkan kepada bertindak sebagai mediator pada bulan Juni 1905, kedua belah pihak tertarik untuk memulai negosiasi.
Konferensi perdamaian dimulai di Portsmouth, New Hampshire, pada 9 Agustus. 1905. Rusia diwakili oleh Sergei Witte dan pihak jepang
diwakili oleh Baron Komura dan Takahira. Perjanjian Poursmouth kemudian menghasilkan berberapa kesepakatan diantarnaya, Rusia akan
mengakui hak dan kepentingan Jepang di Korea, menyetujui penarikan militer di Manchuria oleh kedua belah pihak, dan Rusia
menyerahkan Port Arthur dan kontrol dari Kereta Api di wilayah Manchuria Selatan ke Jepang. Poin tersulit dalam negosiasi menyangkut
pertanyaan lebih lanjut tentang masalah reparasi keuangan dan kontrol atas wilayah Sakhalin. Negosiasi pada akhirnya mencapai suatu
kesepakatan dengan ditandatangani perjanjian damai tersebut pada 5 September 1905. Hasilnya wilayah Sakhalin Selatan diberikan kepada
Jepang sementara Rusia mempertahankan Sakhalin bagian utara (Wells & Wilson, 1999). Kekalahan Rusia ini menyebabkan penurunan
pamor dari negara tersebut dimata dunia internasional. Dampak lain dari kemenangan Jepang memunculkan gelombang nasionalisme di
kalangan bangsa Asia untuk bangkit melawan pihak pemerintah kolonial (penjajah). Kemenangan Jepang menyebabkan runtuhnya konsepsi
lama masyarakat mengenai dimana “Barat” dianggap lebih superior dan “Timur” yang dipandang lebih inferior. Jepang berhasil mendobrak
persepsi tersebut dan berperan sebagai negara panutan. Dengan adanya pemahaman pola pikir seperti itu, ide-ide nasionalis dan revolusioner
dapat berkembang dengan harapan suatu saat dapat terealisasikan dengan baik di masa yang akan datang. Bangsa Asia melihat kemenangan
Jepang atas major Kekuatan Eropa sebagai simbol, dan pertanda bahwa mereka mampu mempunya prospek dalam membebaskan diri dari
kekuasaan kolonial (Kowner, 2007) Dilihat dari sisi Jepang, negara tersebut telah menjelma menjadi wujud kekuatan baru di Benua Asia.
Seluruh mata dunia Internasional tertuju pada Jepang, sehingga citra dari negara tersebut melonjak di mata dunia internasional. Hal tersebut
menyadarkan bangsa Eropa mengenai kemunculan kekuatan besar baru di Timur Jauh, sekaligus menjadi tantangan bagi negara-negara
Barat karena telah berhasil menghancurkan salah satu negara raksasa yakni Rusia. Kemenangan Jepang atas Rusia berdampak langsung bagi
China yang mulai bertanya-tanya mengapa Jepang bisa tumbuh menjadi negara raksasa baru. China kemudian mulai menggali alasan dan
mulai menyadari apa arti nasionalisme bagi bangsa dan negaranya. Dalam hal ini China kemudian mulai meniru model pemikiran Jepang
dalam memodernisasi negarannya. Kemenangan atas perang tersebut menyebabkan titik balik dari sejarah antar kedua negara. Jika
sebelumnya China sangat dikagumi dan ditiru oleh Jepang baik pemikiran maupun produk kebudayan, kini berubah menjadi sebaliknya
(Agung, 2012).

Peristiwa Revolusi Prancis adalah revolusi besar yang terjadi di benua Eropa maupun di dunia. Revolusi Prancis memiliki pengaruh yang
kuat terhadap tatanan masyarakat dunia. Revolusi Prancis terjadi karena tuntutan dari kaum rakyat jelata dan borjuis yang merasa sangat
terbebani atas kebijakan raja. Selain memiliki dampak yang besar bagi negara Prancis, revolusi besar-besaran tersebut berpengaruh juga
pada negara lain salah satunya Indonesia. Sejarah Revolusi Prancis, Revolusi Prancis secara besar-besaran terjadi pada abad ke-18. Puncak
revolusi Prancis berlangsung pada tahun 1789-1799. Awal mula revolusi ditandai dengan adanya serangan terhadap penjara Bastille pada 14
Juli 1989 dan diakhiri dengan adanya kudeta oleh Napoleon Bonaparte pada 19 November 1799. Secara garis besar, Revolusi Prancis
berisikan peristiwa peralihan kekuasaan dari Ancien Regime, orde lama, dalam bentuk monarki, kepada kekuasaan rakyat, dalam bentuk
republik. Revolusi Prancis menghasilkan beberapa slogan yang populer hingga saat ini yakni Liberty (kebebasan), Egality (Persamaan), dan
Fraternity (Persaudaraan). Penyebab Terjadinya Revolusi Prancis, Pendorong dari Revolusi Prancis adalah krisis sosial yang terjadi pada
masa pemerintahan Raja Louis XV (1715-1774). Saat itu terjadi krisis keuangan negara dan menjadikan raja harus menanggung hutang
kepada bankir Yahudi yakni Samuel Bernard. Utang yang besar tersebut merupakan peninggalan dari pemerintahan Raja Louis XIV yang
saat itu digunakan untuk memenuhi biaya Perang Kemerdekaan Amerika Serikat. Raja pada saat itu, mengatasi masalah utang dengan
menambah utang baru. Untuk menanggung hutang tersebut, Raja menarik pajak yang sangat membebankan kaum borjuis dan rakyat jelata
pada saat itu. Selain itu, mereka pun harus menyerahkan hasil panen dan kerja paksa atas perintah kaum bangsawan dan golongan gereja.
Selain itu, penyebab dari Revolusi Prancis adalah ambisi yang berkembang dan dipengaruhi oleh kaum borjuis, kaum petani, kaum buruh,
dan beberapa rakyat yang merasa tersakiti. Revolusi Prancis menciptakan negara Prancis saat ini memiliki UUD, memiliki badan legislatif,
dan negara Prancis sudah menuju ke arah demokrasi meski masih sempat muncul kembali pemerintahan otokrasi di bawah pimpinan
Napoleon Bonaparte. Pengaruh Revolusi Prancis Terhadap Indonesia, Revolusi Prancis merupakan revolusi besar di dunia yang memiliki
pengaruh terhadap negara lain, salah satunya adalah Indonesia. Revolusi Prancis memiliki dampak yang besar terhadap pergerakan bangsa
Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Beberapa paham tentang kebebasan dan kebersamaan yang dipegang oleh rakyat Indonesia
termasuk salah satu pengaruh dari Revolusi Prancis. Pemikiran-pemikiran tokoh dalam Revolusi Prancis membangkitkan gairah masyarakat
Indonesia untuk bebas juga dari penjajahan. Tokoh-tokoh pergerakan Indonesia pun pemikirannya tak bisa dilepaskan dari pengaruh
Revolusi Prancis. Beberapa golongan terpelajar pun menggunakan prinsip-prinsip dari Revolusi Prancis untuk menumbuhkan nasionalisme,
mengembangkan bidang pendidikan, melahirkan demokrasi hingga munculnya hak asasi manusia. Penderitaan-penderitaan yang ada di balik
Revolusi Prancis membuat masyarakat Indonesia pun tidak ingin mengalami penindasan yang sama dari penjajah. Oleh karena itu, Revolusi
Prancis membuat bangsa Indonesia lebih peduli terhadap perjuangan hak-haknya sebagai manusia.

Anda mungkin juga menyukai