Anda di halaman 1dari 7

BAHASA INDONESIA

“TEKS SEJARAH”
RUNTUHNYA HINDIA BELANDA

OLEH:
NI PUTU INTAN MAHA AYU DIYANTI
XII MIPA 1
22/13366

SMA NEGERI 5 DENPASAR


TAHUN AJARAN 2019/2020
RUNTUHNYA HINDIA BELANDA

Karya : Onghokham

Orientasi:

Pada tanggal 10 Mei 1940, tentara Jerman menyerbu Belanda yang kemudian diikuti
oleh pemerintahan Jepang. Setelah restorasi Meiji dan tentara, khususnya angkatan laut
mengambil alih kekuasaan, Jepang mulai menjadi kekuatan baru.

Komplikasi:

Mula-mula Jepang menyerang China pada tahun 1895 dan sepuluh tahun kemudian
berperang dengan Rusia. Kebangkitan ekonomi dan militer Jepang mulai diperhitungkan
sebagai kekuatan yang mengkhawatirkan di Asia. Sifat Jepang yang ekspansif tidak bisa
dikontrol dengan baik oleh Amerika dan Eropa, karena pada saat yang sama mereka sedang
sibuk dengan resesi ekonomi dan perang. Amerika mengalami krisis ekonomi di tahun 1930
dan menyebabkan mereka mengisolasi diri untuk fokus mengatasi masalah ekonomi dalam
negeri. Sementara di Eropa terjadi perang antara Jerman dengan Inggris yang bersekutu
dengan Perancis. Setelah menguasai Indocina dan Filipina, Jepang akhirnya mengincar
Hindia Belanda.
Jepang melakukan negosiasi perdagangan yang penuh tekanan kepada Hindia
Belanda. Tekanan dilakukan lebih kuat setelah pemerintahan Netherland melarikan diri ke
London karena serangan Jerman. Jika awalnya Jepang hanya ingin menjamin pasokan bahan
baku dari Hindia Belanda, di akhir perundingan Jepang menginginkan eksploitasi bersama
terhadap kekayaan alam Nusantara.
Melihat kekuatan Jepang dan kebencian terhadap Belanda, beberapa tokoh pergerakan
mulai mendekat kepada Jepang. Sam Ratulangi, Subardjo adalah contoh dua tokoh
pergerakan yang mulai tertarik kepada Jepang. Tokoh lain yang mendekat kepada Jepang
adalah Muhammad Husni Thamrin. Namun demikian ada juga tokoh pergerakan yang kritis
dan berani. S. K. Trimurti banyak menulis tentang bahayanya Jepang bagi Indonesia. S. K.
Trimurti mengingatkan bahwa selama ini Indonesia sudah menderita karena ekploitasi.
Kedatangan Jepang yang akan mengekploitasi bersama justru akan meningkatkan
penderitaan. Meski ada beberapa tokoh pergerakan yang anti Jepang, namun lebih banyak
tokoh-tokoh pergerakan yang melihat Jepang sebagai pihak yang bisa diajak bekerjasama
mencapai kemerdekaan.
Sejak de Jonge menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, dia melakukan
pemerintahan yang represif. Janji November 1918, yaitu janji dari Jenderal Linburg Stirum
untuk memberikan kemerdekaan secara bertahap kepada Indonesia diingkari. Alih-alih
memberikan ruang kepada anak negeri untuk mengisi posisi di pemerintahan, de Jonge malah
mendatangkan banyak pegawai negeri (binnelandsch bertuur) dari Belanda. Untuk mencegah
pemberontakan yang terorganisir, de Jonge mengembalikan pemerintahan di daerah kepada
kaum adat. Namun demikian dalam praktik pemerintahan oleh para bupati, de Jonge
mengirimkan residen dan wakil residen yang adalah orang Belanda. Bupati dijepit oleh dua
kekuasaan. Dalam pengambilan keputusan, residen lebih berkuasa daripada bupati.
Sementara dalam implementasi kebijakan, asisetn residen lebih dominan. Gubernur jenderal
de Jonge juga mendirikan dinas intelejen (Politieke Inlichtingen Dienst – PID) yang
ditugaskan untuk menjaga keamanan. PID pada praktiknya melakukan pengamatan kepada
semua pergerakan dan perorangan yang dianggap berbahaya. Kebijakan yang diambil de
Jonge ini membuat rakyat menjadi muak dan tidak berpihak kepada Belanda.
Menyadari bahwa banyak tokoh pergerakan memalingkan hati ke Jepang, Belanda
mencoba menarik perhatian tokoh-tokoh pergerakan dengan menempatkan beberapa dari
mereka dalam pemerintahan. Amir Sjarifuddin misalnya, diangkat menjadi orang penting di
Departemen Ekonomi.
Kesalahan antisipasi Hindia Belanda terhadap Perang Dunia II adalah faktor lain yang
menyebabkan runtuhnya Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda merasa memiliki
kekuatan untuk mengatasi Jepang. Saat pemerintah Belanda sudah jatuh ke tangan Jerman,
dan Ratu sudah mengungsi ke London, Pemerintah Hindia Belanda masih bernegosiasi
dagang dengan Jepang. Namun saat Pemerintah Amerika menyatakan perang kepada Jepang,
Hindia Belanda serta merta mendukungnya dan ikut menyatakan perang kepada Jepang.
Padahal saat itu sekutu Amerika belum ada yang menyatakan perang kepada Jepang. Sikap
terlalu percaya diri bahwa Hindia Belanda memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan
Jepang ternyata salah. Perekrutan milisi dari masyarakat tidak berjalan baik. Belanda hanya
mengandalkan tentara dari kerajaan-kerajaan, seperti Mangkunegaran Pakualaman dan
Keraton Surakarta dan Jogjakarta. Sementara kekuatan Sekutu yang diharapkan ternyata tidak
terlalu terorganisir.
Faktor penting yang tak bisa diabaikan adalah pergerakan nasional. Sejak tahun 1918,
pergerakan nasional mulai tumbuh. Jika sebelumnya gerakan perlawanan kepada Belanda
bersifat kedaerahan, sejak tahun 1918, gerakan untuk merdeka sudah mengkristal.
Dinamika pergerakan ini sangat dinamis, gerakan nasional dibagi menjadi empat fase,
yaitu: (1) fase 1920-1930, (2) fase 1930-1940, (3) fase 1940-1941 dan (4) 1941-1942. Fase
1920-1930 adalah fase awal yang menggebu-gebu. Hal ini disebabkan karena ada janji dari
Pemerintah Hindia Belanda yang akan memberikan kemerdekaan secara bertahap. Namun
fase ini juga ditandai sifat pergerakan yang non kooperatif. Sementara fase kedua, yaitu
pergerakan dari tahun 1930-1940 ditandai dengan sikap yang lebih kooperatif dan bergaya
barat. Pergerakan menggunakan alat-alat barat, seperti parlemen dan mass media untuk
mencapai tujuannya. Gerakan teosofi, yaitu gerakan keagamaan bergaya barat mendapat
tempat yang tinggi.
Fase 1940-1941 adalah gerakan yang kembali tidak kooperatif dan ditandai dengan
bangkitnya gerakan golongan Islam. Tokoh-tokoh pergerakan pada umumnya adalah
golongan muda yang lebih terorganisir. Mereka ini memiliki disiplin dan kemampuan
organisasi yang lebih baik. Sebab mereka rata-rata adalah pemuda yang memiliki latar
belakang sekolah dan organisasi kepanduan. Pada fase ini Gabungan Politik Indonesia
(GAPI) dan Madjlisul a’laa Indonesia (MAIA) menjadi dua organisasi yang menyatukan para
aktifis pergerakan. Kedua kelompok ini, meski ada perbedaan di antara keduanya dan
diantara anggotanya, memiliki cita-cita yang sama, yaitu “Indonesia Merdeka”. Sedangkan
fase 1941-1942 ditandai dengan semakin dekatnya tokoh pergerakan kepada Jepang dan
penangkapan-penangkapan serta pengasingan tokoh-tokoh pergerakan.

Resolusi :
Sikap kecewa tokoh pergerakan karena diingkarinya janji November adalah menjadi
pemicu utama mengkristalnya pergerakan Indonesia yang anti Belanda dan memperjuangkan
kemerdekaan dengan cara yang tidak kooperatif. Faktor ini menjadi sumber gagalnya gerakan
semesta untuk mempertahankan Hindia Belanda dari serangan Jepang.
Pada tanggal 10 Desember 1941 Cavite diserang dari udara dimana ternyata
pertahanan udara Amerika Serikat sama sekali tidak berdaya dan tidak berfungsi dan sekali
lagi pesawat-pesawat tersebut hancur dan menimbulkan kerugian-kerugian.
Strategi Jepang untuk menghancurkan angkatan laut Amerika di Perl Harbor adalah
strategi yang jitu. Dengan hancurnya kekuatan angkatan laut Amerika maka penyerangan
terhadap kekuatan Jepang menjadi lambat. Sementara Eropa masih sibuk dengan perang.
Akibatnya Jepang dengan cepat bisa menguasai Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda.
Sehingga pada tanggal 8 Maret 1942 Hindia Belanda secara resmi mengumumkan menyerah
kepada Jepang.
Orientasi:
Membahas mengenai “Jepang di Asia Timur” yang banyak menceritakan tentang
kekuasaan Jepang dikawasan Asia Timur. Dimana pemerintah Hindia-Belanda selalu
waspada dan khawatir akan kemungkinan serbuan dari pihak Jepang. Jepang selalu
dipandang sebagai musuh yang paling berbahaya sekalipun belum pernah ada perang antara
Hindia-Belanda dengan Jepang. Disamping itu Jepang sendiri merupakan Negara yang
miskin akan bahan-bahan mentah dan pertambangan, sehingga Jepang berupaya untuk
mencari pasar-pasar baru untuk menunjang perkembangan industrinya. Kemudian Jepang
melakukan Politik Ekspansi yang sudah dimulai pada akhir abad ke-19 dengan kemenangan
Jepang atas Cina dalam perang Cina-Jepang yang pertama (1895) dan puncak kedua dalam
perang Rusia-Jepang (1905).
Tetapi dari tahun 1920 sampai 1930 negara-negara Barat berhasil mengekang Jepang.
Pada tahun itu Jepang mengalami kesalahan-kesalahan diplomatic di lapangan internasional.
Kekuatan Negara-negara barat agak terlalu besar untuk dihadapi dan Jepang sendiri. Pada
tahun 1930 di Jepang terjadi perubahan politik yang besar. Tujuan pertama dari politik ini
adalah Manchuria, yang status internasionalnya pada waktu itu dapat diragukan. Ekspasi di
Manchuria ini merupakan permulaan peperangan di Cina, memburuknya hubungan-hubungan
antar Jepang di satu pihak dan Amerika serta Inggris dilain pihak dan juga membawa banyak
kesukaran seperti konflik-konflik perbatasan yang mempunyai arti perang dalam skala militer
dengan Rusia. Melalui Anti-Comintern Pact Jepang bersekutu dengan Jerman dan Italia,
tetapi persekutuan ini tidak pernah terlalu berhasil dan hanya sebagai imbangan terhadap
Rusia dengan siapa Jepang mengadakan Perang perbatasan dalam skala militer yang besar.

Komplikasi:
Tuntutan-tuntutan dan aksi gerakan rakyat Indonesia yang berpuncak pada
pemberontakan 1926-1927 serta aksi PNI di bawah Ir. Soekarno dan Perhimpunan Indonesia
di bawah Hatta cs menyebabkan kekecewaan di kalangan Belanda liberal dan etis.
Laporan-laporan dari penelitian-penelitian para sarjana mengenai masyarakat atau
gerak-geriknya masyarakat sering menimbulkan pertentangan-pertentangan politis dan
idiologis hebat di kalangan pemerintahan.
Ketika tali hubungan antara pamong praja dan Belanda putusbdengan masuknya
Jepang, pamong praja juga harus membayar untu masa colonial. Petani-petani berdiri,
melakukan pemberontakan-pemberontakan di beberapa tempat menyerbu dan membunuh
orang-orang pamong praja, sampai pada saat “ tata tenteram” dikembalikan lagi oleh jepang.
Penindasan-penindasan dari pemerintah colonial memang ada dan yang lebih
menghawatirkan adalah bahwa politik penindasan ini bersifat “menghabiskan cendekiawan
Indonesiadi kalangan nasionalis”. Dengan adanya penindasan “ preventif” ini maka dapat kita
mengerti bhawa tahun 1930-an merupakan tahun-tahun sepi dari pergerakan nasional dan
kemacetan-kemacetan masyarakat, tidak saja disebabkan oleh sifat-sifat agrarisnya tetapi juga
oleh sifat-sifat kolonialnya. Disini tiap-tiap calon pemimpin masyarakat seperti,Soekarno,
Hatta, Tjipto, Sjahrir dan lain-lain dibuang dan ditindas bersama-sama dengan
perkumpulannya dan teman-temanya.
Terdapat perbedaan antara sifat pergerakan 1930-an – 1940-an dengan pergerakan
nasional tahun 1920-an. Pertama-tama pergerakan ini meninggalkan prinsip non-kooperasi,
jadinya menerima jabatan-jabatan sebagai wakil-wakil dewan rakyat dan lain-lain. Sifat
kepemimpinanya berubah, tidak ada lagi demagogen rakyat atau tokoh-tokoh yang dapat
berpidato di depan rakyat sperti Soekarno dan Tjokroaminoto dalam tahun-tahun yang lalu.
Kekuatan regim colonial dalam penindasan-penindasan dan perlakuannya terhadap
pergerakan mungkin menyebabkan “pengaguman” terhadap “Barat yang kuat” ini dan usaha
identifikasi diri bangsa yang dijajah oleh penjajah. Pada akhir-akhir pemerintahan Hindia-
Belanda ini ada unsure lain yang tidak kurang kuatnya yaitu sumpah pemuda 1928. Sumpah
Pemuda 1928 ini akan menemukan terus-menerus dan secara hebat perasaan persatuan
nasional yang semakin meningkat pada semua kalangan Indonesia yang dapat dilihat pada
waktu itu.
Zaman perang menciptakan banyak persoalan khususnya bagi pemerintah Hindia-
Belanda. Juga dalam hal hubungan dengan pergerakan nasional Indonesia dan dengan
masyarakat Indonesia pada umunya.
Karena tuntutan-tuntutan dan berbagai aksi maka pada akhirnya pemerintah sebagai geste
membentuk Komisi Visman untuk mengumpulkan pendapat-pendapat dan cita-cita politik,
social, dan lain-lain dari masyarakat. Pada aakhirnya Komisi Visma menghasilkan suatu
laporan dalam dua jilid setebal kira-kira 700 halaman tentang tuntutan-tuntutan dan harapan-
harapan Indonesia yang terbit tahun 1942 beberapa minggu sebelum pendudukan Jepang.
Pada tanggal 7 Desember angkatan udara Jepang yang diberangkatkan dari kapal-
kapal induk yang mendekati Pearl Harbour melemparkan bom-bomnya dan kapal selamnya
melancarkan torpedo-terpedo atas kapal-kapal perang Amerika Serikat yang terdiri dari
kapal-kapal induk dan perusak. Sebagian kapal tersebut ditenggelamkan atau terbakar habis
termasuk kapal terbang dan persediaan minyak. Dalam beberapa jam serangan udara dari
Jepang, Kekuatan Amerika Serikat di Timur Jauh dapat di katakana lumpuh.
Kerajaan Belanda atau Hindia-Belanda memberikan reaksi pertama atas serangan di Pearl
Harbour sebelum sekutu-sekutu yang lain menyatakan perang secara resmi serinng menjadi
bahan kritikan bagi sebagian masyarakat Belanda. Belanda bertindak tergesa-gesa karena
ingin menghilangkan sikap keragu-raguan sekutu terhadap Hindia-Belanda.
Penarikan mundur pasukuan dikatakan demi “taktik strategi militer untuk lebih menyerang
Jepang”. Tersangkutnya Hindia Belanda secara erat dengan negeri Belanda dalam lapangan
teknis ekonomi dan mili ter memberikan kedudukan jelek padanya. Dalam keadaan ini
Hindia Belanda memasuki perang modern melawan Jepang.

Resolusi:
Pada tanggal 10 Desember 1941 Cavite diserang dari udara dimana ternyata
pertahanan udara Amerika Serikat sama sekali tidak berdaya dan tidak berfungsi dan sekali
lagi pesawat-pesawat tersebut hancur dan menimbulkan kerugian-kerugian.
Keretakan hubungan Indonesia – Belanda dan debacle penguasaan Barat di Asia Tenggara
(Indonesia)menyebabkan runtuhnya Hindia –Belanda.

Anda mungkin juga menyukai