Anda di halaman 1dari 6

Krisis Finansial AS Ingatkan Memori Buruk

'Great Depression'
New York - Krisis finansial yang menyapu Wall Street atau bahkan keseluruhan perekonomian AS

membangkitkan memori buruk tentang peristiwa Great Depression di tahun 1929. Ketika itu,

masyarakat AS hidup dalam kesulitan keuangan bahkan sampai harus kelaparan.

Misalnya Helen Haas, yang harus kehilangan uang yang ditabungnya ketika krisis melanda di tahun

1929. Haas ketika itu bersama dengan ibunya ingin menarik US$ 50 di sebuah bank di Chicago,

namun ia hanya berhasil mendapatkan US$ 2.

Sementara Emerson Colaw harus kehilangan ladang pertaniannya ketika bank-bank ditutup. Ayah

Colaw akhirnya tak punya uang untuk menanam lagi kebunnya.

Dan seiring meledaknya jumlah PHK, jumlah warga AS yang kelaparan pun semakin banyak. Carl

Oles bahkan mengingat dirinya harus antre untuk mendapatkan sebuah roti basi di Baltimore.

"Kami tidak bisa mendapatkan roti yang baru dan tidak ada toko kue di sepanjang jalan. Cara terbaik

yang bisa kita lakukan adalah mendapatkan roti yang sudah berumur seminggu, membawanya ke

rumah dan menghangatkannya," kenang Oles seperti dikutip dari Reuters, Kamis (25/9/2008).

Great Depression tersebut sekaligus mengubah gaya hidup masyarakat 'generasi tua' di AS. Mereka

umumnya lebih berhati-hati dalam menggunakan uangnya.

Haas dan suaminya selalu menabung setiap dolar yang mereka bisa. Mereka juga mengatur uang

untuk bisa membayar cicilan rumah dan membeli barang lain, termasuk menabung.
"Tidak pernah ada lagi barang seperti kartu kredit kemudian. Suami saya tidak akan membeli sesuatu

kecuali membayarnya dengan tunai," ujarnya.

Colaw, yang kini sudah pensiun menyatakan, ia tidak memiliki kartu kredit hingga tahun 1948. Dan

setelah itu, ia selalu mengatur untuk mendapatkan keuangan yang berimbang.

"Karena saya enggan untuk berutang. Saya tidak pernah membawa kartu kredit saya, dan selalu

membayarnya dengan penuh," katanya.

Great Depression atau Depresi Besar merupakan sebuah peristiwa kehancuran bursa yang paling besar

dalam sejarah AS. Kehancuran bursa itulah yang selanjutnya ikut meruntuhkan perekonomian AS.

Pada saat terjadinya kehancuran tersebut, kota New York sedang bertumbuh menjadi ibukota finansial

yang utama dan metropolis. New York Stock Exchange (NYSE) ketika itu merupakan bursa efek

yang terbesar di dunia. Dan pasar yang sedang sedemikian bullish runtuh seketika pada 24 Oktober

1929 yang dikenal dengan Black Thursday.

Harga-harga saham di NYSE berjatuhan semuanya pada hari itu dan berlangsung terus selama sebulan

mencapai nilai terendah yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Terjadi kepanikan dimana semua

orang menjual saham yang dimilikinya.

Setelah keruntuhan tersebut, Dow Jones Industrial Average (DJIA) pulih lebih awal pada tahun 1930,

lalu jatuh kembali mencapai titik terendah pada tahun 1932. Hingga akhir tahun 1954, pasar bursa

tidak pernah kembali seperti pada saat sebelum tahun 1929.


Dan pekan lalu, sebuah kejatuhan bursa saham yang paling buruk kembali menerpa Wall Street pada

pekan lalu. Indeks Dow Jones pada 15 September terpuruk 4,42% ke bawah level 11.000, atau

merupakan kejatuhan terbesar sejak serangan teroris September 2001.

Kejatuhan saham-saham di Wall Street beriringan dengan ambruknya raksasa-raksasa lembaga

investasi yang selama ini menjadi maskot Wall Street. Lehman Brothers bangkrut, diikuti dengan

Merrill Lynch yang harus diakuisisi Bank of America, sementara American International Group

(AIG) harus dinasionalisasi melalui suntikan dana hingga US$ 85 miliar. Terakhir, sang legenda

Warren Buffet akhirnya menyuntikkan US$ 5 miliar ke Goldman Sachs untuk membantu

meningkatkan modalnya.

Maury Klein, profesor dari University of Rhode Island dan penulis "Rainbow's End: The Crahs of

1929" mengungkapkan, banyak hal yang terjadi saat ini menyerupai dengan peristiwa yang terjadi 79

tahun silam itu.

"Hal yang sama dalam setiap kasus adalah Anda memiliki situasi dimana Anda mulai bermain-main

bahkan dengan bagian yang lebih besar pada masalah yang Anda tidak mengerti," katanya.

Pemerintah AS akhirnya mengajukan rencana penyelamatan dari krisis finansial yang nilainya

mencapai US$ 700 miliar atau sekitar Rp 6.500 triliun. Jika rencana ini disetujui oleh kongres, maka

total biaya yang harus digelontorkan oleh pemerintah AS untuk penanganan krisis ini mencapai US$

1,8 triliun.

Presiden George Walker Bush telah mendesak kongres untuk menyetujui rencana penyelamatan krisis
tersebut, untuk menghindari kejatuhan ekonomi AS. Namun para anggota kongres masih tarik ulur,

dengan tetap menekankan agar rencana tersebut tidak sampai merugikan para pembayar pajak di AS.

Hingga kini, belum jelas kapan masalah krisis finansial yang telah menimbulkan keguncangan di

seluruh dunia ini akan berakhir. Namun setidaknya, masyarakat AS seperti Colaw ataupun Haas

berharap tak mau peristiwa Great Depression itu terulang lagi sekarang ini.

Lanjutan dari buku


Peran Franklin D. Roosevelt

Pergantian presiden kepada Franklin D. Roosevelt memunculkan harapan akan berakhirnya krisis.

Dalam 100 hari pertama kerjanya, Roosevelt mendorong Kongres untuk meloloskan undang-undang

baru yang disebut sejarawan Lawrence Davidson dengan “kapitalisme berjaring pengaman subsidi.”

Langkah Roosevelt terlihat lebih konkret jika dibandingkan dengan Hoover. Hoover, seperti yang

tertulis dalam artikel Kyle Wilkison di Collin County Community College District berjudul “The

Great Depression and the New Deal,” tidak berbuat banyak untuk menghentikan krisis. Hoover

beranggapan pasar bebas akan mengoreksi sendiri kesalahan yang ada. Dia juga khawatir bahwa

bantuan ekonomi akan membuat orang-orang malas bekerja. Motivasi terbesar Hoover ialah menjaga

agar anggaran dapat seimbang. Saat Kongres menekan Hoover untuk mengambil tindakan, ia justru

memfokuskan kebijakan pada kestabilan bisnis; sesuatu yang tidak memberi signifikansi di masa

krisis.

Kongres akhirnya meloloskan rancangan program yang diajukan Roosevelt. Program yang bernama

“New Deal” ini berisi 47 program yang dibagi dalam tiga tahapan eksekusi dari 1933 sampai 1939.

Program-program yang tertera dalam “New Deal” meliputi penutupan dan pemeriksaan kepada semua
bank agar dapat sehat secara finansial, pemotongan gaji pegawai pemerintah maupun militer sebesar

15%, mempekerjakan sekitar 3 juta orang selama 10 tahun untuk menggarap lahan publik, menukar

emas dengan mata uang dolar, mendanai pekerjaan di bidang pertanian, konstruksi, pendidikan,

maupun kesenian, dan juga memberikan pinjaman pada para petani untuk menyelamatkan ladang

ternak dari penyitaan.

Kebijakan-kebijakan yang diluncurkan Roosevelt melalui “New Deal” perlahan memperlihatkan

hasil. Pada tahapan pertama, pertumbuhan ekonomi Amerika mencapai angka 10,8%. Lalu, pada

tahapan kedua, pertumbuhan ekonomi turun meski masih di angka tinggi yakni 8,9%. Pada tahun

1936, pertumbuhan ekonomi kembali naik dan menyentuh angka 12,9%.

Walaupun demikian, konsistensi hasil dari kebijakan “New Deal” tak berjalan mulus. Setelah

menunjukkan tanda pemulihan yang baik di musim semi 1933 hingga 1936, krisis kembali muncul di

tahun 1937 saat Federal Reserve memutuskan untuk meningkatkan persyaratan guna memperoleh

cadangan uang. Terlebih, saat itu Roosevelt juga memotong pengeluaran pemerintah yang membuat

ekonomi mengalami kontraksi di angka 3,3%.

Terlepas dari hasil yang dipetik Roosevelt, sejak mula berlakunya “New Deal” mendapati banyak

kritikan. Hal yang paling jelas ialah ketika penerapan “New Deal” dianggap terlalu sosialis atau tidak

mencerminkan nilai Amerika pada kebiasaannya. Kritikan tersebut diungkapkan para pengusaha di

tahun 1934. Sedangkan Hoover, presiden terdahulu mengatakan kebijakan “New Deal” akan

membawa Amerika dalam gaya fasisme yang dijalankan Mussolini atau Hitler.
Perdebatan lain muncul menyoal bagaimana masa Depresi Besar yang berjalan satu dekade berakhir.

Apakah karena efek kebijakan Roosevelt atau faktor lainnya seperti kondisi Perang Dunia II yang

hadir tak jauh dari waktu itu. Robert Higgs, dalam bukunya berjudul Depression, War, and Cold War:

Challenging the Myths of Conflict and Prosperity menantang kesimpulan berakhirnya masa Depresi

Besar disebabkan oleh kondisi perang. Menurutnya, walaupun belasan juta warga Amerika turut

dalam peperangan, hal tersebut tidak mengurangi tekanan yang disebabkan masa krisis.

Burton W. Fulson dalam tulisannya yang dimuat di Foundation for Economic Education menyatakan

perang hanya menunda masalah pemulihan akan krisis. Asumsi menggunakan dalil peperangan perlu

dipertanyakan lagi mengingat membangun fasilitas guna memenangkan peperangan juga memerlukan

pendanaan yang banyak. Dan pendaan tersebut bakal membebani anggaran negara.

Sedangkan Pew Research Center dalam penjelasannya menyebutkan dari masa krisis Depresi Besar

terdapat dua pelajaran yang bisa diambil. Pertama, program sosial dan kontrol atas perbankan yang

dilakukan “New Deal” membuat Amerika mendapat manfaat selama beberapa dekade. Kedua,

kepercayaan masyarakat Amerika selepas krisis menuntun ke arah penguatan institusi keuangan guna

melawan tantangan krisis ekonomi di masa mendatang.

Entah apakah program “New Deal” berhasil mengatasi krisis atau tidak, yang jelas setiap negara

rentan terhadap bencana ekonomi seperti Amerika.

Anda mungkin juga menyukai