Anda di halaman 1dari 17

MENIMBANG DUNIA PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA DI TENGAH INTEGRASI EKONOMI ASEAN (AEC) 2015

Oleh: Imam Baehaqie Abdullah

I.

Globalisasi: Sekadar Pengantar

Istilah globalisasi digunakan pertama kali di tahun 1985 oleh Theodore Levitt. Waktu itu, Levitt menggunakan istilah globalisasi untuk menandai perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam dua dekade terakhir dalam ekonomi internasional. Perubahan-perubahan ini meliputi penyatuan secara cepat dan besar-besaran proses produksi, konsumsi dan investasi berbagai barang, jasa, modal dan teknologi (Raghavan, 1999) yang didorong oleh revolusi telekomunikasi, transportasi dan tourisme (Theodore Levitt, 1983). Secara ekonomi, globalisasi merupakan pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam sebuah sistem ekonomi global (Mansour Fakih, 2001). Globalisasi setidaknya melibatkan penciptaan satu ekonomi dunia yang tidak hanya merupakan totalitas dari perekonomian nasionalnya, melainkan sebuah realitas independen yang melibatkan aliran modal, komoditas, teknologi dan tenaga kerja berskala besar dan berjangka panjang melintasi perbatasan negara (James Petras, 1999). Terminologi globalisasi ini menjadi jargon utama kelompok neoliberal. Prinsip aliran ini adalah melepaskan segala ikatan negara dan menciptakan pasar bebas. Dan prinsip ini semakin dikukuhkan melalui apa yang kemudian disebut sebagai Washington Consensus1. Secara umum ide globalisasi nampak baru, namun landas pijak teoritisnya berakar jauh di masa lalu, setidaknya pada David Ricardo yang kemudian berkembang lebih jauh seperti teori keunggulan daya saing yang meletakkan harga dunia sebagai mercusuar lalulintas pertukaran barang-barang antar negara. Melalui mercusuar ini, dunia boleh berharap penggunaan sumberdaya dunia akan lebih efisien dan menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. Atas dasar itu pula, sebagian negara sepakatatau dipaksa sepakatmelakukan liberalisasi perdagangan internasional dan bergabung dalam suatu organisasi yang disebut WTO (World Trade Organization). Dan, menjadi anggota WTO berarti bersedia membuka pasar dalam negeri bagi produksi negara lain dan menerima segala konsekwensi perdagangan bebas.
1

Agenda teknokratis ini bersisi daftar kebijakan yang pertama kali diperkenalkan (eks) Direktur Bank Dunia John Williamson untuk negara-negara Amerika Latin yang menghadapi defisit dan inflasi tinggi pada tahun 1989. Disebut Washington Consensus karena merupakan kesepakatan kebijakan antara World bank, IMF dan kementrian Keuangan AS yang berpusat di Washingtong, Awalnya, ada 10 kata kunci dalam konsensus ini; (1) disiplin fiskal, dengan menjaga defisit serendah-rendahnya, karena defisit yang tinggi akan mengakibatkan inflasi dan pelarian modal; (2) prioritas-prioritas belanja pemerintah, dengan mengurangi atau menghilangkan subsidi dalam sektor-sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya; (3) reformasi perpajakan; (4) liberalisasi keuangan; (5) nilai tukar mata uang negara-negara sedang berkembang harus mengadopsi nilai tukar yang kompetitif agar memacu ekspor; (6) liberalisasi perdagangan, dengan meminimumkan hambatan-hambatan tarif dan perizinan; (7) penanaman modal asing harus dibuat seliberal mungkin karena dapat membawa masuk keuntungan modal dan keahlian dari luar negeri; (8) privatisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah; (9) deregulasi sektor ekonomi, karena pengaturan pemerintah yang kuat dan berlebihan dapat menciptakan korupsi dan diskriminasi terhadap perusahaan-perusahaan kecil yang memiliki akses rendah kepada pejabat-pejabat pemerintah di level lebih tinggi; (10) penghargaan terhadap hak milik harus ditegakkan, karena hukum yang lemah dan sistem peradilan yang jelek dapat mengurangi insentif untuk akumulasi modal (M.Naim, 2000).

Namun, dalam kenyataannya, tidak ada sebuah negara pun yang bersedia begitu saja membuka keran impor. Para kampiun liberal, seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) tidak pernah berhati penuh membuka keran impor dengan menggunakan berbagai dalih (Gilpin and Gilpin, 2000). Banyak anggota WTO mengadukan berbagai penyimpangan dan ketidakjujuran serta ketidakadilan dalam perdagangan dunia, namun WTO hampir selalu gagal membuat penyelesaian atau bahkan mendapat kesulitan membawa masalah itu kedalam sidang anggota WTO (Buckinghann et.al, 2001). Kegagalan-kegagalan itu mendorong kecenderungan dunia meninggalkan sistem perdagangan multilateral berdasarkan prinsip the most favored nation (MFN) dan kembali pada sistem bilateral dan merkantilisme, sebagaimana kemudian tercermin padi semakin meluas dan kompleksnya perjanjian perdagangan bilateral FTA (Free Trade Areas) dengan rules of origins yang berbedabeda. Bagi kaum Merkantilisme2, sebagaimana Josiah Child, Thomas Mun, Jean Bodin, Von Hornich dan Jean Baptiste Colbert, perdagangan internasional dilandasi dua ide pokok, yaitu: pemupukan logam mulia, dan untuk memperoleh neraca perdagangan yang aktif, maka ekspor harus didorong dan impor harus dibatasi. Kebijakan merkantilis lainnya adalah dalam usaha untuk monopoli perdagangan dan yang terkait lainnya, dalam usahanya untuk memperoleh daerahdaerah jajahan guna memasarkan hasil industri. Dari sini, kapitalisme pun akhirnya berkembang menjadi kolonialisme untuk merebut sumber tenaga kerja dan sumber daya alam atau sumber ekonomi. Sampai kemudian, di Inggris Adam Smith menerbitkan risalah Theory of Moral Sentiments (1759) yang antara lain mengungkapkan bahwa, sistem pasar membutuhkan fondasi moral dan kepercayaan, atau dengan kata lain dibutuhkan semacam pengaturan sosial dalam bentuk regulasi. Kemudian, di dalam buku berikutnya, The Wealth of Nation (1776)An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nationsyang banyak diakui sebagai tonggak utama kapitalisme klasik yang mengekspresikan gagasan laissez faire3 dalam ekonomiSmith mengajukan gagasan bahwa, jalan terbaik untuk memperoleh kemakmuran adalah dengan membiarkan individuindividu mengejar kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan negara (Robert Lerner, 1988). Penerus Smith seperti Thomas Malthus, JS Mill, dan David Ricardo, mengembangkan dan menyempurnakan sistemnyatanpa mengubah garis-garis pokoknyamenjadi struktur yang kini digolongkan kedalam kategori ekonomi klasik. Sampai pada suatu tingkat penting tertentu, bahkan

Pada saat merkantilisme lahir, sistem masyarakat pada saat itu berdasarkan feodalisme. Sistem feodal pada dasarnya menanggapi kebutuhan penduduk akan perlindungan terhadap gangguan perampok. Jaminan keselamatan tersebut diberikan oleh para raja terhadap para bangsawan, kerabat, dan bawahannya. Sistem inilah yang melahirkan tuan tanah, bangsawan, kaum petani, dan para vassal yaitu raja-raja kecil yang diharuskan untuk membayar upeti terhadap raja besar. Ketika merkantilisme mulai berkembang, sistem feodalisme yang usang sedikit demi sedikit mulai terkikis, hak-hak istimewa yang dimiliki oleh para tuan tanah dan para bangsawan mulai dihapus, lapisan-lapisan sosial yang melekat pada sistem feodal mulai dihilangkan, cara produksi dan distribusi gaya feodal pun mulai ditinggalkan. 3 Istilah "Laissez Faire" berasal dari bahasa Perancis laissez faire la nature (let nature take its course); dapat diartikan sebagai sikap pembiaran kebebasan semaunya tanpa pengaturan dan kontrol.

teori ekonomi Karl Marx4meski bukan teori politiknyadapat dianggap sebagai kelanjutan dari teori ekonomi klasik. Adapun dalam perdagangan internasional, thesis dasar yang dikembangkan adalah bahwa, tiap negara mempunyai keunggulan komparatif absolut relatif dalam menghasilkan suatu komoditi dibandingkan negara lain. Menurut Ricardo, suatu negara akan mendapatkan keuntungan dari perdagangan karena masing masing pihak mengambil relative efficient tenaga kerjanya masingmasing. Teori ini berdampak luar biasa. Bila sebelumnya negara yang memiliki keunggulan absolut enggan berdagang, berkat law of comparative costs menjadi berubah. Berdasarkan keunggulan komparatif, suatu negara akan mengekspor komoditas yang lebih tinggi dan mengimpor komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif lebih rendah. Prinsip ini menjadi dasar yang belum tergoyahkan dalam perdagangan internasional (Samuelson dan Nordhaus, 1992), walau belum dapat menjelaskan banyak pertanyaan. Sampai kemudian, kekelaman itu pun tiba. Hari itu, Kamis 24 Oktober 1929 harga-harga saham di New York Stock Exchange (NYSE), AS tiba-tiba berjatuhan. Gonjang-ganjing itu tak lepas dari berpacunya ekonomi Amerika, seusai Perang Dunia I. Pemerintah yang percaya pada sistem pasar bebas melepas berbagai jurus deregulasi. Tarif pajak terus dipangkas. Dengan aturan minim, pasar saham berlari tak terkendali. Pada masa Presiden Calvin Coolidge, bursa saham Amerika berulang kali memecahkan rekor kenaikan. Enam bulan sebelum bursa ngadat, gejala pecahnya gelembung bursa mulai muncul. Persediaan barang menumpuk tiga kali lipat, tanda anjloknya daya beli masyarakat. Penjualan mobil turun hingga sepertiga dalam sembilan bulan pertama sebelum crash dan mencapai puncaknya pada 1930Great Depressiondengan suasana malaise. Menurut John Maynard Keynes, untuk keluar dari depresi ini adalah melalui intervensi pemerintah. Dalam pandangan ini, karena aktor swasta tidak bisa diandalkan untuk membuat permintaan agregat selama resesi, pemerintah memiliki kewajiban untuk membuat permintaan (Daniel Yergin and Joseph Stanislaw. 1998). Dan sejak itu pula, pemikiran Keynesian5 mendominasi, meluruhkan pemikiran laissez-faire dan sekaligus meluruhkan sistem moneter gold standard yang dirintis pertama kali oleh Inggris sejak revolusi industri. Dan krisis 1930 ini menjadi bukti esensial bahwa pasar tidak bisa diberi kepercayaan penuh untuk secara invisible hand mengatur dirinya sendiri. Dan menjelang berakhirnya PD IIsetelah yakin bakal menangAS, Inggris dan sejumlah negara sekutu lainnya merumuskan arah baru dunia. Rumusan yang kemudian dikenal sebagai
4

Pada tahun 1848, Karl Marx menerbitkan Communist Manifesto. Menurut Marx, sebagaimana disebutkan di dalam pembuka buku tersebut, sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah pertentangan kelas. Ia percaya bahwa, kapitalisme yang ada akan digantikan komunisme, masyarakat tanpa kelas setelah beberapa periode sosialisme radikal yang menjadikan negara sebagai revolusi kediktatoran proletariat (istilah proletariat merujuk pada kaum paling bawah pada masa Romawi kuno). 5 Teori Keynesian, Keynesianisme, atau ekonomi Keynesian ini mempromosikan suatu ekonomi campuran, di mana baik negara maupun sektor swasta memegang peranan penting. Kebangkitan ekonomi Keynesianisme menandai berakhirnya ekonomi laissez-faire, suatu teori ekonomi yang berdasarkan pada keyakinan bahwa pasar dan sektor swasta dapat berjalan sendiri tanpa campur tangan negara.

Sistem Bretton Woods itu diselenggarakan dalam pertemuan panjang, 1-22 Juni 1944 di desa Bretton Woods, New Hampshire, AS. Ada tiga pilar dalam Sistem Bretton Woods ini, yakni pendirian Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, yang kala itu dalam bentuk International Bank for Reconstruction and Development (IBRD)6, serta organisasi perdagangan dunia (semula dirancang dalam bentuk International Trade Organization (ITO), yang kemudian muncul dalam bentuk General Agreement on Tariffs and Trades (GATT) pada 1947, dan kemudian menjelma menjadi Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) pada 1994. Sistem Bretton Woods berakhir7 ketika AS tidak sanggup lagi menjaga likuiditas dolar sekaligus ancaman ketidakpercayaan pasar. Pasar menyaksikan AS ketika perang Vietnam begitu mudahnya mencetak dollar untuk perang, sehingga menimbulkan ancaman inflasi dan krisis akibat terlalu banyak dollar di pasar. Dollar yang melimpah di pasar berpotensi mengurangi kepercayaan nilai tukar dolar terhadap emas (Helleiner, 2002: 222). Sebagai ganti sistem Bretton Woods, Inggris dan Amerika Serikat sebagai penggerak utama ekonomi dunia, menerapkan sistem neoliberalisme yang dikembangkan oleh Hayek, Porter dan Friedman, yang berakar pada pemikiran Adam Smith. Neoliberalisme sendiri merupakan antithesis terhadap pemikiran Embedded Liberalism John Maynard Keynes yang berjaya selama empat dasawarsa. Di peringkat kebijakan hal ini ditandai dengan apa yang disebut sebagai Thatcherisme dan Reagenomics. Dalam kebijakannya, Margaret Thatcherterpilih sebagai Perdana Menteri Inggris pada 1979 dan Ronald Reagenterpilih sebagai Presiden AS pada 1980menekankan doktrin kompetisi kompetisi antar bangsa, wilayah, perusahaan, dan individu. Inilah era di mana deregulasi pasar keuangan, privatisasi, pelemahan kelembagaan-kelembagaan jaminan sosial, pelemahan serikatserikat buruh dan perlindungan pasar tenaga kerja, pengurangan peran pemerintah, dan membuka pintu untuk arus barang dan modal internasional. Kalaupun peran negarapemerintah diperlukan, maka negara hanya perlu memainkan tiga peran, yakni: menyediakan infrastruktur, menjamin penegakan hukum, dan menjamin keamanan (Hertz, 2003). Pelahiran kembali gagasan Adam Smith dengan penuh dendam ini semakin dikukuhkan melalui apa yang kemudian disebut sebagai Washington Consensus dan mendapat pelembagaan

Dalam beleidnya, World Bank dimaksudkan untuk mengatasi kepincangan neraca pembayaran perdagangan internasional. Tetapi secara tidak langsung, namun ini justru menjadi inti perkara: untuk konsultasi sistem liberalisme yang menjadi jiwa sistem mereka. Atau dengan kata lain, dan dari kacamata bekas negara-negara jajahan, untuk memperkokoh kembali struktur-struktur kolonialisme berpola menyetor bahan-bahan mentah (yang juga harus murah) dan menjual barang jadi (yang harus mahal), secara lebih intensif dan efisien dengan cara lain, mengingat dan kendali koloni-koloni itu politis resmi sudah merdeka. Adapun IMF bertugas mendesak ditumbuhkannya keleluasaan maksimal untuk arus-arus barangbarang komoditi. Dan, Bank Dunia bertugas mempromosikan keleluasaan maksimal dalam arus internasional dari investasi modal. Memang, IMF secara de yure hanya promotor, perantara dan penasihat bila menghadapi suatu pemerintah di suatu negara. Akan tetapi, praktis, segala penerimaan dan penolakan nasihat-nasihatnya adalah otomatis lampu hijau atau lampu merah yang menentukan suatu pemerintahan didukung atau dilawan. Sebab dan bagaimanapun liberalization is the prince of aid.
7

Pada 15 Agustus 1971 Sistem Bretton Woods dinyatakan berakhir oleh Presiden Nixon. Kebijakan tersebut banyak dilihat sebagai bentuk berkurangnya kapasitas leadership AS sebagai suatu hegemoni ekonomi internasional. Namun, hal ini ditampik Susan Strange (1986). Strange menyebut bahwa, kebijakan tersebut sesungguhnya hanya manuver politik. Artinya, hegemoni ekonomi internasional AS pada hakekatnya tidak berubah, hanya saja kepentingan memimpin ekonomi internasional yang telah berubah (Helleiner, 2002: 223).

melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dan dalam hal ini, Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi persetujuan pembentukan WTO. Secara umum terdapat beberapa unsur pokok di dalam WTO, yakni: 1. MFN (Most-Favoured Nation): Perlakuan yang sama terhadap semua mitra dagang. Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya. Perlakuan Nasional (National Treatment). Negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik. Transparansi (Transparency). Negara anggota diwajibkan untuk bersikap terbuka/transparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan. Penurunan tarif. Menghapus atau menurunkan tarif atas suatu produk guna mengurangi biasa ekspor sehingga membuka pasar tambahan baru bagi produsen. Penghapusan restriksi kuantitatif. Melarang penggunaan restriksi (hambatan) selain tarif dan bea. Dalam hal ini, negara tidak boleh membaasi ekspor atau impor dengan menetapkan kuota untuk membatasi arus barang.

2.

3.

4. 5.

Adapun cakupan perjanjian-perjanjian di dalam WTO terdiri dari enam bagian, yakni: Perjanian Payung Hukum (kesepakatan mengenai pendirian WTO); Perjanjian umum untuk tarif dan perdagangan barang (GATT); Perjanjian umum untuk perdagangan jasa (GATS); Hak atas Kekayaan Intelektual yang terkait dengan perdagangan (TRIPs); Penyelesaian sengketa (DS); dan Kaji ulang atas kebijakan dagang negara-negara anggota (Trade Policy Review). Dari keenam komponen perjanjian tersebut, terdapat tiga isu besar yang berada di bawah WTO: 1. Perjanjian umum untuk tarif dan perdagangan barang (GATT) yang merupakan perjanjian umum mengenai liberalisasi barang. Kelompok perjanjian ini dan lampiran-lampirannya berhubungan antara lain dengan sektor-sektor: a). Pertanian; b). Sanitary and Phytosanitary/SPS; c). Badan Pemantau Tekstil (Textiles and Clothing); d). Standar Produk; e). Tindakan investasi yang terkait dengan perdagangan (TRIMs); f). Tindakan anti-dumping; g). Penilaian Pabean (Customs Valuation Methods); h). Pemeriksaan sebelum pengapalan (Preshipment Inspection); i). Ketentuan asal barang (Rules of Origin); j). Lisensi Impor (Imports Licencing); k). Subsidi dan Tindakan Imbalan (Subsidies and Countervailing Measures); dan l). Tindakan Pengamanan (Safeguards) Perjanjian umum untuk perdagangan dan jasa (GATS) yang merupakan perjanjian umum mengenai liberalisasi perdagangan jasa, utamanya dalam perluasan akses pasar sektor jasa, di mana setiap negara anggota diwajibkan menyusun komitmen liberalisasi dan jadwal

2.

pelaksanaannya untuk seberapa banyak pemasok jasa dari luar dapat memberikan jasanya di sebuah negara. Adapun sektor-sektor yang diatur meliputi beberapa komponen berikut ini: a). Pergerakan tenaga kerja (movement of natural persons); b). Transportasi udara (air transport); c). Jasa keuangan (financial services); d). Perkapalan (shipping); dan e). Telekomunikasi (telecommunication) 3. Hak atas kekayaan intelektual yang terkait dengan perdagangan (TRIPS). Perjanjian-perjanjian tersebut tidaklah statis, melainkan terus berubah. Beberapa hal-hal baru dan sekarang masih dirundingkan antara lain adalah Akses Pasar untuk Produk Non-Pertanian (Non-Agricultural Market Access/NAMA), serta Perdagangan dan Lingkungan, yang dibahas dalam putaran perundingan WTO (KTM-WTO) yang diselenggarakan tiap dua tahun sekali. Dalam stuktur WTO, Konferensi Tingkat Menteri (KTM) merupakan forum pengambil kebijakan tertinggi. KTM WTO pertama diselenggarakan di Singapura, 1996; Jenewa, 1998; Seattle, 1999; Doha, Qatar, 2001; Cancun, Mexico, 2003; Hong Kong, 2005; dan kemudian di Genewa pada tahun 2006, 2008, dan 2009. Namun demikian, sejak KTM Seattle tahun 1999, putaran perundingan WTO selalu menemui jalan buntu. Dan sejak itu, banyak negara maju yang beralih strategi untuk menjalankan free trade agreement (FTA) karena khawatir akan hilangnya pasar ekonomi yang telah dikuasai. Sampai sejauh ini (Juli, 2011), ada lebih dari enam puluh perjanjian FTA yang ditandatangani sejumlah Negara, sehingga kerap digambarkan sebagai spaghetti-bowl di lingkup hubungan antar negara-negara tersebut. Di tingkat Asean juga telah terjalin sejumlah FTA dengan beberapa Negara mitra utama, yaitu Asean+3 (China, Jepang dan Korea Selatan) dan Asean+6 (Australia, Selandia Baru dan India). Dengan Negara-negara mitra utama Asean tersebut semua FTA telah disepakati. Selain itu, masing-masing Negara di Asean juga melakukan pengikatan secara bilateral dengan Negara lain di luar mitra utama. Dari sisi ukuran ketercakupan, ACFTA merupakan FTA terbesar di dunia yang melibatkan sekitar 1,8 milyar penduduk, dengan regional GDP US$ 2 trilyun dan total nilai perdagangan sekitar US$ 1,2 trilyun. Cakupan ACFTA sendiri mencakup tiga perjanjian utama, yakni: perdagangan barang, perdagangan jasa, dan investasi. Adapun perjanjian lain yang sudah disepakati di tingkat Asean dengan mitra utamanya adalah Asean-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJ-CEP), atau juga disebut Asean-Japan FTA (AJ-FTA); Asean-Korea FTA; AseanAustralia-New Zeeland FTA (AANZFTA); dan Asean-India FTA (AI-FTA).

Kesepakatan Perdagangan Bebas Negara-negara Asia Tenggara


Negara2 Asean ASEAN Free Trade Agreement (FTA)/Regional Trade Agreement (RTA) Telah Diselesaikan Dalam Negosiasi Asean-China FTA (ACFTA) Asean-EU FTA Asean-Korea FTA (AKFTA) Asean-US TIFA Asean-Japan CEP (AJCEP) Asean-India TIGA (AITIGA) Asean-Australia-New Zeeland FTA (AANZFTA) Asean Free Trade Area (AFTA) Asean Free Trade Area (AFTA) Asean Free Trade Aarea (AFTA) TIFA dengan US Indonesia-Japan EPA (IJ-EPA) PCA dengan EU Asean Free Trade Area (AFTA) Asean Free Trade Area (AFTA) CECA dengan Australia Japan CECA dengan Pakistan CECA dengan India CECA dengan Korea CECA dengan New Zeland CECA dengan US CECA dengan UE CECA dengan Chile Asean Free Trade Area (AFTA) Asean Free Trade Area (AFTA) TIFA dengan US Japan PCA dengan EU Asean Free Trade Area (AFTA) Canada Australia China Japan The Gulf Co.Council Switzerland Meico Iceland Peru Liechtenstein & Norway Pakistan New Zeeland Ukraine Panama USA Jordan India Trans Pacific SEP (Brunei, N.Zeeland, Chile, Singapore) Korea

Brunei Darusalam Kamboja Indonesia Laos Malaysia

Myanmar Filipina Singapora

Sumber: Bonnie Setiawan (Bahaya Perdagangan Bebas Asean, h.21-24) Note: CEP (Closer Economic Cooperation); EPA (Economic Partnership Arrangement); TIFA (Trade and Investment Framework); TIGA (Trade in Goods Agreement); EU (Eropean Union); USA (United State of America); PCA (Partnership and Cooperation Agreement); CECA (Comprehensive Economic Cooperation Agreement)

II. Dari AFTA Menuju Komunitas Ekonomi Asean (AEC) Asean Free Trade Area (AFTA) merupakan hasil kesepakatan para kepala Negara Asean dalam Asean Summit IV di Singapura, Januari 1992. Kesepakatan untuk merealisasikan AFTA ini dilakukan melalui skema Common Effective Preferential Tarriffs (CEPT), yang diperkenalkan pada Januari 1993 dan mulai berlaku satu tahun kemudian (Januari 1994). Inti skema CEPT adalah realisasi tariff yang efektif rendah dan berlaku umum pada kisaran 0-5 persen untuk seluruh perdagangan antarnegara Asean. Semula, kerangka waktu pelaksanaannya 15 tahun, tetapi kemudian dipercepat menjadi 10 tahun, dengan basis tahun sejak 1993. Menurut Bambang Sugeng (How AFTA Are You?, 2003), sampai 2002 jumlah produk yang masih dikenai tariff di atas 5 persen hanya tinggal 3,8 persen atau 1.683 dari 44.060 pos tariff dalam daftar inklusif. Dalam hal ini, CEPT tidak bersifat sukarela, tetapi wajib. Begitu produk sudah dipilih berdasar sector untuk masuk CEPT, maka semua Negara harus mematuhinya. Adapun sector-sektor yang dicakup adalah manufaktur, barang modal, dan produk pertanian (Bambang Sugeng, 2003). Selain itu, di dalam AFTA juga terdapat produk yang dilindungi (sensitive list) dan sangat dilindungi (high sensitive list). Penurunan tariff untuk produk yang dilindungi dilakukan selama 10 tahunsejak tahun 2000hingga mencapai 5 persen. Adapun untuk produk yang sangat dilindungi dalam 10 tahunsejak tahun 2000nilai tarifnya harus diturunkan menjadi 20 persen. Dalam hal ini Indonesia memasukan beras dan gula dalam high sensitive list. Dengan formula tersebut, maka sejak 1 Januari 2010, liberalisasi tariff masuk produk pertanian menjadi 0 5 persen telah berlaku untuk Asean-6 (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam), sementara untuk Asean-4 (Myanmar, Cambodia, Laos dan Vietnam akan berlaku pada 1 Januari 2018 (Bambang Sugeng, 2003). Selain pengurangan tariff, skema CEPT juga mengatur tentang pencabutan berbagai hambatan non-tarif (non-tarriff barriers/NTB)8. Penghapusan NTB telah dilakukan sejak 2003. Dalam hal ini Indonesia telah melakukan beberapa penghapusan NTB, diantaranya adalah pencabutan peran dan fungsi Bulog (Badan Urusan Logistik) sejak September 1998 sebagai importer tunggal produk-produk beras, gandum, gula, kacang dan kedelai, di samping juga Bulog tidak berhak lagi meminjam kredit likuiditas dari bank sentral (Bambang Sugeng, 2003). Sementara itu, di fora internasional dan sekaligus memasuki millennium baru, WTO kembali melakukan KTM-WTO di Doha, Qatar pada tahun 2001, setelah KTM Seattle yang kacau. KTM di Doha menghasilkan dokumen utama berupa Deklarasi Doha dan telah menandai diluncurkannya putaran perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif industri, lingkungan, isu-isu implementasi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa dan peraturan WTO.
8

NTB artinya berbagai kebijakan pemerintah di luar masalah tariff yang secara efektif dapat menghambat atau membatasi kelancaran transaksi perdagangan, seperti monopoli perdaganggan barang impor tertentu, penetapan harga barang impor, pembatasan kuota, pengenaan bea masuk tambahan dan pajak-pajak tambahan lain, lisensi impor, berbagai pemberlakuan persyaratan teknis dan lainnya.

Di tingkat implementasi, negara-negara berkembang telah secara menerus menekan negaranegara maju untuk membahas masalah ketidakseimbangan yang muncul dari persetujuan Putaran Uruguay. Hal ini karena persetujuan-persetujuan dalam WTO merupakan hasil perundingan pada masa Putaran Uruguay di mana belum disadari dampak pelaksanaannya. Karena itu, negara-negara berkembang mengusulkan untuk mengklarifikasi atau memperbaiki beberapa pasal persetujuan WTO dalam perundingan lebih lanjut. Isu-isu implementasi yang dimuat dalam Decision on Implementation-Related Issues and Concerns dan menyangkut kepentingan negara berkembang antara lain: 1. Pertanian. Dibahas antara lain mengenai himbauan agar anggota WTO menghindari sedapat mungkin tindakan yang mempertanyakan notifikasi negara berkembang dalam program subsidi yang diperbolehkan dalam kategori green box9. Ditekankan perlunya melanjutkan program kerja mengenai tariff-rate quota, bantuan pangan, serta bantuan teknik dan keuangan. Sanitary and Phytosanitary (SPS) Measures. Pembahasan diarahkan untuk mengklarifikasi istilah longer timeframe for compliance pada pasal 10.2. Persetujuan SPS dengan memberikan jangka waktu yang lebih lama bagi negara berkembang untuk menyelaraskan aturannya dengan tindakan SPS yang baru. Ditekankan pula pentingnya partisipasi negara berkembang dalam organisasi-organisasi internasional mengenai standar. Tekstil dan Pakaian. Para anggota mencatat pentingnya upaya untuk: mengurangi restriksi quota dan mempercepat integrasi produk-produk tekstil ke WTO, memberi pertimbangan lebih dahulu sebelum memulai investigasi anti-dumping, memberitahukan perubahan dalam rules of origin, serta meningkatkan growth on growth provision satu tahap lebih cepat. Hambatan Teknis Perdagangan (Technical Barrier to Trade/TBT). Dimungkinkan untuk menunda penerapan aturan baru TBT selama 6 bulan, meningkatkan partisipasi negara-negara berkembang dalam organisasi-organisasi internasional mengenai standar. Anti-Dumping. Disepakati untuk meneliti secara hati-hati permintaan untuk investigasi antidumping terhadap produk yang sama dari negara yang sama (tidak memulai kasus anti dumping dalam 1 tahun apabila ternyata ada temuan negatif untuk produk yang sama dari negara yang sama). Hal ini untuk menghindari terjadinya trade harrasment di mana industri

2.

3.

4.

5.

Di dalam perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture/AoA), WTO membedakan antara program dukungan (subsidi) dengan sejumlah istilah berdasarkan warna, yaitu kotak kuning (amber box), kotak hijau (green box), kotak biru (blue box), dan dukungan deminimis. Amber Box, adalah semua subsidi domestik yang dianggap mendistorsi produksi dan perdagangan. Negara anggota WTO mengkalkulasi tingkat dukungan dalam kotak kuning dengan metode penghitungan yang disebut sebagai agregate measure support (AMS), dengan menggunakan tahun dasar perhitungan pada periode 1986-1988. Negara-negara maju bersepakat menurunkan tingkat dukungan ini sebesar 20 persen selama 6 tahun sejak 1995, dan negara berkembang akan menurunkan 13 persen selama 10 tahun. Blue Box, adalah amber box dengan persyaratan tertentu yang ditujukan untuk mengurangi distorsi. Subsidi yang biasanya dikategorikan sebagai amber box akan dimasukkan ke dalam blue box jika subsidi tersebut juga menuntut dikuranginya produksi oleh para petani. Dukungan-dukungan yang tidak bisa diletakan dalam kotak kuning diletakan dalam kotak biru sepanjang dukungan tersebut tidak digunakan untuk membatasi produksi. Sampai saat ini tidak ada batasan jumlah subsidi dalam kotak biru, bahkan dalam Sidang General Council pada Juli 2004, kriteria kotak biru semakin diperluas. Green Box, adalah subsidi yang tidak berpengaruh atau kalaupun ada sangat kecil pengaruhnya terhadap perdagangan. Subsidi tersebut harus dibiayai dari anggaran pemerintah (tidak dengan membebani konsumen dengan harga yang lebih tinggi) dan harus tidak melibatkan subsidi terhadap harga. Contoh tindakan yang dikatagorikan dalam kotak hijau adalah menyangkut riset, penanggulangan hama, pembangunan infrastruktur, dan ketahanan pangan. Namun, penelitian UNTAD (2007) menyebutkan bahwa, subsidi kotak hijau telah menyebabkan distorsi pasar. Berkaitan dengan kebijakan yang diatur dalam Green Box terdapat tiga jenis subsidi lainnya yang dikecualikan dari komitmen penurunan subsidi yaitu kebijakan pembangunan tertentu di negara berkembang, pembayaran langsung pada program pembatasan produksi (blue box), dan tingkat subsidi yang disebut de minimis.

di negara tertentu berulang kali memaksakan dilakukannya investigasi dumping meskipun tuduhan dumping tersebut tidak terbukti (merupakan upaya untuk mematikan saingan). 6. Custom Valuation. Disetujui untuk mencatat permintaan perpanjangan masa transisi Persetujuan Custom Valuation, mempertimbangkan kondisi khusus negara terbelakang, meningkatkan kerjasama di antara otoritas bea cukai untuk menghindari penipuan. Rules of Origin. Diupayakan mengharmonisasi persyaratan asal barang yang diharapkan akan meningkatkan arus perdagangan. Subsidies and Countervailing Measures. Disepakati untuk mengklarifikasi annex VII (b) dari Persetujuan Subsidies and Countervailing Measures (SCM) di mana negara-negara yang tercantum dalam annex VII (b) tersebut tetap dapat memberikan subsidi selama GNP perkapitanya belum melewati US$ 1.000 selama tiga tahun berturut-turut. Trade-Related Aspects of Intellectual Property (TRIPs). TRIPs Council diminta untuk mempelajari lebih lanjut cakupan dan modalitas untuk complaints. Di samping itu ditekankan pentingnya alih teknologi yang harus dilakukan negara maju sesuai komitmennya di bawah pasal 66.2 Persetujuan TRIPs.

7. 8.

9.

10. Special and Differential (S&D) Treatment. Para anggota sepakat untuk mencari jalan agar S&D ini dapat lebih efektif dan dapat diubah menjadi lebih mengikat (mandatory). Deklarasi Doha memberikan mandat kepada para anggota WTO untuk melakukan negosiasi di berbagai bidang, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan yang ada. Perundingan dilaksanakan di Komisi Perundingan Perdagangan (TNC) dan badan-badan di bawahnya. Selebihnya, dilakukan melalui program kerja yang dilaksanakan oleh Councils dan Committees yang ada di WTO. Keputusan-keputusan KTM IV ini juga dikenal sebagai Doha Development Agenda karena di memuat isu-isu pembangunan yang menjadi kepentingan negara-negara berkembang dan terbelakang (least-developed countries/LDCs), seperti: kerangka kerja kegiatan bantuan teknik WTO, program kerja LDCs, dan program kerja untuk mengintegrasikan secara penuh negara kecil ke dalam WTO. Mengenai perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment), Deklarasi tersebut telah mencatat proposal negara berkembang untuk merundingkan Persetujuan mengenai Perlakuan Khusus dan Berbeda (Framework Agreement of Special and Differential Treatment/S&D), namun tidak mengusulkan suatu tindakan konkret mengenai isu tersebut. Para menteri setuju bahwa masalah S&D ini akan ditinjau kembali agar lebih efektif dan operasional. Setelah KTM Doha, WTO kembali menyelenggarakan KTM di Cancun, Meksiko 2003. KTM ini gagal, terutama terhadap draft teks pertanian, akses pasar produk non pertanian (MANAP) dan Singapore issues. Kebuntuan kembali terjadi pada KTM WTO berikutnya, dan situasi ini mendorong sejumlah negarayang telah diuntungkan oleh perdagangan bebasuntuk

mengalihkan strateginya dengan mengintensifkan FTA secara bilateral maupun regional, termasuk negara-negara Asean. Karena itu pula, melalui KTT ke 13 di Singapura, 18-22 November 2007, negara-negara Asean telah merumuskan tiga deklarasi, yakni: ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN Declaration on the 13th Session of the Conference on Climate Change (UNFCCC) dan the 3rd Conference of Parties Serving as the Meeting of the Parties (CMP) to the Kyoto Protocol yang rencana implementasinya dikukuhkan melalui Piagam Asean (Asean Charter). Dari AEC kemudian lahir Asean Trade in Goods Agreement (ATIGA), yang merupakan penyempurnaan skema CEPT-AFTA. ATIGA berfokus pada jadwal pengurangan dan penghapusan tarif perdagangan barang di Asean. ATIGA juga berhubungan erat dengan perdagangan barang (trade-in-goods) di dalam FTA, yang terdiri dari unsur tarif dan non-tarif. Tujuan utamanya adalah mencapai arus barang yang bebas di Asean sebagai alat utama untuk mendirikan sebuah basis produksi dan pasar tunggal bagi integrasi ekonomi yang semakin mendalam ke arah AEC, 201510. ATIGA mulai berjalan efektif sejak 17 Mei 2010 setelah diratifikasi oleh seluruh negara anggota Asean. Sejak itu, maka semua ketentuan perdagangan barang, baik berupa CEPT maupun protokol-protokol yang ada digantikan oleh ATIGA. Selain itu, komitmen liberalisasi tarif di bawah ATIGA mulai dijalankan secara retroaktif sejak 1 Januari 2010. Selain itu, kesepakatan pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean (AEC) ini juga sekaligus menjadi penanda terintegrasinya Asean dalam era baru perdagangan bebas. AEC juga menandai transformasi Asean sebagai sebuah blok kawasan yang semula didirikan sebagai basis politik anti komunis peninggalan era perang dingin untuk kemudian berubah menjadi blok perdagangan yang sepenuhnya kapitalistik. AEC juga mencerminkan visi untuk merubah Asean menjadi single market and production base. Dalam hal ini Asean berkeinginan hati untuk menjadi kawasan ekonomi berbasis produksi dan pasar tunggal yang sangat kompetitif dan terintegrasi penuh kedalam komunitas global di tahun 2015. Tujuan integrasi ekonomi tersebut diantaranya adalah penghapusan tarif, kebebasan bergerak dari kaum profesional, kebebasan bergerak dari modal, serta penyederhanaan prosedur kepabeanan. Dan untuk itu, diperlukan kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas (FTAs) yang menjadi strategi kunci bagi Asean untuk mendapatkan akses pasar yang lebih besar ke mitra-mitra dagang Asean serta guna menarik investasi kedalam Asean. Dengan AEC ini, Asean akan tunduk sepenuhnya pada prinsip-prinsip ekonomi yang terbuka, berorientasi keluar, inklusif, dan perekonomian yang didorong oleh pasar (market driven economy), yang konsisten dengan aturanaturan multilateral, serta taat kepada sistem berbasis aturan (rules based system) bagi kepatuhan efektif dan pelaksanaan komitmen-komitmen ekonomi11.
10 11

https://www.blogger.com/comment.g?blogID=4216606377953874956&postID=4030279118831133236 An Asean Economic Community by 2015, Fatc Cheet Asean 2nd edition, Public Affairs Office of the Asean Secretariat, Jakarta 20 August 2008.

Salah satu aturan penting di dalam AEC adalah Asean Comprehensive Investment Agreement (ACIA), yang pada dasarnya merupakan hasil pengkonsolidasian dua aturan investasi yang dibuat sebelumnya, yakni: Asean Agreement for the Promotion and Protection of Investment tahun 1987 dikenal juga sebagai Asean Investment Guarantee Agreement atau Asean IGAdan Framework Agreement on the Asean Investment Area (AIA), tahun 1998, serta dari protokolprotokol terkait lainnya. ACIA merupakan perjanjian investasi yang komprehensif dan mencakup lima sektor, yaitu: industri pengolahan, pertanian, perikanan, pertambangan dan penggalian, serta sektor jasa-jasa yang terkait dengan sektor-sektor tersebut12. ACIA juga merupakan basis utama bagi pengaturan rejim investasi dalam berbagai FTA yang diselenggarakan oleh Asean dengan mitra dagangnya. Komponen penting berikutnya dalam AEC adalah Asean Framework Agreement on Trade in Services (AFAS), dan merupakan perjanjian sektor jasa yang paling liberal dan paling ambisius yang pernah dilakukan Asean dalam pengaturan sektor jasa. Liberalisasi ambisius tersebut adalah mengenai: a) penjadwalan bagi tidak adanya kekangan lagi atas suplai jasa lintas batas (cross border supply) dan konsumsi ke luar negeri (consumption abroad), yang dikenal sebagai moda-1 dan moda-213; b) Menghapus kekangan-kekangan lainnya secara progresif. Kesemuanya ini pada akhirnya akan mengarah kepada bagaimana memperluas secara menerus komitmen jasa-jasa ke arah arus bebas jasa-jasa di tahun 2015 dengan fleksibel14. Di dalam AFAS diadakan putaran-putaran perundingan dan saat ini (Maret, 2012) telah memasuki putaran ke 8. Adapun keseluruhan komitmen yang berhasil diputuskan hingga saat ini mencakup liberalisasi jasa bisnis; jasa profesional; konstruksi; distribusi; pendidikan; jasa lingkungan; pelayanan kesehatan; transportasi maritim; telekomunikasi; dan turisme. Selain itu, ada lagi tambahan paket komitmen mengenai jasa keuangan serta transportasi udara. Pada awalnya, AFAS hanya diperuntukan bagi kalangan industri jasa dari negara-negara anggota Asean (Asean Member States/AMS). Adapun tujuan AFAS adalah: (a) meningkatkan kerjasama dalam sektor jasa di antara negara-negara anggota Asean (AMS) guna memperbaiki efisiensi dan daya saing industri-industri jasa Asean, memberagamkan kapasitas produksi dan suplai, serta distribusi sektor-sektor jasa; (b) menghapus hambatan substansial dalam perdagangan jasa-jasa; (c) meliberalisasi perdagangan jasa dengan memperluas cakupan dan kedalaman liberalisasi di atas yang telah disepakati GATS-WTOdisebut juga prinsip GATS15-Plus; (d)
12

Liberalization of Trade in Services in Asean, Fact Sheet Asean, Public Affairs Office of the Asean Secretariat, Jakarta 3 April 2007.

13

Di dalam Perjanjian Perdagangan Jasa (GATS) WTO, pada pasal 1 mengenai term perdagangan jasa, apa yang dimaksud dengan perdagangan jasa didefinisikan sebagai penyediaan jasa melalui 4 cara, yakni: (1). Mode-1: Pelayanan Lintas Batas (Cross Border Supply). Pelayanan jasa oleh pemasok jasa yang berasal dari suatu negara (tetap berada di tempat/negara asal) kepada konsumen yang berada di wilayah negara lain. Misalnya, jasa pos internasional; telekomnikasi; distance learning; telemidicine, dll; (2). Mode-2: Konsumsi di Luar Negeri (Consumption Abroad). Pelayanan jasa oleh pemasok jasa pada suatu negara kepada konsumen di luar wilayah negara asalnya (konsumen mendatangi pemasok jasa di negara asalnya). Misalnya, pariwisata; studi ke luar negeri; berobat ke luar negeri, dll; (3). Mode-3: Kehadiran Komersial (Commercial Presence). Pelayanan jasa oleh pemasok jasa yang berasal dari suatu negara tertentu melalui kehadiran Badan Usaha secara fisik di wilayah negara lain. Misalnya, rumah sakit asing; perguruan tinggi asing; bank asing, dll; dan (4). Mode-4: Kehadiran Tenaga Kerja Asing (Presence of Natural Persons). Pelayanan jasa oleh pemasok jasa yang berasal dari suatu negara tertentu melalui kehadiran profesionalnya di wilayah negara lain. Misalnya, dokter asing; expatriate sebagai manager hotel; tenaga konsultan asing, dll. 14 Asean Framework Agreement on Services, Fact Sheet Asean, Public Affairs Office of the Asean Secretariat, Jakarta, 26 February 2009
15

Prinsip GATS pada dasarnya sama dengan prinsip WTO dimana Negara-negara anggota harus menurunkan atau menghilangkan hambatan perdagangan seperti tariff dan hambatan non tariff. Jika dalam perdagangan produk barang, hambatan tariff dibicarakan maka untuk menghilangkan

menyediakan pengakuan akan pendidikan atau pengalaman, persyaratan, lisensi atau sertifikat yang akan diatur dalam pengaturan tersendiri, yang disebut Mutual Recognition Arrangement (MRA). Secara umum MRA diartikan sebagai suatu kesepakatan saling pengakuan terhadap produkproduk tertentu antar dua atau beberapa negara untuk mempermudah kegiatan perdagangan impor maupun ekspor tanpa melalui dua atau beberapa kali pengujian. Dalam konteks kerja sama jasa ekonomi ASEAN, MRA merupakan kesepakatan untuk mengakui kualifikasi pendidikan dan pengalaman seorang profesional. MRA digunakan untuk memudahkan perpindahan tenaga kerja profesional antar negara-negara ASEAN, khususnya dalam rangka integrasi pasar dengan tetap mempertahankan kekhususan masing-masing negara. Hingga saat ini terdapat delapan kesepakatan MRA di bidang jasa yang telah ditandatangani oleh Negara Anggota ASEAN, yaitu MRA on Engineering Services, MRA on Nursing Services, MRA on Architectural Services, Framework Arrangement for Mutual Recognition on Surveying Qualification, MRA on Tourism Professional, MRA on Accountancy Services, MRA on Medical Practitioners, dan MRA on Dental Practitioners. Kedepan masih akan lebih banyak lagi, peraturan-peraturan sejenis, yang pada prinsipnya adalah memperhebat aturan mengenai fleksibilitas tenaga kerja ASEAN, dalam beberapa tahun kedepan peraturan tersebut akan diperluas hingga pada pembuatan skema penyediaan jasa tenaga kerja di sektor-sektor industri (buruh) dan sektor riil rakyat yang lainnya. Secara umum, jadwal yang telah ditetapkan dalam liberalisasi sector jasa di Asean ini adalah sbb: 1. Menghilangkan secara nyata hambatan perdagangan jasa untuk 4 sektor jasa prioritas, yaitu transportasi udaha, e-Asean, kesehatan, dan pariwisata pada tahun 2010, dan pada tahun 2013 untuk sector jasa kelima, yaitu jasa logistic dan pada tahun 2015 untuk seluruh sector jasa lainnya. Melaksanakan liberalisasi setiap putaran perundingan (satu kali dalam dua tahun) yaitu 2008, 2010, 2012, 2014, dan 2015. Menjadwalkan jumlah minimum sub-sektor jasa baru yang akan diliberalisasi untuk setiap putaran perundingan sebagai berikut: a. Pada tahun 2008. 10 subsektor baru tambahan ke subsector lainnya yang sudah disepakati pada tahun sebelumnya. b. Pada tahun 2010. 15 subsektor baru tambahan ke subsector lainnya yang sudah disepakati pada tahun 2008. c. Pada tahun 2012. 20 subsektor baru tambahan ke subsector lainnya yang sudah disepakati pada tahun 2010.
dan menurunkan hambatan dalam perdagangan jasa, regulasi local dan nasional menjadi target utama. Prinsip lainnya, national treatment dimana setiap negara anggota WTO harus memberikan perlakuan sama antara pemasok jasa local dengan pemasok jasa dari Negara lain. Selain itu, juga ada prinsip Non diskriminasi, Negara-negara anggota tidak boleh memberikan perlakuan yang berbeda antar Negara anggota. Dan, untuk membuka sektor jasa masing-masing Negara, GATS menggunakan prinsip daftar positif, di mana setiap Negara diperbolehkan untuk membuka sektor jasa yang diinginkan sesuai dengan kapasitas pasokan dan tujuan pembangunannya. Daftar positif berarti sektor yang diinginkan untuk dibuka, itulah yang dikomitmenkan secara resmi dalam WTO. Daftar positif sering juga disebut sebagai prinsip fleksibilitas dari GATS.

2. 3.

d. Pada tahun 2014. 20 subsektor baru tambahan ke subsector lainnya yang sudah disepakati pada tahun 2012, dan e. Pada tahun 2015. 20 subsektor baru tambahan ke subsector lainnya yang sudah disepakati pada tahun 2014. 4. Menjadwalkan paket-paket komitmen dengan parameter-parameter sbb: a. Untuk moda 1 dan 2 (perdagangan antarbatas dan konsumsi di luar negeri) tidak ada pembatasan, kecuali jika ada alasan-alasan yang dapat diterima (seperti keselamatan public) untuk seluruh Negara anggota secara kasus per kasus dan sesuai dengan perjanjian. b. Mengijinkan partisipasi modal asing (FEP) dalam hal ini Asean, dengan batasan sebagai berikut: i. ii. Tidak kurang dari 51 persen tahun 2008 (AFAS 7) dan 70 persen tahun 2010 (AFAS 8) untuk 4 sektor jasa prioritas; Tidak kurang dari 49 persen tahun 2008 (AFAS 7), 51 persen tahun 2010 (AFAS 8), dan 70 persen tahun 2013 untuk jasa logistic; dan

iii. Tidak kurang dari 49 persen tahun 2008 (AFAS 7), 51 persen tahun 2010 (AFAS 8), dan 70 persen tahun 2015 untuk sector jasa lainnya. c. Secara progresif menghilangkan pembatasan pada akses pasar untuk moda 3 (kehadiran komersial) pada tahun 2015. d. Menyepakati dan mengimplementasikan beberapa Nota Saling Pengakuan (Mutual Recogition Arranggement/MRA) untuk jasa arsitektur, jasa akuntansi, kualifikasi survey, praktisi medis pada tahun 2008, dan praktisi kesehatan gigi pada tahun 2009 III. Implikasi AFAS pada Jasa Pendidikan Indonesia Dalam bidang pendidikan Indonesia telah membuka dalam model 3 (kehadiran komersial) dimana institusi/investor asing boleh mendirikan cabang di Indonesia dengan prsyaratan sebagai berikut: Commercial presence of the foreign service provider is permitted only through an education institution wich is registered in Indonesia and must meet the following conditions: (a) Mutual recognition arrangement between relevant institutions on credits, programs, and certifications is required, (b) Foreign education institution providing services must establish partnership with local partner. Foreign language instructors must be native and Indonesia speakers, (c) Foregn education institution must be listed in the Minitry of Educations List of Acredited Foreign Education and its local partner must be accredited, (d) Foreign education institution in cooperation with local partner may open education institution in the cities of Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, and Medan, dan (e) Temporary entry for natural persons engaged in

education activities in Indonesia is subject to approval by the Ministry of National Education. Approval is granted in case-by-case basis. Dengan persyaratan tersebut, kehadiran lembaga pendidikan asing di Indonesia yang harus bekerjasama dengan lembaga pendidikan local dan mengikuti berbagai ketentuan yang berlaku serta hanya dibatasi pada kota-kota tertentuJakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta dan Medan kiranya tidak perlu terlampau dirisaukan. Meskipun, bila melihat dari keterbatasan tenaga professional, kehadiran lembaga pendidikan asing di negeri ini dipastikan juga menjadi masalah tersendiri. Sekadar gambaran tentang jumlah tenaga professional yang masih mengalami deficit adalah pada kelompok tenaga insinyur (engineering services dan architectural services). Menurut Sekjen Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Heru Dewanto, Indonesia membutuhkan 175.000 orang insinyur per tahun untuk mengimplementasikan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) , untuk mencapai target Indonesia masuk 10 besar dunia pada 2030 (http://pii.or.id. Kebutuhan insinyur, 2011/10) . Masalahnya, saat ini jumlah insinyur hanya bertambah 37.000 per tahun. Padahal dengan dibukanya mobilitas profesi insinyur di kawasan ASEAN, defisit jumlah insinyur tersebut akan membuat Indonesia dibanjiri insinyur asing. Kekurangan yang sama juga terjadi pada tenaga professional akuntan, doktermanusia, gigi dan veterinerpemandu wisata, dan sejumlah tenaga professional lain yang telah masuk dalam AFAS. Di sisi lain, kualifikasi keprofesionalan yang menjadi bagian dari output lembaga pendidikan tinggi juga masih banyak membutuhkan pembenahan. Secara umum dan sekadar gambaran, berdasarkan data UNDP 2010, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih menempati urutan ke-111 dunia dari 182 negara. Sementara di ASEAN, Indonesia masuk urutan enam dari 10 negara anggota Asean. Rendahnya IPM Indonesia tersebut berkait erat dengan masalah pendidikan, kesehatan dan kemiskinan yang masih cukup memprihatinkan. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang UNESCO, indeks pembangunan pendidikan (EDI) Indonesia adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. Meskipun EDI Indonesia masih terkategori medium berada di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80 dan kategori tinggi jika mencapai 0,95-1, namun posisi tahun 2010 ini merosot dibanding tahun sebelumnya yang berada di peringkat 65. Dalam pengembangan dan penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terutama untuk kepentingan produksi juga masih sangat terbatas. Berdasarkan data UNDP pada Desember 2010, bangsa Indonesia menempati peringkat 43 dari 46 negara, atau berdasarkan versi lain yang juga dari UNDP, Indonesia berada diposisi ke-60 dari 72 negara. Menurut data Kementrian Pendidikan Nasional (Renstra Kemendiknas 2010-2014), angka partisipasi kasar pendidikan tinggi untuk penduduk usia 19-23 tahun pada tahun 2009 baru

mencapai 21,60 persen; prosentase dosen dengan publikasi nasional pada tahun 2009 baru 6 persen; prosentasi dosen pasca dengan publikasi internasional pada tahun 2009 baru 0,2 persen; jumlah Perguruan Tinggi 300 terbaik versi THES pada tahun 2009 berjumlah 0; begitu juga jumlah Perguruan Tinggi berbintang 1-3 dan 4-5 versi QS Star yang pada tahun 2009 juga belum ada satu pun. IV. Catatan Penutup Indonesia memiliki sumber daya manusia yang potensial. Jika bisa diberikan pendidikan dengan baik dan benar, maka tidak mustahil bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang maju lebih cepat. Akan tetapi jika potensi SDM ini tidak dikelola dengan taktis, yang akan dituai di masa depan justru sebuah bencana. Salah satu bencana akibat salah asuh terhadap kelompok usia produktif adalah demographic disaster. Demographic disaster, terjadi saat kelompok usia muda yang produktif (15-34 tahun) jumlahnya melesat cepat di dekade ini, melebihi kelompok usia lainnya. Apabila tidak diiringi dengan pertambahan jumlah lapangan kerja dan peningkatan kompetensi SDM, bisa dibayangkan betapa rawannya kondisi sosial ekonomi bangsa kelak. Jangan sampai usia produktif bangsa ini yang melimpah bukan berdampak positif malah menjadi beban bagi bangsa. Selain itu Indonesia diperkirakan akan mendapat bonus demografi pada 2020-2030 yang menguntungkan dari sisi pembangunan. Bonus demografi adalah fenomena di mana jumlah penduduk usia produktif sangat besar, sementara usia muda semakin kecil dan usia lanjut belum banyak. Dari data yang ada jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) pada 2020-2030 akan mencapai 70 persen, sedangkan sisanya, 30 persen, adalah penduduk yang tidak produktif yaitu usia dibawah 15 tahun dan di atas 64 tahun. Dilihat dari jumlahnya, penduduk usia produktif mencapai sekitar 180 juta, sementara nonproduktif hanya 60 juta. Dengan proporsi tersebut, tingkat penduduk produktif yang menanggung penduduk nonproduktif akan sangat rendah, yakni 44 per 100 penduduk produktif pada 2020-2030. Bonus demografi tidak akan tercapai jika tidak disertai dengan peningkatan pendidikan, akses pelayanan kesehatan, dan peningkatan gizi. Jika tidak disiapkan, bonus demografi justru akan menimbulkan banyak masalah, terutama meningkatkan angka pengangguran dan pasti akan membebani negara. Kondisi saat ini baik data, fakta, ancaman dan peluang yang dimiliki bangsa Indonesia ini harus dirumuskan dengan benar dan teratur menggunakan metodologi yang teruji dan tepat serta dirumuskan oleh para pemikir yang kompeten dan berjiwa semangat sehingga akan menghasilkan sebuah output yang tepat sasaran. Di sisi lain, untuk menghadapi gelombang pasar kerja bebas, Indonesia juga perlu mengambil langkah-langkah strategis, terutama menyangkut penataan infrastruktur untuk pengembangan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Termasuk harmonisasi regulasi antar instansi.

Indonesia juga selayaknya segera menyusun strategi induk untuk menghadapi globalisasi pasar kerja. Setiap forum negosiasi adalah medan pertempuran untuk memenangkan kepentingan. Oleh karena itu, harus ada kejelasan sasaran yang hendak dicapai pada setiap negosiasi di forum. Keseriusan Singapura, Malaysia, dan Filipina dalam negosiasi Mutual Recognition Arrangement di bidang tenaga profesional di forum AFAS, adalah sinyal bahwa mereka siap menyerbu pasar kerja di negara anggota ASEAN lainnya, termasuk Indonesia. Gejalanya sudah semakin tampak, yaitu banyaknya tenaga kerja asing yang bekerja di rumah sakit, pasar swalayan, lembaga pendidikan, jasa keuangan, perhubungan dan telekominikasi, pariwisata, konstruksi dan sebagainya. Ini menjadi tantangan bersama, termasuk dunia Pendidikan Tinggi. Kita menghadapi era di mana globalisasi tenaga kerja sudah di ambang pintu. Mobilitas tenaga kerja yang semakin deras, mau tidak mau harus bisa dikendalikan. Dan kita tidak bisa menunggu lebih lama. Sekian dan terimakasih. Jakarta, 09 Februari 2012

Anda mungkin juga menyukai