Anda di halaman 1dari 6

Kompas 9 November 2021

Kapitalisme Kebablasan
Di Skandinavia perpaduan antara sistem ekonomi pasar dengan pemikiran
sosialisme dalam mengelola negara berjalan dengan serasi dalam konsep \'negara
kesejahteraan\'. Perpaduan seperti ini bisa menjadi ilham.

Ketika Tembok Berlin rontok, ketika Uni Soviet dan beberapa negara satelitnya terpecah
belah, ketika itu seorang Francis Fukuyama menyimpulkan bahwa ideologi kapitalisme-
liberalisme telah memenangi pertarungan.

Ideologi komunisme yang di beberapa negara menampilkan diri dalam wajah sosialisme,
sepertinya telah tamat. Secara gradual semua negara mulai menerapkan sistem ekonomi pasar
(market economy) dalam berbagai bentuk dengan segala ketaksempurnaanya.

Negara seperti Rusia, sisa Uni Soviet yang bertahan, mulai mengadopsi sistem ekonomi
pasar. China juga melakukan hal yang sama, mengimpor kapitalisme meski pemerintahnya
dijalankan oleh Partai Komunis yang masih sangat dominan.

Negara-negara satelit Uni Soviet seperti Cekoslovakia dan Yugoslavia terpecah dalam
beberapa negara tapi sistem ekonominya berpaling pada kapitalisme. Beberapa di antara
mereka mulai masuk ke dalam blok Uni Eropa yang memang terang-terangan menjadi
benteng kapitalisme. Dunia sedang berubah dengan cepat.

Beberapa kali saya mengunjungi China, dari Beijing sampai ke Shanghai, saya melihat
keceriaan rakyat seperti saya menemukannya di pusat kota New York dan Tokyo:
semuanya trendy dan bergaya dengan telepon genggam mereka, dan mulai terdengar
percakapan dalam bahasa Inggris. Saya tak menemukan suasana tertekan.

Ideologi komunisme yang di beberapa negara menampilkan diri dalam wajah


sosialisme, sepertinya telah tamat.

Mungkin saya salah tetapi kunjungan demi kunjungan saya terus merasa terkesan bahwa
China sedang mengalami perubahan drastis dan tak ayal lagi ekonomi China memang tumbuh
sangat mengesankan. Semua barang China mengalir ke semua pusat perbelanjaan di semua
kota besar dunia.
Banyak brand ternama dunia, produknya dibuat di China karena diberikan lisensi, dan
beberapa malah membuka pabrik di China dan menjadi bagian dari rantai pasok global
(global supply chain) yang menentukan. Telepon genggam Apple tak lagi dibuat 100 persen
di Cupertino, California. Apple sudah jadi produk global.

Ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, banyak industri di Jerman, Amerika dan negara
lain macet karena pasokan suku cadang dari China terhenti. Ekonomi dunia seperti terhenti.
Memang pandemi Covid-19 meredam laju pertumbuhan industri dan perdagangan dunia,
tetapi satu hal yang pasti bahwa kapitalisme telah merambah ke mana-mana. Ideologi tak lagi
jadi kendala atau trade barrier.

Kapitalisme global

Sekarang China sudah menjadi raksasa ekonomi dunia. Produk Domestik Bruto (PDB)-nya
berada di bawah Amerika, tapi diramalkan akan melewati Amerika tak lama lagi. Semua
provinsi di China sudah terkait dengan ekonomi global dan memasok produk mereka ke
seluruh penjuru dunia.

Ada pengamat politik yang mengatakan bahwa sekarang ini sebetulnya yang berkuasa
bukanlah G-20 atau G-7 tetapi G-2 yang terdiri dari Amerika dan China. Pengamatan itu tak
sepenuhnya keliru karena memang faktanya seperti itu.

China sudah berhasil mengembangkan dirinya menjadi ekonomi super maju dan melakukan
inovasi yang melebihi dugaan banyak kalangan. Tak pernah ada yang menduga bahwa China
bisa punya kereta api super cepat paling canggih. Kalau kita ke New York atau San
Francisco, kita akan heran melihat betapa kereta api mereka begitu ketinggalan.

Tak ayal lagi China memang tumbuh secara sangat signifikan, di luar perkiraan.

Tak ayal lagi China memang tumbuh secara sangat signifikan, di luar perkiraan. Huawei
membuat banyak negara khawatir bahwa China sudah mempunyai kemampuan intelijen yang
menyusup melalui teknologi komunikasi komersial yang mereka kembangkan. Ali Baba telah
menjadi raksasa digital yang ditopang oleh ratusan juta pengguna. Ada We Chat, Tencent,
Baidu dan beberapa lagi.
Industri lainnya juga bertumbuh sangat besar. Perusahaan-perusahaan itu memiliki daya
ungkit (leverage) yang punya bobot politik, disegani dan membesar karena kumulasi modal
yang luar biasa.

Perusahaan-perusahaan itu seperti ikut membentuk watak manusia dan secara perlahan
menimbulkan keraguan akan keunggulan ideologi partai yang berkuasa. Memang tak ada
dualisme kekuasaan tetapi ada bayang-bayang kekuatan ekonomi (economic power) yang
menggurita: kapitalisme yang semakin raksasa. Presiden Xi Jinping mulai merasakan ada
sesuatu yang salah dengan pertumbuhan ekonomi China di mana kapitalisme sudah jadi
alternatif. Kekhawatiran ini semakin lama semakin menguat dan akhirnya Presiden Xi mulai
bicara mengenai ekses kapitalisme atau apa yang saya terjemahkan sebagai "kapitalisme
kebablasan". Apakah yang terjadi memang kapitalisme kebablasan?

Meski China telah berhasil mengangkat lebih dari separuh rakyatnya dari lembah kemiskinan,
tetapi ketimpangan (inequality) sangat terasa. Jurang kaya-miskin bisa dilihat dan rasakan.
Sebanyak 20 persen masyarakat lapis atas menguasai 45 persen pendapatan nasional,
sementara 1 persen orang kaya memiliki 30 persen dari kekayaan rumah tangga.

Ini berbahaya. Ini mengancam kesatuan negara. Kapitalisme mulai disalahkan. Tak ada
perekonomian yang bisa diserahkan kepada sistem ekonomi pasar tanpa campur tangan
negara, karena ketika dibiarkan maka kekuasaan negara akan tergerus dan kepentingan
ekonomi rakyat akan diabaikan. Atas dasar ini President Xi Jinping mulai melakukan
serangkaian tindakan yang mencoba melakukan koreksi terhadap kebablasan kapitalisme
yang terjadi. Pemerintah China mulai menggergaji Ali Baba ketika anak perusahaannya, Ant
Group, gagal melakukan penjualan saham kepada publik.

Jack Ma, pemilik Ali Baba, untuk beberapa waktu hilang dari peredaran. Lalu perusahaan
properti Evergrande dibiarkan gagal bayar (default) atau bangkrut ketika perusahaan ini
mencoba melakukan penjualan sahamnya di bursa Amerika. Kemudian perdagangan uang
kripto (cryptocurrency) juga dilarang.

Perangkat kapitalisme dipreteli dengan satu tujuan bahwa mereka harus tunduk pada negara,
mereka tak bisa berbisnis tanpa mengikuti kebijaksanaan negara.
Yang mengatur perekonomian China bukan ’pasar’ tetapi ’negara’. Presiden Xi Jinping,
seperti melakukan otokritik, melancarkan kampanye tentang ’common prosperity’,
kemakmuran bersama, yang artinya mesti ada pemerataan dan pembagian kekayaan.

Masih belum jelas sejauh mana kampanye ini akan membawa China tapi yang jelas Xi
Jinping sendiri sedang berusaha menarik simpati publik agar dia bisa melanjutkan
kekuasaannya pada periode berikutnya. Tapi terlepas dari itu, yang pasti adalah penolakan
terhadap sistem ekonomi pasar kalau hanya semata untuk ekonomi pasar. Market economy
just for the sake of market economy is politically wrong.

Krisis finansial Asia 1998 dan krisis finansial 2008 adalah bukti kegagalan sistem ekonomi
pasar. Adalah sifat perusahaan untuk terus ekspansi tetapi nafsu ekspansi yang besar selalu
membawa petaka, dan itulah yang terjadi. Apa yang terjadi pada 1998 dan 2008 adalah
gunung gagal bayar (default) yang merusak sendi-sendi perekonomian nasional dan global.

Karena itu, negara harus ikut campur melalui kerangka peraturan (regulatory framework)
yang memberi insentif pada pengusaha sekaligus menciptakan lapangan kerja, kelas
menengah dan perolehan pendapatan (income). Dalam bahasa ekonomi harus ada ’tetesan ke
bawah\' (trickle down). Kampanye ’kemakmuran bersama’ terdengar punya dasar yang kuat
kalau kita bicara mengenai keberlanjutan (sustainability).

Kampanye ’kemakmuran bersama’ terdengar punya dasar yang kuat kalau kita bicara
mengenai keberlanjutan (sustainability).

Negara kesejahteraan

Kritik terhadap kapitalisme itu sudah ada sejak dulu kala. Diskursus mengenai itu sangat
kaya. Di Eropa sekarang ini kita melihat berbagai pemerintahan dikuasai oleh ideologi kiri
(bukan komunis) yang pada intinya tetap menganut sistem ekonomi pasar tetapi dengan
komitmen akan kesejahteraan.

Jerman menyebutnya sebagai ’social market economy’. Negara-negara Skandinavia,


Norwegia, Swedia, Denmark, Finlandia dan Islandia sekarang diperintah oleh koalisi partai-
partai kiri (dan hijau). Jerman juga baru saja dimenangi partai beraliran kiri.
Kesemua negara ini menunjukkan bahwa kapitalisme itu adalah sistem yang relatif baik kalau
dia disertai dengan tanggung jawab sosial, dengan komitmen akan pemerataan dan
keberlanjutan.

Peta demografi Eropa yang ditandai dengan tingkat kesejahteraan yang cukup memadai
membuat Eropa menjadi model dari kapitalisme yang berkelanjutan secara sosial dan
ekonomi (socially and economically sustainable). Turunan dari semua ini adalah menguatnya
demokrasi, supremasi hukum dan hak asasi manusia.

Di negara-negara Skandinavia semua itu dibungkus dalam terminologi ’negara


kesejahteraan\' (welfare state). Negara mendorong perekonomian yang bertumpu pada pasar
tetapi mengalokasikan jumlah sangat signifikan bagi kesejahteraan publik apakah itu dalam
bentuk infrastruktur, perumahan, pendidikan, kesehatan maupun jaminan hari tua. Yang
sangat menarik di sini, khususnya Norwegia, adalah peran sangat instrumental dari
perusahaan-perusahaan yang dimiliki negara dalam menjalankan roda perekonomian.

Hampir semua perusahaan besar di sini ada penyertaan saham negara, baik itu yang bergerak
di bidang penambangan minyak dan gas bumi, energi terbarukan, maupun transportasi publik,
lembaga keuangan, konstruksi dan sebagainya.

Di sini kita melihat sektor negara dan swasta bergandengan tangan memajukan
perekonomian di bawah pengaturan rezim hukum yang pasti.

Selain itu pemerintahan daerah (municipality, kommune) juga ikut menjalankan peran
ekonomi mereka secara aktif. Di sini kita melihat sektor negara dan swasta bergandengan
tangan memajukan perekonomian di bawah pengaturan rezim hukum yang pasti. Adalah
menarik melihat betapa sedikit kebocoran yang terjadi karena transparansi dan akuntabilitas
itu terlihat kasat mata.

Welfare state di sini terbukti berhasil karena mampu menyejahterakan rakyatnya. Norwegia
dikenal sebagai negara dengan pendapatan per kapita sangat tinggi, demokrasi yang bekerja,
angka korupsi rendah dan masyarakat yang bahagia.

Ini adalah hasil survei yang diadakan oleh beberapa lembaga internasional. Memang pajak
relatif tinggi, biaya hidup juga mahal, tetapi negara memberikan segalanya. Pandemi Covid-
19 seperti tak menghambat roda perekonomian, tak membuat defisit perdagangan dan tak
membuat apatisme.

Negara melalui dana minyak yang sudah dikelola secara bertanggung jawab selama ini telah
mampu membiayai jejaring pengaman sosial (social safety net) yang membuat negara tetap
berjalan sambil menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Di Skandinavia, tak ada apa yang dikhawatirkan sebagai kapitalisme kebablasan. Pemikiran
sosialisme berakar kuat dalam masyarakat dan pemerintah menerjemahkan semua itu dalam
konsep ’negara kesejahteraan’.

Perpaduan antara sistem ekonomi pasar dengan pemikiran sosialisme dalam mengelola
negara berjalan dengan serasi, dan seharusnya perpaduan seperti ini bisa menjadi ilham buat
semua kita.

Todung Mulya Lubis Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Norwegia dan
Republik Islandia.

Anda mungkin juga menyukai