Anda di halaman 1dari 6

DEMOKRASI

Ruang Demokrasi: dari Global Hingga


Lokal
Kekuatan dan kelemahan masyarakat sipil tergantung pada perilaku negara melalui
kebijakannya. Demokrasi adalah sistem di mana ada pengakuan tentang selalu
diperlukannya organisasi masyarakat sipil dalam bernegara.
Oleh
MEUTHIA GANIE-ROCHMAN
17 Januari 2023 04:30 WIB·6 menit baca
TEKS 

HERYUNANTO

Ilustrasi

Rangkaian acara terkait Bali Democracy Forum dengan tema ”Solidaritas dan
Kepemimpinan” yang baru berlalu menegaskan banyaknya tantangan sosial ekonomi yang
dihadapi secara global.

Tantangan-tantangan sosial ekonomi tersebut muncul bersamaan dengan kuatnya fakta


tentang melemahnya peran masyarakat sipil dalam penyelesaian persoalan bangsa-bangsa.

Ini terjadi di tengah semakin tingginya ketimpangan ekonomi secara global, krisis lingkungan
dan kesehatan, tantangan institusi otoritatif, dan kebingungan mengendalikan aspek negatif
digitalisasi.

Peran organisasi masyarakat sipil

Organisasi masyarakat sipil adalah berbagai organisasi nonpemerintah dan bisnis yang hadir
untuk menciptakan upaya kesejahteraan di masyarakat.
Dalam konsep negara demokratis, organisasi masyarakat sipil adalah sumber dihasilkannya
nilai-nilai solidaritas. Karena itu, sering organisasi masyarakat sipil dikatakan menjadi
pengontrol kecenderungan kekuasaan dan keuntungan ekonomi untuk tak menjadi
bertentangan dengan kepentingan luas di masyarakat.

Organisasi masyarakat sipil bukan hanya berperan semata memperbarui nilai dan norma
solidaritas sesuai dengan perkembangan zaman.

Baca juga : Pesan Penting dari Bali Democracy Forum: Pulihkan Demokrasi Myanmar

Untuk menjadi berperan, organisasi masyarakat sipil juga harus menguasai teknologi dan
teknokrasi pengelolaan masyarakat sesuai dengan bidangnya. Jika ia bergerak di bidang
media massa, maka teknologi, tata kelola, dan pola keterlibatan masyarakatnya juga harus
terus- menerus diperbarui.

Selain itu, organisasi masyarakat sipil juga harus mampu mengembangkan basis material. Ini
membuatnya tidak tergantung pada kekuatan lain.

Kelemahan memudahkan terjadinya kooptasi, baik gagasan, kedudukan, identitas, maupun


status. Karena itu, ketimpangan sumber daya ekonomi mematikan kesempatan tumbuhnya
keberagaman kreativitas ekonomi, lebih buruk lagi, menciptakan sistem ekonomi dengan
pekerja prekariat.

Sistem dengan kontrak mengurangi secara serius tempat kerja sebagai basis pengembangan
kemampuan tindakan kolektif. Jika kondisi ini diikuti dengan lemahnya kegiatan-kegiatan
kolektif secara sosial, maka tercipta anggota masyarakat yang susah membangun tujuan
kolektif.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)


Koalisi Masyarakat Sipil menggelar pekan proyek masyarakat sipil bertajuk "Habis
Gelap Terbitlah Kelam" di Jakarta, Senin (14/10/2019).

Namun, kekuatan dan kelemahan masyarakat sipil tergantung pada perilaku negara melalui
kebijakannya. Demokrasi adalah sistem di mana ada pengakuan tentang selalu diperlukannya
organisasi masyarakat sipil dalam bernegara.

Bagaimanapun kuatnya suatu negara, atau kayanya suatu kelompok bisnis, tanpa masyarakat
sipil, kekuatan bangsa akan ditarik pada sifat kekuasaan yang ada pada negara, atau
keinginan penguasaan ekonomi pada bisnis.

Tentu penulis menyadari bahwa dalam kondisi nyata ada keberagaman percampuran sifat dari
tiap-tiap wilayah ini. Namun, pembahasan yang kompleks bukan di sini.

Intinya adalah semua bangsa membutuhkan masyarakat sipil yang sehat untuk energi terus-
menerus memasukkan nilai solidaritas (keadilan, kesamaan, saling penguatan) sosial dalam
pembangunan suatu bangsa.

Wilayah masyarakat sipil selama ini ada pada beberapa tingkatan. Di banyak negara,
organisasi masyarakat sipil bekerja pada tingkat kewilayahan yang berbeda-beda.
”Masyarakat sipil” juga berada pada tingkat internasional, yang berinteraksi dan bekerja pada
forum-forum antarbangsa.

Demokrasi adalah sistem di mana ada pengakuan tentang selalu diperlukannya


organisasi masyarakat sipil dalam bernegara.

Mereka ada di unit-unit di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Eropa, Bank
Dunia, bahkan ASEAN. Mereka sedianya berperan menghasilkan standar, prinsip, konvensi
yang akan dijadikan acuan universal.

Di tingkat lebih rendah, ada organisasi-organisasi pembangunan yang berada di bawah suatu
negara dan organisasi pembangunan yang bekerja di banyak negara. Mereka mungkin akan
membawakan prinsip-prinsip yang dihasilkan di tingkat antarbangsa pada saat menjalankan
program-program di banyak negara.

Kegagalan lembaga internasional

Persoalannya adalah organisasi antarbangsa sejauh ini tampak tertinggal dalam menangani
isu-isu struktural. Terbukti kegagalan ini mempertahankan dan mengembangkan bentuk
ketimpangan ekstrem di seluruh dunia.

Beberapa hal penting yang tidak ditangani secara sistematis (seharusnya sejak puluhan tahun
lalu) adalah prinsip dan model-model pemajakan bagi organisasi dan individu yang memiliki
model pengelolaan aset beragam, termasuk sistem pewarisan.

Mereka juga gagal mengontrol status ”kelegalan bebas pajak” dari perusahaan-perusahaan
cangkang yang bagaimanapun mengaitkan juga organisasi keuangan besar dalam mengelola
aset secara tertutup.
ERIKA KURNIA UNTUK KOMPAS

Foto bersama usai dialog kebijakan bersama Koalisi Masyarakat Sipil dan kemitraan
di Jakarta, Senin (19/11/2018). Peserta acara yang terdiri dari berbagai lembaga
swadaya masyarakat menyuarakan reformasi kebijakan pendidikan untuk mencegah
ekstrimisme berbasis agama kepada perwakilan lembaga legislatif.

Sekarang ini organisasi internasional terlihat sangat ketinggalan dalam menangani persoalan
dominasi beberapa perusahaan digital. Dalam menggerakkan demokrasi di seluruh dunia,
lembaga-lembaga antarbangsa gagal mengembangkan skema pelibatan para aktor politik
yang bekerja di negara masing-masing.

Mekanisme pelibatan terlalu bersifat bergantung pada posisi jabatan di pemerintahan


(portofolio) daripada mengembangkan mekanisme yang dapat bergulir di negara-negara
anggota.

Tiga kelemahan

Terdapat tiga kelemahan dasar dari bekerjanya organisasi pembangunan internasional dan
lembaga kerja sama pembangunan resmi negara.

Kelemahan pertama, kurang dapat reflektif dengan konteks lokal. Mereka cenderung
menjalankan beberapa skema yang sedang populer (bertahan bisa sampai satu dekade!).

Kelemahan kedua adalah tidak mampu bersinergi secara lebih baik dalam menghadapi
tantangan demokratisasi di banyak negara.

Kelemahan ketiga adalah ketergantungan pada beberapa mitra lokal yang dianggap mampu
dalam skema dan administrasi pembangunan yang mereka tawarkan.

Di pihak lain, terdapat bahaya ”penyatuan kenyamanan”, di mana kedua belah pihak dalam
prosesnya kurang kritis pada skema kerja awal.
Sekarang ini organisasi internasional terlihat sangat ketinggalan dalam menangani
persoalan dominasi beberapa perusahaan digital.

Masyarakat sipil, baik pada tingkat internasional maupun lokal, juga lambat dalam membuat
sinergi dengan kelompok-kelompok masyarakat baru yang piawai menggunakan komunikasi
digital. Kelompok-kelompok baru ini bergerak baik sebagai individu maupun kelompok
independen, yang sebagian masuk dalam kategori social entrepreneur.

Mungkin mereka tak membuat klaim identitas tentang demokratisasi, tetapi kerja mereka
mengandung gagasan ”perbaikan masyarakat/komunitas”. Mereka ”masyarakat sipil” masa
kini dengan potensi pengelolaan sumber daya sendiri.

Jika mereka ”dijangkau” oleh organisasi masyarakat sipil konvensional dengan klaim
identitas masyarakat sipil yang lebih jelas, kelompok-kelompok baru ini menjadi kekuatan
masyarakat sipil secara umum.

Digitalisasi yang diadopsi banyak pemerintahan di klaim telah meningkatkan transparansi


dan akuntabilitas. Mungkin benar terutama soal transparansi. Namun, masalah akuntabilitas
adalah soal lain. Digitalisasi tidak menjamin aspek ini.

Baca juga Mempersoalkan Imparsialitas Platform Digital

Akuntabilitas adalah upaya mendapat legitimasi bahwa suatu program, atau keberadaan
institusi publik, sesuai dengan kerangka tujuan dan cara-cara pencapaian yang diterima
masyarakat.

Digitalisasi kebanyakan dibuat tanpa melibatkan organisasi-organisasi nonpemerintah,


termasuk perguruan tinggi, dalam hal substantif, misalnya bagaimana data ditarik, diolah, dan
dimanfaatkan. Digitalisasi jauh melampaui hanya masalah desain sistem. Ada banyak isu
inklusi-eksklusi dan hak warga negara dalam digitalisasi.

Menyelamatkan ruang publik

Civil Society and Media Forum yang merupakan bagian dari Bali Democracy Forum


mengangkat isu menyelamatkan ruang publik sebagai bagian dari skema untuk menjaga
pembangunan yang akuntabel dengan tujuan-tujuan kesejahteraan umum.

Untuk mewujudkan ini, baik pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil memiliki
tanggung jawab masing-masing.

Pemerintah Indonesia, antara lain melalui Bali Democracy Forum, harus mengangkat isu-isu
yang dihasilkan pada tingkat internasional.

Pemerintah harus memfasilitasi bagaimana instrumen dan mekanisme yang ada pada tingkat
internasional, misalnya indeks-indeks demokrasi dan antikorupsi, dijalankan oleh organisasi
masyarakat sipil.
Pemerintah wajib memberi ruang bagi organisasi masyarakat sipil untuk menerapkan,
memperluas, dan memperbarui indeks-indeks tersebut agar lebih menjadi kontekstual dan
menggerakkan.

Peran pemerintah lainnya adalah menghentikan wilayah publik dicemari oleh hoaks dan
buzzer. Itu adalah bentuk tanggung jawab negara sesuai zaman, yaitu era digital.

Penerapan e-digital juga melibatkan organisasi masyarakat sipil yang kompeten dalam
pembuatan kerangka pengembangannya.

Ilustrasi

Pemerintah daerah harus memfasilitasi berkembangnya kewiraswastaan sosial.


Kewiraswastaan sosial adalah arena sosial bagi masyarakat sipil dalam mengembangkan
kemampuan mengelola sumber daya, selain juga arena untuk mengembangkan gagasan
tentang kewarganegaraan.

Pemerintah daerah harus memfasilitasi bukan hanya dari peraturan, melainkan juga
mobilisasi sumber daya, termasuk memfasilitasi kerja sama multipihak dalam upaya ini.

Organisasi masyarakat sipil sendiri harus mengembangkan kerangka kerja samanya.


Kompetensi masuk dalam e-governance harus dikembangkan.

Termasuk di dalamnya merangkul kelompok-kelompok masyarakat dengan format baru yang


muncul di era digitalisasi.

Meuthia Ganie-Rochman Sosiolog Organisasi, Mengajar di Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai