Anda di halaman 1dari 10

TSI-653 MANAJEMEN PROYEK BERBASIS MASYARAKAT

TUGAS 1. RESUME JOURNAL “A LADDER OF COMMUNITY


PARTICIPATION FOR UNDERDEVELOPED COUNTRIES”

NAMA : ANNISA DALIFA

NIM : 2220922036

PRODI MAGISTER TEKNIK SIPIL


DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS ANDALAS

SEMESTER III - 2023

1
1. Informasi Jurnal

Jurnal Habitat Intl, Vol. 20, No. 3, pp. 431 – 444, 1996 dengan judul “A Ladder of
Community Participation for Underdeveloped Countries” oleh Marisa B. Guaraldo Choguill,
University of Sheffield, UK

2. Pendahuluan

• Latar Belakang Penulisan Jurnal

Di negara – negara terbelakang, sektor publik dan swasta tidak mampu menyediakan
perumahan dan infrastruktur yang memadai bagi masyarakat karena penyediaan layanan
yang digerakkan oleh pemerintah pusat telah mengecualikan mereka yang tidak mampu
membayar layanan tersebut. Salah satu solusi terhadap masalah tersebut tampaknya
didasarkan pada perbaikan perumahan dan infrastruktur secara progresif yang
membutuhkan partisipasi masyarakat. Komponen mendasar dari partisipasi masyarakat
adalah self-help, yaitu gotong royong. Namun berkaitan dengan praktik dari partisipasi
masyarakat tersebut, belum ada panduan yang lengkap terkait partisipasi masyarakat bagi
pemerintah dan organisasi non – pemerintah (LSM) dalam hal pendekatan yang diperlukan
untuk mencapai keberhasilan perumahan atau infrastruktur di negara – negara terbangun /
terbelakang. Masalah utama yang dibahas didalam penulisan jurnal yaitu apakah partisipasi
masyarakat dipraktikkan, dan bagaimana caranya.

• Tujuan Penulisan Jurnal


Membahas secara detail terkait permasalahan pertama sehingga memberikan dasar
pemahaman mengenai hal kedua.

3. Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Analisis dan tinjauan dari berbagai
literatur yang terkait dengan permasalahan yang dibahas.

4. Hasil Penelitian

• Analisis Partisipasi Masyarakat Dalam Penyediaan Perumahan Dan Infrastruktur Lokal


Di Negara Terbangun

2
Upaya yang paling terkenal untuk menentukan skala partisipasi masyarakat adalah Upaya
Amstein yang memandang partisipasi warga sebagai istilah untuk kekuatan warga. Amstein
mendefenisikan konsep tersebut sebagai redistribusi kekuasaan yang memungkinkan warga
negara miskin,yang saat ini terpinggirkan dari proses politik dan ekonomi, untuk dengan
sengaja diikutsertakan di masa depan. Terdapat 8 anak tangga partisipasi masyarakat
menurut Amstein, yaitu:

Namun dalam konteks Pembangunan di negara terbelakang, tangga partisipasi


masyarakat Amstein masih belum sempurna. Pelajaran yang dapat diambil dari evaluasi
partisipasi masyarakat dalam proyek Pembangunan adalah bahwa terdapat lebih banyak
kendala yang dihadapi oleh negara - negara terbelakang dibandingkan dengan negara-
negara maju. Di negara maju, Amstein mengidentifikasi proses – proses dimana “warga
negara yang tidak mampu dapat mendorong reformasi sosial yang signifikan yang
memungkinkan mereka untuk berbagi manfaat dengan masyarakat yang lebih mampu. Hal
ini tidak hanya bersifat politis dan finansial, tetapi juga teknis dan motivasi. Dalam hal
infrastruktur, pendekatan ini lah yang digunakan oleh Choguill yang telah memamaprkan
sebuah model yang didasarkan pada perbaikan progressif infrastruktur. Sebuah elemen
kunci dari model ini menyangkut masukan strategis berupa bantuan dari luar, baik yang
berasal dari luar sumber pemerintah ataupun non-pemerintah.

• Tingkat Partisipasi Masyarakat Untuk Negara-Negara Terbelakang

Mengingat masalah-masalah yang ada dalam upaya mentransfer konsep-konsep


Arnstein ke negara-negara terbelakang, serangkaian kriteria baru diusulkan dalam makalah
ini, yang melibatkan perubahan-perubahan tertentu dalam terminologi, yang tampaknya
lebih dapat beradaptasi dengan konteks pembangunan. Disarankan agar partisipasi

3
masyarakat tidak hanya dilihat sebagai sarana untuk memungkinkan masyarakat
mempengaruhi keputusan di arena politik tentang isu-isu yang mempengaruhi mereka,
tetapi juga sebagai sarana untuk memperoleh, melalui inisiatif gotong royong dan mungkin
dengan bantuan dari luar, kebutuhan-kebutuhan dasar yang jika tidak tersedia bagi mereka.

Seperti dalam kasus Arnstein, tingkatan yang diusulkan dapat memiliki jumlah yang
hampir tak terbatas jika seseorang ingin membedakan secara halus di antara berbagai
tingkat partisipasi. Tentu saja hal ini akan semakin mempersulit proses identifikasi dan oleh
karena itu, untuk penelitian ini, seperti halnya penelitian Arnstein, digunakan jenjang dengan
delapan tingkatan.

Skala partisipasi yang disarankan bagi negara – negara terbelakang didasarkan pada
tingkat kemauan pemerintah dalam melaksanakan proyek gotong royong masyarakat,
dimulai dari tingkat partisipasi tertinggi adalah sebagai berikut :

o Hirarki tingkat 1: Empowerment (Pemberdayaan)


Pemberdayaan merupakan tingkat tertinggi dalam tingkat partisipasi masyarakat
yang diusulkan untuk negara-negara terbelakang. Pemberdayaan ini dapat
berupa anggota masyarakat yang memiliki mayoritas kursi atau kewenangan
tertentu pada badan-badan pengambil keputusan formal mengenai suatu proyek
atau program tertentu yang melibatkan partisipasi masyarakat, ketika pemerintah
kota tidak mampu atau tidak mau melakukan perbaikan sendiri. Anggota
masyarakat diharapkan untuk memprakarsai perbaikan mereka sendiri, mungkin
dengan bantuan organisasi luar, seperti LSM atau sekutu lainnya, untuk
menunjukkan kontrol yang nyata atas situasi dan "mempengaruhi proses dan
hasil pembangunan". Kemungkinan-kemungkinan untuk mengendalikan situasi
dan menjalin kerjasama, dengan dukungan pemerintah, merupakan karakteristik
utama pemberdayaan. Contoh pemberdayaan pada Jardim Celeste, Sao Paulo,
Brazil, yaitu kasus asosiasi lingkungan berpendapatan rendah, yang terhubung
dengan Gerakan Populer dan Gereja Katolik, yang menjalankan proyek
perumahan swadaya yang dibiayai oleh lembaga pemerintah, FUNACON. Hal ini
dibantu oleh Tim Bantuan Teknis (TAT) yang dikontrak oleh pemerintah daerah.

4
o Hirarki Tingkat 2: Partnership (Kemitraan)
Ini adalah tingkat kedua dalam tingkatan tersebut. Pada tingkat ini, anggota
masyarakat dan para pengambil keputusan dan perencana dari luar sepakat untuk
berbagi tanggung jawab perencanaan dan pengambilan keputusan tentang
proyek-proyek pembangunan yang melibatkan partisipasi masyarakat melalui
struktur-struktur seperti dewan kebijakan bersama, komite perencanaan, dan
pada akhirnya mekanisme-mekanisme informal lainnya untuk menyelesaikan
masalah dan konflik. Keterlibatan pemerintah dalam proyek-proyek lebih intens
dibandingkan dengan pemberdayaan. Contoh kemitraan pada Kampung Banyu
Urip, Surabaya, Indonesia. Pada tahun 1979, masyarakat tergabung dalam
Program Perbaikan Kampung PPK). Masyarakat dilibatkan dalam penyusunan
dan diskusi rencana perbaikan serta implementasinya. Antara tahun 1979 dan
1982, jalan untuk kendaraan, jalan setapak, drainase, pipa tegakan air dan toilet
umum disediakan oleh PPK dengan biaya per kapita sekitar US$22 untuk 28.000
penduduk yang dilayani. Setelah pekerjaan selesai, masyarakat bertanggung
jawab atas penggunaan dan pengembangan lebih lanjut dari perbaikan tersebut.
Pohon, semak dan bunga ditanam. Penerangan jalan sudah dipasang. Rumah
penjaga keamanan dan ruang pertemuan dibangun. Rumah-rumah diperbaiki.
Pada tahun 1983, permohonan masyarakat untuk mendapatkan kepemilikan legal
dikabulkan. Pengalaman Banyu Urip menunjukkan adanya minat yang tulus untuk
melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan.

o Hirarki Tingkat 3: Conciliation (Konsiliasi)


Konsiliasi adalah tingkat ketiga dari tingkat partisipasi masyarakat yang
disarankan. Hal ini terjadi ketika pemerintah merancang solusi yang pada
akhirnya disahkan oleh masyarakat. Hal ini dapat berupa penunjukan beberapa
perwakilan masyarakat ke dalam kelompok penasihat, atau bahkan badan
pengambil keputusan, dimana mereka dapat didengar pendapatnya, tetapi juga
di mana mereka sering dipaksa untuk menerima keputusan dari elit yang
berkuasa dan persuasif. Pendekatan ini sering kali bersifat dari atas ke bawah
dan paternalistic. Contoh konsiliasi pada Curitiba, Brazil yang menggambarkan

5
Upaya sebuah kota dalam melakukan perbaikan lingkungan. Salah satu elemen
penting yang termasuk dalam rencana tersebut adalah konsep dan penggunaan
"hierarki jalan". Bentuk kawasan pusat bisnis yang linier semakin mendorong
penggunaan transportasi umum. Aspek menarik dari pengelolaan kota berkaitan
dengan limbah padat. Tujuh puluh persen rumah tangga berpartisipasi dalam
salah satu program daur ulang limbah padat kota. Hal ini dipadukan dengan
serangkaian inisiatif sosial, seperti menukarkan kantong sampah yang
dikumpulkan warga dengan token bus dan parsel sisa makanan.

o Hirarki Tingkat 4: Dissimulation (Disimulasi)


Ini adalah tingkat keempat dalam tingkatan tersebut. Untuk mencapai kemiripan
partisipasi, orang-orang ditempatkan di komite atau dewan penasihat stempel
karet. Tujuan utamanya adalah untuk mendidik mereka atau, lebih sering lagi,
merekayasa dukungan mereka. Dari tingkat bawah ini, pemerintah semakin
membiarkan masyarakat untuk mengurus dirinya sendiri. Contoh disimulasi pada
Unit Perencanaan Kota Campo Grande, Mato Grosso do Sul, Brazil. Kelompok-
kelompok ini prihatin dengan penyediaan infrastruktur fisik (jalan, drainase dan
pembuangan limbah padat) serta infrastruktur sosial (sekolah dan klinik
kesehatan) di lingkungan masyarakat berpendapatan rendah. Kasus ini
menggambarkan strategi untuk merekayasa dukungan terhadap kelompok yang
tidak puas tanpa memberikan apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Dewan
penasihat pada awalnya diusulkan sebagai sesuatu yang memenuhi tujuan
demokratis. Namun, hanya satu perwakilan dari wilayah miskin di pinggiran kota
yang dicalonkan untuk bergabung dalam dewan yang beranggotakan 21 orang
ini, sisanya adalah perwakilan dari asosiasi profesional dan kelompok yang
terlibat dalam pembangunan spekulatif. Akibatnya, tidak ada proyek atau program
penting untuk lingkungan miskin yang dipertimbangkan oleh dewan penasehat.

o Hirarki Tingkat 5: Diplomacy (Diplomasi)


Diplomasi adalah tingkat kelima dalam tingkat partisipasi masyarakat yang
disarankan dan, seperti halnya disimulasi, diplomasi merupakan jenis manipulasi.

6
Dalam hal ini, pemerintah, karena kurangnya minat, kurangnya sumber daya
keuangan atau karena ketidakmampuannya, cenderung mengharapkan
masyarakat itu sendiri yang akan melakukan perbaikan yang diperlukan, biasanya
dengan bantuan yang nyaris heroik dari organisasi luar. Ketika ada kemungkinan
bahwa masyarakat dengan sendirinya dapat melakukan perbaikan yang nyata
atau ketika LSM dilibatkan, pemerintah mungkin akan mengubah sikapnya, sering
kali karena alasan taktis, dengan memberikan bantuan dalam jumlah yang
terbatas. Diplomasi dapat berupa konsultasi, survei sikap, dengar pendapat,
kunjungan ke lingkungan atau pertemuan dengan penduduk. Dalam kegiatan ini,
para pejabat pemerintah berpura-pura bahwa mereka sedang mencari pendapat
mengenai proyek potensial atau bahwa mereka akan mempromosikan /
mendukung suatu perbaikan di lingkungan tersebut. Namun demikian, tidak ada
jaminan bahwa proyek-proyek baru akan dilaksanakan, bahwa keprihatinan dan
ide-ide dari masyarakat akan dipertimbangkan dalam proyek-proyek ini, atau
dukungan terhadap upaya masyarakat akan diberikan. Contoh Diplomasi pada
Baldia, sebuah komunitas berpendapatan rendah di Karachi, Pakistan,
merupakan contoh komunitas berpendapatan rendah yang bermitra dengan
sebuah LSM asing. Karena tingginya angka kematian bayi, masyarakat
berkeinginan untuk memperbaiki sanitasinya. Proyek tersebut terdiri dari
pembangunan sumur resapan. Secara keseluruhan, 200 jamban dan 3.060
sumur rendam telah dibangun. Proyek bantuan dan pendidikan pun menyusul,
menyebarkan pentingnya proyek ini ke seluruh komunitas. Sebagai hasil dari
keberhasilan proyek tersebut, akhirnya Karachi Metropolitan Corporation dibujuk
untuk memperbaiki jalan, jalan raya dan trotoar serta menyediakan pasokan air,
penerangan jalan, dan listrik yang lebih baik.

o Hirarki Tingkat 6: Informing (Menginformasikan)


Menginformasikan adalah tingkat keenam. Hal ini terdiri dari arus informasi satu
arah dari pejabat kepada masyarakat, mengenai hak-hak, tanggung jawab dan
pilihan-pilihan mereka, tanpa adanya umpan balik atau negosiasi, dalam proyek-
proyek yang telah dikembangkan. Ini adalah inisiatif dari atas ke bawah, yang

7
seringkali dengan hasil yang kontroversial. Ini adalah tingkat manipulasi, dan
merupakan jenjang keenam dari tingkat partisipasi. Contoh informasi pada
sebuah lokasi di Mirpur, Bangladesh. Sebuah skema diusulkan untuk
membangun tanggul di sekitar lahan yang terkena banjir musim hujan dan untuk
menciptakan komunitas baru bagi para penghuni liar kota yang dipindahkan
secara paksa dari Dhaka pada tahun 1975. Biayanya harus ditanggung bersama
antara Pemerintah Bangladesh dan Dana Pembangunan Modal PBB. Proyek ini
dirancang dan dilaksanakan oleh konsultan ekspatriat dan pejabat pemerintah
saja.

o Hirarki Tingkat 7: Conspiracy (Konspirasi)


Konspirasi adalah tingkat ketujuh. Di sini, tidak ada partisipasi dalam proses
pengambilan keputusan formal yang diperbolehkan atau bahkan
dipertimbangkan, karena pemerintah tampaknya menolak gagasan untuk
membantu masyarakat miskin. Bagi pemerintah, masyarakat miskin tidak lebih
dari sebuah aib. Hal ini mencakup kasus-kasus di mana alasan- alasan yang
diberikan oleh pihak berwenang untuk melakukan tindakan menyamarkan motif
tersembunyi atau mungkin menguntungkan kelompok lain. Contoh konspirasi di
Dhaka, Bangladesh tahun 1975, pemerintah memutuskan untuk membersihkan
semua penghuni liar di kota dan memindahkan mereka ke lokasi di sekitar kota.
Hal ini dilakukan dengan kedok gerakan “bersihkan kota”, dengan menggunakan
surat kabar yang dikontrol pemerintah untuk memberikan informasi kepada
kelompok minoritas. Sepanjang seluruh proses pemindahan, presiden negara
tersebut menemui pers untuk meyakinkan para penghuni liar akan sikap
“simpatisnya” terhadap mereka. Sementara itu, tentara Bangladesh melibas
rumah-rumah mereka.

o Hirarki Tingkat 8: Self Management (Pengelolaan Mandiri)


Pengelolaan mandiri berada di bagian bawah tingkat partisipasi masyarakat yang
disarankan. Hal ini terjadi ketika pemerintah tidak melakukan apapun untuk
memecahkan masalah lokal dan anggota masyarakat, secara mandiri,

8
merencanakan perbaikan lingkungan mereka dan benar-benar mengendalikan
proyek, namun tidak selalu berhasil. Biasanya, meskipun tidak selalu, masyarakat
bekerja dengan bantuan LSM dari luar atau dukungan lembaga keuangan
independen, yang tampaknya berdampak positif terhadap hasil usaha
masyarakat. Bahkan, LSM sendiri, melalui keterlibatannya yang luas, mungkin
saja menggantikan kebutuhan pemerintah secara total, dengan pengecualian
untuk memenuhi tujuan mengubah status quo di bidang politik. Namun demikian,
dalam konteks politik tertentu, aliansi pendukung luar yang berpengaruh
terhadap inisiatif masyarakat mungkin diperlukan jika kegiatan masyarakat ingin
tetap eksis. Dalam hal ini, aliansi tersebut menjamin bahwa pemerintah yang
tidak bersahabat akan menjalankan sikap tidak campur tangan secara diplomatis.
Pada akhirnya, inisiatif masyarakat dapat mempengaruhi proses dan hasil
pembangunan untuk sementara waktu, dalam kasus perubahan politik
diplomatik, atau dapat membangun pemberdayaan yang sesungguhnya, dalam
kasus pergantian kepemimpinan dan pembentukan mekanisme dukungan
kepada masyarakat. Dengan demikian, dalam jenjang partisipasi masyarakat yang
disarankan, berbeda dengan pemberdayaan, swakelola mengimplikasikan situasi
yang diakibatkan oleh kurangnya ketertarikan pemerintah atau bahkan
penentangan terhadap tuntutan masyarakat miskin. Karena hal ini tampaknya
merupakan pendekatan yang populer di kalangan masyarakat. Contoh
pengelolaan mandiri pada Distrik Orangi, Karachi, Pakistan, kasus dimana
masyarakat berpendapatan rendah mendapat bantuan LSM lokal. Proyek
Percontohan Orangi (PPO) telah memasang sistem sanitasi swadaya. Karena
proyek ini terlihat berhasil, masyarakat lain di Orangi juga ingin melaksanakannya.
Aspek penting dari proyek ini adalah biayanya yang rendah. Hal yang menarik
dari proyek Orangi adalah sistem pengelolaan limbah padat yang berkembang di
masyarakat. Masyarakat telah menemukan bahwa proyek pembuatan kompos
dari sampah organik layak secara ekonomi dan komersial. Kompos tersebut
digunakan untuk menyuburkan ladang Pakistan, namun ada pula yang diekspor
ke negara-negara Teluk untuk mendapatkan uang tunai.

9
5. Kesimpulan

Hasil dari analisis terkait tangga partisipasi masyarakat baik yang bersifat buttom-up
maupun top-down menunjukkan bahwa sikap pemerintah atau LSM sangat penting dalam
menentukan potensi hasil dari upaya masyarakat karena pemerintah atau LSM dapat
mendukung, memanipulasi, menolak, atau mengabaikan tuntutan masyarakat miskin.

o Jika pemerintah suportif, maka inisiatif dapat mengarah pada salah satu dari tiga
tingkat partisipasi, yaitu pemberdayaan, kemitraan, atau konsiliasi, tergantung
pada tingkat kemauan dan/atau kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan
masyarakat untuk berkontribusi terhadap pembangunannya. Dalam hal ini,
tingkat kendali pemerintah sangat tinggi dan dilegitimasi oleh kinerja teknis yang
baik.
o Pemerintah yang tidak terlalu suportif akan menyembunyikan sikap enggan
mereka. Inisiatif bersifat top-down selalu diterapkan pada masyarakat. Dalam hal
ini tidak ada perlawanan yang jelas/efektif terhadap organisasi/kegiatan
masyarakat yang diwakili oleh berbagai macam manipulasi. Tujuannya sering kali
adalah mengendalikan situasi konflik melalui akal-akalan, mulai dari disimulasi
dan diplomasi hingga sekadar memberi informasi.
o Dalam keadaan yang ekstrim, penolakan diwujudkan sebagai pengabaian
pemerintah, sehingga pengelolaan mandiri muncul sebagai reaksi masyarakat
miskin dan sering kali mereka bersekutu dengan LSM. Inisiatif yang dilakukan
selalu bersifat buttom-up. Namun, tampak jelas bahwa proyek yang melibatkan
kemampuan bawaan masyarakat dan berhasil tanpa dukungan eksternal jarang
terjadi. Namun, ketika pengelolaan mandiri menghasilkan pembangunan yang
sukses, masyarakat tidak berhasil mencapai pengaruh bidang politik, sehingga
gagal memenuhi salah satu dari dua tujuan partisipasi masyarakat.

10

Anda mungkin juga menyukai