Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/343360577

GELOMBANG DEMOKRATISASI KETIGA

Book · July 2020

CITATIONS READS

0 543

1 author:

Wahyu Nurhadi
Universitas Padjadjaran
9 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Wahyu Nurhadi on 01 August 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


1

Review Essay
Gelombang Demokratisasi Ketiga
Dialih bahasakan dari Judul Asli
The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century
(Samuel P. Huntington, 1991)

Wahyu Nurhadi

Samuel P. Huntington ialah seorang Ilmuwan Politik Amerika Serikat, Eaton Profesor
sekaligus Ketua Dept. Ilmu Politik di Harvard University dan Ketua Harvard Academy untuk
Kajian Internasional dan Regional di Weatherhead Center for International Affairs. Pada
tahun 2000, Huntington meletakkan jabatannya sebagai Direktur John M. Olin Institute for
Strategic Studies. Beberapa karya diantaranya ialah: The Soldier and the State: The Theory
and Politics of Civil-Military Relations (1957), Political Development and Political Decay
(1965), Political Order in Changing Societies (1968), The Third Wave: Democratization in
the Late Twentieth Century (1991), The Clash of Civilizations and the Remaking of World
Order (1996), dan Who Are We?: The Challenges to America’s National Identity (2004).

Pengantar
Buku “The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century” yang ditulis oleh
Samuel P. Huntington (University of Okhlahoma Press, 1991, -sebelumnya dimuat dalam
Journal of Democracy, 1990), kemudian dialih-bahasakan ke dalam bahasa Indonesia
berjudul “Gelombang Demokratisasi Ketiga” oleh Asril Marjohan (Pustaka Utama Grafiti,
1995). Buku ini membahas perkembangan politik global yang terpenting pada akhir abad ke-
20, antara 1974 dan 1990, yakni suatu gelombang demokratisasi yang dialami sekitar lebih
dari 30 negara yang bergerak melintasi Eropa Selatan, melanda Amerika Latin, terus menuju
Asia Timur, dan menghancurkan sebagian besar rezim diktator di Blok Soviet (Eropa Timur).
Studi ini mencoba untuk menyelidiki hakikat dan penyebab rangkaian transisi demokratisasi
(Bab I dan II), proses terjadinya transisi tersebut dan strategi yang digunakan oleh para
pendukung dan penentang demokrasi (Bab III dan IV), dan masalah yang dihadapi oleh
negeri-negeri demokrasi baru (Bab V), serta diakhiri dengan sejumlah spekulasi tentang
prospek bagi meluasnya rezim-rezim demokrasi di dunia ini (Bab VI).

“Revolusi Demokrasi Global” yang disebut sebagai “Gelombang Demokratisasi Ketiga” ini
mungkin merupakan kecenderungan politik terpenting di dalam dunia modern, setelah
Gelombang Demokratisasi Pertama yang ditandai dengan Revolusi Perancis dan Amerika
Serikat abad ke-19 dan 20 dan berakhir dengan kemunculan fasisme di Italia tahun 1920-an,
serta Gembang Demokratisasi Kedua yang berlangsung pasca Perang Dunia II yang di tandai
dengan bermunculan negara-negara baru (seperti Yugoslavia, Jerman Barat-Timur, China),
sejumlah negara yang memperoleh kemerdekaan karena keruntuhan kolonial (seperti
Indonesia, India, Algeria). Di Gelombang Kedua ini, demokratisasi bergantung pada peluang
politik dan ekonomi, tinggalan kolonial, intervensi asing, dan perang kemerdekaan di banyak
negara. Kemudian menyurut ketika beberapa negara (Yunani dan Amerika Latin) kembali
pada rezim otoriter. Dalam buku ini Samuel P. Huntington menganalisis sebab dan hakikat
revolusi demokrasi yang bersifat global tersebut, mengevaluasi prospek kestabilan negara-
negara demokrasi baru dan menjelajahi kemungkinan lebih banyak negara menjadi
demokratis.

Wahyu Nurhadi | Magister Ilmu Politik, FISIP - UNPAD | 15 Juli 2020


2

Dalam prakatanya, Huntington mengungkapkan bahwa buku ini generalisasi dibatasi untuk
sekelompok peristiwa yang berdiri sendiri-sendiri pada tahun 1970-an dan 1980-an. Ia tidak
menjelaskan secara terperinci arah umum demokratisasi, pun juga tidak mendeskripsikan
demokratisasi pada suatu negeri secara khusus. Melainkan, kajiannya berupaya menjelaskan
dan menganalisis suatu kelompok khusus dari transisi-transisi rezim yang berlangsung dalam
kurun waktu yang terbatas. Dalam jargon ilmu sosial, kajian ini tidak nomotetis (dijelaskan
oleh teori atau hukum universal) pun tidak pula idiografis (dijelaskan oleh urutan peristiwa
historis, dan suatu peristiwa yang menyebabkan peristiwa berikutnya, dan seterusnya).
Karenanya, para teoretikus maupun sejarawan mungkin takkan puas dengan buku ini. Ia tidak
memberikan generalisasi yang dianggap berharga oleh teoretikus maupun kedalaman yang
lebih disukai sejarawah.

Mengapa ia menulis buku ini? Setidaknya hal itu dapat dijawab oleh ungkapannya bahwa
“Demokrasi itu sendiri ialah sesuatu yang baik”. Sesuai dengan yang ia argumentasikan dalam
Bab 1, “demokrasi memiliki konsekuensi positif bagi kebebasan individu, stabilitas dalam
negeri, perdamaian internasional, dan Amerika Serikat”. Fakta bahwa 30 negara memilih
untuk menjadi demokratis ialah bukti bahwa itu merupakan bentuk pemerintahan otonom
yang banyak dinginkan dan populer. Adapun satu proposisi kunci dalam buku yang ditulisnya
tersebut ialah bahwa gelombang demokratisasi ketiga berbeda dengan gelombang-gelombang
sebelumnya. Tujuan penulisan studi yang berfokus pada demokratisasi ini, ungkap
Huntington (xvii), ialah mengembangkan suatu teori ilmu sosial yang umum tentang
mengapa, bagaimana dan dalam keadaan-keadaan apa suatu tatanan yang mantap –
demokratis- dapat dicapai atau tidak dapat dicapai, serta untuk memahami tanda-tanda
tentang masa depan demokrasi di dunia. Dengan berbagai contoh konkret, bukti empiris, dan
analisis yang dalam, ia menjelaskan mengapa dan bagaimana proses itu terjadi antara tahun
1974-1990 dengan menganalisis faktor-faktor politik, ekonomi, dan budaya yang akan
menentukan masa depan negara-negara didunia.

Buku ini memanfaatkan karya-karya para sejarawan, ilmuwan politik, laporan jurnalistik dan
cendekiawan lain yang telah menulis monograf yang rinci tentang peristiwa-peristiwa
tertentu. Manakala gelombang demokratisasi ketiga berakhir, penjelasan yang lebih lengkap
dan lebih memuaskan mengenai fenomena ini tentu akan dapat diberikan. Akan tetapi, pada
masa pancaroba dewasa ini, hasil pengamatan Huntington tersebut perlu dibaca untuk
memahami masa depan demokrasi di dunia. Karya tulis yang unik, sebab dilengkapi dengan
petunjuk bagi demokratisator yang berisikan saran-saran praktis untuk memprakarsai dan
melancarkan demokratisasi. Penekanannya pada penerapan praktis membuatnya berharga
bagi siapa saja yang terlibat dalam proses demokratisasi, khususnya bagi kita di Indonesia
yang luput dari sentuhan gelombang demokratisasi ketiganya tersebut.

Teori
Transisi menuju sistem demokrasi antara tahun 1974 hingga 1990 merupakan pokok bahasan
buku ini. Dalam membahas berbagai topik yang diulas, Huntington menggunakan teori-teori
dan generalisasi-generalisasi ilmu sosial yang ada untuk mengetahui manakah teori dan
generalisasi yang dapat membantu menjelaskan berbagai transisi yang terjadi. Langkah
pertama dalam menangani subyek ini ialah menjelaskan arti “demokrasi” dan
“demokratisasi”.

Konsep demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan berasal dari filsuf Yunani, akan tetapi
pemakaian konsep ini di zaman modern dimulai sejak terjadinya pergolakan revolusioner
dalam masyarakat Barat pada akhir abad ke-18. Pada pertengahan abad ke-20 dalam

Wahyu Nurhadi | Magister Ilmu Politik, FISIP - UNPAD | 15 Juli 2020


3

perdebatan mengenai arti demokrasi muncul 3 pendekatan umum yakni sebagi suatu bentuk
pemerintahan, demokrasi didefinisikan berdasarkan sumber wewenang pemerintahan,
tujuan yang dilayani pemerintah, serta prosedur untuk membentuk pemerintahan (h. 4).
Masalah-masalah serius mengenai ketidaktepatan muncul ketika demokrasi didefinsikan
berdasarkan sumber wewenang atau tujuan, namun dalam studi ini digunakan definisi
berdasarkan prosedur. Joseph Schumpeter dalam buku klasiknya Capitalism, Socialism, and
Democracy (2012) mengutarakan bahwa demokrasi ialah “kehendak rakyat (sumber) dan
kebaikan bersama (tujuan)” (the will of the people and the common good). Setelah
meruntuhkan secara efektif pendekatan itu, Schumpeter mengemukakan apa yang ia
namakan “Metode Demokrasi”, yang merupakan “prosedur kelembagaan untuk mencapai
keputusan politik yang didalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat
keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat” (h. 5).
Dengan mengikuti tradisi Schumpeterian, studi ini mendefinisikan sistem politik abad ke-20
sebagai demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dan sistem itu
dipilih melalui pemilu yang adil, jujur dan berkala, dan para calon secara kompetitif untuk
memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.

Dalam studinya ini, Huntington memberikan argumen teorinya mengenai demokratisasi yang
tengah berlangsung secara luas di negara-negara dunia dalam beberapa gelombang. Secara
sederhana ia menggambarkan gelombang-gelombang demokratisasi dalam bentuk kuantitas
negara sepanjang akhir abad ke-20, dan di sela-sela gelombang tersebut terjadi gelombang
arus balik, yakni penguatan kembali pada otoritarianisme/totaliteranisme. Gelombang Ketiga
Demokratisasi menjadi masa pertumbuhan yang paling subur diantara gelombang lainnya,
sebab proses menuju demokrasi itu berjalan seiring dengan globalisasi. Melalui globalisasi,
dunia menjadi “global village” (perkampungan dunia). Oleh karena itu, dalam konteks politik,
globalisasi merupakan wahana bagi “penyebaran virus demokrasi” –meminjam istilah
Fukuyama- keseluruh antero dunia.

Bila Huntington mengutarakan ada 3 Gelombang Demokratisasi –terakhir Gelombang Ketiga.


Akan tetapi, dalam sebuah studi tahun 2018, Seva Gunitsky dalam Journal Perspective on
Politics mendefinisikan gelombang demokrasi sebagai pengklasifikasian transisi demokrasi
yang dicoba atau berhasil, ditambah dengan keterkaitan antara transisi dalam klaster
tersebut. Gunitsky kemudian mengklasifikasikan gelombang demokratisasi ke dalam 13
gelombang sejak abad 18, mulai dari Gelombang Atlantik (1776-1798) sampai dengan
Gelombang Arab Spring (2011-2012).

Milihat jalannya demokratisasi yang tertuang dalam beragam teori, bukan berarti proses
menuju demokrasi berjalan secara sederhana. Ia memerlukan berbagai tahapan yang perlu
dijajaki sebelum sampai pada kondisi yang dicita-citakan. Dalam Bab III, Huntington
menjelaskan bagaimana transisi demokrasi dapat berlangsung dalam 4 skenario besar: (1)
Transformasi (Reforma atau Transaction dalam istilah Linz dan Stepan serta Share dan
Mainwaring), yakni dimana para elite yang berkuasa memimpin dalam mewujudkan
demokrasi, seperti Spanyol, India, Hongaria, dan Brazil; (2) Replacement (Ruptura atau
Collapse dalam istilah Linz dan Stepan serta Share dan Mainwaring), dimana kelompok
oposisi memimpin dalam mewujudkan demokrasi, seperti Jerman Timur, Portugal, Rumania,
dan Argentina; (3) Transplacement (Extrication dalam istilah Linz dan Stepan) demokrasi
terjadi dari aksi bersama rezim berkuasa dengan oposisi, seperti Polandia, Cekoslovakia,
Bolivia, dan Nikaragua; dan (4) Intervensi, yakni adanya kekuatan pihak luar dalam
menjatuhkan rezim yang berkuasa, seperti Grenada dan Panama.

Wahyu Nurhadi | Magister Ilmu Politik, FISIP - UNPAD | 15 Juli 2020


4

Senada dengan apa yang dijelaskan Huntington diatas, Share (1987) dan Munch dan Leff
(1997) mengajukan beberapa tipologi transisi menuju demokratisasi. Share (1987)
mengajukan pola transisi demokrasi yang didasarkan atas 2 kriteria umum, yakni jangka
waktu berlangsungnya demokratisasi serta keterlibatan rezim berkuasa dalam mewujudkan
demokrasi: (1) Demokrasi secara bertahap, melibatkan rezim berkuasa; (2) Transisi melalui
perpecahan, berlangsung akibat perpecahan didalam rezim berkuasa dan berlangsung cepat;
(3) Transisi melalui Transaksi, berjalan dengan cepat dengan melibatkan rezim berkuasa; dan
(4) Transisi melalui Perjuangan Revolusi, dilakukan secara bertahap dan tidak melibatkan
rezim. Selanjutnya, berdasarkan pada aspek identitas dan strategi yang dilakukan dalam
mempengaruhi demokratisasi, Munck dan Leff (1997) mengajukan 7 tipologi, yakni: (1)
Reformasi dari Bawah, digerakan oleh penentang elite melalui perjuangan yang
konstitusional, seperti di Chile; (2) Reformasi melalui Transaksi, elite penguasa tak memiliki
cukup kekuatan untuk melawan kelompok prodemokrasi yang kemudian terjadi negosiasi
antar keduanya dan akhirnya melaksanakan sistem demokratis, seperti di Brazil dan Polandia;
(3) Reformasi melalui Ekstrikasi, dengan kerangka negosiasi antara opoisis dan rezim
berkuasa yang kemudian saling membuka diri untuk kebaikan seluruh warga, seperti di
Hungaria; (4) Reformasi melalui Keruntuhan/Perpecahan, seperti di Argentina dalam Perang
Malvinas, pun juga Cekoslovakia; (5) Reformasi Konservatif, dilakukan oleh elit berkuasa
dengan mengakomodasi semua kebutuhan yang diperlukan oleh sistem demokratis; (6)
Revolusi Sosial, gerakan warga yang digagas dari luar rezim/konfrontasi, seperti Filipina;
serta (7) Revolusi dari Atas, seperti di Bulgaria pasca runtuhnya Komunisme (Uni Soviet).
Agustino (2007, h. 150-151), pun menjelaskan beberapa tahap yang perlu diperhatikan dalam
meniti proses demokratisasi: (1) Tahap Pratransisi; (2) Tahap Liberalisasi Awal; (3) Tahap
Transisi; dan (4) Konsolidasi Demokrasi.

Meski demikian, tidak semua proses tersebut dapat berjalan dengan mulus. Jadi pendek kata,
“demokratisasi merupakan sesuatu yang tidak mudah dan butuh kesungguhan, konsekuensi,
serta kesabaran yang memadai”. Pasca kejatuhan rezim otoritarian, konsolidasi demokrasi
merupakan salah satu tahap yang paling krusial dalam tahapan demokratisasi. Larry Diamond
dalam Developing Democracy Toward Consolidation (2003) mendefinisikan konsolidasi
sebagai tahap ketika para aktor politik (penguasa dan publik) dalam jumlah yang signifikan
meyakini demokrasi merupakan satu-satunya norma dan instrumen politik yang secara
realistis dapat diberlakukan. Sementara itu, Linz dan Stepan (1996), mengungkapkan bahwa
suatu masyarakat dapat dikatakan telah mencapai tahap konsolidasi jika pihak-pihak yang
terlibat dalam kompetisi politik meyakini demokrasi merupakan satu-satunya aturan main
yang berlaku (the only game in town), yakni satu-satunya kerangka yang mengatur
pencapaian kepentingan. Adapun, konsolidasi demokrasi menurut Dankwart Rustow dalam
Transition to Democracy (1970) ialah “pembiasaan dimana norma-norma, prosedur-
prosedur dan harapan-harapan tentang demokrasi menjadi sedemikian terinternalisasi
sehingga para aktor secara rutin dan mekanis mencocokkan diri dengan aturan permainannya
yang tertulis (dan tak tertulis), bahkan ketika mereka berkonflik dan bersaing”.

Keadaan-keadaan yang mempunyai andil pada awal terbentuknya rezim demokratis mungkin
pula tidak mempunyai andil bagi konsolidasi dan stabilitas jangka panjangnya. Pada tingkatan
yang paling sederhana, demokratisasi, sebagaimana yang diungkapkan Huntington,
mensyarakatkan 3 hal, yakni: (1) Berakhirnya rezim otoriter; (2) Dibangunnya rezim
demokratis; dan (3) Pengkonsolidasian rezim demokratis (h. 45). Masing-masing dari ketiga
perkembangan ini dapat diakibatkan oleh sebab-sebab yang berbeda dan bertentangan.
Beberapa pakar mencari faktor-faktor penyebab transisi demokratis dalam tahun 1980-an,

Wahyu Nurhadi | Magister Ilmu Politik, FISIP - UNPAD | 15 Juli 2020


5

yang oleh Huntington disebut, pada “hasrat untuk merdeka” yang mendalam dan dirasakan
oleh banyak orang yang ditindas penguasa otoriter. Ada 5 perubahan yang tampaknya oleh
Huntington berperan penting dalam membuka jalan bagi gelombang transisi demokrasi: (1)
Semakin mendalamnya masalah-masalah legitimasi yang dihadapi oleh rezim otoriter, yang
tidak mampu mengatasi kekalaha militer dan kegagalan ekonomi (1973-1974 dan 1978-1979);
(2) Pertumbuhan ekonomi global yang luar biasa (1960an); (3) Perubahan institusi
keagamaan yang membuatnya lebih cenderung menentang otoriterisme daripada
mempertahankan status quo (1963-1965); (4) Dorongan untuk mempromosikan HAM dan
demokrasi oleh aktor-aktor eksternal, seperti NGO dan Komunitas Eropa; (5) “Efek Bola
Salju” atau demonstrasi yang diperkuat oleh komunikasi Internasional baru, dan
demokratisasi negara lain (h. 56-57).

Pada tahun 1990, sekitar 2/3 jumlah negeri didunia tidak memiliki rezim demokratis, dan
sebagai besar tergolong kedalam 4 kelompok geo-kultural, yakni: (1) Rezim-rezim Marxis-
Leninis; (2) Negeri-negeri Afrika Sub-Sahara; (3) Negeri-negeri Muslim; dan (4) Negeri-
negeri Asia Timur (h. 381). Adapun yang menjadi faktor penghalang dan pendorong bagi
demokratisasi di negeri-negeri tersebut dibagi kedalam 3 kategori besar, yakni Politik, Budaya
dan Ekonomi. Pertama, sebuah penghalang dibidang politik yang secara potensial signifikan
terhadap bertambah banyaknya demokratisasi adalah tiadanya pengalaman dengan
demokrasi pada kebanyakan negeri yang masih otoriter pada 1990. Selain itu kediktatoran
perorangan, rezim militer dan sistem satu partai pun menjadi penghalang bagi demokratisasi.
Terutama di Asia, Afrika, dan Timur Tengah yang memiliki komitmen lemah dikalangan
pemimpin politik terhadap nilai-nilai demokrasi (h. 381-384). Kedua, tesis budaya ini ada 2
versi yakni versi restirktif dan non-restriktif. Versi restiktif menyatakan bahwa hanya budaya
barat yang memiliki dasar yang cocok bagi perkembangan lembaga-lembaga demokratis dan
demokrasi, dan sebagai akibatnya sangat tidak cocok bagi masyarakat non-Barat. Sedangkan
versi yang non-restriktif dari argumen penghalang kulturan tidaklah menyatakan bahwa
hanya satu budaya yang secara khusus menopang kehidupan demokrasi, melainkan bahwa
satu atau lebih budaya memiliki watak yang tidak serasi dengan demokrasi. Dua budaya yang
sering-sering disebut ialah Konfusianisme dan Islam (h. 385-400). Ketiga, Kemiskinan
merupakan suatu penghalang utama, bagi perkembangan ekonomi. Masa depan demokrasi
bergantung pada masa depan perkembangan ekonomi. Rintangan terhadap perkembangan
ekonomi pun juga rintangan bagi perluasan demokrasi (h. 400-404).

Melihat masa depan, Huntington paling tidak optimis tentang negara-negara Mongolia,
Sudan, Pakistan, Nikaragua, Rumania, Bulgaria, Nigeria, dan El Salvador. Ia pesimis tentang
prospek demokrasi di wilayah dunia yang belum memasuki demokratisasi, terutama rezim
Marxis-Leninis yang dibandingkan Nasionalis, pun juga meragukan janji demokratis negara-
negara Islam dan daerah-daerah tertentu di Asia Timur, sebagai poin khusus menyoroti
implikasi antidemokrasi doktrin agama Konfusian dan Islam.

Hampir senada dengan apa yang diutarakan diatas, demokratisasi berkembang dengan
sejumlah prasyarat penting, George Sorensen dalam Demokrasi dan Demokratisasi (2003)
mengatakan ada 4 prakondisi bagi perkembangan demokrasi. Pertama, modernisasi dan
kesejahteraan akan menjadi iklim kondusif bagi perkembangan demokrasi. Lipset dan Dahl
menyebutkan bahwa semakin sejahtera suatu negara, maka potensi perkembangan demokrasi
akan semakin baik. Kedua, faktor budaya politik yang menyangkut sistem nilai dan keyakinan,
yang menjelaskan konteks makna dan tindakan. Ketiga, struktur sosial masyarakat, yakni
kelas dan kelompok sosial tertentu, perlu diidentifikasi, misalnya kelompok menengah.

Wahyu Nurhadi | Magister Ilmu Politik, FISIP - UNPAD | 15 Juli 2020


6

Keempat, faktor eksternal, yakni faktor ekonomi-politik ideologi dan elemen-elemen lain yang
merupakan konteks Internasional dari proses yang terjadi disuatu negara.

Selain itu, merujuk pada teori-teori perubahan dan keberlanjutan demokrasi, Newton dan
Van Deth dalam Perbandingan Sistem Politik (2016) pun mengutarakan hal yang senada,
yakni perihal Teori Modernisasi, Teori Budaya dan Teori Institusi. Teori Modernisasi yang
menekankan interaksi antara faktor ekonomi-sosial-politik dan pembangunan ekonomi,
meskipun teori ini merupakan titik awal untuk menjelaskan konsolidasi demokrasi, namun
jelas ia sangat bertumpu pada pengalaman Eropa dan terlalu luas dan umum sehingga sulit
bagi kita untuk mendapatkan penjelasan yang pasti tentang demokratiasi. Kemudian, Teori
Budaya menekankan fakta bahwa harapan dan tuntutan warga sangat penting bagi demokrasi.
Menurut Almond dan Verba (dalam Newton dan Van Deth, 2016), demokrasi hanya dapat
bertahan jika warga negaranya dicirikan degnan perpaduan orientasi politik dan sosial. Teori
ini selanjutnya dikritik sebab mengabaikan institusi masyarakat. Teori Institusi menekankan
relevansi tatanan kelembagaan bagi konsolidasi demokrasi. Sebab ia didasarkan pada gagasan
bahwa rakyat mengambil pilihan tertentu dan membangun sikap dan nilai-nilai tertentu yang
dikondisikan oleh institusi pemerintah dan politik.

Adapun temuan yang ditunjukkan oleh Jan Teorell dalam bukunya Determinant of
Democratization (2010), bahwa demokrasi dipromosikan oleh kekuatan struktural jangka
panjang, seperti kesejahteraan ekonomi, pemberontakan rakyat yang damai, dan pengaturan
kelembagaan rezim otoriter. Dalam jangka pendek, bagaimanapun, lanjutnya, aktor elit dapat
memainkan peran penting, terutama melalui perpecahan dalam rezim berkuasa. Ia
berpendapat bahwa hasil ini memiliki dampak yang baik bagi teori-teori demokratisasi saat
ini dan sebagai upaya masyarakat Internasional dalam mengembangkan kebijakan untuk
promosi demokrasi. Gaus dan Kukathas (2012) mempertanyakan sejauh mana teori
demokrasi mampu menyumbang bagi percakapan global tentang perkembangan demokratis,
di demokrasi-demokrasi liberal yang mapan dan ajang lintas-bangsa, juga masyarakat
transisional dan demokrasi-demokrasi baru.

Gelombang Ketiga diakhir abad ke-20 ini, diprediksi oleh Huntington, tidak akan berlangsung
selama-lamanya. Gelombang Ketiga mungkin akan diikuti oleh kemunculan kembali
otoriterisme secara tiba-tiba dan kuat sehingga membentuk Gelombang Balik Ketiga. Namun,
hal itu tak membuatnya mustahil muncul Gelombang Demokratisasi Keempat pada suatu
ketika di abad ke-21. Dari catatan masa lalu, dapat disimpulkan bahwa 2 faktor utama yang
akan mempengaruhi stabilitas demokrasi dan perluasan demokrasi di masa depan adalah
perkembangan ekonomi dan kepemimpinan politik (h. 404-405). Lebih lanjut, Huntington
membahas berbagai aspek stabilitas demokrasi dan prospek konsolidasi dalam gelombang
ketiga demokratisasi yang masih baru. Ia menguraikan sejumlah kondisi yang mendukung
konsolidasi demokrasi baru: (1) Pengalaman dari upaya sebelum demokratisasi, bahkan jika
gagal sekalipun; (2) Tingkat perkembangan ekonomi yang tinggi; (3) Lingkungan politik
Internasional yang menguntungkan; (4) Pengaturan waktu awal transisi demokrasi yang
relatif stabil, yang menunjukan bahwa dorongan menuju demokrasi terutama berasal dari
masyarakat dalam; dan (5) Pengalaman transisi yang relatif damai tanpa kekerasan.

Dalam prediksinya perihal arah demokratisasi, Sorensen (2003) mengungkapkan bahwa


trend positif berupa kemajuan demokrasi di tingkat lokal, nasional maupun global, akan
menimbulkan perdamaian dan iklim kondusif bagi pembangunan di dunia Barat, sementara
dunia Timur akan ditandai dengan kemajuan dibidang ekonomi dan peningkatan standar
kehidupan. Tren berikutnya ialah pembusukan demokrasi yang akan diawali dengan arogansi

Wahyu Nurhadi | Magister Ilmu Politik, FISIP - UNPAD | 15 Juli 2020


7

berbagai organisasi lintas negara, terjadinya ketimpangan ekonomi, dan krisis ekonomi
melanda di negara-negara Timur, serta diperparah oleh konflik etnis pun juga religi.

Selain itu, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2019), dalam bukunya Bagaimana Demokrasi
Mati (How Democracies Die) yang menyajikan pemahaman mendalam terkait mengapa dan
bagaimana demokrasi mati. “Demokrasi tidak digulingkan secara eksternal oleh kudeta
militer yang kejam seperti dimasa lampau, melainkan dari arah internal demokrasi sendiri
melalui pemilu dan jeratan terhadap institusi politik oleh kaum otokrat”. Dengan kata lain,
kematian demokrasi dapat bermula dari pemimpin politik hasil dari sarana lembaga yang
legal. Kemudian membajak demokrasi dengan mengubah haluannya bercorak otoritarian.
Pun juga karena orang dari luar politik kemudian berhasil menduduki tampuk kekuasaan dan
melakukan persekutuan dengan para elit politik yang telah mapan sebelumnya. Selain itu,
Huntington dalam rilis jurnalnya yang berjudul Political Development and Political Decay
(1965), menjelaskan bahwa dibanyak negara berkembang masyarakat justru semakin
kehilangan kekuatannya ketika demokratisasi itu dijalankan dengan serampangan. Oleh
karenanya, asumsi teori modernisasi yang menyatakan bahwa negara hanyalah pelaksana dari
keinginan sosial-ekonomi-politik mayoritas warganya tidak selamanya benar.

Demokratisasi dalam konteks Indonesia, sebagaimana yang diulas Mujani, Liddle dan
Ambardi dalam Kaum Demokrat Kritis (2019) berada dalam kondisi “Demokrat Kritis”.
Pengertian “Demokrat Kritis” ini memiliki konsep yang serupa dengan ungkapan Pippa Norris
tentang “Defisit Demokrasi”, yang menggambarkan suatu kondisi yang dialami Amerika
Serikat serta negara-negara post-industrial lainnya. Ringkasnya, “Defisit Demokrasi” ialah
perpaduan dari fenomena kuatnya keyakinan dan penerimaan publik terhadap demokrasi
beserta nilai-nilainya, namun disusul dengan berbagai berita buruk yang kemudian hadir
dalam praktiknya, serta kegagalan pemerintah dalam mewujudkan implementasi demokrasi,
sebanding dengan keyakinan masyarakat.

Untuk mengamati apakah suatu negara merupakan sistem yang demokratis atau tidak, Affan
Gaffar (2004) merumuskan setidaknya 5 indikator yang dapat ditinjau, yakni: (1)
Akuntabilitas, dimana setiap pemegang jabatan yang dipilih rakyat harus dapat
mempertanggung-jawabkan kebijakan yang hendak dan telah ditempuh; (2) Rotasi kekuasan,
yang dilakukan secara damai dan teratur; (3) Rekruitmen politik yang terbuka, yakni mereka
yang menduduki jabatan publik dipilih melalui kompetisi yang terbuka dan peluang yang
sama; (4) Pemilu, yang dilakukan secara teratur; serta (5) Adanya pemenuhan hak-hak dasar
warga negara. Hal tersebut senada dengan yang diutarakan Huntington (1991), bahwa secara
minimalis demokrasi dapat didefinisikan sebagai: (1) Pemilu yang terbuka, bebas, dan adil;
(2) Adanya pembagian kekuasaan yang jelas; (3) Terjaganya stabilitas; dan (4) Adanya tingkat
partisipasi yang luas dan otonom. Lebih lanjut, Diamond (2003) menganjurkan 3 hal yang
harus dilakukan oleh kelompok prodemokrasi dalam rangka konsolidasi demokrasi, yakni: (1)
Penguatan Demokrasi, yakni penguatan struktur-struktur formal demokrasi menjadi lebih
liberal, akuntabel, representatif, dan terjangkau; (2) Pelembagaan Politik, dengan melindungi
hak-hak sipil, pengurangan penyelewengan hukum, sistem peradilan yang memiliki derajat
koherensi, kapasitas, dan otonomi kelembagaan yang tinggi; dan (3) Kinerja Rezim, yakni
bertanggung jawab untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang positif untuk membangun
legitimasi politik yang kuat.

Metode dan Data


Historical-Comparative Research (Penelitian Perbandingan-Kesejarahan), sebagaimana
yang dijabarkan oleh Lawrence Neuman (2004) ialah studi tentang berbagai peristiwa dan

Wahyu Nurhadi | Magister Ilmu Politik, FISIP - UNPAD | 15 Juli 2020


8

pertanyaan di masa lalu dengan menggunakan metode dalam penelitian ilmiah sosial untuk
menginformasikan berbagai hasil dan jawaban yang mungkin terhadap berbagai peristiwa
dan pertanyaan pada masa kini. Tipe penelitian perbandingan kesejarahan ini sangat erat
kaitannya dengan studi sosial-politik. Pendekatan ini cocok digunakan ketika
mempertanyakan perubahan skala makro/proses perubahan sosial lintas waktu/universal
lintas masyarakat. Selain itu, penelitian perbandingan-kesejarahan ini memerlukan
pemahaman akan latar belakang historis mengenai suatu studi. Dalam uraiannya, bentuk-
bentuk pertanyaan yang menjadi fokus penelitian disebut sebagai “big question”, yakni
pertanyaan-pertanyaan mengenai akibat-akibat skala besar yang dianggap penting secara
substantif dan normatif.

Adapun studi yang dilakukan Huntington perihal Gelombang Demokratisasi Ketiga ini,
menurut penulis cenderung menggunakan Historical-Comparative Research. Kita dapat lihat
bagaimana Huntington, mula-mulanya mengajukan 2 pertanyaan besar untuk menjelaskan
gelombang demokratisasi ketiga ini. Pertama, mengapa yang beralih ke sistem politik
demokratis hanya sekitar 30 negera tertentu bersistem otoriter dan bukan sekitar 100 negeri
otoriter lainnya? Kedua, mengapa perubahan-perubahan rezim di negeri-negeri ini terjadi
dalam dasawarsa 1970 hingga 1980-an, dan bukan pada waktu yang lain? Dari 2 pertanyaan
tersebut, kemudian melahirkan pertanyaan lain, yakni: Sampai sejauh manakah gelombang
ketiga akan bergerak melebihi gelombang pertama dan kedua? Apakah negeri-negeri yang tak
berpengalaman dengan demokrasi dimasa lampau dapat menjadi negeri-negeri demokratis
yang stabil di masa depan? Huntington mengakui bahwa transisi, konsolidasi, dan
kehancuran demokrasi semuanya dapat dihasilkan dari berbagai dinamika, dan sementara ia
mengeksplorasi beberapa diantaranya secara analitis historis, ia lebih peduli dengan
mengembangkan penjelasan post hoc daripada model yang mencakup semua atau teori
prediksi.

Dalam karya tulis ini, dapat kita tarik posisi bahwa variabel dependen dalam studi ini
bukanlah demokrasi, melainkan demokratisasi. Hampir semua negeri kaya ialah demokratis,
begitupun sebaliknya. Korelasi tersebut tak berbicara apa-apa mengenai hubungan kausalitas,
dan apabila negeri demokratis selama kurun waktu cukup panjang sebelumnya adalah negeri
kaya, maka kekayaan tersebut barangkali tak memadai untuk menjelaskan tentang transisi
demokrasi negerinya. Demikian pula, dalam sejarah terdapat suatu korelasi antara
Protestanisme dengan demokrasi, namun banyak pula negeri Protestan yang cukup lama
sebagai negeri non-demokratis. Menjelaskan perubahan pada suatu variabel dependen
biasanya membutuhkan suatu wujud perubahan pada variabel bebasnya. Akan tetapi,
masalah ini menjadi rumit karena perubahan pada variable bebas ternyata dapat berwujud
penolakan variabel bebas itu terhadap perubahan. Stagnansi ekonomi selama 3 tahun
dibawah rezim otoriter boleh jadi tidak menimbulkan jatuhnya rezim itu, namun stagnansi 5
tahun dapat menjatuhkannya. Efek kumulatif dari varibel bebas selama kurun waktu tertentu
akhirnya menghasilkan perubahan pada variabel dependen. Varibel dependen bukan saja
dinamis, tetapi juga kompleks. Kita kadang berasumsi bahwa mengakhiri suatu kediktatoran
akan menjurus pada pengukuhan rezim demokratis. Tetapi, nyatanya rezim non-demokratis
lebih cenderung digantikan oleh rezim non-demokratis lainnya. Disamping itu, faktor-faktor
penyebab rezim non-demokratis mungkin sangat berbeda dengan faktor penyebab
terciptanya rezim demokratis.

Menganalisis varibel bebas pun menimbulkan masalah, pada satu titik ekstrem ada bahaya
terjadinya tautologi. Elit-elit politik menggulingkan rezim otoriter dan membangun serta
mengkonsolidasikan rezim demokratis. Mengapa elit melakukan hal tersebut? Hal ini

Wahyu Nurhadi | Magister Ilmu Politik, FISIP - UNPAD | 15 Juli 2020


9

mengarahkan perhatian kita pada apa yang barangkali merupakan varibel penjelas yang
paling langsung dan signifikan. Variabel ini mempunyai kekuatan untuk menjelaskan, tetapi
kurang memuaskan (h. 43-44). Dengan demikian, penyebab demokratisasi bervariasi dan
signifikansinya dari waktu ke waktu cenderung cukup bervariasi. Huntington
mengungkapkan “bukan tempatnya disini untuk menyajikan analisis historis yang rinci
tentang faktor-faktor penyebab terjadinya demokratisasi sebelum tahun 1974. Sebagai
gantinya, secara berurutan disajikan sebuah ringkasan mengenai hal-hal yang tampaknya
merupakan penyebab utama terjadinya gelombang pertama dan kedua, sebagai konteks untuk
membahas secara lebih ekstentif sebab-sebab timbulnya gelombang ketiga” (h. 49).
Pertanyaan berikutnya yang harus dijawab ialah: “perubahan apakah yang terjadi pada
variabel-variabel bebas yang diduga sangat mungkin telah menghasilkan variabel
dependennya, yaitu perubahan kearah rezim demokratis dalam dasawarsa 1970-1980-an?” (h.
56).

Secara umum, Huntington (h. 40-43) merumuskan sebab-sebab gelombang demokratisasi


ketiga menggunakan 4 logika sumber penyebab, yakni: (1) Penyebab Tunggal, kemunculan
perubahan disemua negara disebabkan oleh satu faktor yang keberadaannya tidak berkaitan
dengan berbagai peristiwa yang terjadi; (2) Penyebab Paralel, perkembangan yang serupa
pada variabel penyebab yang sama dimana menampakkan dirinya dengan cara yang hampir
simultan di negara yang berubah; (3) Efek Bola Salju, yaitu penyebab yang terjadi di negara A
bisa jadi penyebab di negara B, dimana peristiwa memainkan peranan penting terutama
berbagai peristiwa politik secara cepat menyebar di seluruh dunia; (4) Nostrum, yakni
meskipun disebabkan oleh penyebab yang berbeda namun menstimulus hasil yang sama.

Selain penjelasan dengan logika sumber penyebab, Huntington (h. 52-54) memasukan pula
logika berpikir pola dalam menganalisis faktor apa yang menyebabkan perubahan arah negara
yang semula menggunakan sistem non-demokratis menjadi demokratis: Pertama, Pola
Siklus, negeri-negeri ini berselang-seling menganut sistem demokrasi dan otoriter, seperti
Amerika Latin (Argentina, Brazil, Peru, Bolivia, Ekuador), Turki dan Nigeria. Kedua, Pola
Mencoba untuk Kedua Kalinya, yakni negeri otoriter bergeser menjadi demokratis, yang pada
akhirnya, upaya kedua lebih berhasil dilancarkan untuk memulai demokrasi, seperti Jerman,
Italia, Austria, Jepang, Venezuela, Kolombia, Spanyol, Portugal, Yunani, Korea, Cekoslowakia,
dan Polandia. Ketiga, Demokrasi yang Terputus-putus, dimana negeri yang membangun
rezim demokratis bertahan lama, namun ketidakstabilan, polarisasi, atau kondisi-kondisi lain
berkembang menyebabkan terhentinya demokrasi, seperti India, Filipina, Uruguay, dan Cile.
Keempat, Transisi Langsung, dari otoriter yang stabil ke demokrasi yang stabil, baik melalui
evaluasi yang berangsur-angsur atau penggantian sistem secara mendadak (ciri khas transisi
gelombang pertama), seperti Rumania, Bulgaria, Taiwan, Meksiko, Guatemala, El Salvador,
Honduras, dan Nikaragua. Serta, Kelima, Dekolonisasi, negeri demokrasi memaksakan
lembaga-lembaga demokrasi kepada koloni, seperti Papua Nugini, dan berbagai Negara
Kepulauan (Antigua dan Barbuda, Belize, Dominika, Kiribati, Santa Christopher-Nevis, Santa
Lusia, Santa Vincent dan Grenadines, Kep. Solomon, Tuvalu, dan Vanuatu) (h. 52-54).

Negeri-negeri gelombang ketiga memenuhi beberapa pola perubahan rezim, dimana 23 dari
29 negeri yang telah demokratis antara tahun 1974-1990 sebelumnya pernah memiliki
pengalaman dengan demokrasi. Kebanyakan negeri yang pada 1974 masih otoriter dan tidak
melakukan demokratisasi hingga 1990 tidak memiliki pengalaman demokrasi sebelumnya.
Jadi, suatu petunjuk yang sangat baik dalam 1974 tentang apakah suatu negeri dengan
pemerintahan otoriter akan menjadi demokratis adalah apakah negeri itu pernah menganut
demokrasi. Namun menjelang 1989, gelombang ketiga memasuki fase kedua dan mulai

Wahyu Nurhadi | Magister Ilmu Politik, FISIP - UNPAD | 15 Juli 2020


10

mempengaruhi negeri-negeri yang belum memiliki pengalaman demokratis, seperti Rumania,


Bulgaria, Uni Soviet, Taiwan dan Meksiko.

Implikasi
Dalam ulasannya, Huntington menegaskan bahwa hingga tingkat tertentu buku tersebut
mengandung teori dan sejarah, akan tetapi ia bukanlah suatu karya tentang teori dan sejarah,
melainkan berada diantaranya, dan terutama bersifat menjelaskan. Teori yang baik itu
cermat, lugas, elegan dan menyoroti hubungan diantara beberapa variabel konseptual.
Karenanya, niscaya tidak ada teori yang dapat menjelaskan suatu peristiwa atau sekelompok
peristiwa secara lengkap. Sebaliknya, suatu penjelasan niscaya kompleks, padat, tak teratur,
dan secara intelektual tak memuaskan. Suatu penjelasan dikatakan berhasil, bukan karenanya
kelugasannya, melainkan karena kekomprehensifannya. Karya sejarah yang baik
menggambarkan secara kronologis serangkaian peristiwa dan menganalisisnya secara
meyakinkan, serta menjelaskan mengapa suatu peristiwa menimbulkan peristiwa yang lain.
Kajian ini kurang melakukan hal semacam itu, sebab ia tidak menjelaskan secara terperinci
arah umum demokratisasi, pun juga tidak mendeskripsikan demokratisasi pada suatu negeri
secara khusus. Melainkan, kajiannya berupaya menjelaskan dan menganalisis suatu
kelompok khusus dari transisi-transisi rezim yang berlangsung dalam kurun waktu yang
terbatas. “Saya perlu mengingatkan diri saya sendiri bahwa bukti-bukti yang saya kumpulkan
berasal dari kasus-kasus sejarah yang terbatas yang telah saya pelajari dan bahwa saya sedang
menulis buku yang bersifat menjelaskan, bukan buku mengenai teori”, ungkapnya (h. xvi).
Jadi, dalam mengungkapkan kebenaran-kebenaran, ia harus menghindari penggunaan
bentuk present tense yang tidak terikat dengan waktu, dan sebaliknya harus menulis dalam
bentuk past tense. “Dalam beberapa kasus, universalitas proposisi ini tampak begitu jelas,
sehingga saya tidak dapat menahan godaan untuk menyatakannya dalam istilah-istilah yang
kurang terikat oleh waktu. Akan tetapi, selain hal itu, hampir tidak ada satupun proposisi yang
berlaku bagi semua kasus gelombang ketiga”, lanjutnya (h. xvii).

Selain itu, seperti dalam Political Order, Huntington mencoba sedapat mungkin melepaskan
nilai-nilai yang dianut dalam uraiannya. Namun, tampak jelas bahwa kadang-kadang
menyatakannya secara eksplisit implikasi dari analisisnya kepada orang-orang yang ingin
mendemokratisasikan masyarakat. Akibatnya, bila kita lihat di lima bagian buku tersebut
Huntington telah meninggalkan perannya sebagai ilmuwan sosial untuk memegang peran
sebagai konsultan politik, dan mengajukan beberapa “Petunjuk bagi Pejuang Demokrasi”, dan
membuatnya tampak sebagai seorang “Machiavellis-Demokratis”. Meskipun demikian,
tujuan dituliskannya buku yang berfokus pada demokratisasi ini, sebagaimana yang
diungkapkan diawal, ialah mengembangkan suatu teori ilmu sosial yang umum tentang
mengapa, bagaimana dan dalam keadaan-keadaan apa suatu tatanan demokratis dapat
dicapai atau tidak dapat dicapai, serta untuk memahami tanda-tanda tentang masa depan
demokrasi di dunia ini yang boleh jadi ditunjukan oleh berbagai transisi yang terjadi.
Sumbangan utama buku ini ialah memberikan petunjuk bagi demokratisator tentang
bagaimana menurunkan pemerintah otoriter maupun mengkonsolidasikan rezim demokrasi.

Simpulan
Demokratisasi ialah tema sentral sebagai obyek studi yang sangat luas rentang
pembahasannya yang diteliti oleh para ilmuwan politik dunia dewasa ini. Berbagai persoalan
sosial-ekonomi-politik saling terkait satu sama lain. Sehingga, dalam membentuk suatu
pemahaman yang komprehensif akan demokratisasi masih terus dilakukan oleh ilmuwan
politik dalam rangka menemukan jati diri demokrasi yang sejati. Dari banyaknya tulisan yang
membahas persoalan demokratisasi saat ini tampak bahwa para ilmuwan politik menaruh

Wahyu Nurhadi | Magister Ilmu Politik, FISIP - UNPAD | 15 Juli 2020


11

perhatian yang sangat besar pada pengembangan kekuatan masyarakat dari sebagai prasyarat
berkembangnya sebuah paham demokrasi sebagai akar demokratisasi.

Demokrasi akan menyebar di dunia sejauh para penguasa di dunia ini dan masing-masing
negara menginginkan hal itu terjadi. Kegagalan mengantisipasi perkembangan demokratisasi
terletak pada kealpaan menghargai determinasi manusia dalam mementukan nasib sendiri.
Dalam banyak analisis, para pengamat dan ilmuwan telah terjerumus kedalam apa yang
disebut “determinisme mekanis” entah menunjuk pada faktor struktural atau kultural, atau
apapun namanya, termasuk faktor kelas menengah yang belakangan banyak ditampilkan
dalam berbagai wacana. Sebagaimana ungkapan penutup dalam buku ini, bahwa selama satu
setengah abad setelah pengamatan Tocqueville mengenai munculnya demokrasi modern di
Amerika, gelombang-gelombang demokratisasi silih berganti melanda pantai kediktatoran.
Disangga oleh pasang naik kemajuan ekonomi, masing-masing gelombang bergerak maju
lebih jauh dan mundur lebih sedikit daripada gelombang sebelumnya. Dengan metafora yang
lain, dapat dikatakan bahwa “roda sejarah tidak bergerak maju mengikuti pola garis lurus”,
tetapi apabila didorong oleh para pemimpin yang berketetapan hati dan terampil, roda sejarah
pasti bergerak maju.

Bibliografi
Agustino, L. (2007). Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Diamond, L. (2003). Developing Democracy Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE Press.
Gaffar, A. (2004). Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gaus, G. F., & Kukathas, C. (2012). Handbook Teori Politik. Bandung: Nusa Media.
Gunitsky, S. (2018). Democratic Wave in Historical Perspective. Journal Perspective on Politics, 16 (3),
634-651. doi:10.1017/S1537592718001044
Huntington, S. P. (1965). Political Development and Political Decay. Journal World Politics, 17 (3), 386-
430.
Huntington, S. P. (1995). Gelombang Demokratisasi Ketiga (Judul Asli: The Third Wave:
Democratization in the Late Twentieth Century (1991) (Alih Bahasa: Asril Marjohan). Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2019). Bagaimana Demokrasi Mati: Apa yang Diungkap Sejarah tentang
Masa Depan Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Linz, J., & Stepan, A. (1996). Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe,
South America and Post-Communist Europe. Baltimore: The Johns Hopkins University Press.
Mujani, S., Liddle, R. W., & Ambardi, K. (2019). Kaum Demokrat Kritis: Analisis Perilaku Pemilih
Indonesia Sejak Demokratisasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Munck, G. L., & Leff, C. S. (1997). Modes of Transition and Democratization: South America and East
Europe in Comparative Perspective. Journal Comparative Politic, 29, 343-362.
Neuman, W. L. (2004). Basic of Social Research Qualitative and Quantitative Approaches. USA:
Pearson Education.
Newton, K. & Van Deth, J. W. (2016). Perbandingan Sistem Politik: Teori dan Fakta (Alih Bahasa:
Imam Muttaqin). Bandung: Penerbit Nusa Media.
Rustow, D. (1970). Transition to Democracy: Toward a Dynamic Model. Journal Comparative Politic,
2, 337-363.
Schumpeter, J. A. (2012). Capitalism, Socialism, & Democracy. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Share, D. (1987). Transition to Democracy and Transition Through Transaction. Journal Comparative
Political Studies, 19 (14). doi:10.1177/0010414087019004004
Sorensen, G. (2003). Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam sebuah Dunia yang
sedang berubah (Alih Bahasa: I Made Krisna). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teorell, J. (2010). Determinant of Democratization: Explaining Regime Change in the World, 1972-
2006. New York: Cambridge University Press.

Wahyu Nurhadi | Magister Ilmu Politik, FISIP - UNPAD | 15 Juli 2020

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai