Anda di halaman 1dari 64

Demokrasi sebagai Proses Sejarah dan Sosial

Oleh: Daniel Sparringa


Sejak tiga dekade terakhir dunia menyaksikan kemajuan yang luar biasa dalam
perkembangan demokrasi. Sejak 1972 jumlah negara yang mengadopsi sistem
politik demokrasi telah meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 44 menjadi 107.
Pada akhir 90-an, hampir seluruh negara di dunia ini mengadopsi pemerintahan
demokratis, masing-masing dengan variasi sistem politik tertentu. Kecenderungan
ini menguat terutama setelah jatuhnya pemerintahan komunis di akhir tahun 80-an
dan karenanya telah menjadikan demokrasi sebagai "satu-satunya alternatif yang
sah terhadap berbagai bentuk regim otoritarian". Secara sosiologis mungkin ini
merupakan salah satu perubahan terpenting yang menandai tahun-tahun akhir
milineum kedua; sebuah perkembangan yang oleh Huntington
dikonseptualisaikan sebagai "gelombang ketiga demokratisasi"

Secara konseptual, pembangunan demokrasi di sebuah negara tidak lagi dilihat


sebagai hasil-hasil dari tingkat modernisasi yang lebih tinggi sebagaimana
ditunjukkan melalui indikator-indikator kemakmuran, struktur kelas borjuasi, dan
independensi ekonomi dari aktor-aktor eksternal. Melainkan, lebih dilihat sebagai
hasil dari interaksi-interaksi dan pengaturan-pengaturan strategis di antara para
elite, pilihan-pilihan sadar atas berbagai bentuk konstitusi demokratis, dan sistem-
sistem pemilihan umum dan kepartaian. Pemikiran ini didasarkan pada
argumentasi sentral bahwa pengalaman Barat tentang demokrasi tidak akan dapat
diulang dengan arah yang sama di negara-negara sedang berkembang.
Sebagai sebuah konsep teoritis maupun politis, demokrasi jelas sekali terikat oleh
faktor-faktor kesejarahan yang terjadi di Eropa sepanjang abad 17 hingga 19.
Prosesnya sendiri telah dimulai pada abad pertengahan ketika dunia, khususnya
Eropa, dilanda reformasi, dan kemudian revolusi, sosial.

Reformasi intelektual yang mengubah Eropa, dan kemudian dunia, merupakan


proses sosial dan sejarah yang amat panjang, bahkan prinsip-prinsip dasarnya
mungkin telah diawali dengan diperkenalkannya institusi modern yang disebut
dengan universitas. Dalam buku klasiknya yang terkenal itu, The Triumph of
Science and Reason, Nussbaum dengan jelas memberikan ilustrasi sejarah tentang
bagaimana masyarakat modern Eropa digerakkan oleh berbagai kekuatan yang
saling berkaitan. Dalam hal demikian itu, Nussbaum menyebut faktor-faktor
seperti surutnya monopoli institusi gereja, kemudian negara, dalam mengkontrol
'kebenaran' (yang memberi arti penting bagi diletakkannya tradisi berpikir bebas
yang menghasilkan revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad-abad
selanjutnya), dan mulai surutnya masyarakat Feodal di akhir abad ketujuhbelas,
sebagai sejarah yang sangat penting dalam menentukan perkembangan sosial,
seperti, parlementarisme dan pengakuan terhadap civil liberty.

Sampai dengan tahun 60-an dan 70-an, peneliteian-peneliteian tentang demokrasi,


sebagaimana ditunjukkan oleh hasil kerja dari Lipset (1959), Almond dan Verba
(1963), Dahl (1971), O'Donnell (1979), banyak didominasi oleh upaya untuk
menemukan kondisi-kondisi dan persyaratan-persyaratan lainnya yang diperlukan
guna munculnya sebuah demokrasi yang stabil. Dalam perkembangannya sampai
dengan dekade lalu, studi tentang demokrasi diwarnai terutama oleh upaya untuk
memahami dinamika dari transisi demokratis dan konsolidasi. Hanya dalam
beberapa tahun belakangan ini terjadi pergeseran arah studi mengenai demokrasi.
Peneliteian belakangan ini memfokuskan perhatiannya pada peran para pemimpin
politik dan elite strategis lainnya dalam proses demokrasi.

Dalam ikhwal ini banyak para ahli ilmu sosial dewasa ini cenderung untuk
berpikir bahwa transisi menuju demokrasi, khususnya di negara-negara sedang
berkembang, jarang sekali merupakan hasil dari faktor-faktor yang digerakkan
oleh tindakan-tindakan politik massa. Dengan kata lain, kesuksesan dalam proses
perubahan dan konsolidasi menuju demokrasi lebih banyak ditentukan oleh para
elite politik , di samping perkembangan politik yang berlangsung di tingkat global
dan internasional. Beberapa bahkan berargumentasi bahwa sesungguhnya
demokrasi semestinya diperlakukan sebagai suatu hasil yang dapat direkayasa
secara sosial sepanjang terdapat craftsmanship di kalangan para elite politik. .
Cara pandang semacam ini jelas menolak argumentasi yang menganggap bahwa
demokrasi tak dapat ditranplantasikan di tanah asing, di luar konteks sosial dan
budaya di mana demokrasi itu pada awalnya dikembangkan.

Mengikuti argumentasi ini, tulisan ini mengambil posisi teoritis yang


mengasumsikan bahwa pada dasarnya perubahan menuju demokrasi di Indonesia
akan menjadi lebih feasible apabila para elite politik Indonesia sebagai agen
perubahan sosial memiliki peralatan-peralatan teoritis dan ideologis yang
memadai untuk memahami dan terlibat dalam proses-proses transisi demokrasi.
Ini berarti, faktor-faktor yang berhubungan dengan budaya dan struktur politik
tidak dilihat sebagai struktur operasional yang konstan dan stabil, melainkan
dilihat sebagai arena diskursus yang dinamis yang melibatkan proses-proses
konstruksi dan dekonstruksi dari para individu sebagai agen, khususnya para
elitenya , daripada semata-mata sebagai representasi dari struktur. .

Bukti-bukti empiris terhadap kecenderungan semacam ini sebenarnya dapat


dilihat dari makin meluasnya gerakan-gerakan oposisi di Indonesia yang mulai
marak pada awal tahun 90-an yang pada dasarnya digerakkan oleh elite dari
berbagai golongan, misalnya intelektual, mahasiswa, buruh, dan LSM, daripada
oleh kekuatan-kekuatan yang secara langsung tumbuh dari massa. Ini tidak berarti
bahwa tidak terdapat masalah yang serius dalam ihwal itu. Perbedaan yang besar
di antara diskursus resmi dan diskursus alternatif tentang bagaimana demokrasi itu
dikonstruksikan merupakan satu persoalan besar yang menghadang masa depan
demokrasi di Indonesia. Kesenjangan semacam itu juga terdapat di kalangan elite
dan massa, di antara aktor politik yang berada di parlemen dan di luar parlemen,
bahkan di antara generasi yang lebih tua dan muda.

KID dan Prinsip-prinsip Demokrasi


Berdasarkan pemikiran-pemikiran itu, Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
(KID) menganggap perlu untuk mendorong proses demokratisasi secara lebih
konseptual dan sistematis melalui prakarsa bersama yang melibatkan individu-
individu dari berbagai kalangan intelektual, profesi, praktisi, dan aktor-aktor
politik strategis yang berada di lingkungan partai politik, dan organisasi
masyarakat sipil lainnya. Tujuan utama dari prakarsa bersama yang bernama KID
ini adalah dikembangkannya pengetahuan, kesadaran, nilai-nilai dan etika serta
praktik demokrasi yang menghasilkan tradisi demokrasi yang lebih sejati. Kriteria
kesejatian demokrasi di sini terutama terkait pada lima prinsip berikut ini.

Pertama, demokrasi adalah mekanisme yang memastikan bahwa kekuasaan yang


dipakai untuk mengatur kehidupan bersama selalu harus datang dari persetujuan
dari mereka yang akan terkena akibat dari kekuasaan itu. Dengan kata lain,
demokrasi adalah seluruh aturan, prosedur, dan protokol yang memastikan bahwa
rakyat adalah pemilik kedaulatan yang sebenarnya dan pada saat yang sama
meneguhkan satu doktrin umum bahwa mandat kekuasaan yang diemban oleh
para wakil rakyat, presiden dan pejabat publik lainnya adalah bersumber dari
rakyat dan tidak dari sumber lainnya selain rakyat.

Kedua, demokrasi bukan hanya mekanisme melainkan juga adalah sebuah


integrasi dari nilai-nilai, norma-norma, dan etika yang memberi landasan pokok
tentang bagaimana seluruh kompleksitas tentang kebebasan, perbedaan, dan
kekhususan itu hendak dikelola dalam sebuah kehidupan bersama yang di satu
pihak dapat menjamin stabilitas politik yang didasarkan pada prinsip perubahan
dan keberkelanjutan (change and contuinity) dan di pihak lain dapat mewujudkan
kemakmuran dan keadilan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. Ini berarti
bahwa demokrasi semestinya diperlakukan sebagai sebuah ruang publik yang
memberi tempat kepada sebuah pengakuan yang hakiki terhadap perbedaan
(pluralisme) dan sekaligus penghormatan (toleransi) kepadanya.

Ketiga, aturan dasar tentang majority rule yang mengatur pengambilan keputusan
berdasarkan suara terbanyak tidak dapat mengabaikan sedikitpun prinsip yang
mengakui kesetaraan (equality) , keadilan (justice) , kemanusiaan (humanism) dan
prinsip-prinsip lainnya yang melekat dalam hak-hak asasi manusia. Dengan
demikian, demokrasi sejati yang hendak dikembangkan oleh KID adalah
demokrasi yang dapat mencegah semua bentuk maksud penindasan atas manusia
dan kemanusiaan untuk dan atas nama demokrasi. Demokrasi dalam pengertian
ini terikat pada ajaran yang diletakkan kepada kepercayaan umum bahwa
demokrasi memberikan dasar yang kokoh bagi usaha manusia untuk menjadi
individu yang bermartabat.

Keempat, demokrasi memberi pijakan yang kuat pada individu, baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama kelompoknya, untuk memperjuangkan
kepentingan dan kepercayaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya atas dasar pada
keputusannya sebagai individu atau anggota sebuah kelompok yang
mencerminkan kemampuannya sebagai manusia yang bebas untuk membuat dan
menentukan pilihan-pilihannya sendiri secara bertanggung jawab, baik pada
dirinya sendiri maupun pada orang lain (social-self determination). Ini berarti
bahwa, esensi demokrasi yang diperjuangkan oleh KID tidak hanya berdasarkan
pada pengakuan bahwa individu memiliki kebebasan untuk membuat dan
menentukan pilihan tetapi juga melekat di dalamnya sebuah tanggung jawab
sosial untuk memperhatikan implikasi keputusan itu pada nasib individu lainnya.

Kelima, dalam sebuah masyarakat yang secara etnik dan kultural yang sangat
majemuk seperti Indonesia, KID mengembangkan satu kepercayaan umum bahwa
demokrasi akan memiliki kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang apabila
nilai-nilai demokrasi yang bersifat universal itu dapat berdampingan dalam
hubungan yang bersifat saling memperkuat eksistensinya dengan nilai-nilai
partikular dan lokal. Diktum yang dianut oleh KID dalam hubungannya dengan
ini adalah, hendaknya nilai-nilai partikular dan lokal yang berkembang dalam
masyarakat majemuk Indonesia ini dapat digali untuk dikembangkan dan
disandingkan dengan dan untuk memperkuat nilai-nilai universal demokrasi.
Adalah sangat jelas di sini bahwa tujuan akhir dan utama dari proses ini adalah
tidak untuk mengurangi esensi universalitas dari demokrasi, melainkan untuk
membuat demokrasi menjadi sebuah kesatuan nilai, norma, etika, dan tradisi yang
memiliki integrasi yang kokoh dan relevansi sosial dengan nilai-nilai yang bersifat
partikular dan dan lokal yang terdapat dalam masyarakat majemuk Indonesia.

KID dan Prakarsa Bersama untuk Membangun Demokrasi:


Sebuah Respon Generik dan Generatif

KID adalah sebuah prakarsa bersama yang bersifat inklusif dan keanggotaanya
bersifat terbuka yang layaknya dianut dalam organisasi yang berbentuk
perkumpulan. Sebagai sebuah prakarsa bersama, KID dimaksudkan sebagai
sebuah perkumpulan yang memfasilitasi usaha membangun demokrasi yang
memiliki konteks dan relevansi sosial dengan tantangan dan kebutuhan Indonesia,
Penegasan kepada konteks dan relevansi sosial dimaksudkan untuk membuat
prakarsa bersama ini menjadi sebuah perkumpulan yang memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi perluasan gerakan sosial dalam masyarakat untuk
mengembangkan demokrasi sebagai nilai, etika, dan norma yang dipraktikkan
sebagai tradisi dalam kehidupan kolektif pada tingkat masyarakat sipil (civil
society) dan negara (state).

Selain itu, penegasan pada prinsip prinsip bersama dimaksudkan untuk


meneguhkan bahwa KID adalah sebuah perkumpulan yang didirikan untuk
kepentingan bersama dan diorientasikan semata-mata kepada tujuan bersama yang
tidak lain adalah mendorong demokratisasi sebagai sebuah proses sosial yang
kreatif dan membuka diri terhadap berbagai penemuan akan gagasan-gagasan
baru. Karena itu, KID sejak awal dinyatakan sebagai sebuah respon yang bersifat
generik dan generatif.

Sebagai sebuah gagasan awal, KID diniatkan menjadi sebuah lembaga sosial yang
memiliki komitmen untuk membangun demokrasi melalui kegiatan-kegiatan
pelayanan yang mengambil bentuk forum, pendidikan dan pelatihan, penelitian
dan pengkajian, fasilitasi, mediasi dan advokasi, serta jejaring sosial yang tersebar
di beberapa wilayah di Indonesia. Penentuan wilayah pelayanan KID didasarkan
pada ketersebaran, kebutuhan, dan ketersedian akses untuk menjalankan program-
program. Karena itu, KID membuka diri terhadap kerjasama dengan berbagai
lembaga swadaya masayarakat (LSM) dan individu dari berbagai organisasi
masyarakat sipil lainnya. Dengan pendekatan kemitraan ini, sinergitas yang
mencerminkan prakarsa bersama untuk membangun demokrasi di Indonesia dapat
diharapkan menjadi sesuatu yang memiliki keterkaitan dengan usaha serupa
sebelumnya yang secara keseluruhan dapat menghasilkan integrasi pencapaian
tujuan yang lebih efektif

Multikulturalisme Indonesia: Jawaban terhadap Kemajemukan

Tulisan pendek ini mencoba membuka diskusi tentang tema multikulturalisme


dalam sebuah percakapan yang menghadapkan identitas sebagai sebuah spesfitas
budaya dan kebutuhan untuk menghadirkan integrasi sosial yang memungkinkan
kelompok etnis dan budaya yang beragam itu dapat membangun sebuah
kehidupan bersama yang lebih masuk akal dalam sebuah negara bangsa Indonesia.

Multikulturalisme dan Nasionalisme Indonesia

Sebagai sebuah terminologi, multikulturalisme kadang agak membingungkan


karena ia merujuk secara sekaligus pada dua hal yang berbeda: realitas dan etika,
atau praktik dan ajaran. Sebagai realitas atau praktik, multikulturalisme dipahami
sebagai representasi yang produktif atas interaksi di antara elemen-elemen sosial
yang beragam dalam sebuah tataran kehidupan kolektif yang berkelanjutan.
Sebagai sebuah etika atau ajaran, multikulturalisme merujuk pada spirit, etos, dan
kepercayaan tentang bagaimana keragaman atas unit-unit sosial yang berciri privat
dan relatif otonom itu, seperti etnisitas dan budaya, semestinya dikelola dalam
ruang-ruang publik.

Dalam masyarakat-masyarakat yang memiliki kesempatan untuk berevolusi


melalui perubahan sosial yang panjang dan bersifat gradual, multikulturalisme
(dengan nama yang sama atau yang lain) sering merupakan hasil dari sebuah
proses sosial yang terjadi. Dengan kata lain, sejarah yang panjang telah
menghasilkan sebuah tatanan kolektif yang memungkinkan di satu pihak
keragaman mendapatkan ruang untuk berkembang dan di pihak lain
memungkinkan integrasi sosial di tingkat yang lebih tinggi dapat terpelihara.

Dalam masyarakat semacam ini, multikulturalisme adalah hasil dari sebuah logika
yang dibangun dari realitas sebuah masyarakat majemuk. Kebanyakan masyarakat
Barat jatuh dalam kategori ini. Amerika adalah contoh sebuah masyarakat yang
“menemukan” logika “melting-pot” sebagai jawaban atas kemajemukan. Logika
ini tidak dibangun pertama-tama dari gagasan ideal, tetapi dibangun dari sebuah
keniscayaan sosial. Alhasil, melting-pot—multikulturalisme ala Amerika—adalah
sebuah nilai yang melembaga bersama-sama dengan nilai-nilai penting
masyarakat Amerika lainnya. Dalam ekspresi mereka, multikulturalisme adalah
jawaban kepada kebutuhan bagi terjaminnya prinsip the freedom of expression. Di
Australia, dengan sejarah yang sedikit berbeda, multikulturalisme memperoleh
tempat yang penting sebagai institusi sosial yang memperkuat demokrasi dan
komitmen warga negara terhadap Australia.

Di kebanyakan belahan dunia yang lain, dalam mana sebagian besar dari mereka
adalah bangsa-bangsa bekas jajahan yang terdiri atas kelompok-kelompok etnik
dan budaya yang sangat majemuk itu, multikulturalisme adalah sebuah gagasan
yang diperjuangkan. Bahkan, lebih dini dari itu, kebanyakan negeri-negeri yang
relatif muda usia ini, harus berjuang terlebih dahulu dengan gagasan nasionalisme.
Gagasan nasionalisme negeri-negeri yang pada umumnya memperoleh
kemerdekaannya setelah Perang Dunia Kedua ini, dibangun melalui kesadaran
para pemimpinnya akan sebuah kepercayaan bahwa sebuah negeri yang amat
majemuk, sering kali terdiri atas puluhan bahkan ratusan kelompok etnis, hanya
mungkin dipersatukan dengan ikrar yang meneguhkan persatuan sebagai dasar
untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik.

Akar nasionalisme Indonesia sejak awal justru didasarkan pada tekad yang
menekankan cita-cita bersama di samping pengakuan sekaligus penghargaan pada
perbedaan sebagai pengikat kebangsaan. Di Indonesia, kesadadaran semacam itu
sangat jelas terlihat. Bhinneka Tunggal Ika (“berbeda-beda namun satu jua”)
adalah prinsip yang mencoba menekankan cita-cita yang sama dan kemajemukan
sebagai perekat kebangsaan. Dalam prinsipnya, etika ini meneguhkan pentingnya
komitmen negara untuk memberi ruang bagi kemajemukan pada satu pihak dan
pada pihak lain pada tercapainya cita-cita akan kemakmuran dan keadilan sebagai
wujud dari tujuan nasionalisme Indonesia.

Pada tempat inilah, penafsiran pada nasionalisme Indonesia semestinya


memperhatikan dua elemen dasar itu secara sekaligus. Ikatan kebangsaan yang
semata-mata didasarkan pada nilai-nilai kemakmuran (yang bersifat material itu)
dan keadilan (yang bersifat spiritual itu) tidak akan mampu menjawab persoalan
tentang bagaimana kemajemukan itu hendak dikelola dalam proses pencapaian
tujuan bersama yang mulia itu. Pencapaian tujuan bersama jelas merupakan
sebuah proses yang tidak saja kompleks secara ekonomi dan politik tetapi juga
sebuah proses yang panjang dan berkelanjutan secara sosial dan budaya.

Bangsa semajemuk Indonesia jelas memerlukan lebih dari itu. Nasionalisme


Indonesia yang hanya mendasarkan pada elemen pertama, yakni pengikatan diri
pada cita-cita bersama akan kemakmuran dan keadilan, senantiasa akan terancam
karena mudah dirongrong oleh persepsi tentang kegagalan kolektif kita dalam
pencapaian tujuan bersama itu. Di samping itu, nasionalisme yang melulu
dibangun pada janji sebuah kehidupan bersama yang lebih baik itu, mudah lapuk
karena kemajemukan itu sendiri menawarkan ketegangan yang inheren.
Dalam gagasan pokok semacam inilah, penafsiran atas akar nasionalisme
Indonesia itu selayaknya juga memberi dasar bagi sebuah kesadaran kolektif
untuk mengembangkan dan membangun sebuah pendekatan yang memungkinkan
keragaman etnik dan kultural itu justru menjadi kekuatan bangsa ini untuk
melanjutkan pencapaian cita-citanya.

Artikel ini memuat dan menawarkan gagasan multikulturalisme berikut penjelasan


yang melatarbelakanginya sebagai ajaran tentang ‘common culture’ yang
memberi ruang bagi pencapaian dua kebutuhan sekaligus. Yakni, terpeliharanya
kemajemukan dan integrasi sosial di tingkat masyarakat dan persatuan yang
berkelanjutan di tingkat bangsa guna pencapaian cita-cita bersama sebagai sebuah
nation. Tujuan utama dari artikel ini adalah menyemaikan nilai-nilai dan prinsip-
prinsip dasar yang diperlukan masyarakat dan bangsa Indonesia yang mejemuk ini
dalam habitat sosial yang sedang berubah di tengah-tengah pergumulan kehidupan
kolektif di tingkat lokal, regional, nasional, dan global.

Sebagai sebuah karya persembahan untuk bangsa, artikel ini dimaksudkan untuk
memicu dan menggerakkan perbincangan yang lebih mendalam tentang
multikulturalisme sebagai pijakan bersama guna pencapaian cita-cita nasional
yang menjadi landasan dari negara bangsa Indonesia (Indonesian Nation-State)
yang sama-sama kita miliki dan cintai ini. Sebagai sebuah etika, multilulturalisme
memang harus diperjuangkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
Nasionalisme Indonesia.

Multikulturalisme sebagai Alternatif

Dalam pandangan saya, multikulturalisme—didefinisikan oleh banyak kalangan


sebagai sebagai sebuah kepercayaan yang menyatakan bahwa kelompok-
kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural groups) dapat hidup
berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh
kesediaan untuk menghormati budaya lain—adalah sebuah tema yang relatif baru
dibicarakan di negeri ini. Sebagai sebuah tema, multikulturalisme dibicarakan
umumnya dalam kerangka mengunjungi kembali (revisiting) dan menemukan
kembali (reinventing) gagasan-gagasan yang lebih masuk akal tentang bagaimana
sebuah masyarakat majemuk di Indonesia ini dapat dikembangkan dalam sebuah
konsepsi masyarakat “warna-warni” yang tidak saja berciri partisipatoris namun
juga emansipatoris.
Jelas, semangat dasar awalnya adalah mencoba menggugat pertanyaan pokok
tentang bagaimana kelompok-kelompok etnik (yang lokal itu) dan budaya (yang
partikular itu) itu semestinya memposisikan dirinya ke dalam sebuah kehidupan
bersama dalam sebuah masyarakat nasional yang dikelilingi oleh nilai-nilai
universal (seperti demokrasi, keadilan, persamaan, dan kemerdekaan) dan, bahkan
akhir-akhir ini, dalam sebuah tataran global yang menyelimuti sebuah perubahan
besar. Dengan kata lain, bagaimanakah kelompok-kelompok etnik dan budaya
yang berbeda denominasinya itu di satu pihak memiliki kesanggupan untuk
memelihara identitas kelompoknya dan di pihak lain mampu berinteraksi dalam
ruang bersama yang ditandai oleh kesediaan untuk menerima pluralisme dan
toleransi (mengakui dan menghormati perbedaan).

Lebih jelas lagi, bagaimanakah, misalnya, kelompok-kelompok etnik Pidie,


Mandailing, Minang, Betawi, Sunda, Jawa, Cina, Bali, Manggarai, Ambon,
Manado, Serui, yang beragama Islam, Hindu, Khong Hu Cu, Budha, Kristen,
Katolik, atau yang beraliran kepercayaan Pangestu, itu semua, mampu hidup
berdampingan dalam sebuah habitat sosial yang di satu pihak memberi tempat
bagi terpeliharanya identitas lokal dan kepercayaan partikularnya masing-masing,
dan di pihak lain memberi kesempatan bagi sebuah proses terjadinya integrasi
sosial, politik, budaya, dan ekonomi di tingkat nasional dan global.

Memang, ihwal itu bukan hal sederhana. Ketidaksederhanaan perkaranya


pertama-tama terletak pada masalah bagaimanakah kesadaran bersama itu
dibangunkan dalam sebuah ruang yang di samping memberikan kebebasan untuk
melakukan interpretasi yang serba-ragam juga mengundang elemen-elemen yang
berbeda itu untuk menemukan kebutuhan bersama bagi sebuah integrasi di tingkat
yang lebih tinggi. Kedua, proses itu tidak terjadi dalam ruang yang terisolasi dari
persoalan-persoalan ketidakmerataan, bahkan ketidakadilan, tentang bagaimana
sumber-sumber politik dan ekonomi itu dialokasikan dan didistribusikan dalam
masyarakat nasional dan internasional. Ketiga, perubahan yang berlangsung di
tataran global mendiktekan agenda-agenda politik dan ekonomi baru yang
mempersempit kesempatan kita untuk mendefiniskan kembali gagasan-gagasan
dasar tentang negara (serba-) bangsa (the idea of Indonesian [multi-) nation-state)
tanpa meingindahkan gagasan-gagasan dan praktik-praktik materialisame-rasional
yang dibawa serta oleh ekonomi pasar global.

Saya tidak sedang mengatakan bahwa usaha mempromosikan multikulturalisme di


Indonesia adalah sebuah langkah yang muskil. Saya, sebaliknya, sedang
mengatakan multikulturalisme merupakan sebuah agenda besar bersama kita yang
tidak saja perlu dan penting, tetapi juga merupakan satu-satunya jawaban atas
kegagalan kita di masa lalu mengelola masyarakat majemuk di Indonesia.
Walaupun begitu, saya juga ingin mengatakan bahwa ihwal yang kita sedang
hadapi dalam mendefiniskan, menyepakati, mempromosikan, dan melembagakan
multikulturalisme adalah sebuah proses yang sepenuhnya harus dipahami sebagai
agenda yang asli baru dalam wacana politik-budaya di Indonesia. Dalam
pengertian ini, multikulturalisme jelas harus bersaing dengan pendekatan
Asimilasi (di negeri ini juga dikenal dengan nama populer Pembauran) dan
bahkan mungkin juga dengan pendekatan Integrasi yang pada masa lalu
dipromosikan oleh eksponen BAPPERKI.

Dalam pandangan kritis saya, pendekatan Asimiliasi berangkat dari kesadaran


tipologis tentang (yang) “asli” dan (yang) “asing”. Asumsi yang dipakai dalam
tipologi ini adalah yang “asli” harus dilindingi dari yang “asing” karena
kepercayaan bahwa yang disebut terakhir itu memiliki potensi mengancam yang
pertama. Itu sebabnya pendekatan Asimilasi mendiktekan sebuah strategi budaya
yang mendorong yang “asing” membaur dengan yang “asli”. Harus dikatakan di
sini, walaupun secara teoritis yang disebut dengan yang “asing” itu berlaku untuk
semua yang “tidak asli”, dalam kenyataannya wacana itu terutama diarahkan pada
kelompok etnis Cina. Tidak heran apabila pendekatan Asimilasi ini dituduh tidak
hanya berbau xenophobia tetapi juga rasis. Di samping itu, sebenarnya terdapat
masalah yang rumit dalam definisi tentang “asli” dan “asing” di negeri kepulauan
ini yang selama berabad-abad sebelumnya menerima migrasi dari berbagai
bangsa.

Sementara itu, pendekatan Integrasi, menurut saya, tidak cukup lengkap


menjawab kebutuhan masyarakat meajemuk di negeri ini. Salah satu alasan
utamanya adalah, pendekatan ini jelas dimaksudkan pada awalnya sebagai reaksi
penolakan sebagian kelompok etnis Cina terhadap gagasan pembauran. Saya tidak
menampik pada gagasan dasarnya yang menuntutkan penerimaan dan perlakukan
yang sama terhadap kelompok etnis Cina di Indonesia—se-sama seperti yang
diterima oleh kelompok-kelompok etnis lainnya (baik yang “asli” maupun yang
“asing” lainnya seperti kelompok etnis Arab atau yang setengah “asli”—setengah
“asing” seperti kaum Indo).

Tidak ada penolakan saya sedikitpun tentang gagasan itu. Yang saya kira tidak
memadai dari pendekatan integrasi itu adalah tidak hadirnya konsepsi masyarakat
yang dibangun atas ciri kemejemukan yang partisipatoris dan emansipatoris.
Selain itu, pendekatan integrasi berkesan memfokuskan perhatiannya pada
hubungan di antara etnis Cina dan Bumiputera daripada terutama pada hubungan
antar-etnis yang beragam di negeri ini termasuk etnis Cina.
Dalam keyakinan saya, sebagai sebuah pendekatan politik budaya,
multikulturalisme menawarkan hadirnya realitas ganda atau (dual-reality) atau
bahkan realitas ragam (multy-reality) sekaligus: kebedaan-kemiripan (differences-
similarities), keragaman-kesatuan (diversity-unity), identitas-integrasi (identity-
integration), lokalitas/partikularitas-universalitas (locality/particularity-
universality), nasionalitas-globalitas (nationality-globality). Dalam konstruksi
seperti itu, multikulturalisme memfasilitasi pemahaman yang lebih baik dan
mengeliminasi ketegangan dikotomis tentang realitas ganda atau ragam di sekitar
etnisitas dan budaya. Jelas, multikulturalisme tidak atau tidak pernah
dimaksudkan untuk menghilangkan kekhususan (specifity) dari sebuah ciri etnik
atau budaya; tidak juga dimaksudkan untuk meleburnya ke dalam sebuah
keumuman (generality). Dengan definisi seperti ini, multikulturalisme dalam
pandangan saya adalah, sebuah formasi sosial yang membukakan jalan bagi
dibangunnya ruang-ruang bagi identitas yang beragam dan sekaligus jembatan
yang menghubungkan ruang-ruang itu untuk sebuah integrasi.

Pendekatan Pro-Eksistensi
dalam Multikulturalisme di Indonesia

Mempromosikan multikulturalisme, karena itu, bukan sekedar langkah


menyuguhkan warna-warni identitas. Tetapi, pertama-tama, membangun
kesadaran tentang pentingnya kelompok-kelompok etnis dan budaya itu memiliki
kemampuan untuk berinteraksi dalam ruang bersama. Kata kunci dari pendekatan
ini terletak pada usaha yang lebih sistematis untuk menyertakan pendekatan
struktural politik dan ekonomi dalam proses itu. Ini berarti bahwa
multikulturalisme di negeri ini membutuhkan pengintegrasian pendekatan lainnya
selain budaya untuk memungkinkan tema-tema yang relevan di sekitar keadilan
dan persamaan dapat menjadi faktor yang ikut memperkuat multikulturalisme.

Ini juga berarti, pendekatan yang menekankan prinsip ko-eksistensi (co-existence)


sebagai dasar multikulturalisme tidaklah dapat dianggap cukup. Akan gantinya,
kita membutuhkan pendekatan yang lebih jauh dari itu, yakni sebuah pendekatan
yang menggeser prinsip ko-eksistensi ke arah pro-eksistensi (pro-existence).
Prinsip pro-eksistensi ini ditandai tidak saja oleh hadirnya kualitas hidup
berdampingan secara damai, tetapi juga oleh kesadaran untuk ikut menjadi bagian
dari usaha memecahkan masalah yang dihadapi oleh kelompok lain. Karena itu,
pro-eksistensi menghendaki diakhirinya kebisuan (silence) dan pembiaran
(ignorance) atas nasib kelompok lain. Dengan kata lain, pro-eksistensi
mensyaratkan juga prinsip inklusi, bukan eksklusi (inclusion not exclusion).
Kualitas semacam ini diperlukan untuk memungkinkan kelompok-kelompok yang
berbeda itu memiliki kebutuhan untuk menghasilkan integrasi di samping
identitas lokal dan partikular yang serba-ragam itu.

Di tingkat global, multikulturalisme menghadapi ancaman yang berbeda. Apabila


di tingkat negara bangsa multikulturalisme diperlukan untuk mengelola identitas
etnik dan kultural yang serba-ragam itu, di tingkat global kecenderungan yang
sebaliknya justru sedang terjadi. Globalisasi menghasilkan kecenderungan
monokulturalisme yang terutama didorong oleh proses-proses dan praktik-praktik
material-rasional yang dibawa oleh ekonomi pasar global. Walaupun di atas
permukaan teknologi informasi tampak secara ramai mendorong terjadinya
pertukaran budaya (cultural exchange), di antaranya melalui prinsip peminjaman
(borrowing) dan sampai batas-batas tertentu sinkretisme, yang sesungguhnya
terjadi tidak lebih dari usaha penegasan budaya dominan di atas yang lain.

Konsep “Other” dipakai untuk membangun sebuah struktur hirarki budaya


dominan-marjinal, moderen-etnik, global-lokal. Jelas, ini bukan multikulturalisme
yang partisipatoris dan emansipatoris. Struktur hirarki budaya semacam ini hanya
ingin mengukuhkan superioritas yang disebut pertama (dominan-moderen-global)
atas yang terakhir (marjinal-etnik-lokal). Yang disebut terakhir dihadirkan sebagai
bentuk ekspresi eksotisme komunitas etnik yang lokal, mungkin sekaligus
partikular, sebagai kontras dari rasionalitas modernitas global. Walaupun
pembicaraan tentang tema ini merupakan arena yang berbeda dari yang kita
bicarakan sebelumnya, dalam pandangan saya, sangat penting untuk
memperhatikan apa yang saya sebut sebagai perangkap budaya globalisasi.
Multikulturalisme global yang sedang terjadi dapat membuat kita terasing pada
dua hal sekaligus: terasing dari habitat kita sendiri dan dari dunia yang
mengelilingi kita . Perangkap ini dapat membuat kita terkecoh karena
multikulturalisme yang dalam asasnya tak berbeda dengan pendekatan Asimilasi
yang kita bicarakan tadi itu justru mengakibatkan terjadinya proses dislokasi,
disorientasi, disafiliasi, dan disintegrasi.

Di tengah globalisasi, isolasi memang bukan jawaban atas perkara itu. Dunia
sedang berubah dan selalu memang begitu. Perubahan yang saat ini sedang terjadi
menjadi lain dari perubahan-perubahan sebelumnya karena konsepsi tentang
identitas tidak lagi dapat dikurung dalam ruang hampa. Globalisasi membuat
kesadaran etnik dan budaya menjadi serba absurd. Relativitas menjadikan
identitas tidak mudah dikonstruksikan oleh proses-proses budaya yang otonom.
Karena itu, multikulturalisme, baik di tingkat nasional maupun global,
membutuhkan redefinisi atas kehidupan bersama. Juga, reposisi dan renegosiasi
atas cara kita memberi makna atas prinsip-prinsi keadilan dan persamaan. Dalam
keyakinan multikulturalisme saya, yang kita butuhkan bukan monokulturalisme
tetapi multikulturalisme; bukan pembauran tetapi pambaruan; bukan ko-eksistensi
tetapi pro-eksistensi; bukan eksklusi tetapi inklusi; bukan separasi tetapi interaksi.
Bukan juga kemajemukan demi kemajemukan, atau kemajemukan sekedar warna-
warni, tetapi kemajemukan yang dibangun di atas landasan multikuturalisme yang
emansipatorik.

Oleh : Daniel Sparringa, Universitas Airlangga

Ketidaklogisan di Balik Ujian Nasional

Saat memberikan kata sambutan pada peringatan Hari Pendidikan


Nasional 2006, Wapres Jusuf Kalla antara lain mengatakan, ujian nasional
diadakan untuk mendorong siswa bekerja keras karena bangsa ini tidak akan maju
jika tidak disertai kerja keras, (Kompas, 5/5). Kita sepakat, kerja keras penting
dikembangkan untuk mencapai kehidupan lebih baik. Mentalitas santai dan jalan
pintas tak mungkin membuat kehidupan lebih baik. Namun, dalam konteks
pendidikan sebagai sistem, harapan agar ujian nasional (UN) dapat
mengembangkan mentalitas kerja keras seperti dikatakan Wapres sungguh tidak
logis.

Dalam sistem pendidikan, UN merupakan salah satu wujud komponen


evaluasi pendidikan. Komponen ini menempati posisi terakhir dalam urutan
komponen sistem pendidikan, sebelum mengeluarkan produk pendidikan. Yang
dievaluasi adalah hasil proses pendidikan. Karena itu, menjadi tidak logis bila
evaluasi atas pencapaian proses pendidikan diharapkan ikut menyelesaikan
mentalitas santai dan jalan pintas masyarakat negeri ini. Bagaimana mungkin
mentalitas negatif itu hanya dititipkan penyelesaiannya melalui UN? Dengan cara
demikian, pemerintah tidak mencontohkan kerja keras.

Tidak logis

Kini pengadaan UN tidak logis dalam konteks pendidikan sebagai sistem


karena UN sebagai komponen pada urutan terakhir sistem pendidikan hanya akan
bermakna bila keberadaannya dirancang sebagai satu kesatuan dengan komponen
sebelumnya. Sebagai post test, UN baru bermakna bila kehadirannya merupakan
hasil perencanaan sistematis yang melibatkan hasil kajian unsur raw input,
seperti identifikasi bakat dan minat siswa maupun guru, pre test, serta proses yang
menjembatani kesenjangan antara pre dan post test. Bila dikaitkan dengan standar
kelulusan yang dipatok pemerintah untuk UN tahun ini, penetapan standar
kelulusan 4,5 tidak bermakna apa-apa karena tidak didasarkan pada kondisi awal
tertentu yang jelas serta proses logis dan sistematis guna mencapai standar 4,5.
Ibarat bepergian, kita tidak menetapkan dari mana, kapan, dengan kendaraan apa,
tetapi kita menuntut semua pihak agar sampai tujuan yang sama pada waktu yang
sama. Singkatnya, UN adalah kegiatan yang tidak direncanakan secara sistematis
dan holistik sebagai bagian pendidikan sebagai sebuah sistem. Karena itu,
keberadaannya tidak akan efektif dan efisien bagi mekanisme sistem pendidikan.

Mutu pendidikan

Ketidaklogisan lain terkait dengan keragaman mutu pendidikan. Mutu


pendidikan negeri ini amat bervariasi, tetapi kita memaksa diri menyeragamkan
evaluasi atas hasilnya. Konyol, sesuatu yang sudah jelas dibuat seolah tidak jelas,
untuk kemudian diperjelas melalui UN. Inikah cara menghabiskan tenaga, dana,
dan waktu secara sia-sia? Atas ketidaklogisan pada UN, maka respons logis
pihak-pihak yang terkait dengannya otomatis tidak logis pula. Contoh, jauh hari
sebelum masa UN, sekolah-sekolah memacu anak-anak dengan latihan soal ujian,
pelajaran-pelajaran yang akan diujikan dalam UN mendapat porsi waktu paling
banyak dibandingkan pelajaran non-UN. Praktik ini jelas mereduksi makna
pendidikan.

Evaluasi merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan. Ujian secara


nasional dapat saja dilakukan. Namun, diperlukan UN yang lebih logis, yang tidak
mereduksi tujuan mulia pendidikan. Salah satu kemungkinannya, misalnya
dengan menganekaragamkan standar kelulusan, dan diterapkan berdasarkan hasil
akreditasi sekolah. Jadi sekolah dengan nilai akreditasi tertinggi menggunakan
standar tertinggi, demikian pula sebaliknya. Penganekaragaman standar UN
sebagaimana dikemukakan di awal maupun pencarian dan penggunaan cara
evaluasi yang lebih logis, dengan sendirinya akan menambah beban kerja elite
pendidikan pusat. Para elite pendidikan pusat harus bekerja keras untuk maksud
tersebut. Dapatkah elite pendidikan di pusat dan pemerintah, baik eksekutif
maupun legislatif, menunjukkan kerja keras lebih dulu sebelum menuntut
masyarakat untuk bekerja keras?

Penulis: AJE Toenlioe, Dosen Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Malang;


Kandidat Doktor Sosiologi Universitas Brawijaya Artikel disalin dari Komp

Jangan Salahkan (Lagi) Orde Baru

Membaca judul tulisan ini, mungkin akan muncul tudingan, penulis pendukung
Orde Baru. Saya lahir, besar, sekolah di sekolah negeri, dibiayai pemerintah Orde
Baru (Orba). Namun, bukan berarti saya pendukung Orba.
Saya tahu, pemerintahan Orba otoriter. Partai politik dikebiri. Berbagai organisasi
profesi seperti wartawan dan buruh diwadahtunggalkan agar mudah dikontrol.
Kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat dibatasi.

Orba juga korup. Korupsi merajalela. Swasta pun ikut korup karena jika tidak
korup tidak kebagian proyek pembangunan. Masalahnya, mengapa setelah
delapan tahun Orba runtuh, kondisi tidak menjadi lebih baik? Pemberantasan
korupsi dianggap lebih maju meski indeks persepsi korupsi Transparansi
Internasional masih menempatkan Indonesia di lapis bawah. Aceh mulai
menemukan jalan terang meski Papua tambah runyam. Soal kondisi ekonomi,
berbagai indikator makroekonomi katanya membaik, tetapi masyarakat merasa
kondisi ekonomi kian buruk.

Salah siapakah ini? Jawaban umum, salah Orba, atau Soeharto, atau hal-hal yang
terkait Soeharto dan Orba. Ketika runtuh, Orba mewariskan kondisi dan sistem
ekonomi yang buruk.
Di bidang politik, partai tidak terbiasa menjalankan fungsi secara lengkap. Yang
berjalan hanya fungsi rekrutmen dan kontestasi jabatan politik. Fungsi pendidikan
politik, agregasi kepentingan politik dan artikulasi kepentingan masyarakat tidak
berjalan baik.
Begitu dalam warisan Orba sehingga Orba melahirkan manusia Indonesia dengan
karakter khas, yang secara seloroh disebut Homo Orbaicus.

Julukan Homo Orbaicus diadaptasi Jalaluddin Rakhmat dari Homo Sovieticus


yang dilahirkan rezim komunis Uni Soviet. Ciri Homo Sovieticus antara lain
munafik (beda kata dengan tindakan), manja (mengandalkan fasilitas, tidak
mau bertanggung jawab), iri kepada yang berprestasi, suka bohong secara
kolektif. Karena karakter manusia Indonesia seperti Homo Sovieticus, wajar
bangsa ini sulit maju.

Sewindu reformasi
Pantaskah terus menyalahkan Orba atas aneka kondisi buruk yang kita rasakan?
Bukankah rezim Orba telah runtuh delapan tahun lalu? Sewindu usia Reformasi,
kiranya cukup untuk menilai rezim Orba dan warisannya bagi semua hal buruk
yang hingga kini belum bisa dibereskan. Dua tim dokter independen yang
memeriksa Soeharto tahun 2000 dan 2002 tidak mengatakan hal yang sebenarnya
tentang kesehatan Soeharto. Kroni-kroninya, kalau masih terus bergerak,
semestinya bisa dikontrol oleh para pemimpin baru pasca-Orba.
Berhenti menyalahkan Orba mengajak kita melupakan kesalahan Orba. Berhenti
menyalahkan Orba adalah ajakan untuk melihat sumber ketidakmampuan
menyelesaikan hal-hal yang buruk pada diri sendiri.

Orba adalah masa lalu. Hal-hal buruk yang kita hadapi ada di masa kini. Kita
tidak akan pernah bisa menyelesaikan aneka masalah dengan menyalahkan masa
lampau. Seburuk apa pun masa lampau bangsa ini, masalah yang dihadapi hanya
bisa selesai apabila kita menghadapinya di masa kini, bukan di masa lalu.

Sekadar ilustrasi, partai politik misalnya. Apakah kita masih bisa menyalahkan
Orba ketika kini partai-partai tidak lagi dihegemoni kekuatan tunggal?

Lantas mengapa partai-partai belum mampu menjalankan fungsinya secara


optimal, khususnya fungsi seperti pendidikan dan agregasi kepentingan politik?
Mengapa partai masih dianggap mengusung kepentingan sendiri ketimbang
kepentingan masyarakat, padahal sebagian partai baru didirikan pada era
Reformasi? Semua itu karena ketidakmampuan politisi kita kini ketimbang
kesalahan Orba.

Kini saatnya kita berani menyalahkan diri sendiri untuk semua hal yang kita
hadapi. Para pemimpin hendaknya berhenti mengeluarkan retorika seperti "Ini
semua akibat warisan masa Orba".

Retorika semacam itu bukan hanya justifikasi untuk pemimpin yang inkompeten.
Retorika ini berbahaya karena akan melenakan masyarakat untuk tidak dewasa
karena terus menyalahkan faktor eksternal ketimbang menengok faktor dalam diri
untuk menyelesaikan aneka masalah yang dihadapi.

Penulis: Muhammad Qodari, Wakil Direktur Eksekutif Lingkaran Survei


Indonesia (LSI), Jakarta
Artikel disalin dari Kompas
Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Democrac(z)y
Mimpi democracy (kedaulatan rakyat) di Kabupaten Tuban berubah menjadi
democrazy (Yunani: demos=rakyat; Inggris: crazy=gila). Rakyat yang kehilangan
kratos seakan-akan crazy. Massa bergerak. Rumah Bupati terpelantinSebenarnya
penghancuran bangunan milik pemerintah dan swasta di Kabupaten Tuban bukan
kasus pertama. Beberapa tahun silam kantor DPRD (Kabupaten Pontianak)
dibakar massa karena kinerja "wakil rakyat" mengecewakan. Gedung pengadilan
negeri (Flores) dilahap si jago merah. Gedung pengadilan negeri (Putussibau)
hampir diluluhlantakkan. Terakhir, demonstran Hari Buruh merusak pagar DPR.

Letusan amarah rakyat dalam arti tertentu bisa jadi mencerminkan kekecewaan
rakyat atas kinerja sejumlah oknum pemerintah/"wakil-wakil" mereka. Penegak
hukum dianggap mempermainkan keadilan, "wakil rakyat" dinilai belum aspiratif,
politik uang masih kental di KPU(D), dan aparat pemerintah melupakan
kesejahteraan rakyat. Kredibilitas rakyat menipis. Keadilan amat mahal di
Indonesia.

Biasanya nilai kejujuran dan keadilan selama pilkada dan pengundang-undangan


peraturan dikhianati politik manipulasi. Pencetakan kartu pemilihan melebihi
jumlah pemilih, membuka peluang kecurangan. Manipulasi data, pemberian suara,
dan penghitungan suara dalam pilkada dan perumusan UU akan mengubah demos
menjadi crazy. Rakyat akan bertindak seakan-akan crazy menghadapi politik
kotor di tengah era reformasi.

Demokrasi yang damai


Seusai Perang Dingin, sepanjang abad 20, demokrasi dalam iklim perang dan
konflik. Dibandingkan tahun 1950 dan 1970, pertumbuhan demokrasi pada awal
abad 21 lebih subur. Dalam awal abad ini beberapa pemerintah demokratis
merintis perdamaian antarbangsa. Aneka bentuk kerja sama (termasuk bidang
akademik) digalakkan untuk membangun perdamaian dunia dan persaudaraan
universal [Michael Mandelbaum, The Ideas that Conquered the World: Peace,
Democracy, and Free Markets in the Twenty First Century (2002:242)].

Keterkaitan antara politik demokratik dan perilaku damai menuntut pembinaan


watak dan kepribadian manusia secara individual dan sosial. Politik demokratik
berhadapan dengan kompleksitas sosial di berbagai daerah. Latar belakang sosial
dan kultural mewarnai seluruh sistem perdamaian demokratik. Kebudayaan tanpa
kekerasan perlu terus disosialisasi dalam masyarakat majemuk.

Hakikatnya, demokrasi terarah pada perdamaian, menghargai perbedaan dan


difusi kultural. Demokrasi yang bermuatan kekerasan akan melunturkan makna
kehidupan bersama sesuai dengan aspirasi rakyat. Citra damai dalam demokrasi
sering kabur akibat manipulasi democracy di tengah rakyat kecil.

"Demos" tak wajib "crazy"


Pilkada dan perjuangan rakyat kecil akan berlanjut, ada yang berjalan sesuai
aspirasi rakyat, tetapi ada yang kian jauh. Ketegangan sosial terasa saat pemilihan
kepala daerah. Tiap anggota partai seolah harus menang. Jalan apa pun ditempuh.

Agar democracy tidak menjadi democrazy (rakyat seolah crazy), beberapa kondisi
harus diperhatikan: (1) Fairness dalam menerapkan aturan pilkada tak terabaikan.
Agar KPU(D) tak menjadi sasaran amarah massa, lembaga ini harus adil dan
berdiri di atas semua parpol. Keberpihakan KPU akan mengundang kekecewaan
rakyat; (2) Perlu lebih ditingkatkan pemantauan pilkada dalam proses
pengumpulan data, pemberian suara, dan penghitungan suara. Transparansi dapat
meng-counter politik manipulasi; (3) Tim penyusun UU perlu arif memerhatikan
tiap golongan tanpa menimbulkan luka sosial. Win-win-solution dan kearifan
lokal perlu dipertimbangkan.

Dalam proses ber-democracy tentu rakyat tidak wajib melakukan tindakan crazy
yang merugikan pihak lain sebab ulah anarkis tidak dengan sendirinya menjamin
suasana demokratis yang lebih baik, lebih damai, dan lebih tenteram. Mekanisme
hidup demokratis perlu diperbaiki dan ditingkatkan dengan sistem yang
transparan dan cara-cara beradab, sesuai dengan aturan main yang adil dan
memerhatikan kepentingan rakyat. Mudah-mudahan proses democracy à la
Pancasila tidak menggiring demos Indonesiae menjadi crazy!

Penulis: William Chang, Pemerhati Masalah-masalah Sosial


Artikel disalin dari Kompas
Sutan Sjahrir:

Etos Politik dan Jiwa Klasik(Oleh Ignas Kleden)


Dalam dua pucuk suratnya yang ditulis dari penjara Cipinang dan dari tempat
pembuangan di Boven Digoel, Sjahrir mengutip sepenggal sajak penyair Jerman,
Friedrich Schiller. Dalam teks aslinya kutipan itu berbunyi: und setzt ihr nicht
das Leben ein, nie wird euch das Leben gewonnen sein--- yang maknanya: hidup
yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan. Menurut pengakuannya,
kalimat-kalimat yang indah itu dikutipnya dari luar kepala, jadi kita dapat
menduga petikan tersebut sangat disukainya dan besar artinya buat hidupnya.

Membaca tulisan-tulisan Sutan Sjahrir muncul kesan yang sangat kuat dalam diri
saya bahwa bagi dia politik bukanlah perkara yang sangat digandrunginya, tetapi
lebih merupakan perkara yang tak terelakkan dalam hidupnya. Demikian pula
politik untuk dia tidak terutama berarti merebut kekuasaan dan memanfaatkan
kekuasaan itu, bukan machtsvorming & machtsaanwending menurut formula
Bung Karno. Politik juga bukan persoalan mempertaruhkan modal untuk
memperoleh keuntungan yang lebih besar, sebagaimana diyakini oleh pelaksana
money politics dewasa ini di tanah air kita. Bahkan politik juga tidak sekedar
mempertaruhkan kemungkinan untuk merebut kemungkinan yang lebih besar,
sebagaimana yang kita pelajari dari Otto von Bismarck dari Prusia.

Bagi Sjahrir politik rupanya bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis


sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut,
yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas instrumental atau
Zweckrationalitaet yang diajarkan Max Weber. Bagi Sjahrir politik lebih dari
pragmatisme simplistis, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya,
karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai atau Wertrationalitaet dalam
pengertian Max Weber . Karena itulah politik lebih dari sekedar matematika
tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih
mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat
dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk
mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral.

Kalau politik dalam pengertian Sjahrir bukan semua yang disebut di atas, apa
gerangan politik menurut pandangan dia? Menurut tafsiran saya, kutipan dari
Friedrich Schiller tersebut adalah sebagian jawabannya. Kalau penggal sajak
Schiller itu boleh kita parafrasekan, maka politik bagi Sjahrir adalah das Leben
einsetzen und dadurch das Leben gewinnen --- politik adalah mempertaruhkan
hidup dan dengan itu memenangkan hidup itu sendiri.

Konsepsi politik seperti itu kedengarannya terlalu halus kalau diperhadapkan


dengan Realpolitik baik pada tingkat nasional mau pun pada tingkat internasional.
Akan tetapi di balik kehalusan tersebut tegak sebuah keberanian yang kokoh
karena tanpa komplikasi, suatu kesahajaan yang menakutkan karena tanpa
pretensi. Khusus untuk para politisi muda konsepsi seperti itu membantu
mengingatkan bahwa dalam politik ada suatu keindahan dan bukan hanya
kekotoran, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu muslihat, ada cita-cita besar yang
dipertaruhkan dalam berbagai langkah kecil, dan bukan hanya kepentingan-
kepentingan kecil yang diucapkan dalam kata-kata besar. Hal-hal inilah yang
menyebabkan politik dapat dilaksanakan dan harus dilaksanakan dengan penuh
tanggungjawab. Wajar belaka bahwa gagasan seperti itu tidak selalu mudah
dipahami oleh banyak orang, karena mengandaikan pengertian tentang beberapa
asumsi yang filosofis sifatnya.

Mempertaruhkan hidup adalah suatu sikap dan perbuatan yang bisa juga
dilakukan oleh orang-orang yang serba nekad. Tetapi Sjahrir memperingatkan
bahwa dalam politik hidup dipertaruhkan untuk dimenangkan, bukan untuk disia-
siakan atau dihilangkan dengan cara yang gampangan. Pada titik inilah dapat kita
pahami kecemasannya tentang orang-orang muda di Indonesia pada masa selepas
Perang Dunia II dan pada awal kemerdekaan, yang penuh tenaga dan determinasi
tetapi ketiadaan pegangan tentang bagaimana hidup mereka harus dimenangkan.
Setelah Jepang menyerah kalah Sjahrir mencatat dengan prihatin bahwa para
pemuda terjebak di antara sikap nekad di satu pihak dan keragu-raguan di pihak
lainnya. Semboyan "Merdeka atau Mati" ternyata dapat menjadi perangkap
kejiwaan. Karena, selagi menyaksikan kemerdekaan belum sepenuhnya terwujud
sedangkan kesempatan untuk mati belum juga tiba, maka para pemuda itu
terombang-ambing dalam kebimbangan yang tak menentu. Ini semua terjadi
karena, menurut Sjahrir, selama Jepang berkuasa di Indonesia, para pemuda kita
hanya dilatih untuk berbaris dan berkelahi, tetapi tak pernah dilatih untuk
memimpin.

Mengatakan bahwa Sjahrir melihat politik sebagai sikap mempertaruhkan hidup


untuk memenangkan hidup, dapat memberi kesan bahwa dia mirip seorang
politikus romantis yang tidak memahami bekerjanya mesin kekuasaan atau
mechanics of power dalam politik praktis. Anggapan ini tidak sesuai dengan
kenyataan hidup Sjahrir baik kalau kita melihat sepak terjangnya dalam dunia
politik, mau pun kalau kita membaca tulisan-tulisannya, atau tulisan para
pengamat atau kesaksian para sahabatnya.

Di dasar hatinya Sjahrir mendambakan kebebasan untuk setiap orang, yaitu


individu-individu yang dapat menggunakan akal-pikirannya untuk
bertanggungjawab terhadap cita-cita dan tindak-perbuatannya masing-masing.
Impian itu mempunyai beberapa konsekuensi yang amat nyata.

Pertama, dalam negeri Sjahrir sangat cemas akan hidupnya kembali feodalisme
lama dalam politik Indonesia, yang dapat mengakibatkan bahwa kemerdekaan
nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin politik untuk menjadi
raja-raja versi baru yang tetap membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan
keterbelakangan. Karena itu selain revolusi nasional dibutuhkan juga suatu
revolusi sosial yang dinamakannya revolusi kerakyatan. Revolusi nasional harus
didahulukan, karena hanya dalam alam kemerdekaan perjuangan menentang
feodalisme dan perjuangan untuk membebaskan diri cengkeraman kapitalisme
dapat dilaksanakan. Kolonialisme Belanda, menurut Sjahrir, telah mengawinkan
rasio modern dari Barat dengan feodalisme lokal dengan sangat cerdik, dan
hasilnya adalah semacam fasisme terselubung, yang menyiapkan lahan subur
untuk fasisme Jepang. Seterusnya, partai politik sebaiknya berbentuk partai kader
dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota partai yang
mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul
tanggungjawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik
diserahkan seluruhnya ke tangan pemimpin politik, dan massa rakyat tetap
tergantung dan tinggal dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin. Demikian
pun dalam politik nasional, dia bersama Bung Hatta mendorong berkembangnya
sistem multi-partai agar supaya kehidupan politik terhindar dari konsentrasi
kekuasaan yang terlalu besar pada diri satu orang atau satu golongan.

Kedua, secara internasional dia juga cemas melihat menguatnya fasisme yang
ketika itu melebarkan sayapnya dari Spanyol, Italia, Jerman hingga ke Jepang.
Dalam pandangannya feodalisme lokal mudah sekali digabungkan dengan setiap
kecenderungan totaliter, karena massa rakyat yang tidak mempunyai pengertian
dan keyakinan politik akan mudah saja dimobilisasi oleh seorang pemimpin
politik melalui slogan, demagogi dan sedikit pengetahuan tentang psikologi
massa. Baik totalitarianisme mau pun feodalisme mempunyai kesamaan watak
dalam membunuh kebebasan perorangan yang pada akhirnya membuat manusia
tidak lebih dari budak kekuasaan.

Orasi mengenang Sutan Sjahrir, 8 April 2006, TIM, Jakarta


Artikel selengkapnya bisa diakses di sini
Agama Sebagai Kritik Sosial

Oleh Achmad Munjid*

Pendahuluan

Terutama dalam masa-masa formatif hampir semua sejarah agama, baik agama
dunia maupun lokal, kita menyaksikan betapa kritik sosial sungguh menjadi salah
satu peran terpenting yang dimainkan agama. Agama seperti Yahudi, Kristen, dan
Islam, misalnya, muncul sebagai gugatan sekaligus alternatif bagi aneka praktek
sosial yang membelenggu, moral yang bobrok, budaya yang korup, dan sistem
kesadaran yang palsu. Agama serentak adalah sumber inspirasi, energi, dan visi
yang menawarkan alternatif segar bagi praktek dan pemaknaan hidup lahir-batin
penganutnya.

Dengan pesan kuat etika monoteis, agama Yahudi muncul buat mendobrak tirani
dan perbudakan Mesir Kuno yang keji. Kristen lahir dengan altruisme cinta kasih
universal yang melarutkan dekadensi kerahiban Yahudi dan legalisme beku
Romawi. Sedangkan Islam, dengan pesan humanisme dan emansipasi
transendental, datang untuk melawan materialisme, hedonisme, dan tribalisme
Arab yang buta pada keadilan dan kesederajatan. Pendeknya, sesuai dengan
konteks zaman kelahirannya masing-masing, agama-agama itu hadir sebagai kritik
atas rupa-rupa penyimpangan sejarah kemanusiaan.

Alat legitimasi

Namun, dalam perkembangannya kemudian, seperti dituduhkan Karl Marx,


ternyata agama menjadi media alienasi, menjadi candu. Atau, menurut Sigmund
Freud, agama adalah gejala neurotik masyarakat yang belum maju. Sebabnya,
alih-alih membebaskan manusia dari macam-macam keterkungkungan, sebagai
lembaga, agama justru berperan menjadi instrumen penipu dalam memahami
kenyataan. Agama, misalnya, menjadi eskapisme penderitaan. Atau sebagai
tempurung yang menyulap manusia menjadi katak-katak kerdil yang picik tapi
merasa paling tahu soal kebenaran. Agama juga bisa menjadi legitimasi
penindasan, kezaliman, syahwat, dan angkara murka kaum penguasa.

Dengan legitimasi agama, umpamanya, orang-orang Yahudi mendirikan negara


Israel yang berbuntut nestapa kemanusiaan tanpa akhir di Palestina. Atas nama
agamanya, penguasa Kristen seperti Raja Konstantin menghabisi musuh-
musuhnya, sedangkan pemerintah kolonial mengeksploitasi negeri-negeri lain
selama berabad-abad. Islam, yang membawa pesan utama perdamaian, kemudian
juga berulang kali digunakan sebagian pemeluknya sebagai alasan pertumpahan
darah dan penaklukan.
Penjungkirbalikan peran ini terjadi ketika agama dipaksa berhenti sebagai semata
gumpalan hukum-hukum yang antisejarah. Agama dikebiri sebagai seperangkat
doktrin plus doa atau mantra-mantra di tengah timbunan berbagai kemelut.
Doktrin dan Teologi

Karen Armstrong, dalam acara tahunan American Academy of Religion pada


akhir 2006 lalu, mengatakan kini agaknya agama memang lebih dipahami,
dipraktekkan, dan diajarkan sebagai doktrin, sebagai teologi--suatu hal yang tidak
sepenuhnya menjadi kesibukan utama para pendiri agama. Dengan kata lain, kini
agama dijalankan lebih sebagai sekumpulan pendapat yang telah dinobatkan
menjadi ajaran tertutup tentang kebenaran. Akibatnya, kesibukan beragama, baik
internal maupun eksternal, adalah kesibukan membelai-belai keyakinan sendiri
sebagai "the (only) theology" sembari memberangus apa saja yang beda darinya,
"yang lain".

Bersama almarhum Th. Sumartana, kita pun menyaksikan betapa teologi kita hari
ini umumnya adalah teologi gasing, yang hanya terus berpusing-pusing mengitari
diri sendiri. Bukan teologi yang berangkat dari, atau bergumul dengan,
pengalaman nyata. Buktinya? Di tengah impitan beban kehidupan sosial,
ekonomi, budaya, moral, dan politik yang begini morat-marit, sementara musibah,
bencana, dan penyakit datang bertubi-tubi, sebagian besar pemuka agama kita
cuma sibuk "berjualan" gambar surga-neraka yang hitam-putih dan usang dari atas
mimbar. Umat yang keseharian hidupnya telah terimpit siksa "neraka" malah
cuma kian ditekan dengan timbunan seribu satu perintah dan larangan berikut
segala ancaman paling mengerikan.

Simaklah rubrik dan forum-forum tanya-jawab soal agama, atau uraian agamawan
di media-media massa. Yang lebih banyak kita temui di sana adalah kaidah halal-
haram dan segala tetek-bengek aturan yang tak boleh dipertanyakan. Bagaimana
agama yang demikian akan menjadi energi bagi bangsa yang sedang begini
lumpuh terbelit aneka persoalan? Problem empiris yang kompleks di bidang
politik, moral, dan hukum pun cuma dijawab simplistik dan normatif: "Terapkan
syariah, beres semua urusan!" Terhadap peristiwa seperti kecelakaan kendaraan
dan banjir, jawabnya: "Itulah kalau suka membantah aturan Tuhan."

Ketika melihat kenyataan diri yang compang-camping, buru-buru agamawan kita


mendakwakan semua musabab kepada pihak Barat, konspirasi Yahudi
internasional, dan sejenisnya. Paling banter, agama pun jadi seperti bus kota yang
kerjanya kebut-kebutan berebut "penumpang" sembari saling adu kuat melempar
cercaan. Lebih gawat lagi, agama bahkan sering digunakan sebagai pemasok
amunisi kebencian dan permusuhan. Ini semua terjadi ketika agama kita biarkan
membeku sebagai institusi.

Agama sebagai Kritik Sosial

Memang, persilihgantian peran agama sebagai sumber inspirasi dan legitimasi ini
akan terus berlangsung. Munculnya gelombang-gelombang yang disebut
reformasi dan heresy dalam berbagai tradisi adalah bukti yang tak bisa
dimungkiri. Dengan menerima dalil Max Weber dalam The Protestant Ethic and
the Spirit of Capitalism, kita mafhum betapa selain sebagai sumber legitimasi,
agama memang bisa menjadi tenaga perubahan dan transformasi. Yakni, ketika
agama berhasil memainkan perannya sebagai kritik sosial, seperti telah
diperlihatkan oleh para nabi, kaum pembaharu, dan tokoh-tokoh karismatis lain.
Dan inilah yang kita butuhkan sekarang. Agar efektif memainkan peran kritik
sosial, dalam beragama kita mesti mau berangkat dari pengalaman konkret. Dulu
Al-Quran, misalnya, disingkap ayat demi ayat guna menanggapi masalah aktual
yang dihadapi zaman dan lingkungannya. Wahyu adalah wujud komunikasi
interaktif yang amat intensif antara penghuni bumi dan Yang Ilahi. Dan iman
adalah respons dan komitmen manusia real atas persoalan-persoalan yang juga
nyata. Sebab, kebenaran memang adalah pergumulan manusia tanpa henti dengan
dunia dan makna yang dipertaruhkannya.

Akankah kini kita menyangka bahwa wahyu adalah benda asing yang diempaskan
dari langit untuk diterima begitu saja, dan kebenaran sama sekali bukanlah hasil
pencarian sulit dan panjang seperti dulu dijalani Musa, Yesus, Muhammad, atau
Sidharta? Jika ya, betapa yang kita peluk erat-erat adalah kebenaran yang penuh
kecemasan; kebenaran yang tak begitu yakin akan dirinya. Sekaligus, kebenaran
yang tak hendak dibagi dengan siapa pun. Iman kita adalah iman yang selalu
gemetar menatap sekitar. Walhasil, kita pun gagal memandang kehidupan konkret
secara wajar. Sebagai kritik sosial, agama tidaklah pertama-tama buat menghujat
dan menghardik siapa saja yang berbeda. Dalam Islam, misalnya, kritik berangkat
dari maksud amar ma'ruf nahi munkar, guna memperbaiki kenyataan, guna
menyongsong kehidupan bersama yang lebih lapang dan matang. Ia sekaligus
adalah koreksi, revisi, dan apresiasi dengan panduan visi yang terang dan terbuka.
Suatu ikhtiar yang hendak membawa kehidupan pada keleluasaan dan
ketenteraman. Jelas, kritik bukanlah semata protes, apalagi kutukan, seperti yang
acap dilancarkan sementara kelompok seperti FPI, yang membuat hidup justru
terasa sempit, pelik, dan gelap dipenuhi hantu-hantu gentayangan.

Sebagai kritik sosial, di tengah berkecamuknya konflik seperti Poso dan bayang-
bayang ketegangan hubungan antarkelompok di mana-mana, karena itu
semestinya agama adalah tenaga yang mendorong kita untuk berdialog dan
bekerja sama lintas iman demi perdamaian seperti dirintis Th. Sumartana. Di
tengah kemelaratan umat dan ketimpangan ekonomi, agama semestinya menjadi
energi pemberdayaan orang-orang pinggiran, seperti digagas Moeslim
Abdurrahman dan almarhum Romo Mangunwijaya.

Di tengah oportunisme kelompok-kelompok politik dan keserakahan kalangan


elite yang cuma memikirkan kepentingan diri sendiri, agama hendaknya menjadi
daya kritis dalam memelihara akal sehat umat seperti disuarakan Gus Dur. Di
tengah sistem pendidikan yang mandul, imajinasi sosial yang cupet, dan moral
yang membusuk, agama hendaknya menjadi api yang menghidupkan nalar,
nurani, dan harapan seperti diteladankan almarhum Nurcholish Madjid.
Terobosan-terobosan seperti itulah yang perlu kita kembangkan agar agama tidak
membeku sebagai institusi. Dengan ini, bukan berarti agama sebagai institusi
tidak penting. Sebab, institusi-institusi seperti agama inilah yang memungkinkan
anyaman kehidupan sosial kita terjalin dan bekerja. Tapi ketika agama dibiarkan
membeku semata sebagai institusi, ia menjadi berhala yang dipuja. Ia menjadi
sekadar sarana legitimasi, menjadi tameng kemalasan dan kekerdilan, bahkan
genderang perang perebutan klaim kebenaran.

Alih-alih menjadi sumber inspirasi dan energi bagi para pemeluknya buat
mengatasi aneka persoalan, ia menjadi bagian pelik dari persoalan itu sendiri.
Maka, agama sebagai institusi itu mestinya kita pandang ibarat pintu. Ia kita tuju,
untuk dilampaui. Sebab, hakikat agama pada umumnya, baik ketika dipahami
sebagai syari'ah, halakha, hodos, marga, maupun tao dan semacamnya, adalah
"jalan" (Leonard Swidler & Paul Mojzes, 2000: 8-10).

Agama dan Kekuasaan; Agama Sebagai Medium Pembebasan


Oleh : Ruslan H. Husen

Pendahuluan
Agama sebagai institusi keyakinan memiliki perangkat-perangkat yang
memberikan penjelasan dan konsepsi pada Tuhan, manusia dan alam semesta.
Dari—nya memberikan arah orientasi yang akan di capai oleh penganutnya untuk
mewujudkan konsepsi ideal itu. Dalam pencapaian tujuan itu, kadang
menumbuhkan sikap fundamentalisme dan radikalisme, sebagai konsekwensi
menghadapi tantangan dan hambatan.

Sementara kekuasaan sebagai salah satu perangkat agama, sangat di tentukan oleh
“siapa” yang menjalankan kekuasaan itu. Artinya untuk tegaknya hukum-hukum
agama perlu di topang oleh kekuasaan yang pro—hukum agama. Walhasil
pelaksanaan kekuasaan diwarnai oleh nilai-nilai kultural keagamaan. Sisi ini
merupakan penyatuan agama dengan negara dalam pelasanaan kekuasaan, di
samping sisi lain yakni pemisahan agama dan negara serta pengakuan negara
terhadapap nilai-nilai keberagamaan atau pluralisme dalam arti luas.

Agama Rakyat
Agama rakyat merupakan keyakinan yang hidup dan berkembang di dalam
masyarakat dan menjadi pendorong serta penggerak terjadinya perbaikan dan
perubahan, yang kadang dipengaruhi faktor kekuasaan. Agama rakyat itu
merupakan agama monoteisme yang melakukan perlawanan terhadap agama
multiteisme. Agama multiteisme meniscayakan dirinya sebagai pendukung
banyak kebenaran yang hakikatnya kebodohan dan kerusakan. Sebab kebenaran
dan keadilan memiliki substansi pada suatu kausa prima yang teraktualkan oleh
manusia melalui sikap dan tingkah lakunya.

Agama rakyat dalam realitasnya dalam kehidupan masyarakat selalu memiliki


banyak sisi. Artinya realitas sosial selalu dipengaruhi oleh posisi agama. Olehnya
itu, Zainuddin Maliki menuliskan bahwa tesis agama rakyat dengan melihat
fungsi-fungsinya dalam masyarakat, dapat di kemukakan berikut :

Pertama, Integrasi. Agama rakyat dalam hal ini di posisikan sebagai kekuatan
penyatu dan kekuatan tarik-menarik (kohesi) sosial. Bahwa agama berfungsi
sebagai perekat yang menyatukan dan menjaga harmoni dalam masyarakat,
meskipun menghadapi perubahan sosial dan kekacauan. Dari itu masyarakat
memiliki keyakinan dan kesadaran kolektif yang berfungsi mempersatukan sistem
sosial.

Klaim fungsional ini memang memiliki akibat, tetapi masih memerlukan


kualifikasi tertentu, sebab meski agama rakyat dalam konteks Indonesia bergerak
ke arah integrasi negara, agama rakyat ternyata secara simultan mengalami
disfungsional, sehingga justru memberikan kontribusi yang kuat bagi timbulnya
pengkotakan-pengkotan, yang di situ muncul kelompok tertentu yang
menganggap agama rakyat tidak memiliki makna selain retorika kosong dari elit
politik.

Kedua, legitimasi. Di sini agama rakyat di posisikan sebagai kekuatan legitimasi


bagi penguasa dalam menjalankan otoritas dan kekuasaannya di tengah konflik
sosial-politik dan ketidak-pastian. Antara pemimpin dan yang di pimpin
merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan sistem sosial.
Dalam hal ini karakteristik otoritas pemimpin akan menentukan legitimasi di
hadapan yang di pimpin. Karakteristik itu bisa berasal dari sumber tradisonal,
legal rasional dan kharisma pemimpin.

Legitimasi ini tidak hanya dalam hubungan penguasa dan yang dikuasai,
melainkan juga menyangkut proses suatu sistem sosial dalam memberikan
persetujuan masyarakat dan institusi yang ada di dalamnya. Bahwa agama rakyat
merupakan fenomena episodik yang muncul tatkala keadaan menghadapi krisis,
tetapi berubah kembali ketika keadaan telah normal kembali. Selanjutnya
munculnya agama rakyat mirip dengan manuver kontrol sosial oleh elit politik
dan bukan gerakan massa yang mencerminkan perjuangan rakyat dalam mencoba
mencari instrumen makna bagi kehidupan masyarakat.

Olehnya itu perlu diwaspadai ketika agama itu sekedar dijadikan sebagai
instrumen legitimasi tindakan penguasa yang tidak menggambarkan realitas sosial
yang autentik, dan di pakai tidak secara konsisten melainkan hanya secara
episodik sesuai kebutuhan elit politik ketika harus menghadapi krisis. Sebaiknya
dalam hal ini, pemimpin politik dalam masyarakat mendasarkan legitimasi
kekuasaan dan otoritasnya pada efektifitas dalam memperjuangan kebutuhan dan
kepentingan masyarakat, ketimbang mengkaitkan dengan agama dan nilai moral.

Ketiga, Profetik. Fungsi profetik agama rakyat sebagai sumber penilaian profetik
bagi sebuah bangsa. Ia memperlihatkan jarak antara potensi bangsa dan apa yang
sedang dicapainya. Sistem keyakinan dalam hal ini dibutuhkan untuk menjamin
moralitas kesatuan dalam suatu negara. Oleh karena itu diperlukan otoritas untuk
menciptakan dan menjalankan hukum yang berlaku bagi semua anggota
masyarakat. Moralitas individu yang dibutuhkan, dengan meninggalkan egoisme
dan lebih memberi simpati kepada semua manusia atas penderitaan dan
kenestapaan.

Agama rakyat memposisikan dirinya sebagai medium pembebasan atas segala


kerusakan dan kebobrokan yang menimpa termasuk dilakukan oleh penguasa.
Dalam hal ini jika penguasa merupakan pendukung status quo maka agama rakyat
menjadi pendukung perubahan yang anti kemapanan dengan orientasi nilai-nilai
humanis-transenden. Nilai-nilai profetik keagamaan menjadi orientasi ideal serta
motivasi dalam menghadapi segala tantangan dan rintangan. Walhasil terjadi di
kotomi antara agama rakyat yang pro-perubahan dengan orientasi nilai-nilai
humanis-transenden dengan pendukung realitas sosial yang rusak dan bobrok.

Agama dan Perubahan Sosial


Wacana agama dan perubahan sosial saat ini menjadi penggalan pendek sejarah
peradaban. Hubungan tersebut di bangun dari rumusan pertanyaan dan ragam
argumentasi mengenai letak agama dalam perubahan sosial. Merujuk pada Max
Weber (1864-1920), agama-lah yang berjasa melahirkan perubahan sosial yang
paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Dengan nilai-nilai
keagamaan mendorong penganutnya untuk melakukan perubahan sosial dalam
rangka melahirkan peradaban yang lebih humanis.

Sepanjang sejarah, agama berkonfrontasi bukan dengan non-agama. Agama


berjuang melawan agama. Agama monoteisme yang berdasarkan kesadaran,
wawasan cinta dan kebutuhan seseorang, primordial, kebutuhan filosofis berdiri
berhadapan dengan agama yang lahir dari kebodohan dan ketakutan.
Pendikotomian itu berdasarkan nilai-nilai ke-agamaan yang terdapat pada setiap
agama dan keyakinan. Bahwa di agama dan keyakinan itu selalu mengakui dan
meng-orientasikan diri pada keadaan yang humanis-transenden.

Setiap kali Nabi diutus kepada agama monoteisme yang merupakan agama
revolusioner, untuk bangkit dan melawan agama multiteisme, umat manusia di
seru untuk mengikuti hukum alam yang mengatur jagad raya, perjalanan
penciptaan yang merupakan kehendak Tuhan. Pada dasarnya, kewajiban agama
monoteisme adalah pemberontakan, penolakan dan kata ‘tidak’ di hadapan
kekuasaan yang lain. Sebaliknya, bertentangan dengan penyembahan Tuhan, ada
penyembangan penguasa arogan yang memberontak melawan perintah-perintah
Tuhan, yang menyeru manusia untuk melawan sistem kebenaran yang mengatur
alam dan kehidupan manusia, menimbulkan perbudakan dan berbagai macam
berhala yang mewakili berbagai kekuasaan masyarakat.

Dari sini orang-orang tertindas membentuk suatu barisan perjuangan yang belum
di selewengkan sehingga memungkinkan dilakukannya deduksi dari bagian-
bagian kitab suci agama. Perlawanan itu ditujukan pada para aristokrat yang kaya,
orang-orang serakah yang hidup dalam kemakmuran dan kemewahan, penguasa
tanpa punya rasa tanggung jawab yang jelas-jelas atas namanya sendiri maupun
dengan melindungi dirinya di bawah legitimasi agama Tuhan dan rakyat. Agama
monoteisme mengumandangkan bahwa Tuhan adalah pendukung orang-orang
yang tertindas dan tertekan. Ia menyeru rakyat untuk menegakkan keadilan.
Agama monoteisme lahir dari kesadaran dan kebutuhan terhadap cinta,
penyembahan dan kesadaran bagi rakyat. Lebih dari itu, ia berbentuk suatu
gerakan kritik melawan sejarah yang telah dirusak dan diracuni.

Perubahan sosial menjadikan gerakan yang selalu berasosiasi dengan tindakan-


tindakan yang dilakukan untuk memberikan respon atau reaksi atas kondisi
tertentu di masyarakat. Respon atau reaksi terhadap suatu keadaan, adalah respon
yang diberikan oleh agama monoteisme dalam masyarakat yang ingin mendorong
perubahan. Perubahan sosial itu diawali dengan terjadinya relasi kekuasaan atau
perubahan tata kekuasaan yang tentunya hal itu bukan akhir, tetapi awal. Artinya,
perubahan yang dimaksud bukan sekedar suatu proyek penggantian kekuasaan,
atau sirkulasi kekuasaan—melainkan suatu proses yang selalu aktif dan pro-
perubahan sehingga terwujud suatu peradaban yang humanis-transenden.

Fundamentalisme Agama dalam Konflik Israel-Palestina

oleh : NasrulAzwar

Sementara kelompok garis keras Palestina, yakni Hamas, Jihad, dan Fatah, dua
hari lalu melancarkan serangan bunuh diri yang mengakibatkan empat anggota
pasukan Israel tewas. Hamas telah memutuskan menolak berdialog dengan Abu
Mahzen sebagai reaksi protes atas KTT Aqaba (Al-jazeera, 8/6)
Eskalasi ancaman dan gerakan yang masif dari kelompok garis keras Israel-
Palestina tidak bisa dianggap remeh. Manuver-manuver dari kelompok itu sangat
efektif dan acap kali mampu menghalangi, bahkan menggagalkan kesempatan
damai. Netanyahu (1996-1999) dan Ehud Barak (1999-2001) harus
kehilangan jabatannya sebagai perdana menteri karena berani
menandatangani kesepakatan Wye River I tahun Oktober 1998, Wye River II
September 1999, dan KTT Camp David II Juli 2000.

Tidak jarang Pemerintah Palestina menerima kecaman dari dunia karena


dianggap tidak "becus" mengendalikan dua kelompok garis keras yang terus-
menerus melancarkan serangan di kantong-kantong masyarakat sipil Israel.
Seperti ungkapan "berperang demi Tuhan", "merebut tanah yang dijanjikan",
"mempertahankan tanah suci", dan lain sebagainya. Yang lebih parah lagi, mereka
akan terus menolak setiap upaya perdamaian, dengan melanggar perintah Tuhan.
Dan, konflik antara Israel-Palestina telah menyulut berkobarnya kebangkitan
fundamentalisme agama, baik Yahudi maupun Islam. Zionisme dan
fundamentalisme Yahudi Fundamentalisme Yahudi berasal dari paham Yahudi,
Talmodi (Talmodiac Judaism), yang biasa disebut juga Yahudi Rabbani
(Rabbanic Judaism) semenjak tahun 70 M. Tetapi, pada abad XIX, Yahudi
Talmodi lebih populer disebut Yahudi Ortodoks (Orthodox Judaism) atau mereka
lebih senang disebut "Yahudi yang meyakini Taurat" (True Torah Judaism).
Misalnya saja mereka yakin bahwa "Taurat bersumber dari Tuhan sehingga
bersifat statis dan abadi untuk segala ruang dan waktu". Dan jika konsep Taurat
bertentangan, maka yang harus diubah adalah situasi dan kondisi, bukan
Tauratnya. Dalam ibadah ritual laki-laki dan perempuan tidak boleh bercampur,
dan perempuan dilarang menziarahi tembok ratapan.

Yahudi adalah bangsa terpilih. Mereka juga meyakini adanya "tanah yang
dijanjikan" di Palestina, dan "kedatangan" seorang nabi Yahudi yang akan
membangun kerajaan Yahudi, dan lain-lain sebagainya (Abd Fattah Madli, 1999:
196). Dan, ketika gerakan zionisme berhasil mendirikan negara Israel di
Palestina, Yahudi Ortodoks pecah menjadi dua. Pertama, Yahudi Ortodoks yang
menerima paham zionisme dan konsep negara Israel.Kedua, Yahudi Ortodoks
ekstrem yang tidak menerima paham zionisme dan konsep negara Israel. Menurut
kelompok ini komunitas Yahudi sekarang tidak boleh mendahului takdir Tuhan
dengan terburu-buru membangun negara karena Tuhan nanti yang akan mengirim
seorang nabi Yahudi dan akan membangun kembali kerajaan Yahudi.
Penganut paham ini sangat ekstrem, radikal, dan rasis.
Seperti Baruch Goldstein yang membantai warga Muslim yang sedang shalat
subuh pada 25 Februari 1994 dan Yigal Amir yang yakin diperintah oleh Tuhan
sehingga ia lalu "mengeksekusi" PM Yitzhak Rabin. Dua kelompok Yahudi itu
memiliki wakil-wakil di Knesset (Parlemen Israel) melalui partai-partai agama,
seperti Partai Agama Nasional (Mavdal), Partai Shas, Partai Memad, dan
Persatuan Taurath Yahudi. Partai-partai agama itu menjadi "mesin"
fundamentalisme Yahudi yang menentukan lajunya politik di Israel.
Zionismesebagai ideologi resmi negara Israel yang didirikan Theodore Herzl pada
tahun 1896 lebih tepat disebut sebagai gerakan politik daripada gerakan agama.
Namun, pada akhirnya gerakan zionisme ini mengadopsi mitos-mitos teologis
Yahudi sebagai asas perjuangannya sehingga ikut membangkitkan sentimen
fundamentalisme dan radikalisme Yahudi (Roger Garaudy: 1999).
Islamisme dan fundamentalisme Islam

Fundamentalisme Islam bisa diartikan menolak ajakan-ajakan pembaruan


keagamaan dan gigih membela kemapanan (pro status quo). Mereka juga memuja
dan ingin mengembalikan kejayaan masa lalu serta memahami ajaranagama
secara rigid dan literal. Dalam kehidupan sosial yang objektif dan plural,
kelompok fundamentalisme Islam sering membawa klaim-klaim teologis yang
subjektif, seperti "Islam adalah solusi", "ajaran Islam sesuai dengan
situasi dan kondisi", dan "Islam adalah agama dan negara".
Kelompok fundamentalisme Islam ketika menjelma menjadi gerakan sosial dan
politik lalu menggunakan Islam sebagai ideologi. Dan, menghadapkan Islam
sebagai ideologi vis a vis ideologi-ideologi lain. Dalam percaturan gerakan sosial
dan politik kelompok ini disebut "Islamisme". Al-Jihad al-Islami (Jihad) mulai
dikenal luas sejak tahun 1986 meskipun ia memiliki akar sejarah hingga tahun
1971 di tangan Syekh Abdullah Darwish yang menyeru masyarakat untuk kembali

pada Islam dan meyakini Islam sebagai agama sekaligus konsep negara.
Namun, Jihad sejak tahun 1990 pecah menjadi tiga kelompok, yaitu Jihad
Palestina, Jihad Baitul Maqdis, dan Jihad Brigade al-Aqsha.
Tujuan dan strategi kelompok ini tidak jauh dari kelompok Hamas di
atas, mendirikan negara Islam dan menggunakan jihad (perlawanan fisik)
dalam menghadapi musuh daripada perundingan (Abd Jawwad, 1993: 240).

Kalau kita mencoba menilik secara jeli, tahulah bahwa antara paham
fundamentalisme Yahudi dan fundamentalisme Islam di Palestina memiliki
beberapa persamaan. Pertama, secara teologi, fundamentalisme Yahudi
mengklaim sebagai "Umat Terpilih" dan fundamentalisme Islam mengklaim
sebagai "Umat Terbaik"; fundamentalisme Yahudi meyakini bahwa Palestina
adalah "tanah yang dijanjikan", sedangkan fundamentalisme Islam meyakini
Palestina "sebagai tanah suci". Fundamentalisme Yahudi meyakini akan
datangnya seorang "nabi yang dinantikan" demikian pula fundamentalisme Islam.

REVITALISASI AGAMAWAN DALAM MANAJEMEN KONFLIK

Sekitar empat puluh orang pemuka agama ambil bagian dalam “Workshop
Penguatan Kapasitas Agamawan untuk Pemilu Damai”. Mereka berasal dari
sejumlah daerah di tanah air seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi
Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Jawa Timur. Acara yang dihelat Yayasan Tifa
bekerjasama dengan the WAHID Institute di Makassar, 18-20 Maret 2009 ini
ditujukan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan bagi para pemimpin
agama dan aktivis dialog antariman dalam mengantisipasi titik-titik rawan dan
ancaman konflik akibat pemilu. Terkait isu konflik dan proses pemilu ini peserta
mendapat banyak masukan dari paparan Didik Supriyanto Ketua Perkumpulan
Pemilu untuk Demokrasi (Perludem). Di antara titik-titik rawan di pemilu itu
menurut Didik adalah ketidakjelasan aturan hukum. Misalnya, soal penetapan
pemenang kursi yang diubah Mahkamah Konstitusi (MK) dari nomor urut menjadi
suara terbanyak. Jika ada perselisihan antar caleg (calon legislatif) maka akan
dibawa ke MA. “MK akan berdalih bahwa putusan MK adalah sumber hukum,
bukan dasar hukum,” jelasnya. Pembedaan dasar hukum dan sumber hukum inilah,
lanjut Didik, yang akan menyulut konflik. Ancaman konflik ini sayangnya, masih
menurut Didik, tidak disadari KPU dan Panwas sehingga mereka tidak
menyiapkan sarana dan prasarana untuk menghadapi konflik tersebut. Selain
ketidakpastian hukum, yang berpotensi memantik konflik adalah manipulasi suara.
Itu bisa terjadi di tingkat manapaun termasuk KPU Pusat.

“Jangan dikira tidak ada manipulasi di KPU,” tandas mantan Ketua Panwaslu
(Panitia Pengawas Pemilu) ini. Manipulasi sering terjadi karena ketiadaan saksi
dari tiap caleg yang menungkinkan suara mereka ditilep caleg yang lain. Dalam
konflik itu caleg-caleg perempuan dinilai kelompok paling rentan menjadi korban.
Sebab, masih menurut Didik, mereka tak menguasai internal partai. Mereka juga
dianggap memiliki standar moral lebih tinggi meski memiliki modal banyak.
Kelompok yang menurut Didik kebanyakan tak punya sangu cukup ini dianggap
kecil peluangnya melakukan manipulasi dan semacamnya yang bisa memicu
konflik. Peran Agamawan Forum ini memang memberi perhatian khusus pada isu-
isu agama, khususnya para agamawan dalam konteks pemilu. Sebab, seperti yang
berkembang dalam forum, konflik di level grassroot tentu saja melibatkan
masyarakat yang sebagiannya boleh jadi menjadi “konstituen” para agamawan di
masing-masing lokal. Dengan begitu, para agamawan memiliki beban moral untuk
menciptakan situasi damai dan meminimalisir ancaman konflik. Dalam konteka
beragama, Rumadi Peneliti The Wahid Institute yang juga menjadi narasumber di
workshop itu menyebut setidaknya ada tiga kelompok yang saling berjalin-
kelindan dan berpengaruh membentuk relasi sosial-keagamaan . “Yang pertama,
kelompok intelektual yang kemampuannya menyampaikan gagasan sebagai bentuk
intellectual exercise misalnya menulis di media massa,” kata dosen UIN Jakarta
ini. “Mereka memiliki kepala (gagasan, red) tetapi tidak memiliki kaki (massa,
Red.)”. Kelas kedua, lanjut Rumadi, tokoh lokal semisal pengasuh pesantren dan
khatib Jumat. Mereka mempunyai ruang untuk berkomunikasi dengan masyarakat
kapanpun. Mereka juga memiliki komunitas dan menjadi penentu karaktek
komunitas tersebut. Dengan peranan ini, tokoh lokal dapat mencegah konflik.
Namun, jika “salah asuhan”, kata Rumadi, mereka bisa memprovokasi konflik.
Kelompok ketiga, kalangan akar rumput. Kalangan ini bukan merupakan sumber
konflik tetapi merupakan penerima imbas dari kalangan intelektual atau tokoh
lokal yang diprovokasi.

Peranan yang besar terhadap konflik ditujukan kepada tokoh lokal. “Jika mereka
diberi pencerahan politik, maka kita akan mempunya semacam radar yang setiap
saat akan menyala,” tambah Rumadi. Radar ini memungkinkan pencegahan
konflik karena gejala konflik sudah dicegah sejak dini. Dalam keterkaitan dengan
konflik dan pemilu, Rumadi menyatakan, politisasi agama dan agamaisasi politik
telah menunjukkan gejala yang menurun. Kecenderungan itu ditandai dengan
semakin sedikitnya caleg yang menjadikan agama sebagai alat menangguk
dukungan politik. Agamaisasi politik atau mengkaitkan-kaitkan agama dengan
urusan pahala dan surga sudah menunjukkan tensi yang kian berkurang.
“Sekarang, partai yang hanya membuka diri untuk agama tertentu saja tidak laku,”
tambahnya. Tetapi tetap saja tokoh lokal (agama) penting. Meski tensinya tidak
naik, konflik agama yang kecil tetap timbul dan berpengaruh. Agamawan mampu
menyelesaikan masalah itu dengan simbol agama. Early Warning System Untuk
menyuntik pemahaman pencegahan konflik, Budhi Wijardjo Sekretaris Dewan
Fasilitator Institut Titian Perdamaian Jakarta yang didapuk menjadi fasilitator ikut
memberi materi terkait isu pencegahan konflik.

“Konflik perlu dicegah karena konflik dapat menimbulkan bencana,” jelasnya


kepada peserta. Bencana ini merupakan kerentanan dan bahaya yang beresiko pada
akses dan pemenuhan aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik. Dengan resolusi
konflik, lanjutnya, ada banyak manfaat yang ditangguk baik di sisi ekonomi, sosial
budaya, maupun politik. Alat pencegahannya disebut EWS (Early Warning
System), semacam radar atau alat deteksi dini terhadap konflik yang diharapkan
mampu mencegah atau mengurangi resiko konflik. Penyusunnya mereka yang
berada atau dalam indikasi menuju konflik. EWS, dalam pemaparan Budhi berisi
sejumlah konsep dan ukuran menyangkut usaha pembangunan skenario (scenario
building) untuk perdamaian yang dibutuhkan dalam peningkatan kemampuan
melihat berbagai potensi konflik sekaligus mengantisipasi berbagai kemungkinan
yang terjadi. Caranya dengan memberigambaran tentang perdamaian yang ideal di
masa depan, mengidentifikasi sejarah konflik di tempatnya masing-masing, dan
merumuskan faktor dan aktor-aktor kunci. Secara tekhnis faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap munculnya konflik ini kemudian diranking guna memeroleh
variabel signifikan, variabel dominan yang tak berada dalam kontrol pembuat
skenario tetapi sangat berpengaruh pada pencapain tujuan utama , dan
kemungkinannya untuk mencapai cita-cita membangun masyarakat damai. Setelah
semua faktor diranking dari lima sampai satu dan satu sampai lima kemudian
dipindahkan dalam bentuk kuadran untuk menggambarkan situasi yang tepat
dalam bentuk narasi.

Difasilitasi Renata Arianingtyas Program Manager untuk Isu Pluralisme Yayasan


TIFA dan Nanang Pamudji aktivis Pusat Perdamaian UGM, peserta selanjutnya
membuat diskusi kelompok dan membuat skenario membangun perdamaian sesuai
latar belakang daerahnya masing-masing. (Peranan yang besar terhadap konflik
ditujukan kepada tokoh lokal ). Para peserta yang dibagi per daerah Jawa Timur,
Maluk, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah
kemudian mempresentasikan hasil diskusi secara bergantian. Kelompok dari
Maluku Utara, misalnya, menyatakan sejarah konflik di Maluku Utara dianggap
sebagai konflik komunal yang meledak pada 1999-2001 dan konflik terkait
pemilihan gubernur tahun 2007-2008. faktor-faktor kunci pada konflik-konflik ini
antara lain peran tokoh agamawan dalam memberikan pencerahan kepada jamaah
mengenai arti penting perdamaian dan pelibatan mereka dalam kerja-kerja sosial
dalam masyarakat.

Aktor kuncinya masih menurut kelompok ini adalah MUI, pastor, pendeta, dan
kyai. Mereka juga merumusukan gambaran perdamaian ideal Maluku Utara:
terjadinya integrasi sosial di mana umat Islam dan Kristen dapat hidup saling
berdampingan dan pengakuan akan akses politik dan ekonomi yang sama. Tingkat
signifikansi paling tinggi dalam konflik di Maluku Utara adalah khutbah yang
mendukung perdamaian. Sementara itu, tingkat kepastian tertingginya yakni
pendidikan jamaah yang mampu menentukan karaktek mereka semenjak dini
(NN/WI)

Johannes Rau:

“Fundamentalisme Agama Ancaman Serius di Masa Depan”


21 Pebruari 2001

TEMPO Interaktif, Jakarta:Presiden Republik Federal Jerman, Johannes Rau,


mengingatkan bahwa fundamentalisme agama merupakan ancaman serius yang
bisa memicu konflik sosial di masa depan. “Ketika orang tidak mau lagi
mendengarkan kepercayaan orang lain dan hanya mau memaksakan
kepercayaannya kepada orang lain, di situlah ancamannya,” tegas Rau dalam
kunjungannya ke Gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa (20/2). ( Bagaimna dengan

ketimpangan ekonomi???). Agama, Ekonomi Atau


politik?
Pernyataan Rau itu dilontarkan menanggapi penjelasan Sabam Sirait, anggota
Komisi I DPR, soal konflik di Maluku yang berkepanjangan. Dalam penjelasannya,
Sabam mengatakan bahwa konflik di Maluku bukan disebabkan oleh persoalan
agama. Tapi lebih disebabkan oleh penindasan ekonomi yang dialami rakyat
Maluku selama kurang lebih sembilan setengah tahun oleh pemerintah pusat.
“Konflik itu bisa dilihat sebagai reaksi masyarakat kepada pemerintah pusat yang
telah memonopoli penjualan cengkeh selama bertahun-tahun,” tegas anggota
PDI-P ini.

Selain ingin melihat situasi Indonesia, kunjungan yang baru pertama kali
dilakukannya itu juga untuk memberikan dukungan kepada masyakarat
Indonesia dalam melaksanakan agenda reformasi dan demokratisasi.Rau
mengatakan, tak ada satu kekuatan lain yang bisa menentukan reformasi itu
kecuali masyakarat Indonesia sendiri. Namun, “agenda reformasi dan
demokratisasi yang Indonesia hanya bisa
sedang dijalankan
dilakukan bila masyarakat sudah terbebas dari
rasa lapar,” tegas Rou menanggapi pidato
sambutan Amien dan Akbar. ( Kegagalan agenda
reformasi akan memicu konflik masa depan) Ada
berapa agenda reformasi lihat di Internet???????
Jangan libatkan agama/symbol-simbol agama???
Dalam kesempatan itu selain Amien Rais dan Akbar Tandjung tampak juga
pimpinan MPR/DPR lainnya serta beberapa anggota Dewan dari masing-masing
Komisi di DPR.

(Fajar WH)
Membumikan Wawasan Multikultural di Indonesia
Agama, Pluralisme, dan Pancasila sebagai Habitus Baru
Penulis : Benny Susetyo

Pluralitas di Indonesia adalah berkah tak ternilai harganya dari Tuhan Yang Maha
Kuasa. sayangnya, manusia sering salah menerjemahkan rahmat tersebut sehingga
kerap menjadi bencana. Bukanlah Tuhan yang menganugerahkan bencana,
melainkan manusia yang memiliki cara pandang sempit (miopik) yang sering
menyelewengkan rahmat tersebut menjadi bencana. Agama dan keberagamaan
merupakan tolok ukur dan pintu gerbang (avant garde) menilai bagaimana
pandangan pluralitas ditegakkan. Bagaimana individu dan kelompok tertentu
memandang individu dan kelompok lainnya. Semangat keberagamaan yang
cenderung memuja fundamentalisme menjadi akar masalah serius seringnya
pluralitas berpeluang menjadi bencana daripada rahmat.

Keberagamaan yang demikian akan menjebak sense u-mat hanya kepada saudara-
saudara seagama (in group feeling) dan menomorduakan saudara dari agama lain.
Lahir sikap tidak objektif dalam memandang apa yang ada di luar agamanya.
Lahirlah primordialisme sempit yang akan mengakibatkan berbagai konflik sosial
politik dengan implikasi perang dan kekerasan antaragama yang
mengatasnamakan agama. Tentu perlu disadari bahwa agama yang bersifat
primordial akan selalu menegasikan aspek pluralitas. Selanjutnya, ini
menghilangkan moralitas manusia yang paling asasi. Tentu perlu kita sadari
fungsi agama adalah menolak segala macam sikap kebencian, balas dendam,
kepicikan, pembunuhan, pemaksaan, perampokan, dan kerusuhan. Fungsi agama
adalah mengembangkan sikap kebaikan, belas kasihan, solidaritas, persaudaraan
universal tanpa membedakan asal-usul suku dan budaya, ras maupun gender.
Agama tanpa fungsi semacam itu hanya akan melahirkan suatu pemujaan (cult)
belaka.

Agama dan Ancaman Konflik Sosial

(SEPAKAT, pasti semua orang mempunyai jargon seperti itu) Agama diturunkan
ke bumi ini untuk menciptakan kedamaian dan ketenteraman. Tidak pernah ada
cita-cita agama manapun yang ingin membuat onar, membuat ketakutan, suasana
mencekam, pembunuhan, sadisme dan perusakan. Sebelum adanya agama,
masyaraka dibayangkan sebagai kelompok tak beraturan, suka berkonflik, saling
membunuh, saling menjelekkan dan seterusnya. Kemudian agama datang untuk
membawa cahaya kedamaian bagi manusia di bumi ini. Agama, dengan demikian
harus kita sepakati terlebih dahulu, hadir untuk menciptakan ketenteraman, untuk
saling menghormati dan memahami satu sama lain. Ada banyak agama dan
kepercayaan di bumi ini. Logisnya, antaragama dan kepercayaan semestinya
tumbuh sikap saling menghormati itu.

Namun sayangnya, dari masa lalu hingga kini, suatu agama kerap memandang
dirinya sebagai satu kebenaran tunggal dalam memotret agama lain, demikian
pula dengan agama yang lain. Antaragama jarang menemukan titik temu atas
realitas perbedaan yang sudah semestinya niscaya ini. Lalu terjadilah konflik yang
berdarah-darah, pembunuhan korban tak bersalah atas nama agama. Sebagai
pemeluk agama yang benar-benar memanifestasikan imannya untuk kedamaian di
dunia, kita benar-benar dibuat sedih. Jika konflik atas nama agama dibenarkan,
hilanglah nurani dan hakikat agama itu sendiri. Agama tak lagi menjadi payung
perdamaian karena sudah mengalami politisasi dan fanatisme.

Dialog antaragama dan komunikasi antariman dengan demikian, akan menjadi


sesuatu yang amat berharga dalam rangka menyelesaikan konflik. Ia adalah suatu
konsep di mana penghargaan pada masing- masing keyakinan menjadi poin
utama. Logisnya, menganggap keyakinan sendiri paling benar adalah
ketidakdewasaan menghadapi dan memahami hakikat atau substansi agama.
Untuk membangun pergaulan agama-agama yang lebih manusiawi dan untuk
meredam potensi-potensi kekerasan umat beragama yang bisa muncul dari klaim-
klaim kebenaran sepihak itu, tampaknya jalan untuk mengatasinya adalah dengan
memperluas pandangan inklusif (terbuka) dari visi religiusitas kaum beragama.
( setuju dengan demikian saling menghormati harus dibuka lebar contoh yang
harus di bumikan adalah kehidupan sehari-hari kita, aturan pergaulan harus
terbuka, contoh, dipasar harus jelas ada label atau nama Kedai jual arak, kedai jual
babi ini mungkin instrument yang harus ditegakan, karena ketika ada kesalahan
umat memilih makanan terjebak dan mengakibatkan konflik. HARUS ADA
PENELITIAN?????

Humanisme, Agama dan Politisasi

Tidak bisa tidak, agar agama-agama mampu menghadapi tantangan masa depan
yang berupa globalisasi, ia harus benar-benar bersifat humanistik serta terbuka.
Artinya, ketika melakukan dialog perlu ditanamkan sebuah keyakinan bahwa
kebenaran suatu agama adalah milik masing-masing pemeluknya.

Sementara itu, penghargaan dan penghormatan atas agama lain adalah prioritas
mutlak dalam mewujudkan kebersamaan dan perbedaan. Tanpa adanya sikap
saling mengormati, tampaknya kita semakin terperosok pada keyakinan yang
membabi-buta atas agama tertentu di alam yang plural ini. Dan, kita akan terjebak
pada potensi-potensi kekerasan yang jelas-jelas menodai rasa kemanusiaan kita.
Tugas penting agama- agama adalah bersama mencari makna kemanusiaan. Yang
terjadi pada masyarakat kita selama ini adalah ketakutan mental, minimnya sikap
saling menghormati dalam beragama. Ini bertentangan dengan nilai kemanusiaan
dalam agama.

(namapakanya agama disini punya kedudukan dan kepentingan yang sangat urgen
dalam mambangun peradaban, tapi sejauhmna pemerintah merespon kepentingan
dan kegiatan keagamaan, contoh lain sikap dan moralitas segelintir orang atau
kelompok yang melecehkan agama tertentu seperti kasus Ariel, korupsi dll yang
luput dan tidak menggandenga tokoh-tokoh agama? Selain itu penggusuaran-
penggusuran dan gajih UMR yang sama sekali tidak melibatkan agama, padahal
disitu akan terjadi akumulasi sakit yang berkepanjangan dan mengakibatkan
perlawanan yang akan membonceng agama???? Ini tambahan?? Contoh lain
ketika Illegal loging agama tidak dilibatkan, tetapi untuk membangun kembali
alam yang rusak agamwan diseret2 untuk berdakwah menyelematkan bumi??
Contoh lan keberhasilan KB, pemerintah membonceng unsure agamawan dalam
mensukseskan program tersebut?? Agenda laian adalah kemiskinan?????? Dan
ketidak adilan??? Ini adalah pemicu yang sangat kuat, yang pada ahirnya akan
membawa agama juga???

Sikap agama terhadap masalah kemanusiaan, akan menjadi tolok ukur profetis
agama di tengah masyarakat. Kehilangan fungsi profetis ini otomatis
menghilangkan fungsi agama di tengah masyarakat. Bahkan, TH Sumartana
almarhum (1996) mengatakan bahwa dalam diskursus kita tentang pertemuan
antaragama, kita terpanggil bukan hanya untuk membuat agenda sosial politik dan
lainnya. Tetapi setaraf dengan itu, kita harus mengedepankan sebuah agenda
teologi sebagai kesatuan integral. ( perlu diingat ajaran agama bukan hanya ritual
dengan sang Khalik tapi agama juga ajran tentang isi perut dan kelangsungan
hidup yang sejahtera………?? Ini yang terkadang dilupakan oleh pemerintah
sehingga ulama tidak diikutkan.

Dengan demikian, tugas teologi dalam agama mestinya diarahkan untuk mengusir
rasa takut terhadap agama lain. Sehingga agenda yang sangat mendesak adalah
mengalahkan ketakutan bersama antar agama itu dan memunculkan kebersamaan
agama-agama dalam menjaga dan mempertahankan martabat manusia dari
ancaman terutama yang datang dari diri sendiri. Di masa Orba, kita sering merasa
sedih karena agama selalu mengalami reduksi dan politisasi. Doktrin agama
tentang kedamaian direduksi menjadi sebentuk fundamentalisme, yaitu hasil dari
proses politisasi dan fanatisasi agama. Di masa itu pula kita memahami bahwa
pereduksian agama akan melahirkan situasi di mana agama tertentu terjebak
dalam konfrontasi dengan kelompok agama lain. Keberagamaan kita terjebak
kepada bentuk formalisme beragama. Akibat yang memilukan adalah agama
justru terasing dari persoalan kehidupan manusia. Mengapa demikian? Hal ini tak
lain karena fungsi agama kabur. Agama yang seharusnya menjadi pembebas,
malah terjebak pada aspek romantisme formal.

(INKONSISTENSI DARI PROYEK BESAR MULTIKULTURAL, hanya


mnyentuh dan bermain-maian dalam kepentingan level kelas mnengah dan tidak
membumi, dilain pihak juga tidak menyentuh keadilan contoh kasus aril dan
korupsi serta nepotisme, seharusnya ini juga menjadi agenda dalam proyek
multikulturalisme????????). PROYEK DAN AGENDA BESAR DUNIA
BERNAMA MULTIKULTURALISME. Datang setelah dunia diambang
kehancuran ( setelah filsafat, ekonomi dan teori-teori sosiologi tidak mampu
untuk menyatukan dunia dari ancaman, maka agama dituduh sebagai pemicu
konflik……….??
HARI INI ABAD INI INTELEKTUAL DAN BIROKRASI SELURUH DUNIA
BERBICARA MULTIKULTURALISME?????

Oleh karena itu, di sini penting mengutip pendapat JB Banawiratma (1996) bahwa
dalam memandang agama kita perlu melihatnya dalam dua aspek, yakni dengan
huruf kecil dan besar. Dalam "agama" (`a´ kecil) ajaran diberikan pada manusia
untuk beriman kepada Tuhan yang memberi hidup, dan dalam "Agama" (`A´
besar) para pengikutnya cenderung membakukan ajaran-ajaran yang normatif,
membangun institusi dan memperlakukannya secara ekstrim. Ini artinya agama
yang ia yakini benar adalah benar untuk semua, dan agama yang lain salah.

Beragama secara ekstrem sebagaimana di atas akan menutup peluang sikap saling
menghormati dan membantu pihak lain. Jika kita runut ke belakang, ini terjadi
akibat tafsir-tafsir atas teks agama yang masih didominasi tafsir tekstual, bukan
kontekstual. Ayat suci agama tidak diorientasikan mengikuti perkembangan
kemanusiaan, melainkan perkembangan kemanusiaan yang harus mengikuti
aturan ayat suci. Akibatnya, pikiran kaum beragama menjadi beku dan rigid.
Segala sesuatu yang konstruktif dan membawa perdamaian, tapi jika ditafsir
secara berbalikan dengan teks ayat suci agama itu akan menjadi dekonstruktif.
APA EKSTRIMESME HANYA LAHIR DARI PERSOALAN TAFSIR AGAMA
YANG TEKSTUAL???PERLU DIINGAT JUGA MASALAH KETIMPANGAN
EKONOMI???????INI JUGA ANDIL YANG SANGAT BESAR DALAM
MEMICU KONFLIK?? UMAT ISLAM MAYORITAS TAPI MINORITAS
DALAM PERSOALAN EKONOMI?? ADA KESENJANGAN DALAM
PERATURAN PERBANKAN MUNGKIN??? HIDUP BUKAN HANYA
PERSOALAN AGAMA, TAPI URUSAN PERUT DAN KESEJAHTERAAN
LEBIH PENTING?????? BAGAIAMANA RASANYA KALAU TUJUH
TURUNAN MENGALAMI KEMISKINAN TERUS MENERUS?????

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu 21 Januari 2006


Agama Masa Depan ( Multikulturalisme Membangun Hidup Rukun dan Damai
) kajian sosiologis dari akar rumput.
( Mencari Format Baru Agama MAsa depan)
M. Dawam Rahardjo, KETUA LEMBAGA STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
JAKARTA

Dalam bukunya, The End of Faith (2005, 2004), Sam Haris mengungkapkan
bahwa sejarah agama-agama, khususnya agama Smith atau agama Ibrahim
yang menamakan dirinya agama langit, adalah sejarah konflik, peperangan,
dan pertumpahan darah. Tapi, pada abad ke-21, wajah yang sama mewarnai
agama-agama lain, misalnya konflik antara penganut agama Hindu dan
Buddha, antara Hindu dan Islam, serta antara Buddha dan Islam. Justru
itulah gejala kebangkitan agama-agama yang dimaksud oleh John Naisbitt.
Bahkan konflik internal antara mazhab Sunni dan Syiah serta antara Sunni
dan Ahmadiyah.

(Kimley. Sumber pokoknya adalah klaim eksklusif kebenaran iman atau akidah.
Memang, berbagai kasus konflik dan peperangan dilatarbelakangi kepentingan
ekonomi dan politik).

Di sini agama bukan lagi merupakan rahmat sebagaimana diklaim oleh semua
agama, melainkan telah menjadi bencana, seperti kata Kimley. Sumber pokoknya
adalah klaim eksklusif kebenaran iman atau akidah. Memang, berbagai kasus
konflik dan peperangan dilatarbelakangi kepentingan ekonomi dan politik,
misalnya di Indonesia, kasus konflik Ambon dan Maluku. Dalam kasus itu, agama
hanyalah sumber legitimasi yang dimanfaatkan demi kepentingan politik ataupun
ekonomi. Tapi mengapa agama begitu mudah dimanfaatkan? Sebab, agama itu
mengandung fanatisme dan masing-masing merasa benar serta dibantu Tuhan
masing-masing. Contoh internasional kasus palestina dan Yahudi??

Karena itu, konflik agama atau antarpenganut agama dan konflik yang melibatkan
agama selalu sulit dicarikan penyelesaiannya. Ini sangat kentara dalam kasus
konflik Poso. Hal ini terjadi lantaran konflik antarpemeluk agama itu selalu
melahirkan dendam, karena terjadinya kekejaman, bahkan ketika konflik
kepentingan ekonomi dan politik sudah memperoleh solusi yang adil. Selain itu,
perbedaan iman atau keyakinan tersebut sulit dikompromikan, sedangkan
pertentangan kepentingan ekonomi dan politik dapat dinegosiasi. Apalagi
sekarang sudah dikembangkan teori-teori resolusi konflik dalam penelitian peace-
research. Tapi metode tersebut belum bisa diaplikasikan untuk mencari
penyelesaian yang damai dan adil dalam konflik agama, karena iman itu tidak bisa
dikompromikan. Bahkan dialog antar-iman saja masih belum bisa diterima oleh
semua pemeluk agama, karena bagi mereka iman atau akidah itu tidak bisa
didialogkan. Itulah masalahnya ketika agama telah menjadi bencana.

Penyelesaian masalah agama yang telah menjadi bencana dewasa ini lebih sulit
dan lebih rumit lagi, karena berbagai konflik kepentingan ekonomi serta politik di
berbagai belahan dunia itu telah melibatkan agama. Konflik kepentingan ekonomi
dan politik tersebut selalu dibarengi dengan konflik antarpemeluk agama. Konflik
Irlandia Utara disertai dengan konflik antara penganut Katolik dan Kristen,
konflik Kashmir juga merupakan konflik Islam-Hindu. Masalah separatisme
Thailand Selatan juga dilatarbelakangi perbedaan agama Buddha dan Islam serta
masalah yang sama di Filipina telah membawa konflik Islam-Katolik. Gerakan
separatisme Maluku Selatan dilatarbelakangi oleh perbedaan Islam-Kristen, juga
masalah gerakan Papua Merdeka. Konflik separatisme Aceh ternyata dapat
diselesaikan melalui kompromi, karena tidak melibatkan perbedaan agama,
mereka sama-sama muslim. Di lain pihak, persamaan agama bisa tidak
menyelesaikan masalah, misalnya dalam kasus separatisme Kurdi, padahal suku
Kurdi ataupun bangsa Turki dan Irak sama-sama muslim. Dalam kasus ini, timbul
pertanyaan, lalu apa manfaat persaudaraan karena persamaan agama?

Mengapa agama secara potensial merupakan sumber konflik dan bencana


sepanjang waktu dan di mana saja? Pertama, agama, terutama agama Smith,
menekankan iman atau akidah yang tidak bisa dikompromikan dan tidak bisa
didialogkan. Selanjutnya, kedua akidah itu selalu mengklaim kebenaran absolut
yang eksklusif. Ketiga, agama terbesar di dunia, Kristen dan Islam, adalah agama
dakwah atau evangelis, yang bertujuan memperoleh pengikut yang sebanyak-
banyaknya. Keempat, dua agama itu cenderung berprinsip "tujuan menghalalkan
cara" (the end justify the means), misalnya dalam kasus bom. Artinya, jika
tujuannya itu dinilai benar, cara apa pun telah disucikan oleh tujuan itu, termasuk
penggunaan kekerasan, kalau perlu berperang demi mempertahankan akidah.
Kelima, dalam mencapai tujuan atau mempertahankan diri, agama pada umumnya
meminta bantuan kekuasaan dan negara. Itulah sebabnya, dalam Islamisme
diyakini prinsip kesatuan agama dan negara. Dalam kasus formalisasi syariat,
negara diperlukan untuk melaksanakan syariat sebagai hukum positif yang
sifatnya memaksa.

Karena itu, agar sikap dan pelaku agama tersebut bisa lebih teduh dan ramah,
diperlukan pembaruan cara keberagaman baru di masa mendatang. Pertama,
agama tidak lagi menitikberatkan iman atau akidah, tapi perilaku atau moral (al-
akhlaq al-karimah). ( Sesuai dengan di utusnya Rasullah misi utamanya adalah
persoalan moral) Kedua, komunikasi antarpenganut agama tidak perlu disertai
dengan klaim eksklusif kebenaran, tapi koeksistensi kebenaran atau kebenaran
yang plural. Ketiga, dakwah agama jangan menekankan kuantitas pengikut,
melainkan kualitas keberagamaan dan pembinaan komunitas. Keempat, dalam
persaingan antaragama, prinsip "tujuan menghalalkan cara" harus ditinggalkan.
Tujuan yang benar harus dicapai dengan cara yang benar pula. Kelima,
pelaksanaan ajaran agama tidak memerlukan bantuan kekuasaan yang memaksa,
dalam hal ini negara.

Jika agama masih ingin memiliki masa depan, perubahan cara keberagamaan di
atas perlu dipertimbangkan serius. Jika tidak, ramalan Sam Haris, yaitu
berakhirnya iman, perlu diperhatikan secara serius. Tapi, menurut Sam Haris,
agama formal yang melembaga sekarang memang tidak memiliki masa depan.
Dan jika kita melihat Eropa sekarang, agama formal yang melembaga akan
mengalami transformasi besar (great transformation) menjadi seperti yang
diramalkan oleh Sapdo Palon Noyo Genggong, yaitu agama budi atau agama
moral atau meminjam istilah Hans Kung, seorang pastor Katolik Jerman, etika
global (global ethics). Agama seperti itu mengimplikasikan makna agama tanpa
iman kepada Tuhan (religion without faith) atau agama tanpa Tuhan (religion
without God). Di sini indikator religiositas bukan lagi iman kepada Tuhan atau
ketaatan beribadah, melainkan moralitas atau perilaku dalam berkomunikasi
dengan sesama manusia dan alam. Orang yang berkawan dengan alam atau hidup
ramah dan damai umpamanya dapat disebut religius.

Dalam perspektif filsuf Muslim Jerman, F. Schuon, dan filsuf Syiah, Syed
Hossein Nasr, agama masa depan adalah agama perenial. Agama perenial lahir
jika agama-agama bertemu pada tingkat esensial atau hakikat. Artinya, syariat
tidak lagi merupakan inti agama seperti sekarang ini. Dalam istilah para sufi
muslim, terlahir kesatuan agama-agama (wahdatul adyan). Dalam praktek sufi,
agama adalah proses transendensi mengatasi agama-agama formal dalam upaya
memahami jati diri. Apabila seseorang telah mengenal dirinya, ia akan bertemu
dengan Tuhan.

Dalam pengertian agama seperti itu, orang tidak perlu mengklaim kebenaran.
Agama juga tidak perlu didakwahkan, apalagi dengan menggunakan pedang.
Dengan perkataan lain, agama tidak memerlukan institusi negara karena agama
tidak perlu perlindungan dari ancaman. Dalam pertemuan agama-agama itu tidak
perlu persaingan, apalagi perjuangan antaragama. Agama-agama telah mengalami
perdamaian (darr al-salam). Atau dalam bahasa Kristen, manusia telah memasuki
kerajaan Tuhan yang aman dan damai. Dalam pengertian Islam, agama-agama
telah terislamkan. Dalam keadaan seperti ini, agama tidak lagi bisa dimanfaatkan
atau dimanipulasi untuk kepentingan individu dan kelompok.

Dalam perspektif seperti itu, agama sepertinya akan mengalami transformasi


menjadi spiritualisme. Dalam situasi seperti itu, agama memang makin menjadi
urusan pribadi. Dalam perspektif Durkhemian, agama menjadi tidak fungsional
dalam perkembangan masyarakat. Padahal agama-agama di masa lalu itu selalu
berperan dalam perubahan kemasyarakatan dan merupakan tiang penyangga
penting dalam civil society, seperti dikatakan oleh Toquivile, sebagaimana ia lihat
dalam masyarakat Amerika abad ke-19. Peran ini hanya bisa terjadi melalui
agama yang melembaga sebagai bagian dari kebudayaan. Karena itu, dalam
masyarakat modern yang sekuler, peranan agama yang melembaga tetap
diperlukan. Tapi peranan itu diperlukan jika agama-agama bekerja sama dalam
mengembangkan agama publik (public religion), sebagaimana dikembangkan
dalam teologi pembebasan (liberation theology). Sebagai kekuatan pembebas dari
segala bentuk tirani, itulah peran yang diharapkan oleh masyarakat modern.
Perang Salib dan Pengaruhnya pada Hubungan Islam-
Kristen di  Indonesia

Nopember 1, 2006
Ditulis oleh Efron Dwi Poyo

Wacana Pembuk

Orang Kristen di Indonesia, pada umumnya, memandang orang Islam dengan


tafsiran sempit tentang Ismael dalam Kej 16:12. Di sini orang Islam diperikan
sebagai orang yang lakunya seperti keledai liar dan tangannya melawan setiap
orang. Perusakan dan pembakaran gedung-gedung gereja semakin memperkuat
pandangan ini terhadap orang Islam bahwa ayat tersebut adalah kutukan dan
bukan janji berkat[1].

Tony Lane, seorang lektor dalam bidang Ajaran Kristen pada London Bible
College, pernah menyatakan bahwa orang yang tidak menguasai sejarah adalah
bagaikan orang yang lupa ingatan. Pernyataannya mengandung kebenaran. Seperti
yang disebutkan di atas bahwa banyak orang Kristen menuduh bahwa sebab-
musabab ketidakharmonisan umat beragama (Kristen dan Islam) adalah pihak
Islam. Mereka lupa bahwa orang Kristen pernah melakukan perbuatan keji,
biadab, sekaligus memalukan dalam peristiwa yang disebut Perang Salib pada
abad pertengahan. Ada banyak sumber informasi untuk memahami seluk-beluk
Perang Salib. Adalah mustahil untuk menampungnya secara rinci ke dalam
makalah yang dibatasi jumlah halamannya. Namun demikian ada beberapa hal
yang dapat diungkapkan dalam peristiwa Perang Salib tersebut agar orang Kristen
dapat berefleksi diri demi kesaksian yang baik bagi kehidupan mereka di
Indonesia. Setidaknya orang Kristen tidak berat sebelah dalam melakukan
pelayanan.

Latar Belakang dan Faktor-faktor Penyebab Perang Salib

Sebagian besar pengaruh kebudayaan Islam atas Eropa terjadi akibat pendudukan
kaum Muslim di Spanyol dan Sisilia. Berasal dari sekelompok tentara pengintai
Islam menyeberang dari Afrika Utara ke ujung paling selatan Spanyol pada Juli
710. Laporan kegiatan mata-mata ini menimbulkan minat baru untuk menyerang
[2]. Pada tahun 711 pasukan penyerang yang berjumlah 700 orang [3] yang
dipimpin oleh Tariq dari Bani Umayyah menyerbu Spanyol berhasil mengalahkan
Roderick, raja Visigoth. Setelah menambah sekitar 500 orang lagi tentara Arab
berhasil menaklukkan hampir seluruh semenanjung Iberia [4]. Pada tahun 750
kekaisaran Islam di bawah kendali Bani Umayyah jatuh di tangan Bani
Abbasiyah. Pusat pemerintahan dipindahkan dari Damaskus ke Baghdad. Oleh
karena berpusat di timur, maka mereka kesukaran mengendalikan provinsi di
sebelah barat. Seorang pangeran muda dari Bani Umayyah berhasil melarikan diri
dari Maroko ke Spanyol. Di sana ia bergabung dengan salah satu faksi yang
tengah bentrok, dan atas kepemimpinannya mereka menggapai kemenangan. Pada
tahun 756 ia bergelar Khalifah Abd al-Rahman I dengan pusat pemerintahan di
Cordoba.

Spanyol Islam dianggap mencapai puncak kekuasaan dan kemakmurannya pada


masa kekhalifahan Abd al-Rahman III (912 – 961) [5]. Keberadaan negara atau
wilayah tidak lepas dari gerakan-gerakan politik di dalamnya. Gerakan politik
pertama muncul pada akhir pemerintahan Ustman bin Affan yang ditandai dengan
kemunculan Abdullah bin Saba [6]. Gerakan politik ini selalu melekat pada
pemerintahan Islam di sepanjang sejarah, termasuk di Spanyol Islam. Intrik-intrik
ini membuat Spanyol Islam mengalami pasang surut. Dunia Kristen Latin juga
merasakan pengaruh Islam melalui Sisilia. Serangan pertama ke Sisilia terjadi
pada tahun 652 di kota Sisacusa. Akan tetapi pendudukan orang-orang Arab di
Sisilia tidak berlangsung lama. Kebangkitan kembali Kerajaan Byzantium
mengakibatkan berakhirnya semua pendudukan atas wilayah-wilayah penting [7].

Pada tahun 1055 tentara Turki mulai menyerang ke arah barat, yaitu kekaisaran
Byzantium dan Siria. Mereka juga menguasai Yerusalem pada tahun 1070.
Dengan demikian daerah yang bertetangga dengan dunia Kristen dikuasai oleh
orang Islam militan. Orang-orang Kristen yang dahulu dapat berziarah ke
Yerusalem secara bebas mulai diganggu oleh orang-orang Turki. Pada abad 11
orang-orang yang hendak berziarah membentuk kelompok-kelompok besar
lengkap dengan perlindungan militer. Setelah pengaruh Romawi lenyap dari
Eropa Barat pada abad 5 wilayah ini ditimpa kekacauan. Suku-suku German yang
merebut daerah yang dahulu dikuasai Romawi mempunyai kebudayaan yang jauh
lebih rendah ketimbang kebudayaan Romawi dan Arab. Kehidupan gereja pun
terpengaruh. Mulailah senjata masuk gereja.

Misi pekabaran Injil dihubungkan dengan ekspedisi militer. Memasuki abad 11


gereja mulai melibatkan para bangsawan yang gemar berperang untuk menyerang
musuh-musuhnya. Musuh-musuh di sini adalah orang Islam dan para bidat.
Dengan demikian gereja mengatur peperangan dan menjamin kedamaian,
ketenteraman, serta keadilan. Politik ini disebut gerakan damai Allah. Para
bangsawan diberi etos khusus agar memakai keahliannya demi iman dan gereja.
Mereka menjadi tentara Kristen atau ksatria Kristen [8]. Paus mengobarkan
semangat mereka dan member jaminan pengampunan dosa. Paus berambisi untuk
menggabungkan gereja timur ke dalam kekuasaannya dan mengusir orang Islam
dari Baitul Maqdis [9]. Menurut van den End & de Jonge (2001) semangat iman,
semangat berperang, dan semangat politik bersatupadu sehingga sukar
menentukan sisi mana yang paling menonjol. Pada tahun 1050 dikenallah gerakan
perang suci, yang juga disebut Perang Salib. Disebut Perang Salib karena para
ksatria menggunakan lambang salib dari kain merah pada bahu dan dada sebagai
tanda.
PERANG-PERANG SALIB

Perang Salib I
Berawal di Sisilia pada tahun 1050 ketika orang-orang Islam diusir. Hal yang
sama terjadi juga di Spanyol. Pada tahun 1063 para tentara Salib Perancis dan
Spanyol sepakat untuk merebut kembali wilayah yang dikuasai Islam. Paus
merestui mereka. Pada tahun 1085 raja-raja Kristen di Spanyol Utara merebut
Spanyol dari tangan orang Islam. Dalam pada itu Byzantium yang terjepit oleh
Turki meminta bantuan kepada Gereja Barat. Hal ini dimanfaatkan oleh Paus
nuntuk memperluas pengaruhnya di Timur. Pada tahun 1094 Paus Urbanus II
mengimbau orang Kristen barat untuk menolong Byzantium. Melalui Sungai
Rhein dan Donau para tentara Salib dari Jerman menuju Konstantinopel sambil
membunuhi dan menyiksa orang-orang Yahudi. Kaisar Byzantium akhirnya
terpaksa tunduk kepada Paus dan Gereja Barat. Padahal pandangan Gereja Timur
terhadap perang ini berbeda dengan Gereja Barat. Bagi mereka ini bukanlah
perang suci.

Di Asia Kecil tentara Salib beberapa kali mengalahkan orang-orang Turki,


sehingga Kaisar Alexios sempat merebut kembali sebagian daerah yang hilang
setelah tahun 1071. Lalu pada tahun 1097 tentara Salib berhasil menguasai
Antiokhia dengan perjuangan berbulan-bulan dan menelan korban sangat banyak.
Tentara Salib meneruskan perjalanan ke Yerusalem dan tiba di sana pada Juni
1099. Orang-orang Kristen yang merupakan mayoritas diusir dari Yerusalem.
Mereka mengepung kota. Yerusalem berhasil direbut oleh tentara Salib. Orang
Yahudi dan Islam dibunuhi. Para pemimpin tentara Salib mendirikan Kerajaan
Yerusalem (1099 – 1187) yang juga meliputi Antiokhia, Edesssa, dan Tripoli.
Secara pemerintahan daerah ini di bawah Konstantinopel, namun gerejanya di
bawah Paus di Roma [10]. Keberhasilan tentara Salib bukanlah karena
keunggulan strategi militer. Keberhasilan mereka banyak ditentukan oleh
kelemahan orang-orang Saljuk (Turki) akibat meninggalnya Malik Syah. Orang-
orang Turki terpecah belah. Ciri khas tentara Salib ialah merusak apa saja yang
ditemuinya dan membakarnya [11].

Perang Salib II (1147 – 1149)

Malik Syah digantikan oleh Imaduddin Zanki. Ia mengumpulkan sisa-sisa


kekuatan Saljuk. Namun tak lama kemudian ia meninggal. Ia digantikan oleh
anaknya, Nuruddin Zanki. Ia berhasil menumpas pemberontakan orang-orang
Armenia. Kemenangan ini membuat orang-orang Eropa Barat bangkit lagi
hasratnya untuk kembali ke dunia Timur [12]. Seorang rahib termasyur pada
zaman itu, Bernard dari Clairvux, menghasut dan mengobarkan semangat Perang
Salib kepada orang-orang Eropa Barat. Yang memimpin tentara Salib adalah raja
Perancis, Louis VII dan kaisar Jerman, Konrad III. Di sini jelas sekali faktor dan
motif politik semakin menonjol [13]. Namun usaha mereka gagal untuk
menguasai Damaskus dan Askalon, karena dipatahkan oleh pasukan Nuruddin
Zanki [14].
Perang Salib III (1189 – 1192)

Perang ini berawal dari kekalahan tentara Salib di Palestina dekat Tiberias
(1187) dan penaklukan Yerusalem oleh Sultan Saladin dari Mesir. Tentara Salib
dipimpin oleh kaisar Jerman, Friedrich III, Barbarossa, bersama dengan raja
Inggris, Richard, dan raja Perancis, Philippe II. Raja Richard berhasil merebut
kota Akko dan ia juga mengikat perjanjian dengan Sultan Saladin. Isi
perjanjiannya ialah orang-orang Kristen diperbolehkan tinggal di daerah pesisir
antara Tyrus dan Jaffa, serta para peziarah diperbolehkan mengunjungi Yerusalem
secara bebas [15].

Perang Salib IV (1202 – 1204)

Paus Innocentius III (1198 – 1216) ingin menguasai Mesir dan mengirim tentara
Eropa Barat untuk menyerang Mesir. Ekspedisi ini dibiayai oleh pemerintah
Venesia. Pasukan ini ternyata tidak pernah tiba di Palestina. Kekuatannya
dipergunakan untuk menghancurkan pesaing perdagangan Venesia, yaitu
Konstantinopel. Tentara Salib akhirnya menduduki dan menjarah kota
Konstantinopel, lalu dijadikan kekaisaran yang takluk pada Gereja Roma [16].

Perang Salib V (1218 – 1221)

Perang Salib ini cukup singkat. Sebelumnya Paus Innocentinus III mendorong
usaha serangan militer ke Mesir. Paus penggantinya, Honorius III, meneruskan
usaha ini. Tentara Salib berhasil menguasai kota Damietta di pantai Mesir (1219).
Akan tetapi pada tahun 1221 kota terpaksa terlepas lagi. Pada masa inilah
Fransiskus dari Asisi memulai usahanya untuk mengabarkan Injil kepada sultan
Mesir, Al-Kamil [17].

Perang Salib VI (1248 – 1254)

Pada tahun 1244 Yerusalem diduduki kembali oleh tentara Islam. Raja Louis IX
melakukan Perang Salib dan menyerang Mesir. Pada tahun 1249 kota Damietta
diserbu, namun Louis IX gagal, dan bahkan menjadi tawanan perang. Ia berhasil
dilepaskan setelah ditebus dengan banyak uang. Ia pulang ke Perancis pada tahun
1254 [18].

Perang Salib VII (1270)

Antara tahun 1250 dan 1254 Raja Louis IX tinggal di Tanah Suci untuk
membangun ulang kubu dan kekuasaan lewat usaha diplomasi, karena merasa
gagal lewat perang. Berkat status dan wewenangnya ia berhasil menjadi penguasa
di Kerajaan Yerusalem [19]. Sebelumnya ia sempat merebut kota Damietta di
Mesir pada tahun 1249 (Perang Salib VI). Namun ketika menuju Kairo
pasukannya dipukul mundur dan terserang penyakit pes. Ia sempat ditawan dan
dibebaskan sebulan kemudian. Pada tahun 1270 Louis IX kembali memimpin
penyerangan ke Tunisia. Namun ia meninggal karena terserang penyakit pes [20].

Sultan Baybars merupakan orang pertama di antara para sultan yang berhasil
menghancurkan kekuatan tentara Salib. Ia adalah keturunan Mameluk dari Mesir.
Pada tahun 1262 ia membangkitkan massa Saladin untuk kembali ke Asia Barat.
Sebuah kota dan benteng yang dikuasai oleh tentara Salib direbutnya kembali,
sehingga pada tahun 1286 kota Jaffa dapat juga ditaklukkan. Penyerangan
berikutnya diteruskan ke Utara untuk merebut Antiokhia. Pada tahun 1289 Tripoli
di Lebanon direbutnya juga. Pada tahun 1291 Akko, sebuah kota terpenting
kekuatan tentara Salib, dapat ditaklukkannya. Sejak saat itu masa tentara Salib
habis di seluruh benua Timur [21].

Akibat Perang Salib pada Gereja dan Islam di Eropa dan Timur Tengah
Nyatalah bahwa tentara Salib tidak membawa damai, tetapi pedang; pedang itu
adalah untuk memotong-motong dunia Kristen. Ketidaksetujuan doktrinal yang
telah berlangsung lama dipaksakan kepada Gereja Timur oleh kebencian nasional
yang mendalam [22]. Perang Salib memang tidak memberikan maslahat apapun
bagi orang-orang Kristen di Timur Tengah. Di mata tentara Salib orang-orang
Yakobit, Koptik, Melkit, dan Nestorian merupakan orang-orang yang
menyimpang dari ajaran yang benar [23].

Setiap terjadi Perang Salib orang-orang Kristen asli Timur Tengah didera
penderitaan. Terjadi pembunuhan besar-besaran, baik atas orang-orang Islam
maupun orang-orang Kristen asli, seperti yang terjadi di Antiokhia (1098 &
1268), Yerusalem (1099 & 1244), Caesarea (1101), Beirut (1110), Edessa (1146),
Tripoli (1289), Akha (1291), dan Aleksandria (1365). Setelah pengusiran
orang-orang Kristen Barat, orang-orang Kristen asli di Mesir, Siria, dan
Armenia terkena getahnya. Orang-orang Kristen tidak lagi dipercaya oleh
penguasa-penguasa Islam. Sikap toleran terhadap orang-orang Kristen juga
meluntur dan jurang antara kaum Kristen dan Islam diperdalam. Perang Salib
mempercepat kemunduran Gereja Timur [24].

Bagi dunia Islam Perang Salib berakibat memantapkan penguasaannya terhadap


wilayah-wilayah yang telah didudukinya dan mengusir tentara Salib. Namun
demikian dapat dikatakan mudarat yang didapatkan justru lebih banyak, karena
bagi kaum Islam wilayah-wilayah tersebut memang sudah lama mereka kuasai.
Tidak ada yang baru dalam hal ini. Tidak ada hal yang baik pada tentara Salib
yang dapat dipetik oleh orang Islam. Moral mereka bejat. Mereka memeras kawan
dan lawan serta menyembelih keduanya tanpa ampun. Menurut Gustav Lebon
yang dikutip oleh Al-Wakil fakta tersebut tidak dapat dipungkiri oleh siapapun
dari bangsa Eropa. Hal ini masuk di akal karena pada umumnya tentara Salib
berasal dari pengangguran, penjahat, dan rakyat jelata. Tidak ada yang dapat
diharapkan dari tentara Salib selain pembunuhan manusia tak berdosa,
perampokan, dan pelanggaran kehormatan [25].
Citra orang Kristen Barat berbeda sekali dengan citra orang Kristen Timur di
mata orang Islam. Orang Kristen Timur dihormati sebagai orang-orang
berkebudayaan tinggi, sedang orang-orang Kristen Barat dianggap biadab.
Ironisnya penyerangan tentara Salib dilakukan dalam nama Kristus, Raja Damai.
Sejak zaman itu agama Kristen dihubungkan dengan kekerasan. Sejak zaman itu
juga kata salib bagi orang yang berbahasa Arab menimbulkan emosi peperangan.
Kesan yang ditimbulkan orang-orang Kristen pada zaman itu tidak pernah
dilupakan. Bagi orang Kristen tahun 1100 – 1300 merupakan masa yang sudah
lewat. Akan tetapi bagi orang Islam, yang mempunyai pandangan tentang sejarah
menurut Timur [26], zaman itu bukanlah zaman yang telah lewat, namun masa
yang mengerikan yang selalu dapat muncul kembali [27].

Pertikaian antara Gereja Barat dan Timur menciptakan rumpang (gap) antara
keduanya. Sikap Paus dan tentara Salib terhadap Gereja Timur sangat menyakiti
perasaan. Perasaan ini diperkuat ketika tentara Salib menduduki Konstantinopel
pada Perang Salib IV. Peristiwa itu juga mempercepat kemunduran kekaisaran
Byzantium dan mengakibatkan penaklukan kota ini oleh tentara Otoman pada
tahun 1453 [28]. Tentara Islam menguasai Konstantinopel justru karena mendapat
maslahat dari kebijakan Gereja Barat terhadap Gereja Timur [29]. Dalam pada itu
bagi Eropa Barat dan gerejanya secara politik-militer Perang Salib tidak
bermaslahat sama sekali. Tidak ada satu daerah pun yang pernah dikuasai dapat
dipertahankan. Dengan demikian tujuan Perang Salib untuk merebut Tanah Suci
dari orang-orang Islam gagal dicapai. Namun demikian raja-raja dan penduduk
kota-kota di Eropa Barat memetik maslahat dari Perang Salib. Kedudukan raja
makin kuat dan tidak sekadar bangsawan. Penduduk kota merasa lebih bebas,
karena para bangsawan sibuk berperang sehingga tidak sempat menjalankan
pemerintahan kota. Hubungan dagang dengan dunia timur menjadi lebih intensif.
Pada bidang kebudayaan Perang Salib berarti perjumpaan antara dunia yang
biadab dan dunia yang berkebudayaan tinggi. Orang-orang Islam tidak belajar
suatu apapun dari tentara buas. Sebaliknya yang diterima oleh Barat makin
banyak. Orang Barat memperoleh ilmu filsafat dari orang-orang Arab, yang
sebenarnya dipengaruhi oleh filsafat Yunani.

Bagi gereja sendiri Perang Salib membawa perkembangan baru dengan


terbentuknya ordo-ordo baru rohani. Ordo pertama yang lahir ialah ordo-ordo
ksatria rohani yang didirikan di Tanah Suci untuk melayani orang-orang yang
menderita luka atau penyakit dan untuk melindungi orang-orang yang berziarah.
Ordo-ordo ini menggabungkan cita-cita militer dengan cita-cita rohani. Sebagai
akibatnya kekerasan masuk dalam gereja. Senjata diterima sebagai alat untuk
mempropagandakan iman dan memberantas orang-orang yang mempunyai ajaran
yang berbeda dengan ukuran ajaran Gereja Roma. Dalam pada itu semangat iman
juga tumbuh pada orang-orang yang tidak terlibat dalam Perang Salib. Masyarakat
Eropa Barat banyak mendapat-kan cerita ajaib dari orang yang pulang dari ziarah
ke Tanah Suci. Selain semangat melawan orang-orang Islam dengan pedang
semangat untuk melawan mereka dengan firman mulai muncul juga. Orang mulai
mempelajari bahasa Arab dan ajaran Islam untuk melawan Islam dengan jitu. Di
sini terletak akar-akar pekabaran Injil dengan cara baru, yang dilakukan oleh Ordo
Dominikan, Ordo Fransiskan, kemudian juga Serikat Jesuit dengan mendirikan
biara di daerah pedesaan.

Sejajar dengan perkembangan ini orang-orang Kristen mulai tertarik pada Yesus
sebagai manusia, seperti misalnya mistik Bernard dari Clairvux dan Fransiskus
dari Assisi. Mistik diarahkan kepada Kristus yang hina dan menderita. Namun
demikian ada juga orang yang mulai menisbikan iman Kristen. Mereka ternyata
mengetahui adanya agama lain dengan kebudayaan tinggi. Penganutnya tidak
hanya sanggup berperang dengan baik, tetapi juga menghormati orang lain.
Beberapa kali mereka melepaskan raja atau bangsawan yang tertangkap. Menurut
kebiasaan waktu itu seorang tawanan harus membayar sejumlah uang tebusan.
Akan tetapi selama dalam masa tawanan mereka diperlakukan dengan baik dan
dengan segalahormat [30].

Pengaruh Islam pada ilmu dan teknologi terhadap bangsa Eropa sangat murad
(significant). Dari teknologi pelayaran, pertanian, sampai pada matematika,
astronomi, kedokteran, logika, dan metafisika [31]. Akibat pengaruh itu
orang-orang Eropa terdorong untuk mencari jalan lain ke Timur Jauh, daerah
penghasil rempah-rempah dan kain sutra. Hal ini mereka lakukan supaya tidak
bergantung lagi pada dunia Islam.

Pengaruh Perang Salib pada Hubungan Kristen-Islam di Indonesia


Ketika agama Kristen masuk ke Nusantara pada abad 16 sudah banyak penduduk
yang memeluk agama Islam. Islam sendiri datang pada abad 9 – 10 melalui para
pedagang Muslim India, Arab, dan Persia. F. L. Cooley, yang pada tahun
memimpin penelitian hubungan Islam dan Kristen di Indonesia, mengatakan sejak
awal kedatangannya kedua agama itu sudah diwarnai oleh suasana kurang baik.
Sebelum masuk ke Nusantara kedua agama itu telah terlibat persaingan,
konfrontasi, dan konflik di Asia Barat, Afrika Utara, dan Eropa Barat.
Pengalaman konflik dan persaingan antara masyarakat kedua agama tersebut
memerikan (describe) sikap dan perasaan negatif satu sama lain, sehingga hal itu
terbawa juga ketika kedua agama itu masuk ke Nusantara [32].

Sebenarnya sikap pemerintah Hindia-Belanda terhadap agama Kristen bermuka


dua. Pada satu pihak pemerintah seringkali mempersulit atau melarang pekabaran
Injil, sedang pada pihak lain, terutama sesudah tahun 1900, pekabaran Injil
disokongnya. [33] Oleh karena eratnya hubungan antara pemerintah kolonial dan
kegiatan penginjilan, maka pelaksanaan misi mendapat banyak kendala di
kalangan umat Islam. Kristen dipandang sebagai agama penjajah Barat yang
menindas. Citra orang Barat dalam Perang Salib masih menghantui umat Islam,
yang memang diwartakan demikian oleh penyebar agama Islam.
Setelah berakhirnya pemerintahan kolonial ketegangan hubungan umat Islam dan
Kristen mencuat lagi. Ini terjadi pada saat pembahasan UUD 1945 dan pada siding
Konstituante hasil Pemilu 1955. Pada tahun 1971 pemeluk agama Kristen melejit
menjadi 7,4%, jika dibandingkan tahun 1931 yang hanya 2,8%. Hal ini terjadi
karena pemerintah orde baru mewajibkan penduduk untuk memeluk salah satu
agama yang diakui negara. Banyak orang bekas anggota PKI yang memilih
Kristen ketimbang Islam. Sebagian kalangan menduga jumlah itu mencapai dua
juta orang. Peristiwa ini mengundang kecurigaan tokoh Islam dengan menuduh
pemerintah orde baru memberikan keleluasaan bagi penyebaran agama Kristen.
Kalangan Islam juga sangat berkeberatan dengan cara-cara misionaris
menyebarkan agama Kristen yang dianggap mengintervensi keimanan umat Islam.
Cara mereka ialah mendatangi dari rumah ke rumah dan membangun banyak
gereja di kawasan Muslim. Bahkan ada yang mendatangi H.M. Rasjidi, menteri
agama waktu itu. [34]

Pekabar Injil yang bertugas di Indonesia tidak saja dari Indonesia sendiri,
namun juga dari Eropa dan Amerika Serikat. Pekabar Injil asing datang ke
Indonesia dalam jumlah besar pada awal pemerintahan orde baru, ketika
pemerintah menganjurkan para simpatisan PKI memilih agama yang sah dan
diakui. Bagian terbesar memang memilih Kristen. Bantuan dari luar negeri bukan
saja dalam bentuk tenaga, tetapi juga dalam bentuk dana yang besar. Banyak dari
mereka berasal dari kalangan Injili dan fundamentalis. Mereka sangat agresif
dalam melakukan penginjilan, yang bahkan tidak empan papan. Dengan bantuan
dana yang besar itu mereka membangun banyak gereja di tempat-tempat strategis.
Selain itu mereka melakukan kegiatan social kepada masyarakat miskin, yang
tujuan utamanya agar orang miskin tersebut berpindah agama. Suasana ini
diperparah lagi dengan banyaknya warga keturunan Tionghoa yang masuk Kristen
aliran Injili dan fundamentalisme. Di sinilah konflik keagamaan bercampur
dengan konflik etnis. Konflik keagamaan timbul akibat kegiatan misi yang
dilakukan secara agresif tanpa mempertimbangkan perasaan umat Islam. Tidaklah
heran jika terjadi konflik antar umat beragama, maka dampaknya terjadi juga
perusakan toko-toko milik keturunan Tionghoa.

Semangat tentara Salib yang berperang demi agama masih banyak mewarnai para
pekabar Injil. Bagi mereka kebenaran mutlak hanya ditemukan dalam agama
Kristen, sedang agama lainnya sesat. Pada suatu acara Pengajian Injil (Bible
Study) yang diselenggarakan oleh Institute for Syriac Christian Study (ISCS)
pada tanggal 7 Desember 2001 di Jakarta penulis sempat berdebat dengan peserta
dari kalangan fundamentalis. Salah satu pokok yang diperdebatkan bahwa Allah
orang Kristen berbeda dengan Allah orang Islam. Menurutnya Allah orang
Kristen adalah YHWH. Penulis hanya menjawab, pertama, bahwa jika Allah
orang Kristen dan orang Islam berbeda, maka orang itu suka tidak suka menganut
politheis,karena ada dua Allah di sana. Kedua, Yesus Kristus dan para rasul
sendiri tidak mempertahankan nama YHWH dalam pengajarannya. Menurut
penulis orang seperti itu tidak sedikit jumlahnya di Indonesia. Jika gerakan
mereka tidak dibendung, maka akan menjadi batu sandungan bagi kerukunan
umat beragama di Indonesia, dan tentu saja mereka malah akan menghambat
penyampaian Kabar Baik.
Perenungan

Walaupun Indonesia sudah merdeka lebih daripada setengah abad, ternyata


kerukunan umat Kristen dan Islam masih merupakan cita-cita. Memang di sana-
sini sudah dilakukan upaya pembenahan, namun belum menyentuh lapisan
terbawah dan yang pasti masih belum dapat menghilangkan trauma Perang Salib.
Beberapa tahun terakhir ini gencar dilakukan dialog antara umat Kristen dan
Islam. Hasilnya cukup menggembirakan, karena pelaku dialog sudah dapat
memahami iman yang berbeda. Kendati demikian dialog ini sangat terbatas di
lingkungan intelektual (teolog). Pembenahan diri untuk meningkatkan kerukunan
umat Kristen dan Islam memang seyogyanya dilakukan oleh kedua belah pihak.
Akan tetapi umat Kristen tidak patut menuntut terlalu banyak umat Islam, karena
sudah sepatutnya umat Kristen / gereja menggagas pembenahan dirinya sendiri.
Salah satu yang perlu dibenahi adalah paradigma pelayanan.

Istilah pelayanan atau melayani paling banyak digunakan gereja di samping


istilah mengasihi. Orang pada umumnya mengartikan pelayanan adalah pelayanan
kepada Tuhan, yang kemudian berkonotasi ibadah, kebaktian, dan doa. Dengan
kata lain pelayanan bersifat kerohanian. Namun demikian pelayanan juga bukan
melulu ke arah horisontal yang meliputi etika. Melayani yang benar adalah
melayani seperti Yesus melayani. Banyak sekali contoh di dalam Alkitab tentang
pelayanan Yesus. Yang disoroti dalam tulisan ini ialah pelayanan Yesus pada
Markus 8:1-10. Perikop tersebut seringkali tenggelam dengan cerita Yesus
memberi makan kepada 5.000 orang yang terdapat dalam Mat 14:13-21, Markus
6:30-44, Luk 9:10-17, dan Yoh 6:1-13.

Ada perbedaan hakiki pelayanan Yesus pada Markus 8:1-10 dan keempat perikop
tersebut di atas. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari sisi geografis.
Pemberian makan kepada 5.000 orang terjadi di wilayah Palestina, yaitu di
Galilea, sedang pemberian makan kepada 4.000 orang (Markus 8:1-10) terjadi di
luar wilayah Palestina, yaitu Dekapolis. Daerah itu banyak dihuni oleh orang
Yunani perantauan. Para murid Yesus sebelumnya sudah menyaksikan bagaimana
Ia memberi makan 5.000 orang. Suasana yang mirip terjadi juga di Dekapolis,
tetapi para murid tetap saja tidak peka. Mereka berpikir Yesus tidak akan memberi
makan, karena orang-orang itu bukan orang Yahudi. Ternyata mereka keliru.
Yesus memberi makan kepada 4.000 orang itu atas dasar belas kasihan, yang
bukan sekadar kasihan. Orang-orang itu dikenyangkanNya. Jelas sekali di sini
Yesus melayani tanpa pamrih. Tidak ada cerita tentang pertobatan atau mereka
menjadi pengikut Yesus. Malahan setelah mereka kenyang Yesus menyuruh
mereka pulang (ay. 9).

Dari teladan pelayanan Yesus semestinya gereja bercermin pada ini. Melayani
melewati batas golongan sendiri mestilah tanpa strategi untuk menjadikan mereka
anggota kelompok. Pelayanan mestilah serbacakup (comprehensive). Pelayanan
serbacakup mestilah menyentuh orang yang tidak seagama. Jika tidak, itu
bukanlah alkitabiah; suatu istilah yang justru acapkali ditekankan di kalangan
gereja tertentu. Orang-orang Kristen masih berpikiran bahwa pewartaan Kabar
Baik berarti meluaskan atau menambah anggota jemaat. Memang itu ada
benarnya. Namun bukan itu hakikatnya. Gairah untuk menambah anggota jemaat
menyebabkan orang Kristen banyak melakukan berbagai usaha untuk menarik
perhatian masyarakat. Usaha ini bukanlah pengungkapan kasih, karena
bagaimanapun juga ada pamrihnya, karena agar orang lain tertarik menjadi
Kristen. Tidaklah heran jika pihak Islam menuduh itu kristenisasi dengan iming-
iming.

Kita dapat saja melayani secara nyata dengan melakukan berbagai kebajikan
dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat, tanpa perlu mengorbankan
prinsip kesaksian Kristen. Umat Islam merupakan kelompok terbesar di
Indonesia. Peningkatan taraf hidup dan pengentasan kemiskinan tentunya dapat
dilaksanakan jika kelompok terbesar itu ikut terlibat. Jika orang Kristen memang
benar-benar melayani tanpa pamrih dalam rangka hal itu, lalu memang terjadi
peningkatan taraf hidup masyarakat lokal, tentunya dengan kehendak sendiri
mereka akan bertanya-tanya mengapa orang Kristen melayani mereka tanpa
pamrih. Dengan demikian kita sudah memberi tempat bagi Roh Kudus untuk
bekerja. Kita mesti membuat agama (Kristen) lebih membumi, lebih mengikuti
akal sehat, yang tidak hanya terampil ngeyel dan ngotot mengenai doktrin, yang
saking militannya tanpa sadar menempatkan doktrin itu di atas Alkitab, bahkan
Allah. Kita mesti lebih peduli pada kebutuhan nyata manusia, membuat kehidupan
lebih manusiawi, lebih rendah hati untuk tunduk pada norma-norma etika.
Beragama bukanlah untuk urusan vertikal saja, yang menekankan gatra (aspect)
ritual dan kemurnian ajaran. Keluhuran ajaran agama mestilah dipraktikkan secara
nyata untuk mengembangkan wawasan dan kepedulian terhadap kemanusiaan,
kemiskinan, keadilan, demokrasi, dan lain sebagainya.

5 Komentar

1. Saya setuju kalo perang Salib berperan cukup besar dalam menciptakan
“ketidakharmonisan” hubungan Islam Kristen secara umum. Hanya saja
saya rasa kalo kita bicara dalam lingkup keIndonesiaan (kondisi yang ada
di Indonesia) maka penjelasan yang lebih dekat memang peristiwa
G30SPKI termasuk peristiwa-peristiwa pendahulunya tentu saja. Itu juga
sudah anda tulis dalam tulisan di atas biarpun sedikit. Masalah hubungan
konflik Islam Kristen di Indonesia dengan PKI ini kurang lebih begini
ceritanya : Pada masa lalu di zaman Soekarno lah – ada persaingan dari
berbagai partai politik yang bisa kita kelompokkan menjadi 3 kelompok
yaitu Nasakom itu Nasionalis, Agama , Komunis yang memang
diakomodasi oleh Pak Karno. Di parlemen persaingan itu begitu sengit
terutama antara yang agama (yang tentu saja diwakili Islam karena Islam
adalah mayoritas) versus komunis. Anda saya rasa tahulah alasannya
karena atheis dan theis tentu saja berada di sisi yang berseberangan.
Persaingan kelompok yang lain/perbedaan yang lain tentu juga ada
misalnya antara Nasionalis dan Komunis karena Nasionalis itu terikat
dengan Nation atau kebangsaan sedangkan Komunis kan pola pikirnya
bukan kebangsaan tetapi cita-citanya membentuk poros komunis
internasional. Tetapi konflik ini tidak sebegitu besar bila dibandingkan
konflik partai Agama(Islam) vs komunis karena orang-orang PKI juga
mengidentikkan diri mereka dengan Nasionalis karena sungkan sama
Presiden Soekarno.

Persaingan antara partai Islam dan Komunis di level atas di tindaklanjuti


PKI ditindaklanjuti oleh PKI di level-level bawah. PKI membuat banyak
mobilisasi massa, menyerbu pesantren merebut tanah para Haji, tanah
pondok pesantren dan membagibagikan tanah tersebut kepada
rakyat(pengikutnya). Tentu saja PKI memakai isyu-isyu sosial yang
menarik rakyat dalam melakukan aksi mereka itu. Konflik antara santri
Islam dan massa PKI terjadi di mana-mana. Kita tahu PKI termasuk partai
besar pada jaman Soekarno bahkan kalau nggak salah masuk 4 besar. PKI
juga merasa cukup terlindungi pada jaman Soekarno karena konsep tiga
kaki atau Nasakomnya Soekarno dirasa cukup menguntungkan eksistensi
PKI. Jadi jauh sebelum G30SPKI terjadi telah terjadi konflik laten
sekaligus meledak-ledak di akar rumput antara massa santri dan massa
PKI.

Kemudian kita tahu : PKI yang merasa sudah cukup kuat akhirnya
melakukan penculikan beberapa Jendral yang kita kenal dengan G30SPKI.
Karena sebagian jendral-jendral AD dianggap tidak mendukung PKI.
Ending G30SPKI ternyata antiklimaks bagi PKI karena secara umum TNI
ternyata cukup kuat. Kekuatan militer PKI di mana-mana di preteli setelah
tentara PKI kalah dalam pertempuran di daerah lubang buaya.

Selain dilakukan oleh tentara, pelucutan dan penghancuran PKI juga


dilakukan oleh massa terutama massa santri. Mengapa ? Ya tentu saja
karena sejak awal mereka sudah bertentangan bahkan sering konflik.

Massa PKI bercerai berai tidak karuan karena sudah nggak punya backing
lagi. Mereka mencari tempat berlindung. Di mana mereka berlindung ?
Yang paling logis ya di gereja-gereja. Dengan berlindung di gereja massa
PKI punya beberapa keuntungan pertama pertama nggak dianggap ateis,
mereka kini dianggap masuk ke kelompok agama juga bukan lagi komunis
yang atheis, mau masuk Islam rasanya kan nggak mungkin karena mereka
sejak awal justru bermusuhan keras dengan santri-santri Islam. Kedua : ya
lumayanlah punya backing sedikit karena Kristen kan agama yang cukup
besar meskipun tentu saja kalah besar bila dibandingkan Islam. Tetapi
solusi praktis massa PKI pada waktu itu ya berlindung ke gereja atau ke
Kristen karena mereka nggak punya banyak pilihan lain.
Gereja mau melindungi orang-orang PKI tersebut karena selain alasan
yang keluar yaitu missi kemanusiaan atau alasan melindungi orang yang
memang meminta perlindungan, tentu saja alasan praktis lainnya adalah
karena orang Kristen juga butuh umat juga.

Karena massa PKI cukup banyak pada waktu itu dan kebanyakan mereka
berlindung ke gereja bahkan masuk agama Kristen, bahkan ada juga yang
pindah agama dari Islam ke Kristen (tidak semua PKI terang-terangan
mengaku tidak beragama ) – tentu saja peristiwa ini direaksi keras oleh
kelompok-kelompok Islam. Kelompok Islam marah melihat kondisi
tersebut karena Kristen pada waktu itu dianggap melindungi musuh Islam,
serta Kristen dianggap telah merebut umat dengan cara-cara yang tidak
gentlemen. Konflik Islam Kristen pun terjadi cukup besar dan merebak di
mana-mana. Dan bekas=bekasnya tentu juga masih tersisa sampe
sekarang.

2. Wah, cukup berbobot ttp sebagian materi belum benar dan


mendiskreditkan umat kristriani. Mengarahkan pembaca dgn cara pikir
penulis. Thanks.

3. G30S BUKAN PEMBERONTAKAN PKI


Permadi SH (50 tahun Merdeka & Problema Tapol/Napol, 1995, hal 59)
dalam Seminar Sehari di YLBHI pada 28 Januari 1995 mengemukakan
“Saya kesulitan menjawab pertanyaan anak-anak muda sekarang. Kalau
memang PKI itu berontak, berontak terhadap siapa? Sebab pemerintah
waktu itu yang dipimpin Bung Karno menguntungkan posisi mereka.
Kemudian berapa orang yang dibunuh PKI? Benarkah PKI punya bedil
dan membunuh orang-orang lain, kecuali yang 7 jenderal dan beberapa
kolonel dan lain sebagainya dan itu pun masih dipertanyakan: apakah PKI
atau tentara sendiri yang membunuhnya.

4. Untuk masalah perang salib saya yang belajar kristen tetep bilang perang
bodoh oleh orang kristen yang gak ngerti apa itu kristen, meski lawannya
islam yang di pastikan bertentangan dengan kristen semenjak zaman
Muhamad, tapi perang itu bunuh diri yang konyol tanpa melihat situasi
dan tirani tanpa perhitungan wilayah dan keadaan pendek kata ke 2 belah
pihak sama2 bodoh

saya setuju dengan netral masalah sejarah indo kusus nya kejadian
G30SPKI itu tidak bisa dilihat dari rekayasa sejarah oleh pemerintah yang
ada saat ini ^^ masalah dalih atheis bertentngan dengan theis … itu pun
bukan masalah, kalo islam dan atheis itu yang masalah ^^
coba lihat keadaan saat ini ada blog yang dirasa menghujat islam langsung
tutup, ada blog yang menghujat buddha, atau kristen di biarin, atau UU
pornografi hhehehe itu satu diantara produk penentangan islam terhadap
lingkungan ^^……. hal itu sama konteksnya dengan jaman itu kala
menentang atheis dengan dalih pemberontakan ….. waduh maap ngantuk
berat … kapan2 di lanjut ya ^^
5. Lanjutan ceritanya gimana?
Berabad kemudian ketika Tentara Prancis mendarat di sinai, tentara
muslim lokal bertanya-tanya “Apa ini kelanjutan perang salib?” Tapi
ternyata bule-bule ini mewakili perancis sebagai Tentara Nasionalis.
Inggris yg juga nongol pun begitu. Perang antar bangsa ini
membingungkan. Punya negara merdeka dibantu Inggris dan Prancis, atau
tetap musuhan dengan orang Barat, tapi tetap dijajah Turki. Mereka pilih
merdeka dari Turki
KRISTEN DAN ISLAM DI ASIA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

Heboh gambar kartun Nabi Muhammad SAW yang dimuat media Jylland
Posten di Denmark, September 2005, telah menyulut kemarahan umat
Islam di seluruh dunia. Permintaan maaf dan pengunduran diri pemimpin
redaksi tidak mampu mengurangi kemarahan umat Islam.

Kebebasan pers di luar batas yang dianut oleh masyarakat Barat belum bisa
diterima oleh umat Islam maupun masyarakat Timur pada umumnya. Membuat
gambar Nabi Muhammad SAW saja sudah merupakan hal yang tidak bisa
diterima oleh umat Islam, apalagi membuat kartun yang memberi kesan sangat
menghina. Kasus kartun itu menjadi pemicu dari setumpuk luka hati akibat
ketidakpuasan politik dan ekonomi yang dialami oleh umat Islam dalam sejarah.
Umat Islam masih menyimpan luka sejarah berabad-abad karena mereka sering
menjadi korban kekuatan di luar wilayah mereka. Seperti invasi Amerika ke Irak,
kejadian di penjara Abu Ghraib, standar ganda Eropa soal nuklir Iran, dukungan
Barat yang membabi buta pada Israel, sampai dengan pemerasan terhadap
kelompok Hamas yang telah memenangkan pemilu secara demokratis.

Salah Persepsi

Sering terjadi salah persepsi umat Islam maupun Kristen tentang kehadiran agama
Kristen di benua Asia. Menurut MD David, "Imperialis Barat menjadi batu
sandungan dari perkembangan Kristen di Asia". Kekristenan telah menjadi
"Western brand - Greco-Roman" dalam struktur dan budaya sejak Kaisar
Konstantinus Agung. Agama Kristen bagaikan cokelat yang tumbuh di Asia dan
Afrika, tapi konsumen lebih mengenal cokelat Belgia dan Swiss. Baik agama
Islam maupun Kristen, keduanya merupakan agama yang lahir di Asia Barat dan
dunia Arab. Pada abad ketiga, sudah ada sekolah teologi di Edessa, Iran, dan
sekolah kedokteran di Nestorian Beth Lapat, sebelum sekolah teologi dan
kedokteran berkembang di Eropa. Tapi sayang, politik orang Kristen Nestorian
dianggap bidah/ajaran sesat. Orang Nestorian menjadi korban dari Kristen Barat
dan pemeluk agama setempat di Asia.

Dalam delapan abad pertama setelah tahun Masehi, penyebaran agama Kristen
banyak dilakukan oleh orang Nestorian dari Asia Barat, yaitu Irak, Suriah,
Lebanon, dan Iran, bukan orang Eropa. Tak ada konflik agama berarti antara
pengikut Nestorian dengan pemeluk agama di Asia. Para pedagang atau pelancong
dari Asia Barat ini menyebarkan agama Kristen sampai ke Sumatera, Jepang,
India, Tiongkok, dan Sri Lanka, jauh sebelum ada badan misi Eropa. Walaupun
Kerajaan Islam di Asia Barat tidak memperkenankan penduduknya untuk pindah
agama, tapi pada umumnya hubungan Kristen dan Islam penuh kedamaian dan
agama Kristen masih bisa berkembang.
John C England dalam buku The Hidden History of Christianity in Asia me-
nulis,"Many Christian in the following centuries held positions of leadership, in
both church and Caliphate, or in medicine or scholarship would come from this
small kingdom and from Ghassan, the Christian Arab kingdom adjoining Syria
and vassal to Byzantium" Gereja Anglikan telah mengakui kesalahan masa
lalunya karena mereka mendukung Perang Salib. Perang itu tidak harus dilihat
sebagai perang agama. Perang salib merupakan ambisi Eropa dalam politik,
kebudayaan, dan ekonomi dengan menggunakan sentimen dan pembenaran
agama. Pelayaran Columbus dan Vasco da Gama untuk mencari rempah-rempah
ke Asia Timur disusul dengan Reformasi Luther menghasilkan daerah koloni
Eropa di Benua Amerika, Asia, Afrika, dan Australia.

Cheng Yang En dari Tai-wan menggambarkan abad ke-19 tentang penyebaran


agama Kristen sebagai berikut: ìThe 19th Century perception of Overseas
Missions: primarily sponsored by so-called 'denominational' and 'inter-
denominational' mission societies or agents; often implemented with an
enterprising, triumphalist, conqueror's mindset". Penyebaran agama Kristen oleh
badan misi setelah pelayaran Columbus dan Vasco da Gama telah tumpang- tindih
dengan kepentingan kerajaan Eropa untuk menguasai wilayah dan ekonomi serta
pengaruh politik. Apakah yang terjadi institusi agama menjalankan "God's
mission" atau "denomination/ empire expansion"? Hal ini memerlukan perdebatan
lebih mendalam di kalangan akademisi dan agamawan.

Kalau God's Mission dan Pekabaran Injil berisi "berita baik", apakah kehadiran
Columbus dan Vasco da Gama dan pelayaran berikutnya memberikan "berita
baik" bagi native American, Africa, Aborigin, dan Maori? Atau sebaliknya
penduduk setempat menerima "kabar buruk" dengan kedatangan Columbus dan
orang-orang sesudahnya? Selanjutnya bapa gereja dari Sri Lanka DT Niles pernah
menulis, "Christianity in Asia is a potted plan invites serious inquiry into the
nature and function of missions. ... Thus the appeal of Christian faith failed to
assume the character of good news; instead it is perceived as a veiled ideology
used for cultural invasion upon the respective ways of life in these nations." Invasi
kebudayaan dan ekonomi serta territory conquest, itulah yang terjadi sesudah
kedatangan Columbus ke seluruh penjuru dunia. Agama dan budaya setempat
termasuk Islam merupakan bagian wilayah perlawanan (resistant) terakhir dari
penduduk setempat melawan invasi dari luar ketika perlawanan ekonomi dan
politik sudah runtuh. Akibat adanya cultural invasion dari Barat dan cultural
resistant dari Timur maka prasangka budaya dan agama terjadi dalam hubungan
antarbangsa dan agama.

Dampak Globalisasi
Banyak pemikir memandang bahwa keinginan menguasai (conquest/ invasion)
negara kolonial belum berakhir setelah kemerdekaan bangsa terjajah. Bung Karno
pernah menyitirnya dalam Konferensi Asia Afrika Bandung dengan istilah
"coloni-alism with new dress". Aspek globalisasi bukan sekadar ekonomi
pasar bebas dan economic expansion, tapi juga technology control dan cultural
invasion. Globali- sasi juga membawa dimensi apartheid, racism, kekerasan,
penghancuran ekologi, militarism dan perang teror. Dan, cultural invasion
dilakukan melalui media dan teknologi informasi (CNN dan Fox) secara
terselubung atau dengan cara intervensi dan kekerasan (di Irak).

Kebebasan mengemukakan pendapat dan pemaksaan cultural value seperti


demokrasi dan HAM tanpa melalui proses alami dan dialog, berakibat seperti
yang kita saksikan di Irak dan peristiwa kartun. Banyak pihak tidak dapat
menerima ketika demokrasi dan HAM diperalat oleh Barat untuk menghukum
sebuah negara dan rezim yang berbeda pandangan dengan Barat. Perlawanan
beberapa kelompok resisten terhadap cultural and economic invasion Barat sering
berdampak pada perlawanan kelompok non-Kristen terhadap orang Kristen
setempat. Perlawanan terjadi karena kelompok non-Kristen merasa kesal
menyaksikan Barat (Amerika) memperalat demokrasi, HAM, traktat senjata
nuklir, perang teror untuk kepen-tingan empire hegemony dan menguasai sumber
alam dunia.

Di sinilah peran Kristen dan Islam di Asia untuk meluruskan persepsi yang salah.
Cross cultural ministry perlu dilakukan dengan hati-hati agar tak ada gejolak dan
konflik budaya dan agama. Dialogue of civilization untuk meredakan ketegangan
hanya akan bermanfaat bila economic, politic and cultural hegemony suatu
peradaban atas peradaban lain, bisa dihapuskan. Masalahnya, bagaimana dan
apakah Barat bersedia re-maping just new world order? Sungguh menarik, kalau
kita membandingkan pelayaran Zhenghe (1421) yang Muslim dari Kekaisaran
Ming Tiongkok, dengan pelayaran Columbus (1492) yang Kristen dari Spanyol.
Columbus berangkat dengan diiringi doa Kristen. Sedangkan Zhenghe berangkat
dengan diiringi doa dari agama Kerajaan Ming (Buddha dan Chinese), dan Islam
agama dari Zhenghe.

Muhibah Zhenghe meninggalkan kesan persahabatan, sedangkan pelayaran


Columbus dan ekspedisi berikutnya meninggalkan kesan cultural genocide/
invasion dan conquest wilayah. Bisa diperdebatkan, siapa yang sebenarnya
membawakan kabar baik atau God's mission kepada penduduk yang
dikunjunginya? Columbus atau Zhenghe? Zhenghe mewakili soft power culture
approach sedangkan Columbus mewakili hard power culture approach. Tidak
salah kalau umat Kristen dan Islam di Asia, khususnya Indonesia, belajar dari
diplomasi Zhenghe (soft power) dalam menanggapi masalah kartun, ekonomi, dan
cultural invasion di era globalisasi, bukan diplomasi Columbus (hard power).
Kalau tidak, martabat dan peradaban Kristen dan Islam di Asia, tidak akan
berbeda dengan peradaban yang menekankan kekerasan dan hard power culture.
Menjunjung tinggi soft power culture dalam mentransformasikan dunia yang
penuh konflik dan ketidakadilan, merupakan panggilan umat Kristen dan Islam di
Asia dan dunia. Mengapa tidak?
Jangan Panggil Aku Cina!

"Kamu orang cina sih, makanya kulitnya putih!"


"Engga ah, kamu bukan orang Bandung, kamu orang Cina" atau
"Eh, papa kamu orang Cina ya? kristen ya?"
dan sekian banyak perkataan lainnya yang sempat membuatku sedikit tersisih dari
teman-teman pengajian sewaktu aku kecil dulu. Sering sekali aku marah-marah
dan menangis setiap pulang mengaji karena selalu dipanggil si Cina, si Amoi, si
Osin, Ling ling dan panggilan-panggilan lain yang berbau Cina. Aku pun
mengadu pada mama sambil menangis. Mamaku berkata: "Bilangin aja, iya
memang saya keturunan Cina, papa saya orang Cina, emang kenapa? Buktiin
sama mereka, meskipun kamu keturunan, kamu lebih rajin mengaji, rajin
sholat...!"
Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan jawaban mama, karena aku tetep
disebut orang Cina. Tapi apa boleh buat, apa yang dikatakan mama memang
benar. Sewaktu di sekolah anak-anak harus mengumpulkan kartu keluarganya
masing-masing, aku malu sekali, karena nama papaku ada dua: Solichin
Dulimarta dan Liem Teng Hai. Lengkap dengan surat bukti kewarganegaraan
Republik Indonesia. Rasanya ingin kurobek-robek saja kartu keluarga itu...
Semakin dewasa, aku semakin terbiasa dengan panggilan-panggilan itu. Aku
selalu ingat kata-kata mama. Aku harus terbiasa dengan "pendiskriminasian" itu.
Bahkan jika orang bertanya dari mana asalku, aku akan menjawab selengkap-
lengkapnya: "Aku lahir di Sukabumi, Jawa Barat, dan dibesarkan di Bandung.
Mamaku orang Sukabumi asli dan papaku orang Cina-Cirebon". Jika orang yang
bertanya bukan orang Bandung asli, mereka akan berkata: "Engga ah, wajah kamu
tuh Sunda banget!". Tapi orang Bandung sendiri akan bilang: "Iya keliatan Cina-
nya" atau kata-kata yang mirip seperti itu lah...
Sangat disayangkan jika hingga saat ini masih selalu terjadi diskriminasi. Tak
heran jika sekarang ini setiap daerah di Indonesia menginginkan otonomi daerah.
Kemungkinan salah satu pemicunya adalah konflik antar etnis. Yang ternyata
konflik antar etnis itu bukan terjadi antara warga Tionghoa dan pribumi saja,
melainkan antar etnis-etnis lainnya juga. Bahkan Grayson Lloyd dalam sebuah
makalahnya, Indonesia's Future Prospects: Separatism, Decentralisation and the
Survival of the Unitary State, meragukan semboyan bangsa Indonesia: Berbeda-
beda Tetapi Satu Jua. Apakah semboyan itu masih tetap berlaku hingga saat ini?
Akankah Indonesia tetap terdiri dari pulau-pulau yang semua masyarakatnya
saling gotong royong, saling toleransi?
Kalau kita mau kembali melihat sejarah, sebenarnya orang-orang Cina turut andil
dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Pada abad ke-15 masa dinasti Ming
(1386-1643), orang-orang Tionghoa di Yunan mulai berdatangan untuk
menyebarkan agama Islam terutama di pulau Jawa. Pada tahun 1410 Laksamana
Cheng Ho atau Sam Po Kong mendarat di pantai Simongan, Semarang bersama
armada lautnya. Selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi raja
Majapahit, ia juga bertujuan menyebarkan agama Islam. Selain Laksamana Cheng
Ho, sebagian dari wali songo yang berjasa menyebarkan agama Islam di pesisir
pulau Jawa dan mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak berasal dari etnis
Tionghoa. DIantaranya: Sunan Bonang (Bong Ang), Sunan Kalijaga (Gan Si
Cang), Sunan Ngampel (Bong Swi Ho), Sunan Gunung Jati (Toh A Bo) dan lain-
lainnya konon berasal dari Champa (Kamboja, Vietnam), Manila dan Tiongkok.
Demikian juga Raden Patah alias Jin Bun (Cek Ko Po), sultan pertama kerajaan
Islam Demak, adalah putra Kung Ta Bu Mi (Kertabumi), raja Majapahit
(Brawijaya V) yang menikah dengan putri Cina, anak pedagang Tionghoa
bernama Ban Hong (Babah Bantong).

Selain turut andil dalam penyebaran agama Islam etnis Tionghoa dan warga
keturunan Tionghoa pun ikut berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Bahkan pada saat itu warga Tionghoa dan warga Bumiputra (pribumi) bahu
membahu dalam menghadapi penjajahan Belanda.

Entah darimana awalnya pendiskriminasian itu muncul. Sering saya dengar


hingga saat ini warga Tionghoa dan warga pribumi saling menjelek-jelekkan.
Saudara-saudaraku yang Tionghoa selalu dipersulit ketika harus mengurus KTP,
paspor dan lain sebagainya yang berhubungan dengan pemerintahan. Mereka
selalu diminta pungutan liar. Aku masih ingat ketika seringkali beberapa pegawai
pajak datang ke tempat papaku kerja, untuk meminta uang yang tidak seharusnya
diminta. Sebaliknya teman-temanku dan juga saudara-saudaraku yang pribumi
kadang merasa dihinakan atau diperlakukan licik oleh warga Tionghoa. Misalnya
saja dalam urusan perdagangan.

Ah..seandainya saja perbedaan tak dipermasalahkan...

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki


merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan
lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela
dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim."
(Al-Hujurat:11)

Darmstadt, 27 Oktober 2005


Curahan Hati Seorang Warga Keturunan ;

Atheis

Last Updated on Wednesday, 14 July 2010 16:27


Di suatu pagi seorang gila berlari ke pasar lalu berteriak:"Aku mencari Tuhan !
Aku mencari Tuhan". Orang lalu berkerumun menontonnya. "Memangnya, Tuhan
pergi ke mana, Dia lari atau pindah rumah?" Tanya seorang penonton di pasar itu
sinis. Orang gila itu menatap tajam semua orang yang monontonya di pasar itu
lalu bertanya "Coba [terka] kemana Tuhan pergi? Tak ada jawaban. Orang gila itu
menjawab sendiri "Aku mau mengatakan kepada kalian. Kita telah
membunuhnya. Ya kita semua telah membunuhnya!"

Kisah diatas hanyalah metaforika Nietszche (1844-1900), filosof proklamator


kematian Tuhan di Barat. Metafora ini tentu menjengkelkan. Jangankan
membunuh Tuhan, membunuh makhluk saja dianggap jahat. Tapi Nietszche juga
jengkel pada sesuatu yang disebut Tuhan. Tuhan baginya hanya ada dalam
pikiran. Tuhan tidak wujud diluar sana. Ia memang ateis tulen. Lho, kalau begitu
Tuhan yang mana yang ia bunuh? Sebentar!!

Ateisme a la Nietszche bukan tanpa preseden. Orang Barat nampaknya sudah


lama gerah dengan agama. "Siapapun yang beragama pasti tidak bebas", kata
Nietszche. Agama dianggap mengebiri kebebasan. Dulu menjadi sekuler pun
susah, apalagi ateis. Sedikit-sedikit dituduh ateis. Ateis bahkan hampir seperti
plesetan dan penghinaan. "Kamu ateis!" sama maksudnya dengan "Kamu anarkis!
Kamu komunis!" Ateis malah bisa berarti sifat orang tidak saleh. Munafik,
pendosa yang merasa suci, berani dan bangga,  bagi John Wingfield adalah ateis.
Bagi dramawan Inggeris, Thomas Nashe (1567-1601), ambisius, tamak, rakus,
sombong dan pezina termasuk ateis. Lebih menggelikan lagi standar Penyair
William Vaughan (1577-1641), tandanya ateis yang nyata adalah menaikkan sewa
rumah. Pendek kata semua yang buruk adalah ateis.

Ateis yang agak akademis adalah yang kritis pada teologi Kristen dan institusi
gereja. Giordano Bruno (1548-1600), tokoh rasionalis Italia, Pierre Carvin,
Pendeta Robinson, pengarang Honest to God, Paul Tillich, pengarang Sytematic
Theology, Schleirmacher (1768-1834) tokoh hermenutika adalah pengkritik
teologi Kristen dan dianggap ateis.
Ateis yang lebih canggih adalah yang berani menggugat Tuhan. Inkar saja tidak
cukup jadi hero. Inkar harus dibumbui caci-maki, jadilah blasphemy. ”Tuhan
Yahudi dan Kristen adalah tiran” kata Hegel (1770-1831) dan Kant (1724-1804),
karena minta ketaatan penuh. Schoopenhuer (1788-1860) mendahului Nietszche
menegaskan tuhan tidak ada. Sesudah Nietszche membunuh tuhan, Rudolf
Bultmann, (1884-1976) penulis New Testament and Mythology, memastikan
"Tuhan dalam Bible telah mati, kalau tidak sekarat". Tuhan bagi mereka adalah
tirani jiwa "the stodgy old tyrant of the soul".  Bukan Tuhan agama-agama, karena
Ia dianggap sudah tidak ada. Inilah Tuhan yang dibunuh Nietszche itu.

ِMengapa orang Barat bangga dan bernafsu menjadi ateis? Michael Buckley
menjawab dengan buku ilmiyah yang ia beri judul At the Origins of Modern
Atheism - 1987 - (Asal Usul Kekafiran Modern). Meskipun kafir tapi modern,
meskipun modern tapi kafir, mungkin begitu plesetannya. Buckley membahasnya
secara analitis, serius dan komprehensif. James E Force memuji buku ini sebagai
“big, bold [and] highly readable book”.

Ateisme muncul di awal era modern, kata Michael karena teologi Kristen tunduk
pada filsafat (Christian theology becomes subservient to philosophical reason).
Biang keladinya adalah pemikir dan filosof yang ia juluki  new rationalistic
defender of faith atau rationalistic philosophers,  seperti Lessius, Mersenne,
Descartes (1596-16500, Malebranche, Newton (1642-1727) dan Clarke. Mereka
bicara tentang Tuhan tanpa bicara tentang Yesus.
 
Bukan hanya itu, kata James. Ateisme, wujud juga gara-gara merebaknya gerakan
kritik terhadap Bible. Dari sejarah penulisannya, konsepnya tentang Tuhan dan
akhirnya eksistensi Tuhan itu sendiri. Pengkritik Bible biasanya berlindung
dibawah paham Deisme. Deist percaya pada Tuhan dengan akal, bukan lewat
Bible. Tokoh-tookoh Deis Inggeris adalah Spinoza, Bruno, Thomas Hobbes,
Richard Simon dan lain-lain. Semuanya adalah tokoh-tokoh rasionalis. David
Berman dalam bukunya A History of Atheism in Britain: From Hobbes to Russel,
setuju dengan James. Deisme adalah biang keladi ateisme. Ateisme modern lahir
karena akarnya diremehkan, dicurigai dan terkadang dianggap sepi oleh para
teolog yang merasa terancam. ( KASUS DI INDONESIA KENAPA BANYAK
MUNCUL ALIRAN SESAT??? APA MEREKA JUGA TIDAK PUAS
DENGAN AGAMA YANG ADA? BUKAN HANYA MENYALAHKAN? –
PERLU ADA PENELITIAN MENDALAM TENTANG ALIRAN SESAT DI
INDONESIA?

Ateisme dipicu oleh kebencian terhadap dan kebebasan (liberalisme) dari agama. 
"Now hatred is by far the greatest pleasure", kata Don Juan. Karena itu banyak
cara menjadi kafir. Ada yang inkar Tuhan saja (atheis), ada yang inkar agama saja
(infidel) dan ada yang menolak pengetahuan tentang Tuhan dan eksistensiNya
sekaligus (agnostic). Ada yang meragukan wahyu Tuhan (skeptic), dan ada yang
menolak Bible sebagai wahyu Tuhan (deist). Tapi ada juga yang menolak wahyu
secara intelektual, yaitu disbeliever. Untuk yang minat inkar Tuhan dengan akal
dan hatinya, ia bisa memilih cara unbeliever. (lihat The New International
Webster Comprehensive Dictionary.hal. 1177).  Banyak jalan menjadi kafir.

Dalam Islam kakufuran itu satu paket. Kufur pada rukun yang manapun tepat
kafir. Sebab satu rukun berkaitan dengan rukun yang lain. Dalam al-Qur'an inkar
Allah (al-Nahl 106-107), inkar pada ayat-ayat Allah (Israil  98; Maryam 73), atau
menolak wahyu yang diturunkan (Muhammad 9; al-Hajj 72), adalah kafir. Malah
beriman pada Allah tapi kufur pada Nabi (al-Nisa' 150-151), sama saja, tetap
kafir.

Lucunya Muslim juga terigiur shopping menu ateisme. Fovoritnya adalah menu
skeptic, disbeliever dan agnostic. Iman pada al-Qur'an di Lauh Mahfuz, tapi
skeptik pada al-Qur’an yang diturunkan. Mensucikan maknanya tapi melecehkan
huruf dan mushafnya. Ngaku beriman tapi ragu apakah bisa memahami Allah,
mirip doktrin credo et intelegam. Jika mahasiswanya berani bertanya ”mana
epistemologi Tuhan?” dosennya malah dengan arogan menulis tesis ”Menggugat
Wahyu Tuhan”. Jika di Barat memprotes gereja melahirkan ateisme, disini malah
ada yang memprovokasi, ”agar maju tirulah Protestan!” Maksudnya agar maju
hujatlah tradisi agama (sunnah). Supaya bisa menapaki thesis Weber dari
Protestan menjadi kapitalis.  

Jadi persepesi James benar. Ini adalah fenomena intelektual modern (modern
intellectual phenomenon), bukan keagamaan atau sosial. Problemnya ada pada
cendekiawan. Intelektualitas diadu dengan religiusitas, filsafat dengan teologi dan
agama dengan sains. Mestinya kompromistis, integratif alias tawhidi. Tapi
masalahnya, konsep tawhid tidak built in dalam teologi agama itu. Dalam buku
Dialog between Theology and Philosophy, kalimat pertama yang ditulis adalah
keraguan Tertulian ”Apa ya yang bisa dikongsi antara Athena dan Jerussalem,
antara Akademi dan Gereja? Jawabnya tidak ada dan karena itu dialog antara
teologi dan filsafat berbahaya.  

Memang para teolog tidak siap dialog, kata Karen Armstrong dalam A History of
God. Tapi filosof dan saintis terus menggugat dan memberangus agama. Motonya
mudah ”Bicaralah ilmu apa saja asal jangan membawa-bawa Tuhan”. Kalau
bicara Tuhan dalam sains anda salah kamar. Sorry sir, this is a science not
theology! Teori-teori Ludwig Feurbach, Karl Marx, Charles Darwin, Friedrich
Nietszche dan Sigmund Freud pun tidak memberi ruang untuk Tuhan. Arnold E
Loen lalu menulis buku Secularization, Science Without God. Dunia ini bagi
saintis adalah godless (tanpa tuhan). Sains yang bicara Tuhan ia tidak obyektif
lagi. Here we must disagree, tulis Arnold tegas. Baru sekuler saja sudah
menyingkirkan Tuhan, apalagi ateis. Tapi karena teolog terpojok, maka stigma
"kamu ateis!" bisa berimplikasi "kamu saintis!" Itulah modern atheism.

”Tuhan” di Barat ternyata tidak hanya dihabisi di gereja-gereja, tapi juga di


kampus-kampus. Mungkin karena tidak ada ilmu dalam teologi akhirnya tidak ada
tuhan dalam ilmu (godless). Jadi ateis  dizaman modern adalah ateis epistemologi.
Orang menjadi ateis bukan hanya karena lemah iman, tapi juga salah ilmu.
Ilmunya tidak menambah imannya. Epistemologinya tidak teologis dan teologinya
tidak epistemologis. Dalam Islam, hati yang tak berzikir adalah mati, dan otak
yang tidak bertafakkur akan kufur. Jika beriman pada Tuhan adalah fitrah semua
insan, maka ketika Nietszche membunuh Tuhan - dalam hati dan pikirannya –
sejatinya ia telah membunuh fitrahnya sendiri. Jadi Nietszche benar-benar telah
melakukan bunuh diri spiritual, spiritual suicide. Subhanallah

Anda mungkin juga menyukai