: Teori-Teori Demokrasi
ISSN. : 978-979-076-387-6
TEORI-TEORI DEMOKRASI
Demokrasi memang bukan merupakan sistem politik yang ideal. Itulah sebabnya,
dua filsuf besar Yunani, yaitu Socrates dan Aristoteles tidak menempatkan demokrasi
sebagai pilihannya. Socrates menganggap bahwa sistem demokrasi dapat melahirkan
pemimpin yang dungu karena proses pemilihan pemimpin yang melibatkan orang-orang
yang tidak memiliki kapasitas dan kapabililitas untuk memilih. Aristoteles
menempatkan aristokrasi sebagai pilihannya, karena seorang aristrokrat memiliki
kelebihan dalam tata kelola pemerintahan, sekaligus kemampuan berpikir yang dapat
diandalkan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi rakyatnya. Arsitokrat
adalah orang terdidik yang hampir sama dengan seorang filsuf yang mampu
memberikan pikirannya untuk masyarakat. Aristokrat juga memiliki kecakapan untuk
memerintah karena berasal dari lingkungan kerajaan yang selalu berhubungan dengan
tata kelola pemerintahan.
A. Mendefinisikan Demokrasi
Dari definisi David Beetham dan Kevin Boyle, tampak dua hal yang esensial.
Pertama, demokrasi merupakan perwujudan keinginan secara keseluruhan anggota dan
dalam hal ini semua anggota memiliki hak yang sama. Kedua, demokrasi merupakan
indikator tentang sejauh mana prinsip kendali rakyat dan kesetaraan politis dapat
diwujudkan serta bagaimana partisipasi rakyat dapat semakin nyata dalam mewujudkan
pengambilan/ pembuatan keputusan secara kolektif.
B. Perkembangan Demokrasi
Menurut Jurgen Habermas, akal manusia adalah kekuatan etika dan moral. Habermas
merasakan bahwa makna demokrasi dan signifikansinya adalah sebuah pencapaian
historis. Ia menerjemahkan hal ini pada tingkat filosofis dalam sebuah komitmen untuk
mempertahankan semua manfaat modernitas dari semua yang fokus secara eksklusif
pada kerugiannya atau pada masa depan yang akan ditaklukkan. Habermas menulis,
“Fakta bahwa seseorang akan menjadi sadar pada pencapaian ini adalah ketika mereka
terancam. Hal inimerupakan keadaan yang penting untuk perhatian filsafat."
D. Konsep Demokrasi
Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama untuk menyebut ideologi dunia
Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai
berakhirnya abad pertengahan (abad ke-5 sampai abad ke-15). Disebut liberal, yang
secara harfiah berarti “bebas dari batasan” (free from restraint), karena liberalisme
menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja (Adams,
2004:20). Hal ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat pada abad pertengahan
ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.
Ideologi Barat juga dapat disebut dengan istilah kapitalisme atau demokrasi. Jika istilah
kapitalisme lebih digunakan untuk menamai sistem ekonominya
Liberalisme Lama
Liberalisme Baru
Menurut liberalisme baru, harus ada penolakan atas kinerja kapitalisme yang hanya
diasalkan pada logika modal atau kapital. Transaksi ekonomi hanyalah salah satu
bentuk dari relasi sosial manusia. Oleh karena itu, hubungan sosial manusia
bukanlah mengabdi pada kapitalisme, melainkan kapitalisme yang harus mengabdi
untuk membantu kebutuhan relasi sosial manusia agar berlangsung dengan adil dan
kompetitif.
F. Model-Model Demokrasi
Elitisme
Pluralisme
Pluralisme adalah para analis politik, yang secara luas diartikan sebagai ahli teori
demokratik empiris, yang mencoba menjawab pertanyaan tentang pemikiran
Schumpeter. Schumpeter berasumsi bahwa penduduk dianggap terisolasi dan rapuh di
dunia yang penuh dengan bentrokan kompetisi kaum elite. Jika demikian, Schumpeter
memberikan batasan jelas pada para pemilih dan yang dipilih dalam pemilu, yaitu
dengan mengatakan bahwa masyarakat tidak memberikan kontribusi jelas dalam
pengambilan keputusan Para pluralis mencoba untuk menjawabnya dengan memberikan
perhatian secara langsung pada dinamika ‘kelompok politik”. Dengan mengeksplorasi
hubungan antara kompetisi dalam pemilu dan aktivitas kelompok dengan kepentingan
yang terorganisasi, para pluralis berkata bahwa politik demokrasi modern sebenarnya
jauh lebih kompetitif, dan hasil kebijakannya pun jauh lebih memuaskan semua pihak,
meskipun para pluralis memiliki tujuan yang sama dengan Schumpeter dan Weber,
yaitu memberikan gambaran yang realistik dan objektif.
Westminster
Demokrasi Konsensus
Model konsensus dari demokrasi dapat digambarkan dalam delapan elemen yang
sangat jauh berbeda dengan karakteristik majoritarian dari model Westminster. Swiss
dan Belgia akan menjadi contoh yang paling baik, seperti halnya Inggris dan Selandia
Baru yang menjadi model Westminster. Perhatian yang sama harus diberikan pada
kasus Belgia danSwiss: keduanya mencontohkan model konsensus yang sangat baik,
tetapi tidak dengan sempurna. Delapan elemen terenut adalah
G. Kelemahan Demokrasi
Ketika sistem demokrasi datang dan menjadi acuan, segalanya menjadi mungkin.
Sekelompok etnis mayoritas di beberapa negara yang dipaparkan oleh Mann ini dapat
berkuasa secara demokratis. Namun, secara tidak terduga, sekelompok etnis mayoritas
dapat bertindak secara tirani dalam menghadapi etnis minoritas. Hal ini dikarenakan
kekuasaan adalah milik kaum mayoritas. Dalam banyak kasus, etnis minoritas dianggap
berbeda dan tidak memiliki peradaban yang sama dengan etnis mayoritas. Pada
akhirnya, kasus pembersihan etnis dapat terjadi dengan berbagai kasus dan alasan yang
berbeda-beda. Namun, ada satu esensi bahwa demokrasi juga bisa dimaknai dalam
pemahaman yang berbeda. Tidak ada satu negara pun yang hanya monoetnis (satu suku)
karena sejak negara-negara didirikan, terdapat pengaturan kelas terhadap daerah lain
dan kelompok etnis. Menurut lebih dari seratus negara, sebagian besar multietnis itu
dicapai dengan cara dipaksa, bersifat asimilasi aristokratik lateral secara sukarela atas
berbagai kelompok etnis, dimulai dengan artistokratik, kemudian bergerak pada struktur
kelas bawah. Adapun kelemahan demokrasi adalah