Anda di halaman 1dari 20

Topik : Controversial public issues triggered

by statements advocated by politicians

RETORIKA ARISTOTELES : KOMUNIKATOR PUBLIK DALAM


DEMONSTRASI MAHASISWA

Maftukhatun Deritanti
19/ 439423/ SP/ 28754
deritanti08@gmail.com

Abstrak
Negara demokrasi umumnya akan memberi kebebasan kepada
rakyat dalam penyampaian aspirasi di berbagai segi kehidupan, utamanya
politik dan pemerintahan. Namun realitas yang terjadi seringkali tak sejalan
dengan janji manis para aktor politik saat sedang berorasi. Munculnya
kebijakan baru yang akan terlaksana melalui RUU KUHP yang sarat akan
multitafsir membuat semangat reformasi 1998 mahasiswa hidup kembali.
Dimana korupsi dilemahkan dan demokrasi tak lagi dijunjung tinggi.
Demonstrasi mahasiswa kembali hadir disegenap wilayah Indonesia
bersama tuntutan mereka yang menginginkan Indonesia lebih baik.
Penyulitan pemerintah dalam melayani pertemuan dengan mahasiswa
menjadi cacat yang dipertanyakan. Kemunculan komunikator baru yang
handal dalam mewakili segenap demonstran mahasiswa menjadi fenomena
unik untuk dikaji. Salah satunya adalah M Atiatul Muqtadir atau Fathur
yang merupakan Ketua BEM KM UGM yang berhasil menarik hati
masyarakat melalui retorika yang baik. Dalam fenomena inilah penulis
tertarik untuk menganalisis retorika dalam ethos, pathos, dan logos M
Atiatul Muqtadir atau Fathur dalam keberhasilannya menarik sejumlah hati
masyarakat dengan pembuktian keviralannya di media massa sebagai
seorang komunikator publik.

1
Keywords : demokrasi, retorika, ethos, pathos, logos, m atiatul muqtadir,
mata najwa.

A. Pendahuluan

Negara Demokratis

Negara yang demokratis umumnya akan memberikan kebebasan kepada


rakyatnya dalam menyampaikan pendapat atau aspirasi dalam berbagai bidang
kehidupan, utamanya dalam praktik politik pemerintahan. Indonesia sejak awal
kemerdekaan telah menobatkan diri sebagai negara demokratis, dibuktikan dengan
adanya berbagai perubahan bentuk demokrasi pada masa jabatan kepala
pemerintahan. Berbagai variasi demokrasi yang telah diujicobakan yaitu demokrasi
liberal, demokrasi parlementer, hingga demokrasi Pancasila (Purnaweni, 2004).

Meski telah mengecap diri sebagai negara demokrasi, namun dalam praktik
sesungguhnya tidak dapat dipungkiri jika masih terdapat banyak kekurangannya.
Sejak pemerintahan Presiden Soekarno, demokrasi memang sedikit diragukan
keberadaannya. Demokrasi liberal menurut Purnawerni (2004) dirasa gagal tidak
hanya karena bertentangan dengan jati diri dan budaya bangsa, namun juga
rapuhnya sistem politik yang berpijak pada ideologi-kultural dan lemahnya sistem
ekonomi saat itu. Penerapan demokrasi terpimpin tak mengelak dari adanya kritik
atas pelakasanaanya. Meski telah menggembor-gemborkan demokrasi pada
orasinya, namun pada kenyataannya pemerintahan berlangsung secara sentralistik.
Dimana Presiden Soekarno tak hanya berkedudukan sebagai kepala negara namun
juga kepala pemerintahan. Pemerintahan yang diktaktor dibuktikannya dengan
pembubaran PSI dan Masyumi, pembentukan DPR-GR, dan meminggirkan lawan-
lawan politiknya yang kritis (Purnaweni, 2004).

Berlanjut pada orde baru, kepemimpinan Presiden Soeharto dinilai semakin


mendeskreditkan demokrasi. Bagaimana tidak, ketika ia secara tegas telah
menempatkan dirinya sebagai aktor tunggal dalam pemerintahan, baik secara
birokrasi maupun kemiliteran. Pada pemerintahan Soekarno yang masih
mencorakkan nilai demokrasi, pemerintahan orde baru Presiden Soeharto telah
diaktualisasikan dengan corak feodalistik (Purnaweni, 2004). Dimana menurut

2
Suharso (dalam Purnaweni, 2004) dibuktikan dengan penyatuan birokrasi
pemerintah dan militer dalam satu komando dan melakukan upaya menyingkirkan
politik massa yang dinilai dapat membahayakan integrasi pemerintahan.
Pemerintahan yang sentralistik tidak serta-merta membuahkan hasil yang baik,
meski telah berhasil menciptakan stabilitas ekonomi dan berbagai pembangunan,
namun ketika Presiden telah memerintah selama kurang-lebih 32 tahun tentu
menimbulkan pro-kontra dalam keberlangsungan kepemimpinannya. Apalagi
setelah adanya krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997 yang
diperparah dengan kesalahan dalam penanggulangannya (Widyarsono, Santoso, &
Purwoko, 2011). Gerakan mahasiswa 1998 pun menjadi bukti akan peliknya
pemerintahan saat itu, tuntutan untuk menurunkan Soeharto dari singgasana
kepresidenan menjadi agenda utama mahasiswa, mengingat bahwa Soeharto dari
Partai Golkar kembali memenangkan pemilu 1998. Gerakan mahasiswa saat itu
menggunakan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) sebagai alat koordinir setiap
kampus. Mereka menyuarakan tuntutan agar reformasi di segala bidang
dilaksanakan, seperti pembaruan sistem politik dan ekonomi, serta pencabutan lima
paket UU Politik yang dianggap melemahkan demokrasi (Widyarsono et al., 2011).

Setelah Soeharto menyerahkan jabatannya kepada Habibie, yang menandai


telah lahirnya era reformasi dimana demokrasi akhirnya mulai menampakkan diri.
Reformasi telah memberikan masyarakat gambaran tentang pentingnya
pemahaman dan kesadaran politik, hal ini dapat berupa menyebarnya ide tentang
kesetaraan, kebebasan dalam berpendapat dan beraspirasi, serta adanya transparansi
dalam pemerintahan (Sofyan, 2014). Namun sudahkah reformasi berjalan seperti
yang dituntut serta diharapkan para pejuang angkatan 98? Tentu kita masih perlu
banyak belajar dan menganalisis lebih jauh tentang demokrasi dalam era reformasi
ini. Sebab, tak jarang pula baik pemerintah maupun masyarakat dalam praktiknya
melakukan penyelewengan atas nama kebebasan demokrasi. Penyerobotan
terhadap hak publik, pengabaian keberadaan negara, dan intoleransi terhadap
perbedaan dan hak orang lain merupakan beberapa contoh dari kepentingan
individu atau kelompok yang berdalih demokrasi (Sofyan, 2014).

3
Ujian Reformasi

Demokrasi dalam era reformasi pada tahun 2019 ini juga kembali
diperdebatkan. Kemunculan adanya kebijakan baru dalam bentuk rancangan
undang-undang yang dibentuk oleh DPR RI menimbulkan berbagai polemik dalam
masyarakat. Bagaimana tidak? Pasal-pasal dalam RUU rancu dan sarat akan
multitafsir. Hal ini kembali menggugah semangat mahasiswa untuk kembali bersatu
dan bangkit melawan ketidakadilan. Demokrasi harusnya tak lagi dikerdilkan, aktor
politik tak seharusnya mencanangkan rancangan undang-undang secara diam-diam.
Ujian reformasi, begitulah yang sedang terjadi pada negara ini. Tahun 2019 sebagai
tahun politik telah menimbulkan banyak perkara yang terjadi, penulis mengambil
perselisihan antara suara masyarakat dengan pemerintah sebagai contoh. Utamanya
antara mahasiswa dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang baru-baru ini terjadi.
Mahasiswa sebagai agent of change mulai mencurahkan aspirasi mereka ketika
demokrasi dan reformasi seakan mulai dikerdilkan oleh pemerintah.

Ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) mulai menggerakkan teman


seperjuangan untuk menghidupkan kembali demokrasi yang seharusnya terjadi
pada negara di masa reformasi ini. Mereka juga mulai menjadi pembicara publik
yang mewakili teman-teman mereka dalam berbagai kesempatan saat melakukan
pertemuan dengan pemerintah. Kevokalan dan sikap idealistis sebagai mahasiswa
menjadi power yang menguatkan pengaruh mereka dalam beretorika. Salah satu di
antara banyaknya tokoh BEM yang saat ini sedang digandrungi oleh banyak lapisan
mahasiswa yaitu M Atiatul Muqtadir atau yang akrab disapa Fathur. Fathur
merupakan Ketua BEM Universitas Gadjah Mada tahun 2019.

Suaranya dalam mengkritisi pemerintah yang membuat kebijakan-kebijakan


menuai banyak pujian dari berbagai kalangan. Sosoknya yang tenang namun
menghanyutkan ini membuat penulis tertarik untuk menganalisis lebih jauh
bagaimana public speaking yang ia lakukan sehingga mampu menyihir masyarakat.
Komunikasi yang dilakukan oleh Fathur dianggap berhasil karena mampu
menggiring opini masyarakat untuk turut mengiyakan pendapat yang ia utarakan.
Dalam hal ini penulis ingin mengkaji mengenai kredibilitas seorang M Atiatul
Muqtadir yang dilihat dari bagaimana ia beretorika dalam mengomunikasikan

4
pendapatnya. Sebelum mempelajari tentang retorika komunikasi publik yang
dilakukan oleh Fathur, tentu kita harus memahami apa itu retorika, publik,
komunikasi publik, dan bagaimana pembicara publik melakukan komunikasi
publiknya.

B. Rumusan masalah :
a. Bagaimana retorika M Atiatul Muqtadir dikaji dalam ethos, pathos, dan
logos?
b. Bagaimana retorika yang dilakukan M Atiatul Muqtadir dapat dikatakan
berhasil?

C. Kerangka Teori

Tradisi Retorika : ethos, pathos, dan logos

Berpijak pada teori tentang tujuh tradisi komunikasi milik Richard & Turner
bahwa salah satu di antara 7 tradisi ini yaitu tradisi retorika. Menurut Crag (dalam
Richard & Turner, 2010) retorika merupakan praktek seni dimana kita tertarik
untuk mengimplementasikannya dalam public speaking, utamanya karena fungsi
dari retorika ini ketika kita berbicara dalam masyarakat. Retorika membantu kita
memahami maksud dari pemengaruh dan cara agar kita mampu mengolah public
speaking secara efektif (Richard & Turner, 2010). Retorika sendiri berasal dari
bahasa latin “rhetorica” yang memiliki definisi ilmu berbicara (Harsoyo dalam
Rajiyem, 2005). Menurut Rajiyem (2005) terdapat sebagian orang yang
mempelajari retorika sebagai seni penggunaan bahasa yang efektif, namun ada pula
yang mengartikan retorika sebagai public speaking atau berbicara di depan umum.

Tidak seperti ilmu lainnya, pembelajaran tentang public speaking hanya


memperoleh sedikit analisis kritis. Dimana opini umum biasanya menolak
pembelajaran tentang public speaking karena dianggap sebagai ilmu disipliner dan
teoritis. Meski demikian public speaking memiliki nilai yang tinggi dan dipelajari
melalui ilmu komunikasi (McGarrity, 2005). Definisi dari public speaking menurut
Novaković (2017) yaitu pidato atau orasi berupa cara bicara yang dilakukan di
depan publik dengan tujuan menginformasikan, mempengaruhi, atau menghibur.

5
Public speaking biasanya dipahami sebagai interaksi antara seseorang dengan
khalayak yang umumnya digunakan untuk membujuk atau mempersuasi audiens.

Kembali pada pokok materi yaitu retorika, terdapat beberapa tokoh-tokoh


penggagas retorika antara lain Georgias, Protagoras, Sokrates, dan Isokrates yang
disebut sebagai kaum sofis. Mereka berkeyakinan bahwa retorika merupakan alat
untuk memenangkan kasus lewat berbicara, seperti kefasihan bahasa, kepandaian
menyampaikan ulasan, pemanfaatan emosi penerima pesan, dan keseluruhan tutur
bertujuan untuk mencapai kemenangan (Widyarsono, Santoso, & Purwoko, 2011).
Sedangkan penggagas lain yaitu Aristoteles berpendapat jika retorika adalah ilmu
tentang keterampilan berbicara secara persuasive dan objektif (Widyarsono,
Santoso, & Purwoko, 2011). Selain itu, menurut Aristoteles tujuan dari retorika
yaitu membuktikan maksud dari pembicara. Kefasihan atau keindahan bahasa
hanya digunakan untuk membenarkan, mendorong, memerintah, dan
mempertahankan sesuatu (Rajiyem, 2005).

Aristoteles yang merupakan murid dari Plato telah berhasil meciptakan buku-
buku yang sangat terkenal, salah satu karyanya yaitu buku yang berjudul
“Rethorica”. Dalam buku ini Aristoteles membagi dasar-dasar retorika menjadi: (1)
Retorika berkaitan erat dengan moral karena kita harus menyampaikan kebenaran
yang merupakan landasan retorika yang sejati, (2) Metode retorika berdasarkan
analitika dan dialektika. Analitika yaitu meneliti hasil argumenasi dari proposisi
yang benar, sedangkan dialektika yaitu meneliti argumenasi dari proposisi yang
diragukan kebenarannya. Inti dari analitika dan dialektika yaitu menarik
kesimpulan dari proposisi untuk memperoleh kebenaran, (3) Retorika bersifat
melekat dan diresapi semua orang, dimana dialog menjadi tekniknya, (4) Totalitas
suatu pidato dapat dikaji melalui tiga aspek yaitu ethos, pathos, dan logos (Rajiyem,
2005).

Ethos atau credibility, logos atau reason, dan pathos atau emotion (Aho, dalam
Higgins & Walker, 2012). Menurut Rajiyem (2005) ethos yaitu kredibilitas yang
dimiliki oleh orator dalam menyampaikan orasinya sebagai pribadi yang dapat
dipercaya oleh audiens. Hal ini berarti bahwa seorang orator harus memiliki suatu
charisma yang membuatnya mendapat kesan bahwa penuturannya dapat dipercaya.

6
Sedangkan logos yaitu ulasan-ulasan yang merupakan argumen yang logis,
argumen yang logis diyakini sebagai data yang berupa bukti-bukti dan harus
dimiliki oleh seorang orator untuk mendukung pemikiran dalam orasinya. Dan yang
terakhir yaitu pathos merupakan segi emosional dari orator yang terkandung secara
implisit dalam isi pidato, dapat pula diartikan sebagai kemampuan pembicara atau
orator dalam menarik atensi atau emosi dari audiensnya.

Publik

Setelah berbicara tentang teori retorika yang nantinya akan menjadi dasar utama
dalam pembahasan retorika M. Atiatul Muqtadir dalam mengangkat isu RUU
KUHP di depan aktor-aktor politik pemerintahan, teori yang selanjutnya dibahas
yaitu pemahaman tentang publik serta komunikasi publik. Definisi publik menurut
Lippman (dalam Ahmad, 2019) diartikan sebagai sekelompok masyarakat atau
orang-orang yang saling berbagi kepentingan dan ketertarikan bersama. Hal ini
berarti bahwa publik merupakan ruang yang luas dimana terdapat orang-orang yang
memiliki kesamaan kepentingan dan ketertarikan (interest), selain itu publik juga
bersifat dinamis dan berkembang seiring dengan proses. Definisi lain tentang publik
yaitu menurut McDougall (dalam Ahmad, 2019) yang memandang publik dari ilmu
sosiologi sebagai kelompok besar, yang dapat diinterpretasikan sebagai sebuah
grup dari berbagai ukuran keanggotaan yang sebagian kecil atau besarnya sadar
akan kepentingan bersama. Kelompok besar menurut (Moeis, 2008) merupakan
kelompok yang sekarang ini kita sebut sebagai masyarakat (society) dimana jika
dilihat dari unsur kelompok, masyarakat termasuk sebagai kelompok inklusif yang
didalamnya tiap-tiap orang dapat ambil bagian dalam kehidupan bersama, bukan
suatu organisasi atau kelompok yang terbatas untuk tujuan-tujuan tertentu saja.
Sedangkan Smith (dalam Ahmad, 2019) mendefinisikan publik sebagai sesuatu
yang terdiri dari orang-orang yang mampu berpikir dalam bidang atau kelompok
tertentu. Sehingga dari ketiga definisi publik di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa publik tidak terdefinisi berdasarkan letak geografis yang mereka tinggali,
tetapi berdasarkan kepentingan dan kerjasama yang mereka buat (Ahmad, 2019).

7
Komunikasi Publik

Hal ketiga yang perlu diketahui setelah mengenal retorika dan publik yaitu
komunikasi publik itu sendiri. Komunikasi publik adalah komunikasi antara
seorang pembicara dengan sejumlah orang (khalayak) yang tidak bisa dikenal satu
persatu (West dan Turner, 2004: 305). Pengertian lain tentang komunikasi publik
yaitu seni dan tindakan dalam melakukan pidato yang bertujuan untuk mengatasi
keinginan serta kepentingan publik (di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik
pada kehendak dan kepentingan publik) (Ahmad, 2019). Dalam publik speaking,
pembicara biasanya memiliki tiga tujuan utama yang harus dicapai, yaitu untuk
menginformasikan, menghibur, dan untuk mempersuasi. Dalam komunikasi publik
yang saat ini sering dilakukan umumnya memiliki tujuan untuk mempersuasi
masyarakat. Tujuan utama yaitu persuasi ini masuk dalam inti retorika yang
dimaksud oleh Aristoteles.

Persuasi sendiri memiliki banyak pengertian menurut ahli, beberapa di


antaranya yaitu sebuah proses komunikasi di mana komunikator mencoba
memperoleh respon yang diinginkan dari pendengar (Andersen dalam Ahmad,
2019). Hal ini merujuk pada upaya sadar oleh suatu individu dalam mengubah
sikap, kepercayaan, atau perilaku individu atau kelompok lain melalui transmisi
beberapa pesan (Bettinghaus dan Cody, dalam Ahmad 2019). Komunikasi publik
juga berkaitan dengan aktivitas simbol yang bertujuan untuk mempengaruhi orang
secara internal atau sukarela secara sadar melalui transmisi informasi yang
disampaikan (Smith, dalam Ahmad 2019). Persuasi juga memiliki banyak prinsip,
seperti analisis audiens, kredibilitas pembicara, dan penyampaian pesan secara
verbal atau non-verbal (West dan Turner, 2004).

Berhubungan dengan kasus yang ingin penulis analisis mengenai Fathur dan
anggota DPR dalam diskusi mereka, komunikasi publik umumnya seringkali
dikaitkan dengan politik dan urusan politik. Tetapi sebenarnya publik memiliki
jangkauan lebih dari itu. Alasan mengapa komunikasi publik sering dikaitkan
dengan politik adalah karena publik sendiri memiliki makna “dibangun secara
politis”. Maksudnya adalah karakteristik dari publik, saluran komunikasi dan
jaringan yang digunakan saat membahas tentang masalah publik, minat dan

8
keinginan selalu ditentukan oleh struktur politik ekonomi dan budaya politiknya.
Kebanyakan pembicara publik mengikuti ideologi politik tertentu dan memiliki
kepentingan politik (Ahmad, 2019).

D. Metode

Dalam menganalisis retorika yang dilakukan M Atiatul Muqtadir, penulis


menggunakan metode literature review. Dimana penulis menggunakan sumber
pustaka yang berasal dari jurnal dan buku. Literature review menurut Kristianto
(2017) yaitu penggambaran keadaan masa lampau atau masa kini,
mengorganisasikan itu, dan mendokumentasikan kebutuhan penelitian baru. Dari
hasil membaca pustaka tersebut, penulis kemudian menuliskan hal-hal pokok yang
berhubungan dengan tema yang akan dibahas, yaitu tentang retorika, publik, dan
public speaking.

Pembahasan tentang retorika yang utama yaitu ethos, pathos, dan logos. Dimana
penulis mengambil M Atiatul Muqtadir sebagai objek penelitian. Analisis yang
penulis lakukan tentang retorika yang dilakukan Fathur yakni melalui video
Youtube dari saluran Najwa Shihab yang berjudul Mata Najwa: “Ujian Reformasi”.
Analisis dilakukan penulis dengan mencatat hal-hal penting yang Fathur sampaikan
dalam argumennya dan bukti-bukti yang mendukung argumennya tersebut. Selain
itu penulis juga mengamati melalui cara maupun sikap yang Fathur tunjukkan
selama duduk di acara Mata Najwa saat itu. Sehingga melalui metode ini dihasilkan
data kualitatif yang tertulis dari perilaku objek yang diamati. Penelitian ini
berdasarkan data primer yang berasal dari video Mata Najwa yang diunggah saluran
Youtube Najwa Shihab pada 25 September 2019. Sedangkan data sekunder
berdasarkan jurnal-jurnal dan buku.

E. Diskusi

Fathur atau M. Atiatul Muqtadir dalam retorika komunikasinya saat


menyampaikan argumen mewakili mahasiswa seluruh Indonesia telah mampu
menyihir para audience. Bagaimana tidak? Argumen- argumennya yang sangat
relevan dengan keadaan secara factual membuat pendengar terus mengiyakan apa

9
yang ia sampaikan. Pembawaannya yang tenang dan lugas menambah
kredibilitasnya sebagai pembicara publik.

Dalam menganalisis retorika seorang Atiatul Muqtadir, data yang penulis


kumpulkan berdasarkan kesimpulan penulis setelah menontn Mata Najwa “Ujian
Reformasi” yang diunggah dalam akun Youtube Najwa Shihab pada tanggal 25
September 2019. Dalam video potongan yang berdurasi sekitar 16 menit itu,
terdapat beberapa pendapat Atiatul Muqtadir atau Fathur yang dalam mengkritisi
pemerintah membuat audience bertepuk tangan dengan meriah. Salah satunya
dikutip dari video Youtube Mata Najwa, M. Atiatul Muqtadir atau Fathur berkata
bahwa bertambahnya kuantitas dan kualitas demonstrasi itu seiring dengan
menurunnya kualitas pemerintah. Hal ini menanggapi pernyataan sebelumnya milik
Moeldoko bahwa mahasiswa jarang melakukan gerakan aksi dengan jumlah massa
yang sangat besar. Hal ini menarik, karena menurut penulis penuturan yang
disampaikan oleh Fathur memiliki pesan tersirat bahwa saat ini terjadi penurunan
kualitas pemerintah dalam perannya mengayomi masyarakat sehingga
menimbulkan gerakan massa yang dimotori mahasiswa berkuantitas besar.

Adapun argumen lain yang Fathur sampaikan yaitu dalam acara televisi
Indonesia Lawyers Club yang disiarkan di stasiun televisi TV One, bahwa
“Seharusnya pemerintah tidak membuat hokum yang represif, yang secara kekinian
dianggap hokum yang dibentuk dalam splendid situation, seharusnya dalam
demokrasi mampu menghasilkam produk hukum responsive yang memiliki tiga
ciri, yaitu partisipatif, aspiratif, dan presisi.” Sedangkan dalam faktanya, RKUHP
yang isinya tentang makar, penghinaan presiden, dan living law itu merupakan
pasal-pasal yang karet. Mengapa bisa karet? Fathur menyampaikan pendapatnya
bahwa, “Sebab bisa jadi penafsiran pemerintah akan mengkriminalisasi orang-
orang yang tidak menyukai pemerintah atau berbeda pendapat dengan pemerintah.
Apalagi dalam praktiknya, gerakan aksi mahasiswa ini diterpa oleh isu-isu yang
menyatakan bahwa demonstrasi ditunggangi oleh si A, di B, dan sebagainya yang
mana hal ini membuat substansi atau tuntutan-tuntuan mahasiswa seakan
dikaburkan oleh isu tersebut.”

10
Kemampuannya dalam kecakapan bertutur dan argumen-argumen yang jelas
dan factual membuat Fathur memiliki nilai istimewa dalam mata masyarakat.
Utamanya kaum muda seperti mahasiswa. Tak lama setelah demonstrasi
berlangsung dan munculnya Fathur dalam berbagai acara televisi membuat Fathur
semakin dikenal oleh khalayak. Hal inilah yang kemudian membuat Ketua BEM
KM UGM 2019 ini menjadi viral di dunia maya. Dibuktikan dengan eksistensi akun
instagramnya @fathuurr_ yang telah mencapai 1 juta pengikut. Setelah keviralan
dan dikenal banyak kalangan, eksistensi seorang Fathur pun membuat banyak orang
yang mulai menilai Fathur dari caranya beretorika. Tak sedikit yang mengatakan
bahwa ia adalah seorang pembicara publik yang ulung di mana ia mampu
membungkam pihak oposisi dan memenangkan diskusi. Tapi benarkah Fathur
memang sosok pembicara publik yang berhasil? Bagaimana retorika komunikasi
publik Fathur jika dikaji dalam retorika menurut Aristoteles?

Dalam diskusi Fathur bersama sejumlah jajaran petinggi negara dalam bangku
Mata Najwa yang dibawakan oleh Najwa Shihab, Fathur kembali memukau para
audiens dengan kemampuannya yang kharismatik. Dilansir dari akun Youtube
Najwa Shihab, Mata Najwa “Ujian Reformasi” yang diunggah 25 September 2019,
diskusi yang saat itu dihadiri oleh Royyan Abdullah Dzakiy yang merupakan
Presiden Mahasiswa KM Institut Teknologi Bandung; Direktur Eksekutif Lokataru
Haris Azhar; Ketua Umum YLBHI Asfinawati Asfin; dan Pakar Hukum Tata
Negara dan Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Bentera, Bivitri Susanti. Lalu
perwakilan dari pemerintah yang didemo oleh mahasiswa yang hadir pula dalam
acara tersebut yaitu Staff Kepresidenan Moeldoko, wakil ketua DPR 2019 Fahri
Hamzah, anggota komisi ke 3 DPR Asrulsani, dan tim perumus RUU sekaligus
Guru Besar Hukum UGM Edwar Omar Sharif Hiraiej.

Menelaah acara Mata Najwa, acara tersebut bukanlah acara yang hanya berisi
guyonan ataupun anekdot. Tetapi merupakan ruang diskusi yang mempertemukan
pihak professional yang memang terlibat dalam tema yang akan dibahas (Tekkay,
Himpong, & Paputungan, 2017). Dengan munculnya narasumber-narasumber yang
tepat, maka akan menghasilkan diskusi yang berbobot karena semua narasumber
saling berkaitan dengan topik yang dibahas. Kemunculan Fathur dalam acara Mata
Najwa tentu bisa dibilang sebuah prestasi yang mengagumkan, dimana dia dapat

11
berdialog langsung dengan para aktor politik yang sangat dekat dengan Presiden.
Hal ini tentu menambah nilai bintang dalam rekam jejak Fathur. Ditambah dengan
acara Mata Najwa sendiri yang telah mendapat kepercayaan masyarakat sebagai
salah satu media atau acara televisi yang berdedikasi dalam membuka kotak
pandora para narasumber yang sebelumnya tidak diketahui masyarakat. Apalagi
televisi sebagai media massa yang memiliki beberapa fungsi yaitu informasi,
pendidikan, dan hiburan (Gumelar, dalam Tekkay, Himpong, & Paputungan, 2017).
Dimana acara Mata Najwa dan segala diskusi yang dibahasnya mampu membangun
perspektif baru dalam masyarakat, bahkan mempersuasi mereka untuk
mempercayai argumen masing-masing narasumber. Melalui acara Mata Najwa ini,
Fathur telah melakukan komunikasi publik lewat siaran yang ditayangkan melalui
MetroTV maupun akun Youtube Najwa Shihab.

Dalam Mata Najwa, Fathur juga menunjukkan kebolehannya dalam memainkan


kata-kata sebagai pembicara publik, sehingga pendapatnya terkesan sangat kritis
dan berbobot. M. Atiatul Muqtadir atau Fathur ini, mulai disorot ketika ia
menegaskan kembali mengapa reformasi dibawa-bawa dalam gerakan aksi
mahasiswa pada hari Senin tanggal 23 September 2019 kemarin. Dalam
ungkapannya yang dikutip dari video dalam channel Youtube Najwa Shihab pada
tanggal 25 September 2019, Fathur mengatakan bahwa gerakan mahasiswa lahir
dari keresahan-keresahan organik dan dari kajian akademik. Mahasiswa merasa
terganggu jika gerakan ini dianggap ditunggangi dan menjatuhkan (kekuasaan
pemerintah). Gerakan ini sebenarnya berasal dari mahasiswa yang sadar akan RUU
yang pasal-pasalnya melemahkan KPK dan menjadi kemunduran dalam mengurusi
korupsi. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan janji Presiden yang menyatakan akan
menguatkan peran KPK di Indonesia. Pelemahan KPK juga tidak sejalan dengan
semangat reformasi, yang mana ciri dari semangat reformasi itu adalah
pemberantasan korupsi.

Penyampaiannya yang tenang dan disertai senyuman tiap menjawab pertanyaan


atau menyanggah pendapat dari pihak oposisi juga sangat baik. Hal ini jika dikaji
menggunakan teori milik Aristoteles akan masuk nilai dasar “ethos” dimana Fathur
mencoba menarik atensi pendengar dengan pembawaannya yang tenang dan seakan
dapat dipercaya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa nilai ethos dilihat

12
dari kredibilitas yang dimiliki oleh orator dalam menyampaikan orasinya sebagai
pribadi yang dapat dipercaya oleh audiens (Rajiyem, 2005). Menurut Aristoteles,
ethos yang paling besar dan kuat pengaruhnya dilatarbelakangi oleh track record,
catatan perilaku, dan suri tauladan. Hal ini berarti berhubungan dengan jejak
perjalanan M Atiatul Muqtadir semasa hidupnya.

Di lansir dari berita yang diunggah tribunnews pada 25 September 2019 bahwa
Fathur merupakan mahasiswa Kedokteran Gigi UGM 2015 yang diterima melalui
jalur SNMPTN, ia masuk perguruan tinggi satu tahun lebih awal karena
sebelumnya Fathur mengambil kelas akselerasi. Selain dianggap orang pandai
karena berhasil masuk UGM lewat jalur SNMPTN dan mengambil kelas akselerasi,
ternyata Fathur juga seorang muslim yang taat sebab ia ikut dalam keanggotaan
Rohani Islam serta selama duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama dan
Sekolah Menengah Atas, ia disekolahkan di pondok pesantren sehingga ia memiliki
bekal agama yang baik. Selain menjadi pembicara dalam kegiatan-kegiatan
kampus, rupanya Fathur juga pernah mengikuti seminar di luar negeri mewakili
BEM KM UGM dalam Forum Pendidikan dan Kontes Pembicara Muda di Thailand
pada Juni 2019 kemarin. Dari data tersebut telah dinyatakan bahwa Fathur terkenal
dengan memiliki kepribadian yang positif yang akan mempengaruhi audience
dalam memandangnya sebagai pembicara publik. Kredibilitasnya telah ia buktikan
melalui jejak perjalanannya yang baik selama masa hidupnya.

Nilai yang selanjutnya akan dibahas yaitu logos. Mengulang kembali bahwa
“logos” yaitu ilmu yang dimiliki oleh pembicara dalam melakukan publik speaking.
Dalam retorika memiliki makna kata-kata dan alasan yang digunakan harus logis
dan bertanggungjawab. Atau dapat pula berarti ulasan-ulasan yang merupakan
argumen yang logis (Rajiyem, 2005) dimana berupa data fakta yang akan
mendukung argumen lainnya. Masih dikaji melalui Mata Najwa, pada sesi saat
Moeldoko mengatakan bahwa mahasiswa jarang melakukan demo dengan
melibatkan jumlah massa yang besar, Fathur menimpali dengan mengatakan bahwa
sebenarnya setiap tahun mahasiswa telah melakukan aksi. Tetapi, bertambahnya
kuantitas dan kualitas demonstrasi itu seiring dengan menurunnya kualitas
pemerintah. Lantas penonton yang berada di studio bertepuk tangan meriah seusai
Fathur selesai berbicara. Apa yang dimaksud oleh Fathur saat itu termasuk dalam

13
mengkritik pemerintah yang saat ini semakin berkurang kinerjanya, yang mana
pemerintah utamanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak lagi mau mendengar
aspirasi dari rakyat.

Hal tersebut terbukti dengan dipersulitnya mahasiswa untuk bertemu dengan


Dewan Perwakilan Rakyat. Seperti yang dituturkan oleh Royyan yang merupakan
Presiden KM ITB saat ditanya oleh Mbak Nana (sapaan Najwa Shihab) tentang
apakah sepanjang 2 hari demo sempat diterima, dan apakah dari tuntutan yang
disampaikan ada yang ditindaklanjuti, Royyan mengatakan bahwa “…. tanggal 19
September dimana di sana, kawan-kawan total massa sekitar 3000-an dari 20
kampus yang mengusulkan terkait revisi undang-undang korupsi yang bermasalah
dan RKUHP, disitu sayangnya kita tidak bertemu langsung dengan pihak legislative
namun akhirnya dipertemukan dengan Sekretariat Jenderal DPR RI, yang tentunya
memiliki fungsi yang berbeda,” lebih lanjut Royyan juga menuturkan bahwa dari
adanya pertemuan dengan Sekjen DPR RI mereka menghasilkan sebuah surat
kesepakatan dari Bapak Ir. Indra Iskandar, dan jaminan beliau bahwa tuntutan akan
disampaikan dan jaminan pengadaan pertemuan tanggal 19 September. Namun,
lagi-lagi hal itu diabaikan oleh pemerintah dengan alasan bahwa “Mohon maaf
kami belum pernah mendengar sama sekali perjanjian tersebut,” seperti yang
disampaikan oleh salah satu anggota Komisi III.

Selanjutnya dari sisi “pathos” sendiri, yang bila dijelaskan kembali “pathos”
sebagai kemampuan untuk menarik emosi dari pendengar atau dalam bahasa
mudahnya dapat diartikan sebagai bentuk feedback yang diberikan pendengar
terhadap pembicara. Atau menurut Rajiyem (2005) pathos merupakan segi
emosional dari orator yang terkandung secara implisit dalam isi pidato. Dalam hal
ini, “pathos” pada Fathur dilakukan saat ia mengkritisi DPR mengenai pasal-pasal
yang dicantumkan dalam RUU. Tidak hanya Fathur, bahkan banyak khalayak dan
mahasiswa yang menganggap bahwa pasal-pasal dalam RUU terkesan ngawur dan
karet. Dalam video Youtube yang diunggah Allegro TV pada tanggal 25 September
2019, Fathur mengemukakan argumennya dalam menyikapi keputusan presiden
untuk menunda pengesahan RUU, ia mengatakan bahwa menunda adalah bahasa
politis. Ketika sudah keadaan paripurna pilihan yang tersedia hanyalah tolak atau

14
terima. Hal ini sejalan dengan masa jabatan DPR yang akan berakhir pada tanggal
2019.

Fathur juga berkata bahwa seharusnya pemerintah tidak membuat hukum yang
represif, yang secara kekinian dianggap hukum yang dibentuk dalam splendid
situation. Seharusnya dalam demokrasi mampumenghasilkan produk hukum
responsif yang memiliki tiga ciri, yaitu partisipatif, aspiratif, dan presisi. Padahal
RKUHP yang isinya tentang makar, penghinaan presiden, dan living law itu
merupakan pasal-pasal yg karet. Mengapa bisa karet? Sebab bisa jadi penafsirannya
pemerintah mengkriminalisasi orang-orang yang tidak menyukai pemerintah atau
berbeda pendapat dengan pemerintah.Hal ini tentu bertentangan dengan pendapat
Fathur mengenai hukum yang responsive.Di sini Fathur dianggap telah berhasil
menarik atensi pendengar dengan menjelaskan implementasi dari RKUHP ini
mampu memberikan dampak yang buruk bagi masyarakat kedepannya. Sebab
masyarakat akan merasa berempati satu sama lain saat menyangkut kepentingan
bersama.

Selain itu dari pendapat Fathur di atas, bisa dikatakan bahwa akibat dari pasal
tersebut akan ada orang tak bersalah menjadi salah. Sebagai contoh penulis
mengambil pasal 251, 470, 471, dan 471 tentang larangan aborsi. Dirangkum isinya
menjadi pemberi atau penerima obat penggugur kandungan, orang yang
menunjukkan alat menggugurkan kandungan, orang yang menggugurkan
kandungan dan orang yang menggugurkan kandungan bisa terjerat pasal ini (Fauzi,
dalam CNN Indonesia 2019). Menurut ICJR (Institute for Criminal Justice
Reform), peraturan ini dapat merugikan dan mengkriminalisasi korban
pemerkosaan, sebab mereka pasti akan dijerat dengan jeruji besi. Padahal secara
norma sosial mereka adalah korban yang harusnya dilindungi.

Selain itu Fathur juga menunjukkan pathos-nya dalam argumen yang


menyatakan bahwa ia ingin menegaskan, kedepannya dalam membaca kegelisahan
yang terjadi bertubi-tubi bahwa mahasiswa bukan manusia bodoh, mereka adalah
gerakan terpelajar sehingga sangat disayangkan bahwa gerakan mahasiswa ditabrak
dengan isu ditunggangi si A, ditunggangi si B. Fathur berkata bahwa benar
mahasiswa memang harus berhati-hati dengan penipuan. Namun yang disayangkan

15
adalah substansi yang mahasiswa inginkan tak pernah dibahas oleh pemerintah.
Tuntutan yang hingga kini tidak mau ditemui oleh DPR adalah bahwa setelah
ditunda maka akan dibahas ulang dengan melibatkan akademisi dan masyarakat.

F. Penutup

Indonesia telah menjadi negara demokrasi bahkan sejak pertama kali berdiri
yang dipimpin oleh Presiden yang sangat kharismatik, Soekarno. Hingga terus
berlanjut pada pemerintahan berikutnya seperti masa orde baru yaitu zaman
Presiden Soeharto, masa pemerintahan Habibie, masa pemerintahan Bapak
Pluralisme Abdurrahman Wahid, masa Presiden Wanita Indonesia pertama
Megawati, masa Susilo Bambang Yudhoyono, hingga saat ini masa Joko Widodo
yang akan berjalan dua periode masa jabatan. Demokrasi yang telah ada sejak lama
namun tidak dengan kesadaran tinggi yang tumbuh dalam lingkungan pemerintah
maupun warga negara. Demokrasi masih saja menjadi sarat akan kecurangan.
Bahkan tak jarang dijadikan kambing hitam dari kepentingan kelompok atau
individu.

Penulis mengambil tahun 2019 sebagai fenomena baru dimana isu dan
permasalahan politik seakan tak ada habisnya menyambut pemilu serentak 2019.
Fenomena politik yang ingin dikaji yaitu kebijakan DPR yang merancang RUU
KUHP dimana pasal-pasalnya sangat sarat akan multitafsir. Mahasiswa yang
merupakan pemuda berjiwa idealism tentu tidak akan diam saja menanggapi hal
tersebut. Utamanya dalam demokrasi yang semakin dikorupsi yang kemudian
membangkitkan kembali jiwa reformasi 1998.

Berbagai mahasiswa dari berbagai daerah seperti Yogyakarta, Jakarta,


Makassar, Bali, Bandung, Semarang, Solo, Aceh, dan Palembang. Dimana
demonstrasi yang tak henti-hentinya dalam terik matahari yang menyengat terus
mengobarkan semangat reformasi yang dikorupsi. Dari demonstrasi yang
dikoordinir oleh masing-masing kampus yang tentunya memiliki badan yang
bertanggungjawab seperti, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), muncullah seorang
komunikator public yang gagasan dan kevokalannya dalam mengkritisi pemerintah
berhasil menarik perhatian masyarakat. Ia adalah M Atiatul Muqtadir atau yang
akrab disapa Fathur yang merupakan Ketua BEM KM UGM 2019.

16
Fathur sendiri mulai disorot setelah ia menjadi pembicara yang mewakili
teman-teman mahasiwa lainnya bersama beberapa Presiden BEM Universitas
lainnya seperti Royyan (Presma ITB), Dinno (Presma Trisakti), dan
Marganamahendra (Presma UI) dalam acara Indonesia Lawyers Club dan Mata
Najwa. Hal yang menjadi menarik bahwa Fathur kemudian viral di dunia maya
terbukti dengan pengikut di social medianya yaitu Instagram yang telah mencapai
1 Juta orang. Keviralannya ini tentu bukan tanpa alasan, sebab Fathur dinilai tak
hanya elok dalam rupa namun elok pula pada kredibilitasnya. Hal ini yang
kemudian penulis bahas melalui analisis retorika yang Fathur lakukan, melalui
analisis ethos, pathos, dan logos yang merupakan nilai-nilai beretorika menurut
Aristoteles. Dengan metode literature review dengan mencari buku dan jurnal yang
membahas tema yang sama dan menggunakan analisis video melalui saluran
Youtube.

Dari hasil data yang penulis kumpulkan dengan menyaksikan acara Mata
Najwa: “Ujian Reformasi” yang diunggah melalui saluran Youtube Najwa Shihab
pada 25 September 2019, penulis kemudian mendapati kesimpulan yang mana data
tersebut kemudian dianalisis melalui nilai retorika ethos, pathos, dan logos. Dari
hasil telaah ethos, pathos, dan logos yang ada pada saat M. Atiatul Muqtadir atau
Fathur beretorika, dapat dikatakan bahwa Fathur merupakan public communicator
yang berhasil. Sebab dari analisis ethos yang dilakukan Fathur merupakan sosok
yang memiliki kredibilitas. Ethos yaitu nilai yang berarti karakter (kredibilitas) dari
seorang pembicara. Jika diamatidari cara Fathur berbicara serta menanggapi
pernyataan oposisi sangatlah baik, karena dalam menanggapinya Fathur bergaya
sangat tenang dan memperlihatkan senyum ramahnya. Sedangkan jika dikaji
menurut Aristoteles, nilai “ethos” yang kuat dilihat dari track record-nya, Fathur
memiliki masa hidup yang bisa dikatakan sangat baik. Beberapa buktinya adalah ia
menjadi mahasiswa yang pandai dengan ikut kelas akselerasi dan masuk Fakultas
Kedokteran UGM melalui SNMPTN. Selain itu, ia juga merupakan seorang muslim
yang taat, aktif berorganisasi, dan mampu menjadi pembicara bahkan sampai ke
luar negeri.

Kemudian bila dianalisis melalui pathos-nya, pathos sendiri merupakan


pathos merupakan segi emosional dari orator yang terkandung secara implisit dalam

17
isi pidato. Kemudian yang dimaksud disini adalah menarik emosi dari pendengar
atau dalam bahasa mudahnya dapat diartikan sebagai bentuk feedback yang
diberikan pendengar terhadap pembicara. Di sini Fathur merupakan pembicara
publik yang berhasil karena mampu menarik atensi pendengar dengan memberikan
argumen-argumen yang sangat relevan dengan keadaan bangsa saat ini. Di ambil
dari kasus ketika Fathur mengambil permasalahan mengenai gerakan aksi yang
diisukan ditunggangi oleh oknum A, oknum B, C dan yang lainnya. Kemudian ia
menjelaskan bahwa isu tersebut malah mengaburkan substansi yang sebenarnya
mahasiswa inginkan dibahas bersama DPR. Kemudian dilihat dari caranya
mengambil RKUHP yang pasal-pasalnya dinilai karet sebab tafsiran pemerintah
bisa saja mengkriminalisasi orang-orang yang berbeda pendapat dengan
pemerintah. Caranya berargumen dimana argumennya menyangkut kepentingan
khalayak ramai tentu menjadi poin penting yang dapat membuat orang percaya dan
mendukung argumen yang ia sampaikan. Hal ini dibuktikan dengan respon positif
dari audiens di dalam studio Mata Najwa yang bertepuk tangan meriah dan
mengiyakan argumennya tersebut.

Dan yang terakhir retorika Fathur dikaji melalui “logos”. Logos yaitu
ulasan-ulasan yang merupakan argumen logis, argumen yang logis diyakini sebagai
data yang berupa bukti-bukti dan harus dimiliki oleh seorang orator untuk
mendukung pemikiran dalam orasinya. Atau dalam kata lain bahwa logos adalah
ilmu yang dimiliki oleh pembicara dalam melakukan publik speaking. Di sini
Fathur memberikan penjelasan mengenai permasalahan di sekitarnya yaitu tentang
DPR yang tidak lagi memperdulikan aspirasi rakyat. Hal ini ia buktikan dengan
adanya RUU yang dibuat secara diam-diam tanpa adanya campur tangan dari
masyarakat, padahal kita negara demokratis. Apalagi RUU yang diajukan juga
banyak merugikan dan mengkerdilkan masyarakat. Bukti lain yaitu dengan
dipersulitnya jalur temu mahasiswa dengan DPR, yang menurut Fathur DPR terlalu
banyak alasan dan berbohong untuk menemui dan sekedar membahas mengenai
tuntutan-tuntutan yang mahasiswa serukan dalam aksi kemarin. Pemaparan bukti
dimana DPR mempersulit pertemuan dengan mahasiswa ini juga didukung oleh
rekan Presmanya yaitu Royyan yang turut menjelaskan kronologi dimana

18
pemerintah seakan sengaja mempersulit pertemuan dengan mahasiswa untuk
membahas tuntutan-tuntutan mahasiswa dalam demonstrasi yang dilakukan.

Daftar Pustaka :

Ahmad, Nyarwi. 2019. Session 1 Public and Public Communication-An


Introduction-11 08 2019. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. [Powerpoint]

Ahmad, Nyarwi. 2019. Session 3-5 Persuasion and Rhetoric-Principle and Styles.
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. [Powerpoint]

Fauzi, G. 2019, 18 September. Pasal Aborsi di RKUHP Berpotensi Ancam Korban


Perkosaan. Tersedia di
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190917200658-12-
431355/pasal-aborsi-di-rkuhp-berpotensi-ancam-korban-perkosaan.
Diakses pada 11 Desember 2019.

Higgins, C. (2012). Ethos, Logos, Pathos: Strategies of Persuasion in


Social/Environmental Reports. Accounting Forum 36, 194– 208.

Najwa, M.,2019. Ujian Reformasi: Perlawanan Mahasiswa (Part 2) | Mata Najwa.


Tersedia di https://www.youtube.com/watch?v=oh5t76sT1Ug. Diakses
pada 9 September 2019.

Najwa, M.,2019. Ujian Reformasi: Perlawanan Mahasiswa (Part 1) | Mata Najwa.


Tersedia di https://www.youtube.com/watch?v=xVfFmxs3VnE. Diakses
pada 9 September 2019.

Purnaweni, H. (2004). DEMOKRASI INDONESIA: DARI MASA KE MASA.


Jurnal Administrasi Publik, 118-131.

Rajiyem. (2005). Sejarah dan Perkembangan Retorika. Humaniora, 142-153.

Sofyan, A. (2013). PEMAKNAAN DEMOKRASI DI ERA REFORMASI (Opini


Masyarakat Jawa Tengah terhadap Demokrasi Saat Ini) . POLITIKA, 5-13.

Tekkay, A., Himpong, M., & Paputungan, R. (2017). PERSEPSI MASYARAKAT


TENTANG TALKSHOW “MATA NADJWA” DI METRO TV (STUDI

19
PADA MASYARAKAT BAHU KECAMATAN MALALAYANG). e-
journal “Acta Diurna” , 1-17.

TV, Alegro, 2019. Jawaban Cerdas Ketua BEM UGM di ILC. Tersedia di :
https://youtu.be/BLw86eWpsll. Diakses pada 9 September 2019.

West, R., & Turner, L. (2010). Introducing Communication Theory ANALYSIS


AND APPLICATION. New York: McGraw-Hill.

Widyarsono, T., Santoso, A., & Purwoko, D. (2011). Pengumpulan Sejarah Sumber
Lisan : Gerakan Mahasiswa 1996 dan 1998.

Wiendijarti, I. (2014). Kajian Retorika Untuk Pengembangan Pengetahuan dan


Ketrampilan Berpidato. Jurnal Ilmu Komunikasi,, 70-84.

20

Anda mungkin juga menyukai