Anda di halaman 1dari 3

15 Bentuk Argumentasi yang Sesat

Hampir setiap orang melakukan diskusi, pembicaraan seputar diskusi bisa mengenai masalah
pribadi, seperti perbincangan tentang hutang, cinta, perselingkuhan; atau diskusi-diskusi soal-soal
publik, misalnya tentang politik, sosial, budaya dan lain-lain. Namun pernahkah kita mendengar
istilah diskusi ngawur? Suatu diskusi bisa disebut ngawur, karena ia tidak mengikuti asas-asas
dalam berargumentasi. Asas-asas berargumentasi itu mesti diikuti, jika diskusi berintensi
menemukan kebenaran. Syahdan, asas-asas berargumentasi pun mesti diandaikan sebagai ilmiah.
Apa yang disebut ilmiah di sini ialah, ketika kita melakukan argumentasi, yang berusaha seminimal
mungkin menghilangkan unsur-unsur subjektif. Semisal, sentimen pribadi, dorongan emosional,
dan juga berhala-berhala lainnya yang berpotensi menopengi objektivitas.

Beda halnya dengan debat. Dalam debat, kita tak mencari kebenaran, namun kemenangan.
Kemenangan adalah suatu kedigdayaan bagi peserta debat, sehingga ia mesti dijunjung tinggi,
bahkan mesti dijadikan kiblat layaknya Ka’bah. Mitra wicara adalah musuh, sehingga mesti
dihancur leburkan hingga menjadi debu yang tak berarti. Asas ilmiah barangkali bisa dipakai di
dalam debat, hanya saja, pengandaian dasarnya—sekali lagi—bukanlah kebenaran, namun
kemenangan.

Sebagaimana sempat disindir di muka, jika kita ingin diskusi kita bermutu, tidak ngawur,
lurus, tepat, tidak ngaco, tidak ngabalieur, tidak tolol, tidak pianjingeun, rapi, teratur, mengikuti
asas ilmiah, tidak mengikut dorongan sentimen, ingin setia pada kebenaran, ingin menjunjung
tinggi kemuliaan pengetahuan, maka patutlah diketahui beberapa pagar-pagar di bawah ini. Pagar-
pagar ini dimaksudkan sebagai jalur agar diskusi masih disebut sebagai ‘diskusi’, dan bukan debat
kuda (karena sebutan kusir terlampau mulia untuk menamai debat yang ngaco).

Tapi bukankah pagar-pagar ini akan menyulitkan kita? Tentu saja sulit, bagi yang malas
merapikan pikirannya! Bagi yang diskusi karena gaya, unjuk gigi, menunjukan heroisme bahwa
sayalah Sang Cerdas, atau menggaet lawan jenis (tidak terkecuali bagi kalangan gay, yang ingin
merayu sesama jenis). Namun, agar kita tahu bagaimana diskusi dengan baik dan benar, maka kita
perlu mengetahui kesalahan-kesalahan yang seringkali muncul ketika berdiskusi, dan tentu saja,
kesalahan itu terletak dalam pola membangun argumentasi. Lantas, apa saja bentuk-bentuk
argumentasi yang salah itu? Inilah...

1. Argumentum ad hominem
Argumentum ad homimen adalah bentuk argumentasi yang menyerang subjeknya. Misalnya,
menyerang latar belakang, organisasi, mengejek fisik, menyerang sifat, dan hal-hal lain yang
melekat pada si mitra wacana. Tentu saja, bangunan argumentasi ini sama sekali tidak
menyerang konten yang sedang diangkat atau diperbincangkan. Contoh: kamu menolak
undang-undang pelarangan pornografi, ya karena kamu suka nonton di website pornhub.com
2. Strawman Fallacy
Strawman Fallacy adalah bentuk argumentasi yang menyerang wacana lawan, tapi yang
diserang itu bukanlah posisi lawan yang sebenarnya. Misalnya, mitra diskusi kita
menyatakan tentang pelarangan iklan bir di televisi. Lalu kita menyerang posisi lawan
dengan bicara: tapi kan semua orang tidak bisa berhenti minum bir, dengan demikian
argumentasimu tidak masuk akal. Kita juga harus menghargai para peminum bir dong.
3. Argumentum ad Ignoratium
Argumentum ad Ignoratium adalah bentuk argumentasi dengan mengandalkan
ketidaktahuan untuk menyerang argumentasi lawan. Kita membuktikan bahwa kita tidak
1
mungkin mengetahui tentang sesuatu, lalu kita menarik kesimpulan darinya. Contoh: selama
ini kita tidak tahu apa-apa soal jin, maka dari itu ia pasti tidak ada. Atau sebaliknya.
4. False Dilemma
False Dilemma adalah bentuk laku argumentasi dengan membuat dilema yang salah.
Misalnya: di dunia ini ada orang yang menyukai lagu Black Pink, sedang sisanya adalah
orang yang tak menyukai musik.
Tapi perlu diketahui juga, bahwa terdapat beberapa dilema yang memang sah, misalnya,
Emul bisa menjadi presiden bagi masyarakat pecinta reptil atau tidak sama sekali.
5. Slipery Slope
Silepry Slope adalah pola argumentasi yang menarik akibat ke titik ekstrem. Misalnya: kalo
kamu mutusin aku nanti aku enggak akan kuliah, kalau aku enggak kuliah nanti aku susah
kerja, kalau aku susah kerja nanti aku susah dapet uang, kalau aku susah dapet uang, nanti
aku enggak bisa beli makan, kalau aku enggak bisa makan nanti aku mati.
Memang, kita bisa menarik implikasi dari beberapa bentuk pernyataan atau wacana yang
disajikan, namun kiranya akan sangat buruk jika kita menariknya ke implikasi yang terlalu
ekstrem, apalagi ke suatu hal yang tidak mungkin. Implikasi dari suatu hal memang bisa
terjadi, namun mesti mengikuti keketatan berpikir, alias tidak semena-mena.
6. Petitio Principii
Petitio Principii adalah pola argumentasi berputar-putar, yang pada dasarnya tidak
membuktikan apapun. Misalnya: Islam itu kan agama yang benar, buktinya terdapat di
dalam Al-Qur’an. Atau Jihyo Twice adalah leader terbaik, karena tak ada lagi orang yang
mampu melakukan tarian khas Jihyo itu selain Jihyo.
7. Hasty Generalisation
Hasty Generalisation adalah pola argumentasi yang berusaha menggeneralisasi, namun
bukti-bukti untuk menari generalisasinya tidak cukup. Dalam artian, terlalu terburu-buru
menarik suatu hal yang general. Misalnya: semua cowok itu sama aja. Padahal dia baru
berpacaran dengan dua pria. Atau: kita tahu bahwa anak Filsafat kan belum pernah
memikirkan tentang hal itu, dan itulah kesalahan kita.
8. Ignoratio Elechi (Red Herring)
Bagi saya pribadi, untuk mendeteksi gejala Ignoratio Elechi cukup sulit. Karena kita mesti
jeli terhadap pernyataan lawan bicara. Ignoratio Elechi berarti argumentasi yang keluar dari
konteks pembicaraan. Contoh:
A: Anak perempuan lebih pintar dari laki-laki
B: Bagaimana kamu tahu?
A: Karena memang demikian adanya.
B: Tapi bagaimana kamu bisa tahu?
A: Buktinya, Simone de Beavoir jadi tokoh filsuf yang berpengaruh. Jane Austen banyak
melahirkan karya sastra
B: Bagaimana kamu tahu bahwa mereka lebih pintar dari laki-laki?
A: Banyak perempuan ber-IQ tinggi, dan itulah bukti bahwa mereka lebih pintar
B: Kamu tidak menjawab pertanyaanku
A: Buktinya aku lebih pintar dari kamu, jadi perempuan itu lebih pintar
9. Tu Quoque Fallacy
Tu Quoque Fallacy adalah bentuk argumentasi untuk membenarkan posisi kita, sambil
membawa-bawa posisi orang lain. Misalnya: ya aku memang melakukan hal ini, tapi kamu
juga melakukan hal ini kan?! Bahkan kamu lebih parah!

2
Perlu diketahui juga bahwa terdapat juga pola yang masih bisa diterima, yakni argumentasi
melibatkan orang lain, tapi dengan intensi bertanggung jawab, dan itu cukup sah. Contoh,
aku dan kamu memang melakukan hal itu, dan kita bisa harus melakukan penyelesaian
terhadap problem ini.
10. Causal Fallacy
Causal Fallacy adalah pola penarikan sebab yang salah, pola ini juga bisa disebut sebagai
post hoc ergo propter hoc, pola penarikan sebab yang tidak tepat. Misal: aku kemarin sakit
perut ketika melewati pohon beringin, maka pohon beringin itu penyebab sakit perutku.
Catatan: pola penarikan sebab tentu tidak bisa manasuka, harus melibatkan ketilitian dan
kedetilan, dan tentu: kehati-hatian.
11. Fallacy of Sunk Cost
Argumentasi bentuk ini ialah, berargumentasi dengan melibatkan kesudah-terlanjuran.
Misalnya: kita kan sudah menjadi Indonesia, dan banyak masyarakat yang sudah menganut
Pancasila, maka tidak mungkinlah bagi kita untuk mengubah asas negara.
12. Argumentum ad Verecundiam
Bentuk argumentasi ini adalah, pola argumentasi yang salah dan tidak tepat dalam
menggunakan otoritas. Misalnya di dalam iklan sabun rambut: pakailah sabun ini, karena
menurut Raffi Ahmad sabun ini mengandung zat-zat untuk membersihkan rambut. Atau
sebaliknya, terlalu mendewakan otoritas. Contoh: diakan wali, maka apa pun yang ia
katakan pasti benar.
Catatan: Setiap manusia pasti melakukan kesalahan, percaya pada otoritas tetap boleh,
namun dengan catatan hanya sebagai acuan pencarian kebenaran, dan bukan
memberhalakan.
13. Equivocation
Equivocation adalah pola berargumentasi dengan menggunakan bahasa-bahasa yang kurang
jelas artinya atau ambigu, dan seringkali juga menggunakan bahasa yang eufemistik.
Contoh: Jangan berurusan dengan orang yang berpangkat, karena ia memiliki kewenangan.
Kata pangkat di sini tidak begitu jelas artinya.
14. Argumentum ad Misericundiam
Maksud dari bentuk argumentasi ini adalah, ketika kita berargumentasi namun melibatkan
dan meminta rasa iba dari orang lain. Contoh: kamu memang tidak tega untuk menghukum
pejabat yang korupsi 1 Triliyun itu? Bukankah mereka punya anak dan mama yang sedang
sakit?
15. Bandwagon Fallacy
Terakhir, pola Bandwagon Fallacy adalah, ketika kita melibatkan opini umum untuk
mengafirmasi kebenaran argumentasi kita. Misalnya: semua orang kan sudah menyetujui
POKI 2013 ini, jadi kita terimalah kebenaran POKI 2013 ini.
Catatan: ingat, bahwa tidak setiap opini umum itu benar, karena terdapat kemungkinan
bahwa orang-orang yang terlibat dalam keumuman itu adalah orang yang sesat pikir, tidak
berpengetahuan, dan lain sebagainya.

Itulah kurang lebih 15 kecacatan berargumentasi dalam berdiskusi. Kiranya, kelima belas kesalahan
berpikir itu wajib kita ingat, agar ketika kita berargumentasi, tidak seperti kadal liar (itu pun kalau
kadal liar pernah berdiskusi).

Anda mungkin juga menyukai