Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TEKNIK PROPAGANDA POLITIK DI INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Propaganda

Dosen Pengampu : Muhajir Affandi, M.I.Kom

Disusun Oleh :

Lia Kurniawati

UNIVERSITAS ISLAM AL-IHYA (UNISA)

KUNINGAN

2022
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
2. Focus Makalah
3. Pertanyaan Makalah
4. Tujuan Makalah
5. Manfaat Makalah
BAB II PEMBAHASAN
1. Definisi
a. Propaganda
b. Politik
c. Propaganda Politik
d. Sistem Politik Indonesia
2. Kajian Teori
1. Teori Interaksionalisme Simbolik
2. Teori Dramaturgis
3. Paradigma Konstruktivis
4. Tujuan Propaganda
5. Jenis-jenis Propaganda
6. Teknik-teknik Propaganda
7. Studi Kasus
a. Propaganda Era Ordebaru
b. Propaganda Era Habibi
c. Propaganda Era Reformasi
BAB III KESIMPULAN
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Di zaman Orde Baru, Presiden Soeharto dicap sebagai pemimpin yang
sangat diktator. Padahal, selama masa kepemimpinannya Soeharto tidak pernah
terbukti melanggar Pancasila dan UUD 1945. Kondisi sosial masyarakat di masa
Orde Baru juga lebih baik dari era Reformasi. Dimana, Soeharto yang dikenal
sebagai Bapak Pembangunan dirasakan secara sungguh-sungguh dalam upayanya
mensejahterakan rakyat Indonesia. Begitu pun, selama menjadi Presiden,
ketegasan Soeharto dalam memimpin membuat kelompok radikalisme dan
separatis tidak dapat berkembang di Indonesia. Meskipun kelompok radikal dan
separatis dari dulu terus mencoba dengan segala cara untuk dapat melakukan aksi,
agar tujuan mereka tercapai.
Namun Soeharto sebagai Presiden tidak memberikan kesempatan terhadap
kelompok radikal dan separatis untuk mempengaruhi rakyat. Sebab tanpa
dukungan dari rakyat gerakan radikal dan separatis tidak akan dapat berkembang.
Hal ini yang membuat kelompok radikal dan separatis sangat membenci Soeharto.
Maka di saat krisis moneter terjadi secara menyeluruh di Asia Tahun 1998, situasi
ini dimanfaatkan kelompok radikal dan separatis merangkul kelompok nasional,
untuk menggulingkan Soeharto, dengan tujuan dan agenda masing-masing.
Rakyat kemudian dibuat benci terhadap Soeharto, sehingga rakyat mau
mendukung rencana kelompok radikal, separatis dan nasionalis. Tentu harus
dibuat sesuatu yang dapat membuat rakyat benci terhadap Soeharto.
Untuk memenuhi pangsa pasar maka isu propaganda yang diusung, Soeharto
adalah pemimpin yang diktator, korupsi, kolusi dan nepotisme. Isu yang
dihembuskan tersebut berhasil menyulut amarah rakyat pada saat itu, sehingga
Soeharto lengser dari kekuasaannya.
Rakyat tidak sadar bahwa sosok seorang Soeharto sebenarnya bukanlah
orang yang diktator dan koruptor, hal ini dapat dibuktikan dengan sikap Soeharto
disaat situasi negara genting. Beliau tidak menggunakan pasal 22 UUD 1945 yang
berbunyi, “Dalam hal ihwal kegentingan memaksa Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Kalau mau, kala itu Soeharto bisa saja mengeluarkan Perppu untuk
memaksa kekuatan militer dan kepolisian untuk mengamankan situasi yang tidak
kondusif demi mempertahankan jabatannya sebagai Presiden.
Akan tetapi, Soeharto tidak melakukan hal tersebut sebagai bentuk rasa sayangnya
terhadap rakyat Indonesia secara menyeluruh dan Ibu Pertiwi. Beliau lebih
memilih mundur dengan baik sesuai konstitusi, sikap Soeharto ini menunjukkan
sikap yang bijaksana dan jiwa kesatria kepada seluruh rakyat dan patut kita
teladani.
Runtuhnya Orde Baru ternyata sangat mempengaruhi seluruh sendi-sendi
kehidupan rakyat Indonesia, serta pola pikir dan budaya. Pemikiran-pemikiran
logis mulai tersisih dengan pemikiran yang tidak logis. Bahkan pemikiran yang
tidak logis akan mendapat dukungan dari rakyat dan elit partai. Masa Orde Baru
telah tutup buku, yang kemudian lahirlah era reformasi.
Propaganda Era Reformasi dengan mengusung agenda pemberantasan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, namun agenda yang diusung rezim reformasi
justru menyuburkan sikap diktator, korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagai bukti
sikap diktator yang semakin subur adalah bila seorang politikus memperjuangkan
kepentingan rakyat yang ketepatan berseberangan dengan kepentingan partai dan
ketua umum, atau tidak senang terhadap anggotanya, maka politikus yang
dianggap sebagai duri akan ditutup ruang geraknya di segala bidang, bila perlu
dipecat. Dan yang paling hebat di rezim reformasi yang mengusung agenda
pemberantasan KKN malah semakin berani dan terang-terangan melaksanakan
KKN melalui pengurus partai mulai dari ketua umum sampai pengurus partai di
desa, barang siapa anggota partai yang berani mengusik, maka pasti kena sanksi
atau tergusur.
Dari latar belakang masalah, penulis tertarik untuk menulis makalah ini
dengan judul “ TEKNIK PROPAGANDA POLITIK DI INDONESIA (Studi
Kasus Era Orde Baru dan Era Reformasi)”.
2. Fokus Makalah
Adapun masalah yang menjadi fokus makalah ini adalah bagaimana Teknik
Propaganda politik di Indonesia, pada era orde baru dan era reformasi. Teori
yang digunakan adalah Teori Interaksionalisme Simbolik dan Teori Dramaturgi. Konten
makalah ini adalah Teknik propaganda politik. Makalah ini akan dilakukan
secara kualitatif, dengan menggunakan paradigma konstruktivis.
3. Pertanyaan Makalah
Adapun makalah ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana teknik propaganda politik di era orde baru dan era reformasi?
2. Mengapa memilih propaganda politik di era orde baru dan era reformasi?
3. Bagaimanakah evaluasi teknik propaganda politik di era ordebaru dan era
reformasi?
4. Tujuan Makalah
Dari penjelasan diatas, maka makalah ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui teknik propaganda politik di era ordebaru dan era reformasi.
2. Mengetahui faktor-faktor yang menentukan pemilihan propaganda politik di
era ordebaru dan era reformasi
3. Melakukan evaluasi teknik propaganda politik di era ordebaru dan era
reformasi
5. Manfaat Makalah
Melalui makalah ini penulis berharap ada beberapa manfaat yang
dihasilkan, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis, yaitu
1. Manfaat Teoritis : Makalah ini diharapkan dapat memberi masukan yang
bermanfaat bagi studi komunikasi politik yang akhir-akhir ini makin banyak
memperoleh kajian dari berbagai disiplin ilmu, baik melalui kajian teoritis
maupun melalui kajian riset di bidang terapan.
2. Manfaat Praktis : Secara praktis makalah ini diharapkan dapat
merefleksikan propaganda politik di Indonesia, pada era orde baru dan era
reformasi, tidak kalah pentingnya bahwa makalah ini dapat memperkaya
hasil pemikiran pada ilmu komunikasi pada khususnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis menguraikan tentang Definisi, Kajian Teori, Tujuan
Propaganda, Jenis Propaganda, Teknik-teknik Propaganda, dan Studi Kasus.
1. Definisi.
A. Propaganda
Propaganda adalah Komunikasi yang digunakan oleh suatu
kelompok terorganisir yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif
dalam tindakan-tindakan suatu massa, terdiri atas individu-individu,
dipersatukan secara psikologis memalui manipulasi psikologis dan
digabungkan di dalam suatu organisasi Dan Nimmo (1993).
Menurut Heryanto dan Farida (2010), propaganda adalah
komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin
menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu
massa yang terdiri atas individu- individu, dipersatukan secara psikologis
melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi.
Menurut Jacques Ellul (Nimmo, 1989), propaganda adalah
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, partai politik, dan kepentingan
untuk mencapai tujuan politik (strategis dan taktis) dengan pesan-pesan
yang lebih khas yang lebih berjangka pendek. Propaganda digunakan oleh
suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau
pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-
individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan
digabungkan dalam suatu organisasi.
Propaganda adalah sebuah upaya disengaja dan sistematis untuk
membentuk persepsi, memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan
memengaruhi langsung perilaku agar memberikan respon sesuai yang
dikehendaki pelaku propaganda.
Sebagai komunikasi satu ke banyak orang (one-to-many),
propaganda memisahkan komunikator dari komunikannya. Namun
menurut Ellul, komunikator dalam propaganda sebenarnya merupakan
wakil dari organisasi yang berusaha melakukan pengontrolan terhadap
masyarakat komunikannya. Sehingga dapat disimpulkan, komunikator
dalam propaganda adalah seorang yang ahli dalam teknik penguasaan atau
kontrol sosial. Dengan berbagai macam teknis, setiap penguasa negara
atau yang bercita-cita menjadi penguasa negara harus mempergunakan
propaganda sebagai suatu mekanisme alat kontrol sosial.
B. Politik
Dilihat dari sisi etimologi, kata politik berasal dari bahasa Yunani,
yakni polis yang berarti kota yang berstatus negara kota (city state). Dalam
negarakota di zaman Yunani, orang saling berinteraksi guna mencapai
kesejahteraan (kebaikan, menurut Aristoteles) dalam hidupnya. Politik
yang berkembang di Yunani kala itu dapat ditafsirkan sebagai suatu proses
interaksi antara individu dengan individu lainnya demi mencapai kebaikan
bersama. Pemikiran mengenai politik pun khususnya di dunia barat banyak
dipengaruhi oleh filsuf Yunani Kuno. Filsuf seperti Plato dan Aristoteles
menganggap politics sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat
politik (polity) yang terbaik. Namun demikian, Dalam perkembangannya,
para ilmuwan politik menafsirkan politik secara berbeda-beda sehingga
varian definisinya memperkaya pemikiran tentang politik.
Gabriel A. Almond mendefinisikan politik sebagai kegiatan yang
berbuhungan dengan kendali pembuatan keputusan publik dalam
masyarakat tertentu di wilayah tertentu, di mana kendali ini disokong
lewat instrumen yang sifatnya otoritatif dan koersif. Dengan demikian,
politik berkaitan erat dengan proses pembuatan keputusan publik.
Penekanan terhadap penggunaan instrumen otoritatif dan koersif dalam
pembuatan keputusan publik berkaitan dengan siapa yang berwenang,
bagaimana cara menggunakan kewenangan tersebut, dan apa tujuan dari
suatu keputusan yang disepakati. Jika ditarik benang merahnya, definisi
politik menurut Almond juga tidak lepas dari interaksi dalam masyarakat
politik (polity) untuk menyepakati siapa yang diberi kewenangan untuk
berkuasa dalam pembuatan keputusan publik.
Menurut Andrey Heywood, politik adalah kegiatan suatu bangsa
yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen
peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti
tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama. Dengan definisi
tersebut, Andrew Heywood secara tersirat mengungkap bahwa masyarakat
politik (polity) dalam proses interaksi pembuatan keputusan publik juga
tidak lepas dari konflik antara individu dengan individu, individu dengan
kelompok, maupun kelompok dengan kelompok lainnya. Dengan kata
lain, masing-masing kelompok saling mempengaruhi agar suatu keputusan
publik yang disepakati sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu.
Menurut Peter Merkl mengatakan bahwa politik dalam bentuk yang
paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan
untuk kepentingan diri-sendiri. Dari para ahli, politik dapat di artikan
aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang
bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau
mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat. Sebagai bentuk dari
kegiatan dalam suatu sistem politik yang berkaitan dengan proses
menentukan tujuan-tujuan sekaligus cara melaksanakan tujuan-tujuan
sistem tersebut.
C. Propaganda Politik
Propaganda politik yaitu melibatkan usaha pemerintah, partai atau
golongan untuk pencapaian tujuan strategis dan taktis.
D. Sistem Politik Indonesia
Sistem politik bagi setiap bangsa merupakan “jantung” yang menjadi
roh bagi keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara. Jika jantungnya
rusak, keberlangsungan kehidupan jiwa akan terancam. Begitu pun sistem
politik Indonesia menjadi roh bagi kehidupan bangsa dan negara. Jika
rusak sistem politiknya, roda pemerintahan negara Indonesia tidak akan
berjalan lancar. Sebaliknya, jika rohnya baik, roda pemerintahan pun akan
berjalan dengan baik.
Sistem politik Indonesia adalah seperangkat interaksi yang
diabstraksikan dari totalitas perilaku sosial melalui nilai-nilai yang
disebarkan kepada masyarakat dan negara Indonesia. Dengan pengertian
tersebut lingkungan intramasyarakat akan memengaruhi sistem politik
Indonesia, di antaranya adalah landasan rohaniah bangsa, falsafah negara,
doktrin politik, ideologi politik, dan sistem nilai.
Sistem politik Indonesia adalah kumpulan atau keseluruhan berbagai
kegiatan dalam negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan
umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya mewujudkan tujuan,
pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.
Sistem politik Indonesia berlaku di Indonesia, baik seluruh proses
yang utuh maupun sebagian. Sistem politik di Indonesia dapat menunjuk
pada sistem yang pernah berlaku di Indonesia, yang sedang berlaku di
Indonesia, atau yang berlaku selama berdirinya negara Indonesia sampai
sekarang.
Sistem politik Indonesia berfungsi sebagai mekanisme yang sesuai
dengan dasar negara, ketentuan konstitusional juga memperhitungkan
lingkungan masyarakatnya secara real. Banyak faktor yang dapat
memengaruhi sistem politik Indonesia, di antaranya faktor lingkungan,
sosial budaya, dan kondisi ekonomi suatu negara. Pengaruh tersebut
membentuk perilaku politik dalam masyarakat dan negara, baik pemegang
kekuasaan maupun yang dikuasai dan dikendalikan oleh kekuasaan yang
ada. Oleh karena itu, David Easton mengatakan bahwa sistem politik
adalah kehidupan politik yang merupakan sistem interaksi yang ditentukan
oleh fakta yang berhubungan dengan penyebaran nilai-nilai secara
otoritatif dalam masyarakat. Menurut Rusadi, sifat negara Indonesia
mengandung unsur falsafah, gagasan, cita-cita, nilai-nilai, doktrin, atau
wawasan yang melekat pada Indonesia. Oleh karena itu, sistem politik
Indonesia merupakan sistem khas atau politik yang bersifat keindonesiaan
yang diwarnai oleh nilai-nilai luhur Pancasila, UUD 1945, nilai-nilai
proklamasi, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sistem politik di Indonesia dapat diinterpretasikan, baik sebagai
seluruh proses sejarah dari saat berdirinya negara Indonesia sampai
dewasa ini maupun hanya dalam periode tertentu dari proses perjalanan
sejarah. Dalam kenyataan sejarahnya, dapat dijumpai perbedaan esensial
sistem politik di Indonesia dari periode yang satu ke periode yang lain,
misalnya sistem politik demokrasi liberal, sistem politik demokrasi
terpimpin, dan sistem politik demokrasi Pancasila, sedangkan falsafah
negara tetap tidak berubah.
2. Kajian Teori
Teori yang digunakan adalah Teori Interaksionalisme Simbolik dan Teori
Dramaturgis.
1. Teori Interaksionalisme simbolik
George Herbert Mead. Teori ini menyatakan bahwa interaksi sosial
pada hakikatnya adalah interaksi sosial simbolik. Manusia berinteraksi
dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol yang lain memberi
makna atas simbol tersebut. Interaksi sosial dapat diartikan sebagai
hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud
dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu yang
lainnya, maupun antar kelompok yang satu dengan yang lainnya. Dalam
interaksi juga terdapat simbol dimana simbol diartikan sebagai sesuatu yang
nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang
menggunakannya. Interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga promis
yaitu:
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada
pada sesuatu itu bagi mereka.
2. Makna tersebut berasal dari interaksi seseorang dengan orang lain.
3. Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial
berlangsung.
2. Teori Dramaturgi oleh Erving Goffman
Dapat dikatakan sebagai panggung sandiwara, dimana individu
berbeda karakternya ketika berada di panggung depan (front stage) dan
panggung belakang (back stage). Erving Goffman dalam bukunya The
Presentation of Everyday Life (1959) mengatakan bahwa dramaturgi adalah
sebuah teori dasar tentang bagaimana individu tampil di dunia sosial.
Goffman memusatkan perhatiannya pada interaksi tatap muka atau
kehadiran bersama (co-presence). Individu dapat menyajikan suatu
“pertunjukan” apapun bagi orang lain, namun kesan (impression) yang
diperoleh orang banyak terhadap pertunjukan itu bisa berbeda-beda.
Seseorang bisa sangat yakin terhadap pertunjukan yang diperlihatkan
kepadanya, tetapi bisa juga bersikap sebaliknya (Santoso, 2012: 47).
3. Paradigma Konstruktivis
Menurut Patton, para peneliti konstruktivis mempelajari beragam realita
yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari kontruksi tersebut bagi
kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu
memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan teknik
seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam
memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas
pandangan tersebut (Patton, 2002:96-97).
4. Tujuan Propaganda
1. Mempengaruhi Opini Publik.
Propaganda tidak saja sekadar bertujuan untuk mengkomunikasikan
fakta-fakta kepada publik, tetapi juga fakta-fakta yang mempengaruhi opini
publik terhadap suatu isu tertentu. Perubahan pendapat umum itu bisa positif
bisa juga negatif.
2. Memanipulasi Emosi.
Propaganda dapat dilakukan melalui beberapa teknik manipulasi
emosi, bahkan sering dilakukan dengan cara yang membahayakan. Melalui
teknik propaganda para propagandis memanipulasi kata, suara, simbol,
pesan non verbal agar dapat membangkitkan emosi audience.
5. Jenis-jenis Propaganda
Menurut Sastropoetro (1991), berdasarkan sifatnya propaganda dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Black propaganda
yaitu propaganda terbuka dimana menyerang
narasumber yang dikenai propaganda secara terang-terangan atau terbuka.
2. White propaganda, yaitu propaganda tertutup atau dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Dimana progandis tidak secara terang-terangan
menyerang orang yang dikenai propaganda.
3. Grey propaganda, yaitu propaganda yang tidak diketahui pasti sumbernya
maka dapat menimbulkan keraguan.
Menurut Shoelhi (2012), berdasarkan sumber isi pesannya propaganda
dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Propaganda Tertutup, sumber propaganda ini tertutup sehingga tidak
diketahui siapa sumbernya.
2. Propaganda Terbuka, sumber propaganda ini disebutkan dengan jelas dan
secara terbuka.
3. Propaganda Tertunda, sumber propaganda ini pada mulanya dirahasiakan,
tetapi lambat laun terbuka dan jelas.
Menurut Ellul (Nurudin, 2004), berdasarkan media yang digunakan
propaganda dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Propaganda vertikal, yaitu propaganda yang dilakukan oleh satu pihak
kepada orang banyak dan biasanya mengandalkan media massa untuk
menyebarkan pesan-pesannya.
2. Propaganda horizontal, yaitu propaganda yang dilakukan seorang
pemimpin suatu organisasi atau kelompok kepada anggota organisasi atau
kelompok itu melalui tatap muka/komunikasi antar personal dan biasanya
tidak menggunakan media massa.
Menurut Shoelhi (2012), berdasarkan metodenya propaganda dibagi
menjadi dua jenis, yaitu:
1. Coersive Propaganda, yaitu propaganda yang dilancarkan dengan metode
ancaman atau kekerasan. Target propagandanya akan melakukan sesuatu
sebagai akibat rasa takut, rasa terancam, rasa ngeri. Perasaan yang timbul
karena ada sanksi-sanksi tertentu melalui pesan yang diterimanya.
2. Persuasive Propaganda, yaitu propaganda yang menggunakan metode
penyampaian pesan-pesan yang menimbulkan rasa tertarik sehingga target
propaganda senang dan rela melakukan sesuatu.
Berdasarkan sistemnya, propaganda dapat dikelompokan menjadi dua
jenis, yaitu :
1. Symbolic interaction Propaganda, yaitu propaganda yang menggunakan
simbol-simbol. Propaganda jenis ini menggunakan lambang-lambang
komunikasi yang penuh arti, yaitu bahasa lisan atau tulisan, serta gambar-
gambar dan isyarat-isyarat yang telah dirumuskan sedemikian rupa sehingga
dapat merangsang jiwa target propaganda untuk menerima pesan dan
kemudian memberikan respons seperti yang diharapkan propagandis.
2. Propaganda by the deed, yaitu propaganda yang menggunakan perbuatan
nyata untuk memaksa target menerima pesan dan melakukan tindakan
sebagaimana yang dikehendaki.
Menurut Heryanto dan Farida (2010), berdasarkan tujuannya propaganda
dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Propaganda Sosial. Tipe propaganda ini berlangsung secara berangsur-
angsur, sifatnya merembes ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial, dan
politik. Melalui propaganda orang disuntik dengan suatu cara hidup atau
ideologi. Hasilnya, suatu konsepsi umum tentang masyarakat yang dengan
setia dipatuhi oleh setiap orang kecuali beberapa orang yang dianggap
sebagai penyimpang (deviants).
2. Propaganda Politik. Merupakan propaganda yang dilakukan oleh
pemerintah, partai politik dan kelompok kepentingan untuk membentuk dan
membina opini publik dalam mencapai tujuan politik (strategis atau taktis)
dengan pesan-pesan khas yang lebih berjangka pendek. Propaganda politik
berupa kegiatan komunikasi politik yang dilakukan secara terencana dan
sistematik dengan menggunakan sugesti (mempermainkan emosi) untuk
memengaruhi, membentuk, atau membina opini publik.
3. Propaganda Agitasi. Propaganda agitasi berusaha agar orang-orang
bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi tujuan yang langsung,
mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita dalam tahap-
tahap yang merupakan suatu rangkaian. Biasanya propaganda jenis ini diisi
dengan sejumlah doktrin bahkan upaya cuci otak guna mendapatkan
loyalitas dari target atau sasaran propaganda.
4. Propaganda Integrasi. Merupakan propaganda untuk menggalang
kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui
propaganda ini orang mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan yang mungkin
tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun. Propaganda ini biasanya
berorientasi pada loyalitas jangka panjang. Propaganda ini mirip jenis
propaganda sosial yang bekerja tidak dalam hitungan hari atau minggu
melainkan dalam suatu rentang yang panjang dan bertahap.
6. Teknik-teknik Propaganda
Menurut Decker, dalam melakukan propaganda diperlukan teknik-
teknik agar tujuan propaganda dapat diterima oleh pihak yang dimaksud.
Adapun teknis-teknik propaganda antara lain adalah sebagai berikut (Heryanto
dan Farida, 2010):
1. Name calling. Teknik ini memberi cap buruk pada individu, kelompok,
bangsa, ras, kebijakan-kebijakan, para praktisi, kepercayaan, dan cita-cita
tertentu. Tujuan dari teknik ini adalah agar pembaca atau pendengar dapat
menolak atau mengutuk objek dari propaganda tersebut. Propagandisnya
berusaha membangkitkan kebencian dan ketakjuban masyarakat terhadap
sesuatu.
2. Glittering Generalities. Teknik propaganda ini menyamakan sesuatu yang
dipropagandakan dengan tujuan-tujuan mulia, luhur, dan biasanya selalu
menggunakan pernyataan-pernyataan yang mengesankan kebajikan. Pelaku
propaganda berusaha membangkitkan perasaan cinta, keikhlasan, dan
perasaan terlibat langsung kepada hati masyarakat terhadap program atau
kepentingan tertentu.
3. Testimonial. Teknik ini memberi suatu kesaksian mengenai kebaikan atau
keburukan sesuatu. Dengan memberikan kesaksian yang dimaksudkan
tujuannya untuk memengaruhi massa agar mengikutinya.
4. Transfer. Teknik propaganda yang menggunakan pengaruh dari seseorang
tokoh yang paling berwibawa di lingkungan tertentu. Teknik ini
memanfaatkan wibawa, kesepakatan, dan kehormatan sebagai sarana untuk
memperkuat penerimaan masyarakat dalam propaganda. Biasanya dalam
teknik ini berlaku sistem simbol, seperti bendera melambangkan bangsa.
5. Card Stacking. Teknik ini mengarahkan masyarakat kepada keadaan
pemikiran yang dikehendaki. Dalam teknik ini digunakan seni mengelabui
demi kepentingan kelompok, bangsa, perbuatan, kepercayaan, atau cita-
cita.
6. Plain Folkz. Teknik semacam ini adalah dilakukan dengan usaha merakyat
dan menyederhana guna merebut kepercayaan masyarakat. Dalam hal ini
para politisi, pemimpin suatu organisasi, usahawan, pejabat-pejabat negara
atau bahkan guru tampil di tengah-tengah masyarakat seolah-olah sebagai
bagian dari masyarakat itu sendiri.
7. Band Wagon technique. Teknik yang bertujuan untuk membuat orang agar
mengikuti tindakan banyak orang yang sudah sesuai dengan kehendak
pembuat propaganda.
8. Reputable Mouthpiece. Teknik yang dilakukan dengan mengemukakan
sesuatu yang tidak sesuai kenyataan. Teknik ini biasanya digunakan oleh
seorang yang menyanjung pemimpin, akan tetapi tidak tulus.
9. Using All Form of Persuations. Teknik yang digunakan untuk membujuk
orang lain dengan rayuan, himbauan, dan iming-iming. Teknik propaganda
ini sering digunakan dalam pemilu.
7. Studi Kasus
A. Propaganda Era Soeharto di Era Orde Baru
Sejak kekuasaan Era Soeharoto atau Era Orde Baru yang pernah
dilakukan sebagai propaganda politik di Indonesia antara lain :
1. Propaganda menampilkan citra baik kepribadian pemimpin
Tanpa bisa dipungkiri, perekonomian Indonesia pernah terpuruk
pada tahun 60-an. Kondisi ini diperparah dengan kompetisi politik antar
partai politik dalam kekuasaan. tak terkecuali konflik antara komponen di
militer yang tercermin dalam usaha pembunuhan para jenderal yang
kemudian dikenal dengan pahlawan revolusi. Pertikaian antara partai
politik tersebut membawa suasana kontradiktif antara mereka yang
tergabung dalam kelompok ”agamis”, “nasionalis”, dan mereka yang
partai komunis. Konflik ini mencapai puncaknya pada peristiwa G
30/S/PKI.
Kepribadian pemimpin menjadi tolak ukur apakah seorang raja
tersebut layak memimpin atau tidak. Soeharto yang mulai membangun
basis kekuasaannya berusaha mempraktekkan gaya kekuasaan seperti itu.
Era Soeharto ada “Bapak Pembangunan”. Propaganda ini ingin
mencitrakan bahwa dia adalah pelopor, penggerak, penentu
pembangunan yang sedang menjadi harapan masyarakat. (Hanya)
melalui tangan “Bapak Pembangunan”-lah, kemajuan akan dicapai. Citra
baik ini dilakukan terus menerus.
2. Propaganda Pembangunan Ekonomi
Agar tidak mengulang era orde lama, Orde Baru menjadikan
ekonomi sebgai panglima. Pembangunan nasional yang dibanggakan pun
dibangun di atas pondasi pembangunan ekonomi yang diharapkan bisa
mengurangi angka pengangguran, kemiskinan, menciptakan
kesejahteraan dan kemakmuran. Namun, pembangunan ekonomi yang
diciptakan dan dibanggakan tidak diimbangi oleh moralitas para
pemimpinnya. Akibatnya, kebanggaan tersebut mencapai titik kulminasi
tertinggi pada pertengahan tahun 1997 dengan timbulnya krisis ekonomi
yang berkepanjangan. KKN pun merebak dimana- mana setelah era
reformasi mengungkapkan kebobrokan ekonomi peninggalan Orde Baru.
3. Propaganda dengan organisasi berbasis militer
Soeharto berkuasa penuh selama lebih dari tiga dasawarsa karena
peran militer. Militer, telah diciptakan sebagai mesin yang mampu
melindungi kebijakannya. Bahkan Soehato kemudian menjadi panglima
tertinggi di tubuh militer. Tidak itu saja, peran ini diwenangkan juga ke
tingkat pemerintahan di bawahnya dalam mencampuri urusan kebijakan
daerah. Sebuah perusahaan, kalau sudah berlindung di balik kekuatan
militer atau ada pihak militer yang melindungi, orang lain tidak akan
berani lagi untuk mempermasalahkan kebobrokan yang dilakukan.
Belum lagi militer ikut berbisnis dengan alasan “kesejahteraan prajurit”.
Tak bisa dipungkiri lagi, untuk mengabsahkan kekuasaannya, militer
kadang menggunakan kekerasan, seperti semprotan gas air mata,
penculikan sampai pembunuhan.
4. Propaganda sakralisasi Pancasila dan UUD 1945
Orde Baru dalam awal pemerintahannya menganggap era
sebelumnya penuh pengingkaran terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Oleh karena itu tekadnya adalah melaksanakan pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Wujud pelaksaan tersebutt kemudian
tertuang dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Tak tanggung-tanggung program tersebut tertuang dalam TAP MPR.
Program penghayatan (dengan penataran P4) ini wajib diikuti oleh
instansi di seluruh Indonesia. Dalam beberapa hal, pemerintahlah yang
justru tidak mencerminkan jiwa Pancasila. Misalnya sila keadilan.
5. Propaganda penertiban politik dan asas tunggal
Dalam dunia politik pun dilakukan perubahan yang sangat
mendasar, salah satunya bisa dilihat pada partai politik. Pada tahun 1970,
jauh sebelum pemilu tahun 1971 sudah direncanakan pengelompokan
parta-partai politik. Dalam pertemuannya dengan pimpinan partai politik,
27 februari 1970, Soeharto mengemukakan sarannya untuk
mengelompokkan partai politik tersebut. Tujuannya agar memudahkan
kampanye pemilu, dan tak bermaksud melenyapkan pemilu. Akhirnya,
terjadi pengelompokan tiga partai yakni spirituil, nasionalis, dan
golongan karya. Dengan adanya fusi-fusi patrai tersebut memungkinkan
Golkar selalu berada di depan dalam perolehan suara. Setiap ada gejala
dua partai politik lain itu menjadi besar akan digunakan bebrbagai cara
untuk menekannya. Satu alasan dasar kenapa harus diadakan fusi partai
karena multi partai dianggap mengancam stabilitas nasional. Meskipun
pada akhirnya pengekangan ini berdampak lebih dahsyat.
Tidak itu saja, setelah berhasil mengadakan fusi partai politik,
pemerintah mewajibkan setiap orpol dan ormas harus mengganti asas
organisasinya dengan Pancasila.
6. Propaganda dengan politisasi agama
Peringatan akan pemerintah menghindari tindakan politisasi agama,
yakni menjadikan agama sebagai alat justifikasi politik. Justifikasi dalam
hal ini bisa dipahami sebagai tindakan menjadikan agama sebagai faktor
untuk mengabsahkan sesuatu diluar agama. Kalau hal demikian terus
dilakukan, bukan tidak mustahil agama akan kehilangan substansinya,
bahkan digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk tujuan pragmatis-
politis. Ada beberap implikasi ketika agama mengalami politisasi, yaitu;
pertama, Politisasi itu akan menjadikan suatu keputusan yang berlindung
dibalik jubah agama mengalami “sakralisasi”. Kedua, agama akan
kehilangan nilai moral, etika, dan spiritualnya sebagai elemen dasar yang
harus dipuyai agama. Sehingga, agama menjadi sebuah “instrumen”
pemerintah atau pemeluknya sendiri.
B. Propaganda Era Habibie
Habibie menduduki jabatan presiden setelah Soeharto mengundurkan
diri pada 21 Mei 1998. Propaganda Habibie yang paling penting dicermati
adalah seruannya tentang demokratisasi. Berikut ini diuraikan secara lebih
spesifik tentang kasus per kasus propaganda yang dilakukan Habibie:
1. Propaganda moral altruisme bangsa
Dalam kajian filasfat moral-politik, akar altruisme bisa ditelusuri
dari kata latin yaitu alter. Menurut kamus, alter berarti „lain‟. Dengan
demikian, altruisme adalah pandangan dan sikap hidup yang menaruh
perhatian pada kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan orang lain
(Mangunhardjabana, 1997). Orang altruistis akan lebih mementingkan
kepentingan orang lain sebagai bagian haknya yang dianggap lebih baik
daripada mementingkan dirinya hanya sekedar gengsi. Dengan demikian,
penentuan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Timtim
adalah pelaksanaan moral altruisme dalam segala bentuknya. Penegakan
moral altruisme sehubungan denan kasus Timtim yang dilaksanakan
Indonesia, sebenarnya mempunyai beberapa implikasi.
Pertama, kasus itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa yang bertanggung jawab.
Kedua, penegakan moral altruisme di satu sisi yang berimplikasi
diperolehnya kemerdekaan Timtim semakin menunjukkan bahwa
diplomasi Indonesia di dunia internasional masih lemah.
Ketiga, bagi presiden Habibie kasus penegakan moral altruisme ini
akan menjadi keunggulan komparatif dirinya di masa datang, dengan
menafikan kesan buruk yang selama ini melekat pada dirinya.
2. Propaganda pseudo demokrasi
Perkembangan kehidupan demokrasi di negara kita (terutama era
Habibie) boleh jadi tidak mengalami kemajuan yang berarti, tetapi justru
mengalami kemunduran (set back). Dalam beberapa hal, bukan praktik
demokrasi yang sedang diperjuangkan masyarakat, namun liberalisme.
Dalam demokrasi ada kebebasan, namun kebebasan itu masih dalam
bingkai kepentingan orang banyak. Ini artinya, jika suara mayoritas
menang demi kepentingan rakyat banyak, kelompok minoritas harus
menerima kenyataan yag terjadi. Dalam hal ini, demokrasi menuntut
untuk rela berkOrde Barun demi kepentingan yang lebih besar. Maka,
demokrasi dalam dataran pelaksanaannya adalah sebuah iklim yang
berusaha mencari yang terbaik untuk kebaikan semua pihaka, bukan
lebih baik tetapi hanya untuk golongan tertentu di masyarakat.
Sedangkan liberalisme jika diaktualisasikan akan sebaliknya, ia akan
mencari sesuatu hal yang lebih dan paling baik, tetapi menurut atau untuk
tujuan diri dan golongannya.
Apa lagi jika liberalisme yang diperjuangkan diatas namakan
demokrasi. Demokrasi hanya akan menjadi kedok untuk mencari
polularitas dan dukungan semua pihak, tetapi tujuan utamanya adalah
liberalisme untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Inilah episode
demokrasi. Degan demikian, episode demokrasi nyaris menjadi
fenomena propaganda era Habibie.
C. Propaganda Era Reformasi.
Sejak gerakan reformasi digulirkan lebih satu dasawarsa silam,
banyak perubahan besar terjadi di negeri ini, terutama yang menyangkut
iklim politik. Banyak yang kemudian menyebut masa pascaturunnya
pemerintah Orde Baru sebagai era keterbukaan, kebebasan, ataupun era
demokrasi. Namun sejatinya jika kita mau sejenak merenung, di balik era-
era yang dianggap sebagai nilai-nilai positif itu, reformasi yang dicitrakan
untuk Indonesia yang lebih baik, justru menyisakan setumpuk persoalan dan
ekses-ekses negatif yang terus dirasakan masyarakat hingga kini, khususnya
yang menyangkut eksistensi budaya dan agama.
Reformasi yang diawali dari hilangnya legitimasi “rakyat” (istilah
demokrasi) atau krisis kekuasaan, yang kemudian menelurkan krisis-krisis
lainnya, berujung pada hilangnya kewibawaan pemerintah. Rakyat pun
dibuat tidak percaya kepada pemerintah dan aparaturnya. Anarkisme
merebak dan terorisme pun tumbuh subur. Demikian juga konflik-konflik
horisontal antar agama atau konflik sosial karena hasil pilkada, separatisme
serta pemekaran wilayah tertentu yang didesain untuk memarjinalkan
masyarakat.
1. Propaganda Agama dan HAM.
Paham-paham keagamaan yang menggunakan simbol-simbol
keagamaan yang sebelumnya tiarap atau hanya bergerak di bawah tanah
(seperti Ahmadiyah, Baha‟i), atau paham-paham yang benar-benar baru
(seperti Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Salamullah, dan lain-lain) akhirnya
berani menampakkan diri, mendakwahkan pahamnya, bahkan didukung
oleh tokoh-tokoh yang terjerat propaganda HAM. Ide-ide penyatuan agama
yang dikampanyekan Yahudi kian mendapat tempat bahkan disokong
kelompok “Islam Liberal”. Demikian juga dengan komunis yang terus unjuk
gigi.
Di bidang politik, masyarakat semakin tercerai-berai dan tersekat-
sekat dalam partai. Demokrasi yang merupakan jajanan murahan dari Barat
ditelan mentah-mentah oleh masyarakat. Banyak tokoh agama yang
kemudian sibuk di politik, dari pileg ke pileg, dari pilpres ke pilpres, dari
pilkada ke pilkada, lantas mengabaikan dakwah untuk memperbaiki umat.
Bahkan yang nampak, idealisme keagamaan mereka justru tergerus oleh
pragmatisme politik.
Demi opini publik, demi meraih simpati berbuah kursi, hukum pun tak
mengapa “dikompromikan”.
Reformasi pun akhirnya menjadi pintu yang sangat lebar untuk
menyusupkan berbagai pemikiran. Isu-isu untuk melemahkan hukum, sosial
budaya atas nama HAM dan kebebasan terus diangkat, agama dan
keprcayaan dinodai, sementara dukun dan kesyirikan kian berkibar.
Sejarah sendiri mencatat, reformasi apa pun dan di mana pun dengan
mengeskpose kejelekan pemerintah selalu ditunggangi hawa nafsu-hawa
nafsu kekuasaan. Lihatlah di Indonesia, para tokoh yang diagung-agungkan
sebagai pencetus bahkan lokomotif reformasi nyatanya justru saling berebut
menjadi orang nomor satu di negeri ini.
2. Propaganda Kambing Hitam
Gerakan reformasi akhirnya cenderung hanya mencari kambing
hitam dengan menimpakan segala kesalahan atau mengalamatkan vonis
“dosa” kepada pemerintah masa lalu atau orang-orang masa lalu. Padahal,
mereka yang mengaku reformis itu belum tentu lebih baik dari pribadi-
pribadi yang berada di pemerintahan yang lama.
Propaganda Politik dan orde apa pun bukanlah kayu arang yang
kemudian dengan mudahnya diganti emas. Sejelek apa pun penguasa, itu
jauh lebih baik daripada kita di tengah situasi chaos. sebagaimana
dikatakan, apa yang diperbaiki oleh penguasa lebih banyak daripada yang
mereka rusak.
Sekali lagi, meski tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada
pemerintah di masa sekarang seperti KKN, sikap otoriter, dan sebagainya,
memang benar adanya, sebagai seorang yang agamis dan nasionalis kita
dituntut bersikap sesuai adab dan budaya Indonesia.
Kesalahan, keburukan , atau kekurangan penguasa, tidaklah serta-
merta dijadikan amunisi untuk menjatuhkan kewibawaannya.
dengan demikian, reformasi berikut propagandanya seperti demokrasi,
kebebasan, keterbukaan, bukanlah segala-galanya. Apalagi menjadi solusi
total keterpurukan bangsa ini. Tanpa mengenal propaganda reformasi kita
hanyalah orang bodoh yang cuma larut dalam eforia reformasi yang karut-
marut serta menyesatkan.
Perubahan masyarakat beserta kebudayaannya menjadi sebuah
keniscayaan tak terbendung. Hal itu sebagai penanda bahwa manusia masih
hidup dan terus berkembang. Begitu pula dengan keberadaan sosial budaya
sebagai salah satu ciri khas Indonesia. Tuntutan terhadap konservasi dan
perkembangan perlu mendapat pemahaman pencerahan yang lebih arif.
Indonesia tidak boleh melupakan sejarahnya. Mengacu ke Barat tanpa
mempertimbangkan sejarah masa lampau, jelas akan sangat berbahaya.
Janganlah kita tergoda oleh kebudayaan kita yang kuna, namun janganlah
terbius oleh Barat. Ketahuilah keduanya dengan baik, dan pilihlah dari
masing-masing yang baik, sehingga kita dapat menggunakannya dengan
berhasil pada masa-masa mendatang. Tarik ulur di antara berbagai silang
pendapat „pro dan kontra‟ pengembangan budaya dan keragamannya
hendaknya patut disyukuri, karena hal itu dapat menjadi kekayaan ragam
budaya tersendiri. Masyarakat jangan sampai terjebak pada suatu polemik
budaya yang berkepanjangan. Biarkanlah tetap tegar berdiri bagi masyarakat
yang tetap mempertahankan nilai tradisi adiluhung karya bangsa Indonesia.
Pada sisi lain, bagi masyarakat yang haus perubahan berikan kesempatan
peluang untuk mengekpresikan kegelisahan hatinya. Lewat berbagai
pengembangan kreasi yang kreatif itulah sebenarnya sebuah kunci eksistensi
budaya dapat terus eksis. Maka bukan sesuatu yang tidak mungkin ke depan
eksistensi budaya yang telah mengalami perubahan kreasi kreatif itu dapat
menjadi budaya politik di era Reformasi.
3. Propaganda Politik Media
Media sosial merupakan sarana yang penting bagi kehidupan publik
khususnya anak muda yang menjadikan media sosial sebagai tempat untuk
mengkomsumsi berita, mengembangkan jati diri, dan identitas politik.
Konten yang ditulis pada media sosial diciptakan untuk mengetahui
respons netter yang saling berteman pada media sosial tersebut. Pengguna
media sosial atau seringkali disebut netizen saat ini tidak semuanya murni
menyuarakan aspirasi politik dari diri sendiri. Ada juga netizen yang
memang dibayar untuk mem-viral-kan balik suara yang mereka lontarkan
dalam sebuah status atau cuitan.
Tomaz Dazelan dan Igor Vobic dalam bukunya (R)evolutionizing
Political Communication through Social Media mengungkapkan bahwa
perluasan media sosial telah berkontribusi pada modernisasi komunikasi
politik yang signifikan sebagai sarana baru untuk memungkinkan
komunikasi langsung dengan follower, dan memberikan pengaruh pada
komunikasi pesan-pesan politik kepada pemilih.
Mcnamara & Kenning (2011) menemukan bahwa terlepas dari
beberapa pengecualian, politisi menggunakan media sosial sebagai transmisi
pesan politik satu arah, daripada keterlibatan warga yang menunjukkan
bahwa banyak dari konten media sosial yang terdiri dari slogan pemilihan,
menyerang lawan-lawan dan retorika politik yang sebagian besar bersifat
dangkal dan pragmatis. Selain itu, pengamatan penting lainnya dari
penelitian mereka adalah korelasi antara "follower/pengikut" dan
"following/orang yang mengikuti" sebagai indikator minat timbal balik dan
saling mendengarkan pertukaran ide dan gagasan.
Partai politik dan politisi telah menemukan media baru yaitu Twitter yang
menemukan cara baru dalam mengelola dan menyebarluaskan pandangan dan
informasi politik. Kontrol informasi merupakan upaya yang paling penting untuk
kekuatan politik dalam mengelola opini publik dan mempertahankan kontrol
publik (Tumber, 1993). Garth Jowett dan Victoria O'Donnell menjelaskan,
propaganda adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk membentuk
persepsi, memanipulasi kognisi, dan perilaku langsung untuk mencapai tanggapan
yang lebih baik dari maksud yang diinginkan dari propagandis (1992: 4).
BAB III
KESIMPULAN
Pada bab ini penulis menguraikan tentang kesimpulan, dan saran.
a. Kesimpulan
Dari makalah tersebut dapat disimpulkan, bahwa Propaganda menurut
para ahli dapat disimpulkan, sebagai sebuah upaya disengaja dan sistematis
untuk membentuk persepsi, memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan
memengaruhi langsung perilaku agar memberikan respon sesuai yang
dikehendaki pelaku propaganda.
Propaganda politik di indonesi, Era Ore baru, era Habibie, era Reformasi.
Tujuannya untuk mempengaruhi opini publik terhadap suatu isu tertentu.
Perubahan pendapat umum itu bisa positif bisa juga negatif. Berdasarkan
sifatnya propaganda dibagi menjadi tiga jenis, teknik propaganda yang
digunakan Name calling. (Teknik ini memberi cap buruk pada individu,
kelompok, bangsa, ras, kebijakan-kebijakan, para praktisi, kepercayaan, dan
cita-cita tertentu. Tujuan dari teknik ini adalah agar pembaca atau pendengar
dapat menolak atau mengutuk objek dari propaganda tersebut. Propagandisnya
berusaha membangkitkan kebencian dan ketakjuban masyarakat terhadap
sesuatu).
Fenomena Partai Politik yang hadir di Indonesia, sering kali menjadi hal
yang harus di hindari. Mengingat banyak dampak negatif daripada positifnya
yang dihasilkan dari propaganda politik, membuat kita perlu ikut serta dalam
menyikapinya. Era Habibie merupakan salah satu kemunduran atau ketidak
sempurnaan dari demokrasi Indonesia. Era Orde baru telah mempropagada
pola pikir masyarakat Indonesia, merupakan sebuah tantangan besar demi
terwujudnya demokrasi yang bermartabat, Era Reformasi sebagai era
keterbukaan, kebebasan, ataupun era demokrasi. Namun sejatinya jika kita mau
sejenak merenung, di balik era-era yang dianggap sebagai nilai-nilai positif itu,
reformasi yang dicitrakan untuk Indonesia yang lebih baik, justru menyisakan
setumpuk persoalan dan ekses-ekses negatif yang terus dirasakan masyarakat
hingga kini, khususnya yang menyangkut eksistensi sosial budaya dan agama.
b. SARAN
Saran yang dapat penulis berikan secara praktis untuk menyikapi
terjadinya Propaganda politikdi Indonesia yaitu:
1. Menguatkan pengawasan pemilu dan penegakan hukum bagi pelanggaran
pemilu untuk mewujudkan propaganda politik yang beretika dan hindari
politik uang,
2. Meningkatkan pengawasan dan fungsi dari kecurangan partai politik untuk
menghasilkan kader-kader yang berkualitas, dan
3. Memperbaharui aturan-aturan hukum yang berlaku untuk membatasi ruang
gerak dari partai politik penguasa.
Dari sisi akademis saran yang dapat penulis berikan yaitu:
1. Memperkuat kajian teoritis untuk melakukan penelitian mengenai
perbandingan rezim politik, dan
2. Menggunakan pendekatan dan metode yang multidisipliner untuk
mengetahui bentuk-bentuk propaganda politik di era orde baru, Patai
Politik di Indonesia.
Daftar Pustaka
Shoelhi, Mohammad. 2012. Propaganda dalam komunikasi internasional.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
lrawanto, Budi. 2004. Film Propaganda: Ikonografi Kekuasaan dalam llmu Sosial
& llmu Politik. Jurnal Vol.8, No.1.
Heryanto, Gun Gun dan Farida, Ade Rina. 2010. Komunikasi Politik. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah.
Liliweri, Alo. 2011. Komunikasi: Serba Ada Serba Makna. Jakarta: Prenada
Media Group.
Nimmo, Dan. 1989. Komunikasi Politik (Komunikator, Pesan, dan Media).
Bandung: Remadja Karya.
Nurudin. 2008. Komunikasi Propaganda. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sastropoetro, S.RA. 1991. Propaganda Salah Satu Bentuk Komunikasi Massa.
Bandung: Alumni.
https://www.teropongsenayan.com/106322-orde-baru-lebih-baik-dari-reformasi
Gambar 1 : Orde Baru VS Reformasi

Anda mungkin juga menyukai