Anda di halaman 1dari 42

Perubahan Dunia Sekarang. Maju atau Mundur ?

KOMPAS edisi Rabu 27 Maret 1996Halaman: 4Penulis: BUDIMAN, ARIEF


Perubahan Dunia Sekarang. Maju atau Mundur ?

BUDIMAN, ARIEF

Perubahan Dunia Sekarang

MAJU ATAU MUNDUR ?

Oleh Arief Budiman

DUNIA kita sedang berubah cepat sekarang. Kemanakah arahnya, maju atau mundur?
Inilah pertanyaan yang sering dilontarkan.

Di satu pihak kita melihat dunia semakin demokratis. Banyak negara yang tadinya
menganut sistem politik yang otoriter, sekarang bertumbangan. Yang paling dramatis
adalah hancurnya sistem otoriter yang ada di Uni Soviet dan Eropa Timur. Sukar sekali
untuk membayangkan kembali munculnya regim otoriter di negara-negara ini sekarang.
Rakyat di sana tampaknya sudah "kapok" dengan regim semacam ini. Bahkan kalau
seandainya Partai Komunis mau berkuasa kembali, tampaknya mereka harus
mengembangkan sosialisme di bawah sistem politik yang demokratis.

Sedangkan di Asia Tenggara, runtuhnya regim Marcos, serta gagalnya usaha kaum militer
untuk berkuasa lagi di Thailand, menunjukkan bahwa demokrasi memang sedang
merambat juga ke kawasan ini.

Inilah yang membuat seorang Francis Fukuyama membuat kesimpulan bahwa umat
manusia sekarang sedang memasuki periode "akhir dari sejarah". Fukuyama mengikuti
pemikiran Hegel yang menyatakan bahwa masyarakat manusia bergerak dari periode
"hanya satu orang yang berkuasa" (monarki) menuju kepada "beberapa orang berkuasa"
(oligarki) dan berakhir pada "semua orang berkuasa (demokrasi). Menurut Fukuyama,
periode akhir inilah yang sekarang sedang kita alami.

Sedangkan Samuel Huntington mengatakan bahwa kita sedang mengalami "gelombang


ketiga" dari proses demokratisasi. Menurut Huntington, ada tiga gelombang demokrasi,
yaitu:

1. Yang pertama tahun 1828-1926, ketika Amerika Serikat, Eropa Barat dan negara-negara
jajahan Inggris menjadi demokratis, paling sedikit secara minimal. Pada periode ini, lebih
dari 30 negara terkena gelombang ini. Kemudian antara tahun 1922-1942, terjadi arus
balik, dimulai dengan berhasilnya Mussolini merebut kekuasaan di Italia melalui Partai
Fasis yang didirikannya. Fasisme kemudian diikuti oleh Jerman, kemudian Jepang.
2. Gelombang kedua terjadi antara tahun 1943-1962. Proses demokrasi terjadi di negara-
negara yang kalah perang (Jerman, Italia dan Jepang), di beberapa negara Amerika Latin,
serta beberapa negara bekas kolonial. Tapi kemudian terjadi arus balik (1958-1975) dengan
munculnya regim-regim diktator di Amerika Latin, Asia dan Afrika (di Indonesia misalnya
dengan munculnya Demokrasi Terpimpin).

3. Gelombang ketiga dimulai pada tahun 1974 sampai sekarang. Pertama dengan terjadinya
proses demokrasi di Portugal, kemudian diikuti dengan negara-negara di Eropa Selatan
lain, Amerika Latin, Asia dan akhirnya di negara-negara Komunis.

Dalam bukunya yang berjudul The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth
Century (Norman & London: University of Oklahoma Press, 1991; terjemahan buku ini
diterbitkan oleh Grafiti Press), Huntington membahas teori-teori tentang gejala ini secara
menarik. Tapi, untuk artikel ini kiranya cukup kita simpulkan, di kalangan ahli ilmu sosial
terdapat pandangan bahwa proses demokratisasi merupakan sebuah gejala yang sedang
melanda dunia sekarang. Tentunya ini merupakan suatu hal yang baik.

***

SEPERTI juga gelombang-gelombang sebelumnya, gejala ini tampaknya akan diikuti oleh
sebuah arus balik. Kita belum tahu kapan arus balik ini akan terjadi. Tapi gejalanya
mungkin sudah tampak sekarang. Yang paling menyolok adalah apa yang terjadi di bekas
Uni Soviet dan bekas Yugoslavia. Perang etnis secara dahsyat sedang berlangsung di sana.
Tentu saja kita masih menunggu apakah hal ini akan membuat negara-negara ini kembali
kepada sistem politik yang otoritarian, dan kemudian diikuti oleh negara-negara bekas
komunis lainnya?

Tapi, meskipun Uni Soviet dan Yugoslavia belum kembali menjadi negara-negara otoriter,
dampak dari perang etnis ini sudah menggema di negara-negara yang masih otoriter
sekarang. Setiap ada gerakan ke arah demokratisasi, pemerintah otoriter di negara tersebut
menunjuk contoh buruk di kedua negara yang sedang pecah ini. Dengan demikian,
meskipun belum ada arus balik, apa yang terjadi sudah cukup untuk menghambat proses
demokratisasi yang sedang terjadi di negara-negara otoriter.

Tapi, meskipun arus balik tampaknya akan terjadi, para ahli ilmu sosial masih berpendapat
bahwa apa yang dikatakan oleh Hegel masih tetap benar, yakni sejarah sedang terus
bergerak menuju kepada keadaan di mana "semua orang berkuasa" (demokrasi). Proses ini
mungkin tidak akan bergerak dalam sebuah garis lurus, tapi berbelok-belok. Dia juga tidak
akan licin melaju di atas sebuah jalan bebas hambatan yang mulus, tapi jalan yang
ditempuhnya berlubang dan penuh guncangan. Tapi, sejarah akan tetap bergerak maju.
Karena itu, adalah wajar untuk bersikap optimis.

Bagi para penganut teori ekonomi neoklasik, gejala demokratisasi ini diikuti pula oleh
menguatnya sistem pasar bebas alias kapitalisme. Bahkan mereka beranggapan, gejala
demokrasi politik ini merupakan akibat atau wajah lain dari proses demokratisasi ekonomi
alias pasar bebas. Dalam sistem ini, aktor-aktor ekonomi dibiarkan bebas menentukan apa
yang mau dia lakukan untuk menarik keuntungan sebesar-besarnya. Mereka hanya dibatasi
oleh mekanisme pasar. Pemerintah sebisa-bisanya dilarang ikut campur tangan.

Terhadap padangan ini pun diajukan banyak kritik yang keras. Salah satunya adalah
perubahan nilai kemanusiaan yang cukup mengkhawatirkan. Ketika pandangan sosialisme
masih bertanding dengan kapitalisme dulu, orang masih berbicara tentang perlunya
solidaritas dengan mereka yang lemah dan tertindas. Para pendukung sosialisme memang
merupakan orang-orang yang romantis, yang berjuang dengan risiko yang besar bagi
dirinya. Mereka bersatu dengan kaum buruh yang miskin menghadapi bayonet militer
untuk menuntut kenaikan upah. Banyak di antara mereka yang terpaksa masuk ke penjara.
Bahkan beberapa dari mereka harus menghadapi regu tembak. Tapi, dengan mata yang
berlinang mereka tetap tegak memandang ke depan, ke dunia yang mereka impikan di
mana manusia bisa hidup sama rata sama rasa. Tidakkah ini sebuah romantisme yang
mengharukan?

Ideologi kapitalisme dengan pasar bebasnya menciptakan manusia dengan ideal yang
berlainan. Yang penting di sini adalah meningkatkan keunggulan komparatif dirinya,
supaya memiliki daya saing yang kuat di pasar. Yang dituju adalah keuntungan material.
Bagaimana dengan idealisme dan solidaritas dengan orang yang papa? Wah, itu 'kan hanya
ada di khotbah para ulama dan pendeta. Kita sekarang sedang berbicara di dunia nyata,
bung, yang sangat keras dan penuh persaingan.

Maka muncul pertanyaan, apakah melemahnya ideologi sosialisme dan menguatnya


kekuatan kapitalisme dengan sistem pasar bebasnya, suatu kemajuan atau kemunduran?
Kalau tentang demokrasi mungkin kita masih bisa sepakat bahwa ini adalah gejala
kemajuan. Tapi, tentang kapitalisme dan sistem pasar bebasnya, kita tampaknya masih
harus banyak bertanya.

* Arief Budiman, sosiolog, tinggal di Salatiga.

Sistem Sosial dan Sistem Budaya * Tanggapan untuk Kuntowijoyo

KOMPAS edisi Rabu 13 Februari 1991Halaman: 4Penulis: budiman, arief


Sistem Sosial dan Sistem Budaya * Tanggapan untuk Kuntowijoyo

budiman, arief

SISTEM SOSIAL DAN SISTEM BUDAYA

* Tanggapan untuk Kuntowijoyo


Oleh Arief Budiman

TULISAN Kuntowijoyo yang berjudul Kebudayaan Indonesia Kontemporer (Kompas, 28


dan 29 Januari 1991) menarik perhatian saya. Kunto memang adalah salah satu dari
segelintir cendekiawan Indonesia yang produktif, gagasannya biasanya mendalam, tidak
hanya berupa kesan selintas saja. Karena itulah, saya menganggap bahwa tulisan Kunto
perlu diberi perhatian yang serius.

Salah satu cara pemberian perhatian serius ini adalah, dengan memberikan kritik. Tradisi
kritik memang masih sangat lemah di Indonesia, termasuk juga di kalangan ilmuwan dan
cendekiawan. Kritik masih ditanggapi sebagai serangan pribadi, yang kadang-kadang
menimbulkan rasa dendam bagi yang dikritik. Padahal tanpa kritik, dunia keilmuan kita
dan juga dunia lainnya, menjadi mandek, tak bisa memperbaiki dirinya.

Tesis Kunto

Tulisan Kunto pada dasarnya mengatakan, bahwa sebuah pembangunan akan berhasil,
kalau ada harmoni antara sistem kepribadian, sistem sosial, dan sistem kebudayaan.
Pembangunan yang diletakkannya sebagai gejala yang terjadi pada sistem sosial, harus juga
diterima secara mantap oleh individu (sistem kepribadian) serta serasi dengan nilai- nilai
yang menggejala di masyarakat (sistem kebudayaan).

Selanjutnya Kunto mengatakan, bahwa akibat atau sejalan dengan tumbuhnya birokrasi
yang terlalu kuat setelah tahun 1965, muncul budaya birokrasi di masyarakat Indonesia.
Budaya ini, yang menampilkan nilai-nilai, seperti "asal bapak senang", orientasi kepada
status, dan sebagainya, tidak mendukung pembangunan industri. Untuk menopang proses
industrialisasi yang sedang terjadi, dibutuhkan budaya industrial, yang menekankan
partisipasi dari bawah, penghargaan berdasarkan prestasi seseorang, dan sebagainya.

Pada bagian pertama tulisannya, Kunto yang sejarawan ini menunjukkan, bagaimana
proses gerakan kemerdekaan kita didahului atau dibarengi oleh proses budaya rasional,
yang muncul di kalangan kaum priyayi dan kaum pedagang, melawan budaya tradisional
yang dianggap masih irasional. Tapi, proses sejarah dari gerakan rasional yang seharusnya
melahirkan kemajuan yang berkesinambungan ini, terputus setelah tahun 1965, dengan
tumbuhnya kembali budaya birokratis yang sedikit banyak bersifat irasional. Budaya
tradisional seakan-akan lahir kembali. Kata Kunto: "Ditinjau dari pembalikan arah sejarah,
rupanya perkembangan sejarah kita terputus, berubah arah, atau melahirkan anak haram."

Maka Kunto mengimbau keppada kita semua untuk menimbulkan gerak budaya baru,
yakni budaya industrial, untuk mencegah supaya "anak haram sejarah" ini tidak tumbuh
menjadi besar.

Proses budaya dan sosial


Kritik saya yang pertama adalah, Kunto tidak menguraikan faktor- faktor penyebab yang
melahirkan munculnya proses sosial dan proses budaya yang disebutkannya. Seluruh
uraiannya terasa bersifat deskriptif, banyak bercerita tentang munculnya budaya rasional di
zaman penjajahan melawan budaya tradisional, munculnya kaum priyayi dan pedagang
yang menjadi penggerak budaya ini, terjadinya birokrasi negara yang kuat setelah tahun
1965, disertai dengan muncul dan menguatnya apa yang disebutnya sebagai budaya
birokratis. Karena itu, terapi yang mau diberikan Kunto terasa bersifat normatif, budaya
industrial untuk melawan budaya birokratis dalam menyongsong proses industrialisasi
yang terjadi.

Namun, timbul pertanyaan, proses apa yang menimbulkan dan menumbuhkan budaya
tradisional, rasional, birokratis, dan industrial ini? Mengapa birokrasi negara jadi
bertambah kuat secara berlebihan setelah tahun 1965? Adakah hal ini disebabkan oleh
proses ekonomi yang membutuhkan bantuan dan investasi modal asing, padahal bantuan
dan investasi ini hanya mau masuk, kalau ada jaminan tumbuhnya sebuah negara yang kuat
untuk menjaga stabilitas politik? (Seperti yang diuraikan oleh Teori Negara Otoriter-
Birokratis dari Guillermo O'Donnell). Atau, negara yang kuat ini muncul karena melalui
sebuah proses politik, militer tiba-tiba "ditunjuk oleh sejarah" untuk berperan dominan?
(Kita tahu, birokrasi militer memang berbeda dengan birokrasi sipil. Birokrasi militer
biasanya menekankan sentralisasi, bukan pluralisasi kekuasaan).

Dalam menjelaskan budaya rasional di zaman penjajahan, Kunto memang menunjuk


adanya kelompok-kelompok sosial yang menjadi penggerak dari budaya ini; kaum priyayi,
kaum terdidik, dan kaum pedagang. Dengan menunjuk pada kelompok sosial ini proses
munculnya budaya rasional menjadi lebih jelas. Dari kelompok yang disebutkan Kunto,
dapat kita simpulkan adanya proses pendidikan dan proses perdagangan yang makin
meluas di kalangan penduduk pada waktu itu (Priyayi) adalah orang yang paling banyak
mendapat kesempatan untuk mendapat pendidikan Barat. Sedangkan di kalangan Islam,
disebutkannya tokoh-tokoh Sarekat Islam sebagai pembawa budaya baru ini, menunjuk
pada proses keterlibatan orang Islam dalam dunia perdagangan. Bukankah Sarekat Islam
mula-mula didirikan sebagai Sarekat Dagang Islam, untuk menentang ekspansi dari
kapitalisme orang Cina pada waktu itu?). Dengan disebutkannya hal-hal ini, ada kesan,
bahwa Kunto menerima tesis, bahwa proses sosial mendahului proses budaya dalam
hubungan sebab-akibat.

Dalam membahas budaya industrial, Kunto tidak menunjukkan proses apa saja yang akan
menumbuhkan budaya industrial ini. Dia hanya menganjurkan supaya budaya industrial ini
ditumbuhkan. Karena itu, ada kesan Kunto percaya, bahwa dengan melalui proses
pendidikan, yakni dengan terus menyebarkan kebaikan dari budaya industrial, masyarakat
akan terpengaruh dan budaya birokratis dapat dikalahkan. Tidak dibahas kelompok mana
yang mendukung budaya birokratis ini, kuatkah mereka secara politis, dan sebagainya.
Hanya dengan mengerti aspek-aspek ini, kita bisa jadi mengerti kekuatan dan keterbatasan
dari usaha untuk menyebarluaskan budaya industrial melalui proses pendidikan
masyarakat.

Hubungan antarunsur dalam sistem

Pada titik ini, saya ingin melontarkan kritik saya yang kedua, yakni tentang hubungan
antara unsur-unsur dalam sistem yang disebutkannya. Untuk ini, kita perlu memasuki
pembahasan pada arus yang lebih dalam, yakni pada arus teori.

Ada dua teori yang secara ekstrem dibedakan. yang pertama, teori yang mengatakan,
bahwa kekuatan idelah yang membentuk realitas. Realitas kemasyarakatan merupakan hasil
bentukan dari ide manusia. Teori ini mengharapkan, dengan ditumbuhkannya budaya
industrial misalnya, akan tercipta masyarakat industrial, seperti yang terkesan disugestikan
oleh tulisan Kunto.

Teori kedua menyatakan, bahwa kondisi material menciptakan ide dan budaya manusia.
Adanya perdagangan di kalangan pribumi misalnya, menimbulkan budaya baru yang
rasional di kalangan tokoh-tokoh Sarekat Islam. Atau, paling sedikit adanya perdagangan
membuat ide-ide rasional yang datang dari Barat, bisa diterima oleh tokoh-tokoh Sarekat
Islam.

Kunto sendiri menolak teori yang kedua, ketika dia mengatakan: "Pandangan deterministis,
bahwa sistem sosial mendahului sistem budaya ternyata terlalu miskin, jika dihadapkan
pada kenyataan sejarah." Tapi, Kunto memang tidak menyatakan secara eksplisit menolak
pandangan deterministis, bahwa sistem budaya mendahului sistem sosial, atau ide
menciptakan realitas kemasyarakatan. Lalu, di mana KUnto mengambil posisi teorinya?

Sebenarnya, posisi Kunto tidak begitu jelas. Ada kesan kuat, bahwa Kunto mengikuti
pendapat bahwa ketiga sistem yang disebutkannya, yakni sistem kepribadian, sosial dan
budaya, berdiri sendiri-sendiri. Masing-masing sistem, secara terpisah, harus secara aktif
dicampuri, supaya ketiganya berjalan dalam harmoni. "Sebuah rekayasa sosial sebenarnya
adalah usaha supaya aspek-aspek sosial ini saling mendukung dan tidak sebaliknya, saling
menghambat," kata Kunto.

Maka menurut Kunto, sekarang ini sedang terjadi proses industrialisasi pada sistem sosial.
Karena itu, tugas budayawan adalah merekayasa sistem budaya agar sesuai dengan proses
yang sedang terjadi pada sistem sosial. Kalau industrialisasi terjadi, sedangkan yang
tersedia adalah budaya birokratis, maka akan terjadi hambatan. "Persiapan menuju
kebudayaan industrial berarti menyediakan sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem
simbol yang menjadi kerangka simbolis sistem sosial industri," demikian Kunto.

Tetapi, ada pula pernyataan Kunto yang berbunyi begini: "Kebudayaan birokratis timbul,
ketika birokrasi menjadi terlalu dominan kedudukannya dalam sistem sosial dan sistem
budaya, serta mempengaruhi sistem kepribadian anggota masyarakat." Di sini jelas bahwa
sistem kepribadian dianggap sebagai variabel, yang bergantung pada kedua sistem lainnya,
tidak berdiri sendiri.

Kemudian, dalam menguraikan terjadinya budaya rasional dan budaya birokratis, Kunto
tampaknya tidak begitu konsekuen dengan posisi teorinya, yang menganggap ketiga sistem
berjalan sendiri-sendiri. Dalam menjelaskan munculnya budaya rasional di zaman
penjajahan, ada kesan kuat, Kunto menunjuk terjadinya proses pendidikan dan
perdagangan dalam sistem sosial sebagai faktor penyebabnya. Demikian juga dengan
budaya birokrasi, munculnya birokrasi negara yang kuat ditunjuk sebagai penyebabnya.
Pernyataan yang dikutip di atas, yang menyebutkan "ketika birokrasi menjadi terlalu
dominan," jelas menunjuk kepada sebuah proses pada sistem sosial, yang kemudian
menurut Kunto melahirkan sistem sosial (sic) dan sistem budaya. Di sini Kunto seakan-
akan tidak menolak seluruh tesis yang menyatakan, bahwa proses sosial mendahului proses
budaya. Padahal sebelumnya dia telah menyatakan, bahwa dia menolak tesis ini.

Beberapa permasalahan teori

Ketidak-jelasan posisi teori inilah yang mengganggu tulisan Kunto. Ketidak-jelasan


memang merupakan kelemahan dari sebagian besar ahli ilmu sosial kita (berbeda dengan
ahli ekonomi), yang seringkali bersembunyi di belakang apa yang disebut sebagai
pendekatan eklektis (pendekatan pragmatis yang mengambil apa saja yang dianggap
penting dari pelbagai macam teori). Kejelasan ini, bagi orang sekaliber Kunto, tampaknya
sangat diperlukan.

Baru setelah kejelasan ini diperoleh, sebuah diskusi yang lebih mendalam bisa dilakukan.
Misalnya, bila Kunto jelas menganut teori bahwa ketika sistem ini berjalan sendiri-sendiri,
dan tugas dari para ahli ilmu sosial adalah mengharmoniskan ketiganya, ada beberapa hal
yang bisa dipertanyakan.

Pertama, apakah ketiga unsur sistem ini sudah dianggap memadai sebagai model untuk
menjelaskan proses sosial. Model Marxis yang menganggap bahwa hanya ada dua sistem
utama, yakni sistem dunia materiel dan dunia ide, akan mempertanyakan model tiga sistem
yang diajukan Kunto ini (Kunto mengaku, bahwa dia mengikuti teori Talcott Parson dalam
hal ini). Dalam model Marxis, sistem kepribadan akan masuk ke dalam sistem budaya.
Daniel Bell (dalam The cultural Contradiction of Capitalism, 1976), meskipun
menggunakan model tiga sistem juga, memberikan sistem tekno-ekonomi, politik, dan
kebudayaan sebagai unsur-unsurnya. Unsur-unsur ini lain dengan unsur-unsur yang dipakai
Kunto. Yang perlu kita bahas adalah, model mana yang dianggap paling baik dalam
menjelaskan gejala yang ada di masyarakat?

Kedua, masalah hubungan antara unsur-unsur ini. Kunto beranggapan bahwa ketiga unsur
ini berjalan sendiri-sendiri, tapi bisa diselaraskan. Apakah tidak terjadi kontradiksi dalam
pernyataan ini? Kalau masing-masing berjalan sendiri-sendiri, bagaimana salah satu unsur
bisa "ditekuk" supaya sesuai dengan sistem lainnya. Di sini kita kembali kepada
pertanyaan, bagaimana persisnya hubungan antara unsur-unsur ini?

Model dua sistem dari Marxis tentunya akan mempersoalkan "jalan sendiri-sendiri" dari
unsur-unsur yang ada. Meskipun tidak deterministis dan simplistis sepertiyang biasanya
dianggap orang, teori Marxis tampaknya menerima adanya determinasi dunia materiel
terhadap dunia ide. Tapi, hubungan antara keduanya sangat kompleks. Bahkan beberapa
teoritisi Marxis beranggapan, bahwa dunia ide memiliki otonomi yang cukup luas dalam
menghadapi dunia materiel. Meskipun masih banyak yang harus dijelaskan, posisi kaum
Marxis lebih jelas dibanding dengan posisi yang diambil Kunto.

Kemudian, Bell tidak percaya, bahwa ketiga sistem ini bisa diselaraskan. Ketiganya punya
prinsip-prinsip dasar sendiri: tekno- ekonomi menuju efisiensi, politik kepada legitimasi
(yang dalam sistem demokrasi bearti partisipasi yang makin meluas), budaya kepada
makna dan arti. Konflik kultural dari kapitalisme adalah karena sistem tekno-ekonomi yang
dominan (yang selalu mau efisien) berhadapan dengansistem budaya (di mana manusia
mau mencari arti dalam hidup ini) dan sistem politik (yang sangat mementingkan faktor
legitimasi). Kontradiksi ini adalah kontradiksi abadi, yang menjadi motor penggerak bagi
dinamika masyarakat.

Bagaimanapun juga, tulisan Kunto ini menarik, paling sedikit untuk dijadikan bahan
diskusi. Hanya dengan mendiskusikannya, kita bisa bergerak maju. Karena, kalau kita
hanya menyetujui dan menerimanya secara pasif saja, persoalan pun jadi selesai, dan kita
kembali terlelap dalam tidur stabilitas ilmiah yang penuh basa-basi. * Arief Budiman, staf
pengajar pada Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Strategi Pembangunan Kita: Dari Widjojo Ke Habibie?

KOMPAS edisi Jumat 2 April 1993Halaman: 4Penulis: BUDIMAN, ARIEF


Strategi Pembangunan Kita: Dari Widjojo Ke Habibie?

BUDIMAN, ARIEF

STRATEGI PEMBANGUNAN KITA:

DARI WIDJOJO KE HABIBIE?

Oleh Arief Budiman

BARU-baru ini terjadi semacam polemik antara Kwik Kian Gie (Kompas, 4 Maret 1993),
Umar Juoro, dan Dipo Alam (dua yang terakhir dimuat di Kompas, 11 Maret 1993) tentang
apa yang disebut sebagai Habibienomios. Polemik ini bukan saja menarik, tapi penting,
karena melibatkan kita pada perenungan tentang strategi pembangunan bangsa Indonesia.
Polemik ini menjadi lebih penting lagi kalau kita lihat komposisi Kabinet Pembangunan
VI, dimana para teknolog (dan teknokrat ekonomi yang dekat dengan Habibie) mulai
memasuki departemen yang berurusan dengan perencanaan pembangunan dan
pengembangan perekonomian.

Secara sangat sederhana dapat dikatakan ada dua strategi pembangunan yang sekarang
dijalankan secara berbareng. Pertama, strategi pembangunan yang dilakukan oleh para
teknokrat ekonomi kita yang dulu diprakarsai oleh Widjojo Nitisastro dan rekan-rekannya.
Strategi ini didasarkan pada usaha menjual produk yang memiliki keuntungan komparatif
di pasar dunia, misalnya hasil bumi, hasil tambang dan produk tekstil. Semua komoditi ini
memang memiliki daya saing yang kuat di pasar dunia.

Kedua, strategi pembangunan yang dijalankan oleh para teknolog yang dirintis oleh B.J.
Habibie dan rekan-rekannya. Strategi ini didasarkan pada usaha pengembangan industri
strategi yang mempunyai nilai tambah tinggi di kemudian hari. Untuk membentuk industri
ini, dibutuhkan dana yang besar, baik untuk menyiapkan tenaga teknolog yang terampil
maupun untuk melakukan penelitian yang canggih. Dana ini harus disediakan oleh negara.
Inilah yang oleh Kwik Kian Gie dinamakan sebagai Habibienomics.

Penggambaran kedua strategi seperti di atas dilakukan dengan sangat menyederhanakan.


Dalam kenyataannya, kedua strategi ini tentu saja saling bercampur. Pada strategi
teknokrat, ada juga agenda untuk melakukan proses industrialisasi berteknologi canggih.
Tapi, proses ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan perlahan- lahan. Sebaliknya,
strategi teknolog juga memakai prinsip keunggulan komparatif. Misalnya, industri kapal
terbang hanya memproduksikan pesawat terbang kecil yang memiliki keunggulan
komparatif, karena perusahaan pesawat terbang raksasa kurang tertarik bergerak di bidang
ini, sehubungan dengan nilai tambahnya yang (bagi mereka) kecil.

Tapi, bagaimanapun juga, memang ada perbedaan pokok antara kedua strategi ini. Marilah
sekarang kita lihat kekuatan dan kelemahannya.

Strategi teknokrat

Kelebihan dari strategi teknokrat adalah penyelenggaraan pembangnan dapat dilakukan


dengan sangat hati-hati. Barang yang akan diproduksikan, untuk kemudian dijual/diekspor,
selalu disesuaikan dengan permintaan pasar. Kesulitan muncul bila terjadi perubahan pasar.
Misalnya, komoditi yang tadinya memiliki keunggulan komparatif yang merupakan
andalan ekspor kita, kemudian tidak lagi demikian halnya. Mungkin karena tiba-tiba
muncul pesaing baru yang bisa memproduksikan komoditi tersebut secara lebih murah
dengan mutu yang lebih baik. Atau, negara pengimpor tiba-tiba memperkecil kuota yang
tadinya diberikan, baik karena alasan politik, atau untuk menghukum kita dalam rangka
perang ekonomi. (Ingat, ketika kita menolak membebaskan impor film Amerika, kuota
tekstil kita diancam untuk dikurangi.) Dengan demikian, kita menjadi korban permainan
pasar, yang notabene dikuasai oleh negara industri maju.

Tapi, karena strategi pembangunan ini tidak membutuhkan dana investasi yang besar, serta
pengelolaannya juga ada di tangan swasta, kita bisa lebih fleksibel mengalihkan produksi
kita dari satu komoditi ke komoditi lainnya. Hongkong merupakan negara yang sangat
lincah melakukan hal ini. Kabarnya, pabrik-pabrik mereka dan tenaga kerjanya sudah
diatur begitu rupa, sehingga dalam waktu yang singkat mereka bisa menyesuaikan
produksinya sesuai dengan permintaan pasar yang berubah.

Strategi teknolog

Strategi teknolog didasarkan pada industri unggulan berteknologi canggih yang memiliki
nilai tambah yang tinggi. Kalau kita bisa menguasai industri ini, bukan saja kita
memperoleh nilai tambah yang besar, tapi kita juga bisa menguasai pasar. Sekali kita bisa
memapankan diri pada industri berteknologi tinggi, posisi kita akan sulit tergoyahkan,
karena pesaing di bidang industri ini sedikit jumlahnya.

Untuk bisa menguasai industri strategis ini, dibutuhkan investasi besar dalam waktu yang
lama. Untuk ini, pihak swasta tidak bisa diharapkan. Negaralah yang harus melakukan
investasi besar- besaran tersebut. Di sini timbul masalah. Adakah jaminan, bahwa strategi
yang akan menelan dana yang luar biasa besarnya ini, bisa berhasil? Kalau gagal, negara
ini akan terperosok ke dalam timbunan utang yang luar biasa banyaknya.

Belum lagi kita perhitungkan aspek trickle down yang sangat sedikit, bila kita membangun
industri dengan teknologi canggih. Pembangunan industri seperti ini sangat kurang
menciptakan lapangan kerja bagi rakyat miskin yang tidak memiliki keterampilan. Maka,
ada kemungkinan rakyat kecil akan menjadi korban dari strategi yang mahal ini.

Misalnya, seperti industrialisasi yang dijalankan oleh Yosef Stalin di Uni Soviet sebelum
Perang Dunia kedua. Proses ini dijalankan secara besar-besaran oleh negara, dengan dana
yang besar. Dana untuk mengongkosi proses ini diperoleh secara paksa dari sektor
pertanian. Hasilnya memang luar biasa. Uni Soviet berhasil diubah dari sebuah negara
agraria menjadi negara industri yang diperhitungkan dunia. Tapi, korbannya sangat besar.
Bukan saja para petani dilanda kelaparan, tapi juga Stalin terpaksa membunuhi orang-
orang yang tidak setuju terhadap strategi pembangunannya ini. Juga harus diingat, ketika
Stalin membangun industrinya ini, tingkat teknologi yang dikejar belum terlalu jauh, dan
pada waktu itu pasar dunia belum terlalu jenuh dikuasai oleh negara-negara industri maju.

Aspek internasional

Tentu saja saya tidak usah mengulang secara panjang lebar uraian tentang persamaan dan
perbedaan, serta kekuatan dan kelemahan kedua strategi tersebut. Lebih penting bila kita
bicarakan sekarang aspek yang belum/kurang dibahas dalam polemik tersebut, yakni aspek
internasional atau globalnya (Kwik menyinggung sedikit masalah ini, ketika dia berbicara
pada akhir tulisannya tentang kemungkinan AS melakukan pembalasan, bila kita
melakukan proteksi dan subsidi terhadap industri muda kita).

Dalam polemik tersebut ada kesan seolah-olah kita bebas menentukan strategi mana yang
mau kita pilih. Mungkin masalahnya tidak semudah itu. Ada kepentingan negara-negara
besar yang ikut menentukan strategi pembangunan apa yang akan kita ambil. Misalnya,
ketika Cili pada tahun 1970-73 memilih model pembangunan yang sosialistis, negara-
negara industri Barat yang menjalankan pembangunan model kapitalis berusaha keras
menggagalkannya. Henry Kissinger, salah seorang tokoh di pemerintahan AS waktu itu,
secara jelas mengatakan, bahwa bila model pembangunan sosialis yang demokratis seperti
yang dijalankan di Cili bisa berhasil, maka dia mungkin akan ditiru oleh negara-negara
Dunia Ketiga yang lain. Menjalarnya model pembangunan sosialis di Dunia Ketiga akan
merugikan kepentingan negara-negara kapitalis dunia.

Sekarang, masalah sosialisme versus kapitalisme memang kurang begitu menonjol, setelah
negara-negara Eropa Timur dan Uni Soviet mengalami krisis. Dunia pada saat ini sedang
didominasi oleh sistem kapitalisme global.

Salah satu ciri utama dari kapitalisme global adalah diciptakannya semacam pembagian
kerja internasional. Negara-negara yang kuat, yakni AS, Eropa Barat, dan Jepang,
mengkhususkan diri pada pembangunan industri berteknologi canggih, yang memiliki nilai
tambah yang sangat tinggi. Sedangkan negara-negara lainnya "dipaksa" memproduksikan
bahan-bahan baku untuk industri, atau mendirikan industri-industri yang merupakan anak
perusahaan industri-industri raksaksa dari negara-negara kuat dalam suatu sistem
perusahaan transnasional. Atau, kalaupun negara-negara yang lebih lemah ini
menghasilkan produksi industri sendiri, produk industri ini merupakan produk-produk yang
sudah tidak diminati lagi oleh negara- negara kuat, karena nilai tambahnya yang dianggap
kecil. Bagi negara-negara lemah, produk inilah yang justru memiliki keunggulan
komparatif.

Misalnya, negara kita, Indonesia. Produk yang memiliki keunggulan komparatif adalah
bahan makanan, minyak bumi, kayu tropis, dan tekstil. Kalau kita misalnya, mau
meningkatkan diri dengan memproduksikan barang otomotif, maka kita akan menghadapi
pesaing berkaliber internasional, yang akan secara kejam berusaha menggilas kita. Lihat
saja kasus industri otomotif Hyundae dari Korea Selatan, yang berusaha keras memasuki
pasar dunia. Dengan dibantu secara penuh oleh pemerintahnya, hasil usaha ini belum
menunjukkan ciri-ciri keberhasilan. Hal yang sama terjadi dengan Malaysia, dengan
produk mobil Proton Saga-nya.

Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena dalam sistem persaingan di pasar bebas,
kekuatan para pesaing berbeda. Ibarat lomba lari, para pelomba tidak melakukan start pada
titik yang sama. ì Negara kuat sudah ada jauh di muka. Mereka ada di muka kita dalam hal
ì permodalan, dalam penguasaan teknologi, dan dalam memonopoli kepercayaan ì
konsumennya melalui brand image. Dapatkah negara lemah seperti halnya ì Indonesia,
berkompetisi melawan perusahaan besar, seperti Toyota, Ford, ì atau Volkswagen di bidang
otomotif, misalnya? (Teknologinya mungkin bisa ì kita kuasai, tapi bagaimana merebut
pasar melawan brand image ì dari perusahaan besar? Belum lagi persaingan harga melawan
perusahaan raksaksa yang sudah berskala besar ini).

Inti kapitalisme

Di atas kita baru bicara tentang kesulitan kita memenangkan persaingan di pasar bebas
dunia. Persaingan bebas adalah inti dari sistem kapitalisme. Tapi, kita juga tahu, bahwa
sistem ini tidak hanya mengandalkan persaingan di pasar bebas saja.

Ketika AS dikalahkan oleh Jepang dalam persaingan di pasar bebas dunia, Presiden AS
(dari Ronald Reagan sampai George Bush, dan mungkin dilanjutkan oleh Bill Clinton)
secara politis membatasi kuota impor barang dari Jepang, sambil pada saat yang bersamaan
memaksa Jepang untuk lebih mengkonsumsikan barang buatan AS. Persaingan di pasar
bebas hanya dipakai oleh negara kapitalis kuat, kalau hal ini menguntungkan mereka.
Kalau tidak, mekanisme ekonomi dalam bentuk proteksionisme pasar, disertai dengan
tekanan politik, akan dilancarkan oleh negara yang seringkali sangat lantang meneriakkan
ideologi pasar bebas.

Demikian juga halnya bagi negara industri yang masih lemah seperti kasus Indonesia.
Kalau strategi pembangunan para teknolog yang ingin merebut industri strategis yang
memiliki nilai tambah yang tinggi ini, bisa dilaksanakan dengan sukses, saya kira, negara
industri kuat tidak akan berpangku tangan, sambil terus berkomat- kamit menyuarakan
kepercayaannya pada prinsip persaingan di pasar bebas. Mereka akan berusaha untuk
melawan para (calon) pesaingnya dengan mekanisme di luar pasar. Bantuan luar negeri
berupa pembiayaan pembangunan yang masih sangat diandalkan oleh Indonesia untuk
menjalankan program pembangunannya, akan merupakan instrumen yang ampuh bagi
negara industri kuat untuk mengubah haluan strategi pembangunan kita. Suka atau tidak
suka, tampaknya inilah dunia nyata yang kita hadapi.

Pilih yang mana?

Jadi, mana yang lebih baik, strategi teknokrat atau teknolog?

Strategi teknokrat merupakan strategi yang pragmatis. Dia tunduk pada kekuatan pasar. Dia
menerima pembagian kerja secara internasional, yang dipaksakan oleh negara industri kuat
dalam sistem kapitalisme internasional. Strategi ini adalah seperti pelanduk yang berusaha
untuk bertahan hidup di tengah kawanan gajah yang sedang bertarung. Sang pelanduk
hanya makan remah-remah makanan yang ditinggalkan oleh para gajah, sambil terus
merayu untuk bisa mendapat porsi makanan yang lebih besar. Strategi ini memang terasa
bersifat fatalistis, tapi memang dia relatif aman untuk bisas bertahan hidup.
Strategi teknolog berusaha mengubah nasib dengan melawan para gajah. Dia mencoba
merebut porsi makanan yang sedang dimakan oleh binatang yang lebih besar ini. Kalau
melihat tenaga dan sumber daya yang ada pada para gajah, memang sangat sukar
dibayangkan, bahwa si pelanduk akan bisa mengubah nasibnya. Strategi ini memang
memberi peluang (meski sangat kecil) untuk kita meraih masa depan yang lebih cerah.
Tapi, besar kemungkinan kepala kita bisa pecah karena membentur tembok yang sangat
perkasa.

Lalu, pilihan mana yang lebih baik? Mungkin, seperti kata Kwik, yang paling baik adalah
jalan tengah. Secara hati-hati kita gabung kedua strategi ini. Tapi, strategi menggabung ini
pun bisa menghasilkan sesuatu yang tidak jelas, ke sini tidak, ke sana pun tidak. Akibatnya,
kita cuma jalan di tempat.

Memang beginilah nasib negara lemah seperti Indonesia, yang terlambat melakukan proses
industrialisasi. Atau, kita harus memikirkan strategi alternatif dengan menolak berlomba di
jalur yang sama, alias jalur persaingan dalam sistem kapitalisme global. Inilah yang
memang sedang dipikirkan oleh para ahli pembangunan tentang Dunia Ketiga. * Arief
Budiman, staf pengajar UK Satya Wacana, Salatiga.

Tentang Teori Hubungan Aktor dan Struktur

KOMPAS edisi Senin 2 September 1991Halaman: 4Penulis: BUDIMAN, ARIEF


Tentang Teori Hubungan Aktor dan Struktur

BUDIMAN, ARIEF

TENTANG TEORI HUBUNGAN AKTOR DAN STRUKTUR

Oleh Arief Budiman

KETIKA mendengarkan "perdebatan" antara Juwono Sudarsono dan Dorodjatun Kuntjoro-


Jakti di TVRI beberapa hari yang lalu, saya segera mengambil posisi tidak setuju terhadap
pendapat kedua pakar ini. Ketika itu, Gorbachev baru digulingkan. Juwono mengambil
posisi "optimis" dengan mengatakan bahwa ada kemungkinan kecil Gorby akan bisa
kembali ke tampuk kekuasaan. Djatun sebaliknya: dia mengambil posisi "pesimis" dengan
mengatakan, kemungkinan Gorby kembali hampir tidak ada.

Bagi saya, posisi "optimis" Juwono masih terlalu pesimistis. Saya beranggapan,
kemungkinan kembalinya Gorby ke tampuk kekuasaan, cukup besar. Ketika keesokan
harinya saya diwawancarai oleh beberapa koran daerah, saya nyatakan keoptimisan saya
tentang kemungkinan kembalinya Gorby.

Sekarang, semuanya sudah jelas. Gorby sudah kembali menjadi presiden Uni Soviet. Tak
adanya gunanya mengklaim siapa juru ramal yang lebih baik. Yang lebih penting adalah
memberikan bahasan teori tentang prinsipil-prinsipil yang dijadikan dasar bagi ramalan
tersebut. Dengan pengertian teori ini, kita bisa meramalkan gejala- gejala serupa, termasuk
yang terjadi di negara kita, di masa mendatang.

Pendapat yang mengatakan, Gorby tidak akan bisa kembali lagi biasanya didasarkan pada
kenyataan empiris bahwa dalam sejarah Uni Soviet, semua pemimpin yang digulingkan tak
ada yang bisa kembali lagi. Tentu saja, kenyataan sejarah yang dijadikan dasar dari
pendapat ini sangatlah rapuh, karena tidak disertai analisis teoretis yang lebih mendalam
tentang faktor-faktor penyebabnya.

Barangkali, teori yang bisa dipakai untuk menunjang pendapat yang pesimis di atas adalah
Teori Orang Besar. Teori ini mengatkaan bahwa sejarah bergerak secara acak, tergantung
pada kemauan orang- orang besar yang menjadi pemimpin-pemimpin bangsanya. Orang-
orang besar inilah, dengan ide-idenya yang besar, yang memberikan arah terhadap
perkembangan masyarakat.

Sejarah bergerak sesuai dengan subjektivisme manusia, yakni subjektivisme orang-orang


besar dalam sejarah. Dengan demikian, menurut teori ini, perubahan-perubahan yang
sekarang terjadi di Uni Soviet disebabkan karena adanya Gorbachev, seorang besar dengan
ide glasnost dan perestroika-nya, yang ternyata sanggup mengubah dunia. Maka, dengan
disingkirkannya si biang keladi yang menjadi gara-gara dari semua ini, proses perubahan
inipun dengan sendirinya akan terhenti.

Salah seorang ahli filsafat sejarah yang sangat terkenal, Hegel, berpendapat lain. Teorinya
tentang determinisme sejarah, yakni bahwa gerak sejarah sudah ditentukan sebelumnya,
bertentangan dengan Teori Orang Besar. Menurut Hegel, sejarah bergerak ke tujuan yang
sudah tertentu, yakni kemerdekaan manusia. Tak ada individu yang bisa mencegah gerak
sejarah ini. Gerak ini mungkin bisa dihambat dan diperlambat, tapi tak bisa diubah.

Sejarah merupakan proses di mana manusia menjadi makin merdeka. Kekuatan yang
menggerakkan sejarah ini merupakan kekuatan yang impersonal, yang terlepas dari
subjektivisme manusia. Bagi Hegel, orang besar dalam sejarah bukan merupakan subjek
yang menentukan, tapi dia hanya sekadar instrumen yang membantu terjadinya gerak
sejarah tersebut. Orang besar ini tidak menentukan, tapi ditentukan oleh sejarah. Maka,
ketika Bung Karno menyatakan dalam pidato 17 Agustus 1965, bahwa "bangsa yang
meninggalkan sejarah akan digilas oleh sejarah," dia sebenarnya sedang menguraikan teori
Hegel. (Pidato ini dikenal dengan judul Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah
Jasmerah).

Marx mengambil oper teori sejarah dari Hegel. Seperti Hegel, Marx juga berpendapat
bahwa kekuatan yang menggerakkan sejarah tidak ditentukan oleh subjektivitas manusia.
Gerak sejarah ditentukan oleh kekuatan impersonal, khususnya perubahan-perubahan yang
terjadi di dunia nyata (dunia material), yakni perjuangan kelas dalam memperebutkan
penguasaan terhadap alat produksi.

Ini berbeda dengan Hegel, yang meski beranggapan bahwa kekuatan yang menggerakkan
sejarah bersifat impersonal, tapi kekuatan tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat material.
Kekuatan tersebut pada dasarnya adalah kekuatan ide dari Sang Pencipta. Marx dan Hegel
menjadi sama lagi dalam mengatakan bahwa sejarah bergerak ke suatu arah yang sudah
ditentukan tujuannya. Tujuan itu, kemerdekaan manusia (pada Hegel) atau sebuah
masyarakat yang tidak berkelas (pada Hegel) atau sebuah masyarakat yang tidak berkelas
(pada Marx)

Penyebab

Dalam mengamati perubahan di Uni Soviet, timbul pertanyaan faktor apa yang menjadi
penyebab terpenting bagi terjadinya perubahan di Uni Soviet? Apakah faktor yang penting
itu adalah munculnya orang besar yang bernama Gorbachev (Teori Aktor)? Atau,
perkembangan sejarah Uni Soviet itu sendiri (khususnya perjuangan kelas) yang menjadi
faktor utama dari perubahan ini (Teori Struktur), di mana Gorby hanya berperan sebagai
bidan yang membantu proses kelahirannya ?

Dalam meramalkan apa yang terjadi di Uni Soviet, saya memakai pendekatan yang kedua,
yang dikenal dengan pendekatan struktural. Saya melihat, sudah terjadi perubahan
struktural di masyarakat Uni Soviet, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
Gorby. Masyarakat Uni Soviet, setelah dikuasai begitu lama oleh teori sosialisme ala Stalin
yang menekankan peran negara yang sangat besar, melihat bahwa perkembangan
masyarakat tersebut tersumbat, kecuali bila diadakan demokratisasi.

Memang pemerataan relatif tercapai, tapi pertumbuhan ekonominya menjadi ketinggalan


dengan pertumbuhan kebutuhan riil dari masyarakat ini. Maka, terjadinya konflik antara
sistem yang lama, dan perkembangan riil dari masyarakat. Terjadinya semacam perjuangan
kelas dalam usaha memperebutkan alat produksi, yakni antara kelas birokrat negara dan
kelas rakyat jelata. Keadaan inilah yang saya kiaskan dengan gejala "kehamilan" yang akan
melahirkan masyarakat baru yang bisa menjawab tantangan zamannya.

Proses "kehamilan" ini sebenarnya sudah berlangsung lama. Beberapa bidan sudah
mencoba menanganinya. Orang-orang seperti Kruschev dan Breshnev misalnya, telah
mencoba membantu melahirkan bayi ini, tapi hasilnya sangat sedikit. Memang diperlukan
analisis yang lebih mendalam untuk mendapatkan kesimpulan siapa yang salah: Bidannya
yang kurang terampil, atau kandungannya belum cukup tua.

Ketika Gorby muncul, saya melihat bahwa proses perubahan berlangsung begitu cepat,
meluas dan mendalam. Saya juga mendadak kesan, Gorby sendiri tampaknya terkejut
melihat kecepatan dan keluasan dari perubahan yang terjadi. Munculnya usaha pemisahan
diri dari republik-republik kecil yang ada di Uni Sovit, tergulingnya regim-regim Stalinis di
negara-negara Eropa Timur, serta munculnya tokoh Boris Yeltsin yang menjadi populer
dengan tuntutannya yang radikal untuk mengembalikan demokrasi di negara ini, membuat
saya tambah yakin bahwa perubahan yang sedang terjadi bukan disebabkan oleh
munculnya Gorby saja. Perubahan ini merupakan perubahan struktural yang impersonal,
yang bahkan akan menggilas Gorby seandainya dia tidak pandai membaca gerak sejarah,
dan mengikutinya.

Apa yang dilakukan oleh Wakil Presiden Yanayev dan sekutu- sekutu militernya
merupakan usaha untuk melawan gerak sejarah ini. Karena itu, ketika Dorodjatun menjadi
pesimis, dan Juwono bersikap sedikit optimis, saya langsung mengambil posisi yang
berbeda. Bagi saya, sulit sekali untuk memutar kembali jarum jam sejarah, baik itu
dilakukan oleh Yanayev dan sekutu-sekutu militernya, maupun oleh Gorbachev sendiri.

Satu-satunya harapan bagi Yanayev dan kawan-kawan untuk berhasil adalah, pertama, bila
dia benar-benar menguasai semua aparat militer dan bisa menekan secara represif gejolak
yang terjadi di masyarakat. (Kalau ini berhasil dilakukan, maka gerak sejarah ini akan
diperlambat, bukan dihentikan sama sekali. Regim baru ini, sekiranya berhasil
mempertahankan kekuasaannya, akan terpaksa mengikuti pembaruan-pembaruan yagn
sudah berjalan). Kedua, bila rakyat Uni Soviet merasa bahwa keadaan ekonomi menjadi
tambah berat akibat "ulah" Gorby dengan glasnost dan perestroikanya, sehingga mereka
mau mendukung kekuatan baru ini.

Tapi, "kekuatan" ini harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang lebih besar, yakni
keinginan rakyat Uni Soviet untuk membebaskan diri dari negara Stalinis yang otoriter,
keinginan republik-republik untuk membebaskan diri dari dominai orang Russia, serta
tekanan- tekanan internasional baik dari negara-negara Eropa Timur maupun negara-negara
Kapitalis Barat. Dari perhitungan teoretis ini, memang sulit untuk tidak menjadi optimis
bahwa Gorby akan kembali.

Perubahan struktural

Sampai pada saat ini, analisis saya sangat menekankan aspek perubahan strukturalnya.
Bagaimana peran aktor di sini? Apakah Gorby hanya merupakan boneka dari gerak
struktural sejarah ini?

Saya menjawabnya dengan negatif. Memang gerak struktural sejarah sangat penting. Tapi,
peran aktor sejarah juga sangat menentukan. Tanpa adanya Gorby, mungkin apa yang
sekarang terjadi belum juga terjadi. Atau, kalaupun terjadinya, bentuknya bisa berlainan.
Dengan demikian, saya sama sekali tidak mau mengecilkan, apalagi menyampingkan,
peran aktor sejarah. Gorby memang merupakan produk dari sebuah gerak struktural
sejarah. Tapi, pada saat yang sama, dia juga mempengaruhi gerak struktural tersebut. Ada
hubungan yang dialektis antara struktur dan aktor.

Contoh yang paling jelas dapat kita lihat pada gejala kembalinya Gorby. Ketika Gorby
digulingkan, memang terjadi ketidak-puasan di mana-mana, termasuk juga di kalangan
militer, terhadap kejadian ini. Kondisi struktural dari masyarakat Uni Soviet jelas tidak
mendukung kelompok Yanayev dan kawan-kawan. Tapi, dibutuhkan seorang Boris Yeltsin,
yang secara berani dan tegas tampik kemuka dan menghimpun kekuatan perlawanan.
Tanpa adanya aktor sejarah seperti Boris Yeltsin, kemungkinan kekuatan struktural ini akan
tetap terpecah- pecah dan tidak bisa dipersatukan. Tapi, sebaliknya juga benar. Tanpa
adanya kondisi struktural yang sesuai, keberanian Yeltsin akan sia-sia, perjuangannya akan
kandas.

Tapi memang sulit untuk menguraikan secara persis, bagaiman sebenarnya hubungan
dialektis yang terjadi antara kekuatan struktural dan peran aktor sejarah ini. Dalam
kaitannya dengan negeri kita, bisa dipertanyakan apakah keterbukaan yang sekarang
sedang terjadi merupakan hasil dari proses struktural, atau karena adanya "orang-orang
besar" sejarah yang mencoba menggerakkannya?

Telah beralih

Dengan berhasilnya sistem politik Uni Soviet mengatasi kudeta yang dilancarkan Yanayev
dan kawan-kawan maka dapat dikatakan bahwa negara ini telah beralih dari negara yang
tadinya belum (atau disangsikan) memiliki masyarakat sipil yang kuat, menjadi negara
yang telah memilikinya. Pada negara tipe pertama, kekuasaan politik dipusatkan di tangan
negara. Rakyat kurang diikut sertakan. Negara seperti ini aka jatuh, kalau pusat kekuasaan
ini diserang dan dijatuhkan. Kalau ibu kota jatuh, maka seluruh negara juga jatuh.

Lain halnya dengan negara yang telah memiliki masyarakat sipil yang kuat. Kekuasaan
politik tidak terpusat di ibu kota, di tangan segelintir individu penguasa. Kekuasaan politik
terpusat di tangan rakyat. Dengan demikian, bila ibu kota jatuh, belum tentu kota-kota lain
akan menyerah. Akan bangkit perlawanan dari luar ibu kota.

Dengan demikian, bila pada tipe pertama, yang oleh Antonio Garmsci disebut sebagai tipe
Negara Timur, kekuasaan politik yang tampak kokoh bisa berubah dalam satu hari, maka
pada tipe kedua atau tipe Negara Barat, untuk bisa mengambil alih kekuasaan politik orang
harus berjuang dari bawah, menaklukkan kawasan-kawasan politik satu demi satu,
sentimeter demi sentimeter. Negara tipe pertama biasanya merupakan negara otoriter (yang
tidak didukung rakyat), yang kedua merupakan negara yang demokratis. Pada yang kedua,
masyarakat sipil sudah kuat terbentuk. Politik bukan lagi hanya urusan penjabat negara,
tapi merupakan urusan rakyat sehari-hari.

Negara demokratis biasanya tampak rapuh dan tidak stabil. Kita lihat, sebelum terjadi
kudeta Yanayev dan kawan-kawan, terjadi pertengkaran yang terus menerus antara pelbagai
kelompok politik yang ada. Semua menuntut hak-haknya. Gorby dengan sabar dan terampil
berusaha menyelesaikannya melalui meja perundingan. Kadang-kadang memang
digunakan kekuatan militer, tapi kekuatan ini lebih dipakai untuk membawa mereka datang
ke meja perundingan, bukan untuk memaksakan kehendak secara sepihak.

Perlahan-lahan tapi pasti, masyarakat Uni Soviet dibawah oleh Gorby memasuki kehidupan
demokrasi tanpa menimbulkan anarki. Proses yang sama saya lihat terjadi di Filipina. Cory
Aquino dengan sabar dan terampil tampaknya berusaha keras membawa masyarakat
Filipina untuk menghormati, dan memperkuat lembaga-lembaga demokrasi yang ada. Dia
memperkuat lembaga legislatif, dan juga yudikatif.

Ketika Mahkamah Agung Filipina memerintahkan dibebaskannya Juan Ponce Enrile,


musuh politik Cory yang ditangkap atas tuduhan terlibat dalam komplotan kudeta, Cory
mematuhi perintah tersebut. Kekika ada wartawan yang menghinanya dengan mengatakan
bahwa Cory bersembunyi di kolong tempat tidur pada waktu terjadi kudeta, dia
menuntutnya di pengadilan. Dia tidak main kuasa, meski dia memilikinya, dengan
menangkap si wartawan.

Begitulah, demokrasi memang tampak semberawut dan kurang stabil. Tapi, seperti yang
ditunjukkan oleh Filipina dan sekarang Uni Soviet, sistem ini dapat mengatasi kudeta-
kudeta militer. Sistem ini tampaknya bisa mengubah dari politik yang didasarkan pada
kekuatan otot menjadi politik yang didasarkan pada kekuatan otak.

Kalau kita kini berpaling ke negara kita, maka dapat saya katakan, bahwa ketahanan politik
kita hanya akan dapat ditingkatkan, bila kita melakukan demokratisasi politik. Gejala
keterbukaan yang akhir-akhir ini makin meluas menunjukkan, bahwa kita sedang menjalani
proses sejarah yang benar. Tentunya, kita tidak hanya bisa bersikap pasif terhadap gerak
sejarah ini. Dibutuhkan juga aktor-aktor sejarah untuk membantu terjadinya proses ini.
Marilah kita semua merasa terpanggil dan menugaskan diri kita untuk berperan bagi kerja
besar ini.

* Arief Budiman, staf pengajar Universitas Satyawacana Salatiga, Jateng.

Kapitalisme, Demokrasi, dan Negara

KOMPAS edisi Rabu 25 November 1992Halaman: 4Penulis: BUDIMAN, ARIEF


Kapitalisme, Demokrasi, dan Negara

BUDIMAN, ARIEF

KAPITALISME, DEMOKRASI, DAN NEGARA

oleh Arief Budiman

PADA saat ini, ada dua proses yang sedang melanda dunia. Pertama, munculnya
kapitalisme sebagai kekuatan dunia yang baru. Sehingga, sistem dwikutub dunia
(kapitalisme dan sosialisme) sekarang seolah-olah menjadi tinggal satu kutub, yakni
kapitalisme saja. Kedua, demokrasi menjadi acara politik di mana-mana. Demokrasi
dengan cukup nyaring diteriakkan di hampir semua peloksok dunia. Mayoritas umat
manusia tampaknya ingin supaya proses demokratisasi dijalankan di mana-mana. Di
negara-negara Dunia Ketiga, keinginan untuk melakukan proses demokratisasi juga
menggebu, meskipun regim- regim otoriter masih tetap kuat, sulit untuk digoyahkan.
Hanya beberapa negara yang berhasil mendemokratisasikan negaranya, seperti yang terjadi
di Thailand.

Kapitalisme dan demokrasi dianggap sebagai obat manjur untuk memecahkan segala
macam masalah. Kapitalisme akan memacu pertumbuhan ekonomi dan demokrasi akan
mengontrol negara untuk tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Yang mengatur
masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. Negara hanya mengawasi, apakah aturan yang
ada (yakni aturan persaingan bebas di pasar) dilanggar.

Kedua kekuatan yang berkombinasi ini, yang merupakan kekuatan dunia sekarang,
tampaknya berusaha keras untuk menafikan peran negara. Kecuali, tentunya, peran negara
sebagai semacam penjaga garis. Pertanyaan kita, apakah benar kapitalisme dan demokrasi
merupakan jawaban bagi persoalan manusia sekarang dan seterusnya?

Dua cara demokratisasi

Untuk menegakkan demokrasi, ditempuh dua cara. Pertama, cara yang formal. Lembaga
politik seperti perangkat undang-undang dan hukum, cara bekerja lembaga tinggi negara
seperti parlemen, mahkamah agung, dan lembaga sejenis lainnya, dibuat menjadi
demokratis. Artinya, peraturan yang ada, memungkinkan semua warga masyarakat,
terutama yang berada di bawah yang paling sering menjadi korban "pembangunan", ì
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Bila semua ini bisa ì dilaksanakan,
demokrasi pun akan terjamin penyelenggaraannya.

Tapi, kita pada umumnya mengetahui, adanya aturan-aturan dan lembaga-lembaga formal
yang menjamin demokrasi, tidak begitu saja akan menghasilkan proses demokrasi dalam
realitasnya. Semua aturan dan lembaga ini harus dibunyikan, supaya bisa berfungsi. Aturan
dan lembaga formal ini hanya bisa berbunyi melalui sebuah proses politik. Artinya, harus
ada kekuatan politik yang bisa memberi tekanan kepada pemerintah untuk melaksanakan
aturan ini. Tekanan ini bisa diberikan melalui partai politik, organisasi massa, pers, lobby
pribadi, tekanan internasional, dan sebagainya.

Pada titik ini, kita sampai pada cara kedua untuk melaksanakan proses demokratisasi, yakni
cara yang struktural. Cara ini beranggapan, ì bahwa demokratisasi hanya bisa terjadi bila
dapat diciptakan perimbangan ì kekuasaan antara civil society dan pemerintah. Kalau
pemerintah terlalu ì kuat, meskipun ada aturan dan lembaga formal yang menjamin
demokrasi, ì maka sulit diharapkan, proses demokratisasi yang sebenarnya bisa ì
dilaksanakan. Ini disebabkan karena kekuatan masyarakat dalam melakukan ì penekanan
untuk menjalankan proses ini, terlalu lemah. Karena itu, secara ì struktural, demokratisasi
hanya akan terjadi bila civil society mempunyai kekuatan. Dengan lain perkataan, civil
society harus ì dibebaskan dari dominasi kekuasaan pemerintah yang berlebihan.

Ini berarti, program bagi semua kekuatan yang memperjuangkan demokrasi adalah dengan
menambah kekuatan masyarakat. Baru kalau keadaan ini sudah tercipta, perjuangan untuk
memperbaiki hal-hal yang formal bisa dilaksanakan.

Demokrasi dan keadilan sosial

Tapi, benarkah dalam sistem kapitalisme, demokrasi merupakan obat mujarab untuk
terciptanya keadilan sosial? Kalau demokrasi sudah terselenggara, dapatkah dia
menghapuskan masalah kemiskinan? Dapatkah hak-hak sipil, terutama hak-hak sipil dari
kaum minoritas, baik minoritas dalam jumlah maupun minoritas dalam harta, dijamin? Hal-
hal inilah yang perlu juga dipikirkan.

Dalam sistem kapitalisme, penindasan tidak hanya terjadi melalui kekuasaan politik yang
otoriter. Penindasan juga terjadi di pasar bebas, melalui proses persaingan yang dianggap
adil, di mana semua orang punya hak yang sama. Padahal hak yang sama saja tidak cukup.
Perlu ada kekuatan yang sama, untuk bisa bersaing secara bebas, tapi adil. Misalnya,
persaingan antara pengusaha yang kuat, yang punya kekuasaan ekonomi dan akses pribadi
kepada para penjabat tinggi negara, dengan para buruh yang miskin, meskipun tidak
disertai pemaksaan politis, jelas bukan persaingan yang adil. Ini sama saja dengan
mempertandingkan musang dengan ayam di pasar "bebas".

Dengan lain perkataan, penindasan dan ketidak-adilan bisa terjadi di lingkungan civil
society, tanpa campur tangan negara. Usaha ì menyingkirkan negara memang merupakan
program dari sistem kapitalisme ì liberal yang dikuasai kaum borjuasi. Karena, dalam
sebuah persaingan ì bebas di pasar, kaum borjuasi yang memiliki banyak comparative
advantages ì ini, dengan mudah dan absah bisa menindas kelompok masyarakat yang di ì
bawah dengan leluasa. Karena itu, tidak mengherankan kalau demokratisasi ì dalam sistem
kapitalisme merupakan proyek utama dari kaum ì borjuasi.

Demokratisasi pada aras global dan nasional

Di Indonesia, yang juga menganut sistem kapitalis, proyek demokratisasi juga sedang
diperjuangkan oleh kalangan luas masyarakat. ì Proyek ini merupakan program dari civil
society kita sekarang. ì Sasarannya adalah, untuk mencegah penggunaan kekuasaan yang ì
sewenang-wenang oleh negara, yang telah menimbulkan korban di kalangan ì lapisan
bawah maupun menengah.

Tentu saja, dalam kondisi yang ada sekarang, proyek ini harus kita dukung. Kekuasaan
negara yang ada jelas terlalu besar, sehingga sulit ì dikontrol oleh masyarakat. Sebagai
akibat adanya kekuasaan yang terlalu ì besar ini, maka dengan mudah terjadi
penyalahgunaan kekuasaan. ì Demokratisasi adalah salah satu cara untuk memperbaiki
keadaan ini.

Tapi, harus kita sadari, bahwa proses demokratisasi dalam sistem kapitalisme memerlukan
juga kewaspadaan kita. Hendaknya kita sadari, bahwa tujuan lapisan menengah dan lapisan
bahwa dalam mendukung proyek demokratisasi ini, berbeda. Kelompok masyarakat lapisan
bawah mendambakan demokratisasi, karena dalam keadaan sekarang, mereka menjadi
korban "pembangunan" yang dijalankan oleh dua kekuatan yang bergabung: kekuatan
ekonomi (pengusaha) dan politik (negara). Kedua kekuatan inilah yang mengakibatkan
tanah mereka digusur, lokasi usaha mereka dihilangkan (pedagang asongan, tukang becak),
dan banyak lagi lainnya. Mereka mengharapkan, bahwa proses demokratisasi akan
melindungi mereka dari terjangan kedua kekuatan ini.

Bagi lapisan menengah, demokratisasi penting untuk mencegah negara ikut campur tangan,
supaya mereka bisa bersaing secara bebas. Dalam persaingan bebas, kaum borjuasi
memiliki keuntungan komparatif yang akan menjamin kemenangan mereka. Tanpa campur
tangan negara, dengan keuntungan komparatif yang ada di tangan mereka, maka mereka
dengan muda bisa "memanfaatkan" tenaga kerja murah yang ada di pasar bebas, yang
jumlahnya berlebihan.

Ini artinya, masyarakat lapisan bawah harus benar-benar hati-hati dengan usaha untuk
menegakkan demokrasi dalam sistem kapitalis. Dalam masyarakat ini, demokratisasi akan
lebih menguntungkan kelompok masyarakat menengah ke atas yang lebih kuat. Bagi kaum
yang lemah dalam sistem kapitalisme, demokrasi harus dilengkapi dengan peran negara
yang cukup kuat, yang dapat mencegah terjadinya eksploitasi di pasar dalam persaingan
bebas. Persoalannya adalah, bagaimana menghindari kerja sama antara kaum borjuasi
dengan para elit negara, karena jelas kedua kelompok ini memiliki hubungan pribadi dan
sosial yang lebih dekat (misalnya main golf bersama) ketimbang dengan kelompok
masyarakat bawah.

Pada aras global, hal yang sama terjadi. Ada usaha yang kuat untuk mengurangi secara
drastis peran negara. Semua hendaknya diberikan pada pihak swasta, nasional maupun
asing. Usaha ini secara nasional tampak pada pemberian keleluasaan yang lebih besar bagi
modal asing; secara global tampak pada usaha pengurangan campur tangan negara pada
Putaran Uruguay, dengan menekan negara berkembang untuk tidak melakukan kebijakan
proteksi untuk melindungi industri mereka yang masih lemah, dan sebagainya. Kalau hal
ini terjadi, maka yang diuntungkan adalah negara industri kuat, yang akan memenangkan
persaingan. Usaha untuk mendelegitimasikan negara melalui proses demokratisasi memang
merupakan proyek dari kapitalisme dunia.

Di Indonesia, kita memang terjepit di antara dua ekstrem. Di satu pihak, kita ingin
mengurangi peran negara yang berlebihan melalui proses demokratisasi. Di lain pihak, kita
juga harus hati-hati terhadap proyek demokrasi (dalam sistem kapitalisme) yang hanya
akan menguntungkan kelas menengah ke atas. Yang pertama membawa kita pada sikap
tidak suka terhadap kekuasaan negara; yang kedua mengundang kembali campur tangan
negara melakukan intervensi untuk membela kaum yang lemah. Tampaknya, kontradiksi
ini tidak bisa diatasi dalam sistem kapitalisme itu sendiri. Pemecahannya ada di luar sistem
ini. * Arief Budiman, staf pengajar Universitas Satya Wacana, Salatiga.

Lebih Jauh Dengan: Arief Budiman

KOMPAS edisi Minggu 30 Oktober 1994Halaman: 2Penulis: REDANA,


BRE/HARIANTO, JIMMY S
Lebih Jauh Dengan: Arief Budiman

REDANA, BRE/HARIANTO, JIMMY S

Lebih Jauh Dengan

ARIEF BUDIMAN

Pengantar Redaksi

DR ARIEF Budiman (53) adalah manusia di tengah kemelut demonstrasi. Sejak muda ia
terlibat aktif dalam gerakan antikemapanan seperti penandatanganan Manifes Kebudayaan,
demonstrasi tahun 1966 yang penuh mitos, Golput pada tahun 1971 dan lain-lain. Ketika ia
masuk Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga tahun 1981, semua gerakan di
kampus itu sering dihubung- hubungkan punya afiliasi dengan dirinya. Dia memang
manusia di tengah demonstrasi, termasuk pernah juga didemonstrasi beberapa mahasiswa
UKSW.

Saat ini kembali gelombang demonstrasi meletus di UKSW sebagai ekor pemecatan
dirinya oleh pimpinan universitas itu. Terhitung sejak 31 Oktober 1994, lewat surat
keputusan yang ditandatangani ketua umum dan sekretaris Yayasan UKSW, Arief dipecat
dengan tidak hormat dari posisinya sebagai tenaga akademik dan segala jabatan di UKSW.
Alasannya antara lain, Arief yang terus memprotes proses pemilihan rektor yang
dianggapnya tak demokratis dan penuh kecurangan, oleh pimpinan dianggap merugikan
dan merusak citra universitas.

Lahir di Jakarta 3 Januari 1941 dengan nama Soe Hok Djin, Arief seolah-olah terus berada
di tengah kemelut konflik. Sebagai golongan minoritas yang sejak kecil merasa sering
diperlakukan tak adil, kecamuk politik yang berlangsung seiring pertumbuhannya, serta
kepekaannya terhadap ketidakadilan, bertaut dengan hal lain agaknya punya peranan dalam
altruismenya.

"Ada teman bilang, kalau tak ada pertentangan jangan-jangan saya malah sakit..." kata
Arief bercanda. Doktor Sosiologi dari Universitas Harvard, Amerika Serikat (1981) yang
sebelumnya mengenyam pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (lulus 1968)
ini sebenarnya pribadi yang suka humor. Humornya kering dan kadang disampaikan
dengan dingin. "Tapi dengan konflik itu saya bisa lebih mengaktualisasikan kebenaran,"
tambahnya serius.

Semua konflik ia hayati sebagai usaha penegakan keadilan yang secara filosofis ia yakini
sebagai episode yang tak akan pernah selesai dalam kehidupan. Itulah yang membuatnya
tidak pernah capai berada di tengah kemelut konflik. Selain itu, tentu juga peranan istri
yang memahami sikap kejuangannya, Sitti Leila Chaerani yang dinikahinya tahun 1967,
dua anaknya, Andrian Mitra Budiman (26) dan Susanti Kusumasari (24). Mereka tinggal di
rumah yang berwawasan ekologis di Desa Kemiri, Salatiga. Paduan istri yang penuh
pengertian serta ketenangan sebuah desa di Salatiga itulah yang mungkin seperti oase,
selalu membasuh semangatnya untuk tegak.

SOAL pemilihan rektor Satya Wacana, sebenarnya apa yang Anda perjuangkan?

Demokrasi dijalankan di kampus. Pada pemilihan rektor tahun lalu, ada aturan main yang
semestinya dipatuhi, tidak dipatuhi. Pemilihan ada tiga tahap. Tahap pertama, pemilihan
pada unit-unit. Liek Wilardjo dapat 10 suara, John Ihalauw 6, dan John Titaley 5. Menurut
aturan, yang bisa masuk ke tahap berikut adalah yang paling sedikit mendapat 8 suara.
Dengan hasil itu, menurut peraturan calon tunggal Liek Wilardjo. Tapi Yayasan mengubah
aturan itu saat diketahui hasilnya, karena mereka rupanya ingin sekali John Ihalauw yang
jadi rektor.

Pada tahap kedua, hasil tahap pertama itu tidak dianggap suaranya. Ketiga calon kembali
masuk nominasi. Pada tahap kedua ada masalah prinsip lain yang dilanggar. Tiap anggota
senat (wakil dari unit-unit fakultas) untuk pemilihan tahap ini, sudah mengadakan
pemilihan siapa yang mereka calonkan. Harusnya kan ketua unit yang menjadi senat
membawakan suara unitnya. Kalau mereka pilih John Ihalauw atau Liek Wilardjo harusnya
ketua senat yang ex officio posisinya menyuarakan itu.

Tetapi Yayasan mengatakan: boleh tidak usah menyuarakan suara unitnya. Boleh suara
pribadi. Ini kan aneh? Dia ex officio, kok dia bisa bersuara pribadi. Hasilnya 9 suara untuk
Liek Wilardjo, 8 John Ihalauw. Pada tahap ini pun masih menang Liek Wilardjo. Tetapi
dengan 8 suara yang didapatnya, John Ihalauw masuk ke pencalonan tahap ketiga.

Nah, pada tahap ketiga, hanya senat yang memilih, orang-orang yayasan yang memilih. Di
sana katanya, Liek Wilardjo dikalahkan John Ihalauw 10 lawan 1.

Sepertinya ini hanya masalah aturan-aturan. Tetapi sebenarnya ada dua hal di sini. Ada
pelanggaran aturan yang dipaksakan yayasan. Ketika itu, orang senat membantah: jangan
dong, ini kan aturannya tidak begini. Nggak boleh begitu dong, caranya. Namun di pihak
lain yayasan mengatakan: silakan, Anda boleh setuju, boleh nggak setuju, tapi kami jalan
terus, karena kami punya hak melakukan interpretasi itu.

Prinsip inilah yang ditentang. Kok yayasan begitu otoriter, merasa dirinya paling benar.
Dampaknya dalam kehidupan perguruan tinggi saya kira sangat jelek. Perguruan tinggi
dasarnya kebebasan, kompetisi ide. Tapi dalam hal ini yayasan menggunakan wewenang
sebagai diktator. "Pokoknya kami punya wewenang, kamu harus ikut." Bahkan salah satu
anggota senat mengatakan: kita cuma buruh yayasan, apa pun yang diputuskan yayasan
harus diterima.

Lho, ini bukan perusahaan! Ini perguruan tinggi. Perguruan tinggi adalah komunitas
intelektual, di mana yang menang adalah ide paling brilian, ide yang paling rasional, ide
paling masuk akal.

Dengan demikian, sejak pemilihan rektor saat itu, Satya Wacana memasuki satu periode
yang tak dikenal perguruan tinggi. Periode di mana posisi orang sangat menentukan lebih
dari ide dan pemikiran.

Jadi yang ingin saya tegakkan adalah, dalam perguruan tinggi jiwa yang sesungguhnya
bukanlah kekuasaan, tapi pertarungan ide, pluralitas ide. Bahkan yang menang idenya pun
harus bisa mentolerir ide-ide lain yang mungkin tidak sependapat.

Kenyataannya, John Ihalauw terpilih sebagai rektor...

Ya. Terpilih sebagai rektor, karena yayasan menganggap hanya mencalonkan satu itu saja.

Andaikan rektornya bukan John Ihalauw, apakah keadaannya lebih baik?

Masalahnya bukan John Ihalauw atau bukan. Kalau pemilihan rektornya sah, meskipun
John Ihalauw yang terpilih, saya kira kita akan terima itu. Artinya, meskipun tidak setuju,
kita bilang: oke, kita tidak setuju ia sebagai calon. Tetapi karena mayoritas Satya Wacana
memilih dia, ya kita terima.

Anda selama ini dikenal sebagai orang yang percaya kepada sistem, artinya sistemlah yang
menentukan orang...

Dalam hal ini yang saya lawan adalah sistemnya. Bukan John Ihalauw. Yang penting disini
demokratisasi diperjuangkan. Sistemnya ì yang lebih penting dibenahi. Meskipun
demikian, orang juga tidak saya anggap sebagai sesuatu yang di luar itu. Kira-kira sistem
dan orang ini berdialektiklah! Jadi siapa pun yang jadi rektor, sistemnya juga harus
diperbaiki.

Mengenai sistem dan orang yang berdialektik ini, apa itu pikiran baru setelah menghadapi
kenyataan di kampus maupun di luar kampus?
Tidak. Dari dulu saya sudah menganut sistem ini. Saya mengikuti suatu teori struktural,
tetapi struktural pun ditentukan oleh manusianya. Jadi bagi saya, manusia sangat penting,
struktur juga sangat penting. Kalau selama ini muncul anggapan, bagi saya seakan- akan
struktur itu lebih penting dari manusia, karena di Indonesia teori sosial yang dominan
selalu bicara soal manusia. Manusia paling penting, menentukan segalanya. Sistem itu
dirombak-rombak oleh manusia. Kalau manusia unggul maka sistemnya berubah.

Tapi sejak dari Amerika, saya menganut teori dialektik antara sistem dan struktur.
Mengutip ucapan Goethe: sistem itu, sejarah itu adalah proses di luar manusia. Sejarah itu
banyak berkembang menurut macam-macam faktor. Nah, kadang sejarah itu datang
memberikan kesempatan kepada manusia: "Ini saatnya untuk Anda berevolusi, atau
merombak keadaan". Kan sejarah kadang tertutup, tak bisa ada perombakan, tapi kadang
ada pintu yang terbuka untuk dimasuki.

Kadang sejarah datang pada manusia dan bilang: ini saatnya kamu bertindak. Istilahnya,
sejarah datang mengetuk pintu rumah Anda. Tapi sayang, tidak ada orang di rumah
sehingga perubahan tak terjadi, karena tampaknya di sana orangnya kerdil-kerdil semua.
Tak ada yang mengerti momentum sejarah yang besar itu. Meskipun ada manusia besar,
tapi kalau strukturnya masih tertutup, pintu masih tertutup, tak akan ada perubahan.
Perubahan terdiri dari dua komponen: satu, manusia yang bisa melihat momentum yang
ada; kedua, momentum itu memang ada.

Jadi kalau hanya manusianya saja, seperti teori ilmu sosial mengatakan: "Yang penting
manusia. Semua keadaan, sistem, bisa diubah". Teori ini saya tentang. Buat saya, manusia
bisa hebat, kuat, tapi kalau strukturnya atau sistemnya masih locked, nggak bisa jalan.
Perubahan bisa terjadi kalau ada suatu sinkronisasi antara manusia yang besar
mendapatkan momentum yang besar. Meskipun sejarah memberikan momentum yang
besar, kalau manusianya kecil-kecil, maka tidak akan terjadi perubahan.

Dari dulu sebenarnya pendapat saya begitu, yaitu faktor manusia dan struktur yang
berdialektik. Cuma orang mendapat kesan yang salah, karena saya terlalu menyerang faktor
yang mengagung-agungkan peran manusia saja, tanpa melihat konteks, tanpa melihat
struktur dan sistem.

Satya Wacana sebagai perguruan tinggi sama dengan perguruan tinggi lainnya, tak otonom.
Ada intervensi dari luar juga. Mungkin saja kejadian ini lingkupnya tak sebatas yayasan
atau rektor saja.

Manusia kan punya peran macam-macam. Sebagai seorang pengamat masalah sosial,
sosiolog, ilmuwan sosial, saya mengatakan bahwa perubahan hanya terjadi kalau faktor
manusia yang besar, berhadapan dengan momentum sejarah yang datang tidak setiap saat.
Jadi ada kombinasi antara manusia dan sistemnya, strukturnya. Saya sadar betul hal itu.

Pertanyaannya, mengapa saya tetap berjuang meskipun keadaan sosial baik di Satya
Wacana maupun di luar masih kuat sekali, orang tak bisa mengubahnya.

Saya menjawabnya sebagai seorang aktivis. Sebagai seorang intellectual in praxis, saya
mau mengubah keadaan ini. Saya tahu strukturnya masih sukar diubah. Tapi saya terus
memperjuangkan perubahan. Untungnya, karena sosiolog, ilmuwan, saya tahu apa yang
bisa saya harapkan, apa yang tak bisa saya harapkan. Jadi perjuangan untuk mengubah
sistem itu saya lakukan tanpa berilusi bahwa ini akan membuahkan hasil, karena saya
punya kemauan yang keras dan kebenaran di pihak saya.

Saya tetap berjuang meskipun strukturnya masih sangat ketat, itu lebih sebagai aktivis.
Dalam fungsi sebagai ilmuwan, saya punya kesadaran tak akan kecewa kalau gagal karena
memang strukturnya belum memungkinkan adanya perubahan. Momentumnya belum
memungkinkan. Jadi saya bisa tetap berjuang, meskipun keadaannya sulit.

Satu hal lagi, universitas ini suatu subsistem dari sistem yang besar, kenyataannya begitu.
Rektor bisa jadi otoriter, itu juga refleksi dari keadaan di luar kampus. Dosen yang
berjuang ini, dosen di Satya Wacana yang berjuang juga banyak yang takut, itu juga
refleksi. Itu juga ketakutan sebagai warga negara karena dia menghadapi praktek politik, di
mana dia tidak menang. Jadi ketakutannya macam-macam.

Apa yang terjadi di Satya Wacana merupakan mikrokosmos dari sesuatu secara nasional,
makrokosmos. Apa yang saya lakukan adalah menciptakan orang besar yang tidak kerdil,
dengan mengatakan: kamu tetap harus berjuang, meskipun keadaannya sulit. Reaksi yang
banyak dari dosen (atas pemecatan), mereka mau mogok, reaksi dari luar kampus, serta
rekan intelektual yang menanggapi peristiwa ini menunjukkan bahwa ternyata kita masih
punya manusia yang berkualitas.

Saya tidak berharap dengan banyaknya manusia berkualitas itu bisa mengubah struktur
yang ada, di kalangan kampus maupun di luar. Buat saya, manusia yang berkualitas tetap
harus diadakan untuk menyongsong kalau momentum sejarah itu datang, perubahan
datang, secara nasional bahkan internasional.

Kelihatannya Satya Wacana tak begitu penting untuk nasional sehingga pemerintah tak
terlalu ikut campur. Kelihatannya, asal Satya Wacana jangan ribut terlalu banyak, itu
cukup. Jadi artinya, Satya Wacana punya semacam otonomi sendiri. Meskipun dari luar
kampus yang besar Satya Wacana kelihatan jelek, tapi Satya Wacana mempunyai daerah
otonomi sendiri walau tak mutlak, sehingga masih mungkin kekuasaan di luar masuk ke
dalam. Ini mempermudah perjuangan kita bersama. Apa yang saya perjuangkan di Satya
Wacana lebih riil daripada perjuangan di taraf nasional.

Saya senang sekali dosen yang biasanya takut, sekarang jadi berani ngomong. Mereka
berani mogok, berani bersatu dengan konsekuensi akan dipecat. Kalau ini berhasil, saya
kira ini suatu hal yang menarik sekali. Berarti kita menciptakan dengan contoh konkret
bahwa apa yang diperjuangkan meskipun makronya masih jelek, bisa berhasil secara
terisolir.

Sekali lagi saya katakan, sebagai aktivis, saya berusaha menciptakan sebanyak-banyaknya
orang yang baik. Karena saya aktivis juga ilmuwan, saya tak punya ilusi. Saya kan selama
perjuangan ini, sebagai aktivis, selalu kalah terus...

Apa Anda tak lelah dengan situasi ini? Bagaimana Anda menjaga dan mengelola aktivitas
Anda?

Saya sebenarnya juga capek. Saya kira yang membuat saya tahan, karena mempunyai
interes banyak. Kalau saya capek di politik, saya masuk ke kesenian. Kita harus
kembangkan sense of humour yang tinggi. Saya ingat sebuah film Perancis, La Guerre est
Finie, Yves Montand yang main. Dia seorang revolusioner yang terus berjuang di Spanyol
untuk melawan diktator itu. Dia ditanya orang: kenapa kamu tidak capek-capek? Dia
bilang, ada dua syarat untuk menjadi seorang revolusioner: dia harus sabar dan punya sense
of humour. Sabar artinya punya jangka panjang, tak mudah patah. Sense of humour artinya
bila kalah dia bisa mentertawakan dirinya sendiri. Dia bisa mengambil jarak, tak terlalu
terlibat banyak.

Saya mencoba melihat kekalahan saya sebagai suatu humor saja, tak terlalu serius. Kalah
tak apa-apalah. Sehingga, meskipun dalam pertempuran saya kalah, saya tak pernah
menyerah, karena saya anggap perang ini sesuatu yang abadi. Perang ini bukan
pertempuran. Pertempuran hanyalah bagian-bagian dari perang. Kalau ditanya soal capek,
saya pun capek, tapi sekali lagi, saya lihat saja kegagalan saya sebagai humor...

Mungkin inti kebahagiaan Anda pada berkonflik itu...

Mungkin juga (tertawa). Kalau tidak konflik, mungkin saya yang sakit. Dalam konflik saya
bisa mengaktualisasikan pemilihan mana yang benar mana yang salah. Kalau semuanya
adem ayem kan aktualisasi diri saya kurang.

Mungkin itu pula sebabnya, Anda memilih istri seorang psikolog...

Ha... ha...ha... Leila (istrinya) pada dasarnya dalam soal prinsip mendukung saya. Kita
tidak berbeda: tidak materialistis, tidak senang hidup mewah. Dalam banyak hal kadang
juga berbeda. Tapi begitu masalah prinsip, dalam hal komitmen pada kebenaran, kita sama
sehingga dia tidak merepotkan sama sekali.

Anak-anak juga saya didik begitu. Tapi ingat, saya sebenarnya tak pernah mengalami suatu
hal yang sangat serius dalam hidup saya, seperti dipenjara sampai tujuh tahun, sepuluh
tahun. Saya paling lama dipenjara satu bulan. Tak pernah ada suatu guncangan yang serius
dalam hidup saya. Jadi mungkin cobaan yang saya alami selama ini relatif ringan.

Kalau toh kelihatannya saya berani, sebenarnya saya banyak takutnya dalam hati,
menghadapi kekuasaan seperti saat ini. Mungkin benar seperti yang dikatakan dalam buku
Mochtar Lubis itu, manusia berani adalah manusia takut juga. Mungkin karena saya takut
dianggap "takut", akhirnya jadi seperti berani.

Mungkin juga karena hidup saya praktis. Saya tidak menabung buat hari tua. Namun boleh
dibilang hidup saya cukup, lebih dari cukup, apalagi melihat tetangga sekitar saya.

Anda merasa kerasan hidup di Salatiga?

Ya. Saya merasa begitu. Ada untungnya saya hidup di antara orang-orang miskin. Tetangga
saya kan parah sekali. Kalau melihat mereka, saya pikir: orang begini saja tidak takut,
masak saya harus takut? Egois betul...

Ada hikmahnya juga tinggal di desa dan bergaul dengan orang- orang ini. Saya menjadi
berani dan bahkan merasa egoistis kalau punya ketakutan.

Apa rencana Anda untuk mengantisipasi kemungkinan paling buruk, misalnya mengajar di
tempat lain?

Saya dalam posisi sangat beruntung pada saat ini. Artinya, dalam hidup saya kan banyak
prioritas. Saya tak akan berkelahi untuk segala macam bidang, di sini kan ketidakadilan
begitu merajalela. Kalau saya menjadi pembela ketidakadilan di semua bidang akhirnya
saya capek sendiri, dan saya memang tak punya cukup tenaga untuk itu. Jadi saya memilih
beberapa prioritas.

Dalam hidup saya, Satya Wacana bukanlah prioritas nomor satu. Masih banyak hal lain.
Seandainya di pertempuran kali ini kalah, dan orang di Satya Wacana tak ada kemungkinan
untuk digerakkan kekuatan demokratisnya, ya saya lebih senang keluar. Saya tidak
kehilangan apa-apa dengan keluar dari Satya Wacana.

Tapi seandainya Satya Wacana bisa diperbaiki dan dibikin demokratis, saya ingin masuk
lagi. Kalau toh harus keluar, prinsipnya, pertama: saya lebih senang tinggal di Salatiga.
Anda tahu, rumah yang dibuat Romo Mangun sangat ekologis. Kedua, saya senang di sini
sepi, tidak komersial, dan saya merasa diterima masyarakat. Saya punya arti, bisa
menolong mereka dan mereka bisa menolong saya. Suatu hal yang mungkin tidak akan
saya peroleh di kota besar.

Soal pekerjaan, tingkat konsumsi saya tidak tinggi. Leila juga tidak tinggi. Karena itu saya
bisa hidup dengan gaji dosen dan gaji istri yang menulis di koran-koran.

Saya juga bisa mengajar di beberapa universitas, mungkin seminggu sekali datang ke
Yogya, Semarang atau Solo. Yang terang saya tidak mau hanya tinggal di Yogya saja, atau
di Semarang saja, tapi di Salatiga. Saya bekerja di rumah, tetapi tetap di bidang intelektual.
Ada pula tawaran riset, satu - dua tahun di luar negeri. Masih ada banyak pilihan. Saya
belum menetapkan apa-apa...

Apakah disiplin psikologi berperan dalam rumah tangga Anda?

Saya kira ya. Dari psikologi kan kita mengerti background, motivasi, misalnya tingkah laku
orang kita mengerti. Dalam hubungan saya dengan Leila, sedikit banyak kalau dia sedang
marah, saya bisa mengerti. Kalau saya sedang marah, Leila bisa mengerti. Tidak bisa
dihindari kita bisa jadi emosional. Teori tidak bisa mengatasi perasaan kita. Tetapi dalam
keadaan marah, kita dua-duanya berusaha memahami. Dalam keadaan marah kita tak boleh
ambil keputusan. Kita tak boleh mengikuti kemarahan itu karena pasti tidak obyektif. Nah
pengertian itu menolong, meskipun hal itu bukan berarti bisa bekerja sesuai teori.

Saya juga mendidik anak dengan baik, dengan cara memberikan kebebasan pada mereka,
dengan memperhitungkan negatifnya. Hubungan saya dengan anak juga gampang, kita bisa
ngomong terus terang dan tak ada masalah. Misalnya saya ingin anak lelaki saya lebih
punya idealisme seperti saya, tapi ternyata dia lebih cocok untuk bisnis yang kadang saya
tidak begitu sreg. (Adrian lulus Fakultas Ekonomi UGM dan bekerja di perusahaan permen
karet di Jakarta. Sementara Santi baru lulus dari Fisipol UGM).

Enak ya punya istri psikolog...

Ha... ha... ha. Psikolog itu teorinya banyak, tapi dalam praktek kadang nggak jalan juga.
Cuma, kalau waktu kita tenang dan tidak emosi, kita bisa ketawa: oh, ini teori yang jalan
waktu itu. Ada juga menolongnya. ***

Pewawancara:

Bre Redana

Jimmy S. Harianto

Arief Budiman: Stop Omong Politik, Omong Soal Selamatkan


Ekonomi

KOMPAS edisi Kamis 19 April 2001Halaman: 6Penulis: sah


Arief Budiman: Stop Omong Politik, Omong Soal Selamatkan Ekonomi

sah

Arief Budiman

STOP OMONG POLITIK, OMONG SOAL SELAMATKAN EKONOMI


Jakarta, Kompas

Saat ini perekonomian Indonesia sedang menanti ambruk, akibat kepercayaan luar negeri
semakin kecil dan hampir tidak ada investor baru yang berani menanamkan modalnya.
Sementara dalam situasi sulit seperti itu, elite politik negeri ini terus saja bertikai,
menimbulkan konflik-konflik baru yang semakin hari semakin tidak jelas penyelesaiannya.

"Yang dibutuhkan sekarang adalah menyelamatkan ekonomi Indonesia. Stop semua omong
politik," kata Dr Arief Budiman, usai dialog "Konflik Etnik dan Agama, Dulu, dan
Sekarang" di Wisma Antara Jakarta, Selasa (17/4).

Menurut pengamat politik yang bermukim di Australia ini, untuk menumbuhkan


kepercayaan investor lagi, dibutuhkan sebuah pemerintahan yang tidak dapat digulingkan,
stabil sampai tahun 2004. Persoalan siapa yang bakal menjadi presidennya, itu bukan
masalah. Namun, akan lebih baik bila tetap mempertahankan Presiden Abdurrahman
Wahid.

Untuk mewujudkan hal itu, Presiden Abdurrahman Wahid wajib membentuk sebuah
pemerintahan koalisi yang mampu mencapai suara lebih 50 persen di Dewan Perwakilan
Rakyat. Koalisi tersebut bisa saja merupakan gabungan dari Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ditambah satu partai lainnya.
Misalnya Partai Golkar atau Partai Persatuan Pembangunan.

"Koalisi itu tidak perlu banyak-banyak, cukup tiga saja. Yang penting jumlahnya lebih 50
persen suara DPR. Persoalan partai kecil menjadi Presiden sebenarnya bukan masalah.
Karena di Australia, Perdana Menteri Howard juga bukan berasal dari partai besar.
Partainya cuma dapat 20 persen suara, namun koalisinya mampu memblok suara 50 persen
di DPR," katanya.

Megawati ambil sikap

Pernyataan tentang koalisi itu, tambah Arief, dapat disampaikan Presiden pada pertemuan
empat tokoh nanti. Namun, untuk koalisi yang solid, dibutuhkan seorang negarawan lagi
yang mampu mengerem tindakan Abdurrahman Wahid yang cenderung seenaknya,
mengingat selama ini Wapres Megawati tidak mampu menjalankan fungsi itu.

Tentang kemungkinan DPR mengeluarkan memorandum kedua terhadap Presiden, bukan


masalah. Megawati tidak akan menghalangi tindakan pendukungnya di DPR. Hanya saja,
untuk sampai pada tindakan impeachment, Arief sangsi, Megawati mau mendukung
langkah itu.

Masalahnya, lanjut Arief, bila Abdurrahman Wahid turun dan Megawati menjadi Presiden,
sasaran tembak akan beralih ke putri sulung mantan Presiden Soekarno ini.
"Begitu Mega menjadi Presiden, kelemahannya bakal disorot habis-habisan. Sebagai
Wapres, dia menjadi politikus yang dibutuhkan, tapi begitu jadi Presiden dia akan jadi
sasaran tembak. Kelemahan suaminya Taufik Kiemas akan dibongkar. Kalau sampai
memorandum, tidak masalah. Namun, kalau sampai impeachment Megawati harus berani
mengambil sikap," tandas Arief.

Tentang usulan konsep pembagian kepala pemerintahan dan kepala negara, Arief
menyatakan kurang sependapat. Bila pemisahan itu nantinya tidak berjalan seperti
diharapkan, kemudian dihancurkan, hal itu justru bakal memperparah kondisi ekonomi
Indonesia. "Presiden tetap Gus Dur, namun dia harus mau share bagaimanapun bentuknya.
Kalau ekonomi tidak ditolong ambruk negara ini. Waktunya cuma enam bulanan," kata
Arief. (sah)

Nama dan Peristiwa: Ada yang berubah pada Dr Arief Budiman, ia ikut
pencoblosan di Salatiga

KOMPAS edisi Jumat 11 Juni 1999Halaman: 12Penulis: AS


Nama dan Peristiwa: Ada yang berubah pada Dr Arief Budiman, ia ikut pencoblosan di Salatiga

AS

NAMA DAN PERISTIWA

PERSOALAN pelecehan seks yang pernah menggemparkan Amerika, boleh dibilang


sudah lama tuntas, bersamaan dengan pemberian ganti rugi tuntutan oleh Bill Clinton
kepada Paula Jones (32) sebesar 850.000 dollar AS. Sekarang mantan pegawai negeri di
Arkansas ini harus menghadapi gugatan yang lain, gugatan cerai dari suaminya Stephen
Jones yang tinggal menunggu putusan pengadilan saja.

Senin (7/6) lalu, Stephen Jones memasukkan gugatan cerai ke pengadilan di Los Angeles.
Selain menuntut cerai, suami wanita yang pernah menghebohkan karena kasus pelecehan
seks ini meminta pengadilan untuk memberikan hak perwalian bersama serta hak
mengunjungi dua anak hasil perkawinan mereka.

Pasangan yang menikah tahun 1991 ini mempunyai dua anak-Stephen (6) dan Preston (2)-
yang saat ini hidup dengan Paula di Cabot, Arkansas.

Paula dan suaminya sudah sejak Februari berpisah tempat tinggal. Meski begitu, sebulan
kemudian Paula menyatakan bahwa mereka akan bersatu kembali di Arkansas. Lewat
pernyataannya ini, Paula ingin menekankan kalau perkawinannya tidak sedang menuju
kehancuran.

Namun apa boleh buat. Kenyataan tidak sesuai dengan harapan. "Inilah saatnya," kata
Susan Carpenter-McMillan, teman Paula yang juga adalah bekas penasihatnya. Carpenter-
McMillan tidak merinci lebih lanjut maksud kata-katanya itu, kecuali melanjutkan, "Saat
ini, anak-anaknya akan tetap tinggal bersamanya (Paula)."

Paula mulai dikenal publik setelah dia membeberkan pelecehan seksual yang dilakukan
Presiden AS Bill Clinton di sebuah kamar hotel di Little Rock, Arkansas, tahun 1991. Paula
baru membuka kasus itu pada 1993 atau sekitar sepekan sebelum Clinton dilantik sebagai
presiden untuk kedua kalinya. Clinton akhirnya harus mengeluarkan uang damai untuk
Paula. (msnbc/ret) arb

Arief Budiman ADA yang berubah pada Dr Arief Budiman (58). Pengajar pada The
University of Melbourne, Australia, ini sudah lebih sering pakai sepatu, tidak sepatu sandal
seperti biasa. Namun perubahan paling "radikal" adalah, ia sudah bersedia ikut mencoblos
pada Pemilihan Umum 7 Juni lalu. Selama sekian pemilu, Arief berjalan di depan orang-
orang yang bersikap "golput" (golongan putih), kelompok yang secara terbuka menyatakan
tidak ikut pemilu.

"Dulu, saya 'golput' karena banyak yang tidak bener. Di antaranya sistem penghitungan
suaranya tidak benar, pelaksanaan pemilunya pun ya... begitu," kata Arief di Jakarta, Kamis
(10/6). "Sekarang, ketika pemilu berlangsung demikian terbuka dan mengasyikkan,
keterlaluan kalau saya masih 'golput'," cetus Arief.

Dengan istrinya, Leila Ch Budiman, ia mencoblos di Salatiga. "Saya daftar di Australia,


lalu nyoblos di Salatiga," jelas Arief yang tersenyum-senyum memandang salah satu ujung
jarinya yang berwarna hitam legam.

Di Jakarta, Arief mengaku ikut memantau situasi yang banyak berubah dalam sekejap.
Katanya, rugi besar kalau tidak berada di Jakarta pada masa-masa kritis seperti sekarang.
Sejumlah kelompok tampak bersikeras berbuat begitu, kelompok lain, bersikap begini.
"Semuanya sangat menarik dikaji," kata sosiolog ini.

Ketika ditanya apakah dia akan pindah lagi ke Indonesia, jika kelompok reformis yang
berkuasa, Arief tersenyum lebar. "Mungkin tidak dalam tempo singkat. Saya di Australia
'kan baru dua tahun, kalau langsung pamit pada univer-sitas itu, rasanya kok 'gimana.
Mungkin beberapa tahun lagilah," katanya. (as) 

Foto:1 arb Arief Budiman

Balas Dendam? * Kepada Arief Budiman

KOMPAS edisi Senin 21 Agustus 1995Halaman: 4Penulis: ISMAIL, TAUFIQ


Balas Dendam? * Kepada Arief Budiman
ISMAIL, TAUFIQ

BALAS DENDAM

* Kepada Arief Budiman

Oleh Taufiq Ismail

ARTIKEL "Pramoedya Ananta Toer, Hadiah Magsaysay, dan Budaya Baru" oleh Arief
Budiman (Kompas, 14 Agustus 1995), yang tidak menyetujui pernyataan 26 pengarang
ditujukan kepada Yayasan Hadiah Ramon Magsaysay, 29 Juli 1995, dalam beberapa hal
berbeda visi dengan artikel Rendra "Hadiah Magsaysay dan Pramoedya yang menyetujui
pernyataan tersebut. Kedua artikel dimuat koran ini pada tanggal yang sama.

Namun karena pada tulisan Arief tersebut saya dua kali disebut, maka rasanya perlu saya
menuliskan catatan-catatan berikut ini.

Arief mengatakan bahwa dia sama sekali tidak melupakan tindakan Pram pada permulaan
tahun 1960-an, tapi dia ingin bersikap positif, dan tidak mau sekadar membalas dendam.
Dan sikap ini didiskusikannya dengan kiai, santri, dan wartawan di Rembang. Kebetulan
Arief Budiman sedang ada di kota tersebut. Kiai dan penyair Mustofa Bisri, tuan rumah di
situ, menyatakan setuju dengan Arief dan berpendapat bahwa memaafkan dan
menghormati kebebasan manusia adalah dasar dari agama Islam.

Saya ingin mengingatkan Arief, bahwa kalau orang mau membalas dendam, maka momen
yang terbaik adalah kuartal terakhir 1965 sampai dengan kurang lebih sepanjang tahun
1966. Tidak ada kesempatan yang lebih baik lagi, ketimbang waktu itu. Tapi kita
(pendukung Manifes dan seniman-seniman anti-Lekra/PKI) tidak melakukannya, karena
tidak mau berperilaku sama dengan orang-orang Lekra/PKI dan kawan-kawannya itu.

Enam kasus

Mereka mengusulkan pelarangan buku pada pemerintah dan berhasil pada tahun 1965.
Sesudah Gestapu, bukankah kita tidak membalas dendam dengan mengusulkan pula
pelarangan buku mereka pada pemerintah? Bahkan kita minta pemerintah mencabut
larangan itu.

Mereka melancarkan kampanye pemburukan nama (character assassination) terhadap


seniman-seniman non-Lekra/PKI, seperti HB Jassin, Hamka, St. Takdir Alisjahbana, Usmar
Ismail, Asrul Sani (semua kl 20 orang) secara sistematik dengan bahasa carut-marut selama
3-4 tahun terus-menerus di ruang kebudayaan "Lentera", harian Bintang Timur, pimpinan
Pramoedya. Pasti Arief ingat bahwa sesudah Gestapu, bukankah kita tidak membalas
dendam secara serupa dengan meniru melancarkan pula kampanye pemburukan nama?

Ketika Pramoedya, Rivai Apin dkk, ditahan di Pulau Buru, beberapa sastrawan pernah
bepergian ke sana, antara lain Mochtar Lubis, Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, dan
Trisnojuwono. Mereka pergi sebagai wartawan. Seluruhnya menulis tentang Pramoedya
dengan rasa simpati padanya. Bur memberikan alat-alat tulis pada Pram, dan belakangan
ketika Pram sudah kembali ke Jakarta, Mochtar Lubis memberinya mesin ketik.

PKI dengan ormas-ormasnya, seperti Gerwani, Pemuda Rakjat, SOBSI, BTI, CGMI,
termasuk Lekra, merampas buku-buku perpustakaan USIS di Jakarta dan Surabaya,
menumpuknya dengan buku-buku "Manikebu" dan piringan hitam "ngak-ngik-ngok"
(termasuk rekaman Kus Bersaudara) lalu membakarnya dengan upacara yang bersemangat
di tiga tempat. Sesudah Gestapu kita tidak merampas buku siapa pun, dan tidak membalas
dendam dengan membakar buku-buku mereka.

Saking bersemangatnya, koran Bintang Timur memberitakan bahwa dua juta buku kontra-
revolusi telah dibakar waktu itu. Mungkin angka nolnya berlebih dua buah, jadi yang
dimaksud barangkali 20.000 jilid buku.

Sepanjang masa represi terhadap kebebasan kreatif itu, Lekra/PKI memaksakan


pelaksanaan ideologi seni realisme sosialis, yang adalah landasan filsafat Lekra, pada kaum
seniman di luar kelompok mereka. Sesudah Gestapu bukankah kita tidak membalas
dendam dengan memaksakan suatu ideologi seni apa pun kepada siapa pun?

Lima bulan sebelum Gestapu, pada 9 Mei 1965 di ruangan seni- budaya "Lentera"/Bintang
Timur dalam tulisannya berjudul Tahun 1965 adalah Tahun Pembabatan Total (betapa
indikatifnya judul ini, lima bulan sebelum perebutan kekuasaan berdarah itu) Pramoedya
melancarkan kampanye menggasak penerbit-penerbit independen. Sasaran pengejaran dan
pembabatan antara lain adalah penerbit yang masih berani mengedarkan terjemahan Dr.
Zhivago karya Boris Pasternak, novelis Rusia pemenang Nobel 1958, dan juga penerbit
buku Islam, antara lain karangan Zainal Abidin Ahmad. Sesudah Gestapu, bukankah kita
tidak membalas dendam dengan "membabat" penerbit Hasta Mitra, yang menerbitkan
buku-buku Pram?

Dalam seluruh kiprah Lekra, yang merupakan bagian dari konspirasi komunisme
internasional dalam perebutan kekuasaan berdarah, mereka menggunakan prinsip "tujuan
menghalalkan cara". Apa saja boleh dilakukan, untuk mencapai tujuan. Sesudah Gestapu,
bukankah kita tidak membalas dendam dengan menggunakan prinsip "tujuan menghalalkan
cara" terhadap mereka?

Dengan enam kasus di atas, yaitu tidak membalaskan dendam 1) pelarangan buku, 2)
kampanye fitnah pemburukan nama, 3) pembakaran buku, 4) pemaksaan ideologi seni, 5)
pembabatan penerbit tidak sekubu, 6) memakai metoda "tujuan menghalalkan cara",
walaupun kesempatan terbuka luas sesudah Gestapu untuk melakukan semua itu bila mau
-- tidak dapatkah itu diartikan sebagai pemberian maaf? Menurut hemat saya hal itu sama
nilai dan hakikatnya dengan pemberian maaf. Tidak dapatkah itu ditafsirkan sebagai bukti
penghormatan pada kehidupan seni-budaya yang pluralistis? Jawabannya adalah ya, dapat
ditafsirkan demikian.

Hamka

Pengarang Hamka adalah sasaran kampanye pemburukan nama sekitar dua tahun lamanya
di "Lentera"/Bintang Timur, yang akhirnya dengan tuduhan politik berkomplot akan
membunuh Presiden dan Menteri Agama masuk tahanan hampir tiga tahun tanpa
pengadilan. Ketika akan disiksa dengan setrum, persis waktu itu Gestapu gagal, dan Buya
Hamka bebas.

Beliau diundang ceramah di TIM pada 1969. Antara lain dalam acara diskusi Buya Hamka
ditanya tentang dua hal. Pertama tentang pendapatnya mengenai pelarangan buku
Pramoedya, kedua bagaimana sikapnya terhadap Pramoedya yang menghancurkan nama
baiknya beberapa tahun di ruang seni-budaya "Lentera"/Bintang Timur yang berlanjut
dengan fitnah politik berkomplot akan membunuh Presiden dan Menteri Agama, hingga
masuk tahanan hampir 3 tahun lamanya. Dia menjawab bahwa dia tidak setuju pelarangan
buku Pramoedya karena falsafah hidupnya adalah cinta, dan untuk seluruh penggasakan
terhadap nama baiknya, termasuk fitnah berkomplot tersebut, dia sudah memaafkan semua
yang terlibat.

Hadirin di Teater Arena TIM terdiam hening, mendengar keikhlasan yang memancar dari
ucapan sastrawan dan ulama besar ini. Banyak yang menitikkan air mata, termasuk novelis
Iwan Simatupang.

Saya akrab dengan Buya Hamka, yang mengenal saya sejak masa remaja. Beliau adalah
sumur tempat saya menimba ilmu dan guru tempat minta nasihat. Saya berterima kasih
kepada Arief yang sekarang mengingatkan agar saya bersikap memaafkan dan
menghormati kebebasan manusia, yang merupakan dasar agama Islam (melalui kutipan
nasihat Kiai dan Penyair Mustofa Bisri). Alhamdulillah itu sudah saya lakukan 28 tahun
yang lalu. Pengalaman kengerian pribadi diteror Lekra, CGMI, dan Pemuda Rakyat, karier
akademik saya dihabisi di IPB, yang janganlah terulang lagi pada generasi kapan pun, saya
anggap sebagai tabungan kekayaan batin sangat berharga. Dengan harap-harap cemas saya
senantiasa berikhtiar, mudah-mudahan saya istiqamah dalam jalur ikhlas guru saya Buya
Hamka sampai saya meninggal kelak.

Manila

Yayasan Hadiah Ramon Magsasay (YHRM) perlu diingatkan tentang episode peran
Pramoedya menindas kebebasan kreatif pada tahun-tahun awal hingga pertengahan 60-an
di Indonesia. Jangankan mereka, kita saja di Indonesia sudah banyak yang lupa, dan
agaknya lebih banyak lagi yang malah tidak atau kurang tahu tentang masa 30 - 35 tahun
silam itu (baca Gosip Para Seniman/Darmaningtyas dan surat kiriman Pelukis Hardi,
Kompas, 14 Agustus 1995).

Mengingatkan itu perlu, karena kalau tidak, mengutip ungkapan Rendra, maka kita akan
terlibat dalam penipuan sejarah. Tentang bagaimana respons YHRM, itu terserah mereka
sendiri. Arief menafsirkan pernyataan itu "nadanya meminta YHRM mencabut pemberian
hadiah tersebut", Masya Allah! Tolong tunjukkan di mana bagian dalam pernyataan itu
yang menyatakan hal tersebut. Tidak ada itu. Apabila Mochtar Lubis menyatakan akan
mengembalikan Hadiah Magsaysay yang diterimanya dulu, jika YHRM tetap pada
keputusannya, maka itu haknya sebagai individu penerima hadiah, terlepas dari pernyataan
bersama tersebut.

YHRM bukan yayasan orang Indonesia, uangnya uang Amerika (keluarga Rockefeller),
keputusannya diambil di Manila -- jadi mengapa kami mencreweti itu. Keputusan YHRM
memberikan uang kepada Pramoedya adalah rezeki pengarang itu, dan rezeki orang
mengapa pula dihalangi. Tetapi bahwa dengan pemberian uang itu berarti juga YHRM
membayarnya untuk tindakannya menindas kebebasan kreatif pada awal hingga
pertengahan 60-an di Indonesia, perlu YHRM diingatkan mengenai itu. Itu sudah
diingatkan dan tugas mengingatkan telah tunai.

Murayama

Rendra mengatakan bahwa "... Pramoedya tidak boleh melakukan penipuan sejarah. Ia
tidak boleh menipu kita, generasi bangsa masa kini, dan dirinya sendiri, dengan tidak
mengakui, atau mengelakkan isu tuntutan bahwa ia dulu pernah terlibat dalam perjuangan
seru untuk menegakkan keadilan dengan menghalalkan cara yang menyalahi demokrasi
dan hak asasi manusia.

Beberapa kali orang bertanya, "apa kalian orang-orang Manifes menginginkan Pram minta
maaf pada kalian? Bukankah penderitaan luar biasanya dibuang ke Pulau Buru sudah lebih
dari cukup?" Episode Pulau Buru memang telah menjadi bagian yang kelam dalam sejarah
bangsa kita. Namun bukan maaf Pram pada yang ditindasnya dulu itu yang utama, karena
bukankah yang ditindasnya dulu itu, dengan tidak membalas balik secara sama, sudah pada
hakikatnya memaafkannya?

Yang utama adalah, apakah Pram bersedia minta maaf pada sejarah?

Apakah pengarang besar Indonesia ini, dengan kreativitas dan keuletan serta penderitannya
yang luar biasa, bersedia minta maaf pada sejarah untuk peran represinya dahulu? Jiwa
besar tidak akan menghalanginya melakukan itu.

Telah berpuluh tahun perdebatan berlangsung mengenai soal apakah Jepang bersedia minta
maaf atas kekejaman bala tentaranya di masa pendudukan berbagai negara sepanjang
Perang Dunia II. Bukankah penderitaan penduduk kota Hiroshima dan Nagasaki sudah
lebih dari cukup? Bukankah penghancur-lumatan kedua kota itu dengan bom atom yang
demikian mengerikan itu sudah luar biasa sebagai hukuman? Tapi yang tetap jadi persoalan
utama adalah, apakah Jepang bersedia minta maaf pada sejarah?

Rupanya diperlukan waktu 50 tahun untuk Jepang melalui PM Tomiichi Murayama, yang
pada 15 Agustus yang lalu, akhirnya minta maaf pada sejarah. * Taufiq Ismail, penyair,
penandatangan Manifes Kebudayaan.
Pramoedya Ananta Toer, Hadiah Magsaysay, dan Budaya Baru

KOMPAS edisi Senin 14 Agustus 1995Halaman: 4Penulis: BUDIMAN, ARIEF


Pramoedya Ananta Toer, Hadiah Magsaysay, dan Budaya Baru

BUDIMAN, ARIEF

PRAMOEDYA ANANTA TOER, HADIAH

MAGSAYSAY, DAN BUDAYA BARU

Oleh Arief Budiman

BARU-BARU ini, beberapa sastrawan terkemuka membuat satu pernyataan yang isinya
memprotes pemberian Hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer. Pernyataan ini
didukung oleh tokoh-tokoh seperti Taufiq Ismail (pemrakarsa), Mochtar Lubis, HB Jassin,
Rosihan Anwar, Asrul Sani, Wiratmo Sukito, WS Rendra, dan beberapa orang lagi.
Sebagian dari mereka adalah para penandatangan Manifes Kebudayaan, sebuah manifesto
yang membela kebebasan mencipta, yang kemudian dilarang oleh Presiden Soekarno pada
tahun 1964.

Dalam pernyataan tersebut dikatakan bahwa Pramoedya pernah memimpin kampanye


antikarya-karya seniman-seniman nonkomunis pada permulaan tahun 1960-an, dengan
menuduh mereka anti-Manipol Usdek dan karena itu antirevolusi. Aksi ini sedikit banyak
merupakan faktor yang mengakibatkan dilarangnya Manifes Kebudayaan atau Manikebu.
Sampai sekarang Pram tidak pernah menyesali perbuatannya secara terbuka.

Dengan memberikan hadiah kepada Pram, Yayasan Hadiah Magsaysay secara implisit
membenarkan tindakan-tindakan Pram yang membungkam kehidupan kreatif pada masa
tersebut. Pernyataan ini juga mengatakan, sungguh ironis bahwa Pram disejajarkan dengan
Mochtar Lubis, seorang pejuang kebebasan berekspresi yang juga menerima Hadiah
Magsaysay beberapa tahun yang lalu.

Saya sendiri mengetahui adanya pernyataan tersebut ketika saya sedang berada di
Pesantren Rhaudatut Thalibien di Rembang. Pada waktu itu saya sedang makan pagi di atas
tikar, bersama KH Cholil Bisri, KH Mustofa Bisri, serta beberapa kiai, santri, wartawan
dan tamu-tamu lainnya. Gus Mus (KH Mustofa Bisri) menyodorkan sebuah faksimile dari
Taufiq Ismail yang isinya menanyakan apakah saya bisa menyetujui pernyataan yang
tertulis pada faks tersebut.

Selesai membaca, orang-orang di sekitar saya (terutama wartawan) segera bertanya apa isi
faks itu. Karena saya pikir isi faks ini merupakan persoalan nasional yang penting, saya
segera menceritakannya. Saya juga menyatakan sikap saya, yakni bahwa saya tidak setuju
dengan pernyataan tersebut, sambil sekaligus minta komentar terhadap pendapat saya ini.
Saya merasa beruntung bahwa faks tersebut tiba pada saat saya ada bersama banyak orang
yang arif, sehingga saya bisa mendiskusikannya. Maka, pembicaraan ketika makan pagi itu
tiba-tiba menjadi ramai.

Mengapa saya menolak pernyataan tersebut?

Saya adalah salah seorang penandatangan Manifes Kebudayaan, dan karena itu saya adalah
salah seorang korban dari kampanye Pram ketika itu. Saya tidak bisa menulis di surat
kabar, karena saya dituduh sebagai seorang Manikebuis yang kontra-revolusi antek
Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme). Hati saya terasa sakit, tapi saya tidak
berdaya. "Dosa" yang saya lakukan hanyalah menulis pandangan-pandangan saya tentang
kebebasan manusia sebagai hak yang tidak bisa dirampas oleh negara. Saya tidak setuju
kalau kriteria penilaian seni hanya didasarkan pada patokan-patokan kepentingan politik
saja, khususnya kepentingan politik dari yang berkuasa.

Menghadapi perlakuan yang tidak adil ini, saya hanya bisa berjanji kepada diri saya bahwa
kalau pada suatu kali saya berkuasa, saya tidak akan menindas kebebasan orang lain.
Ketika itu, saya ingat Wiratmo Sukito pernah berkata, seorang intelektual adalah seorang
yang tidak mendendam kalau ditindas, dan tidak menindas kalau berkuasa. Kata-kata ini
masuk ke dalam sanubari saya.

Keadaan makin hari makin bertambah buruk. Para pendukung Manikebu tidak saja
dilarang menulis, tapi juga dicopot dari jabatannya di pemerintahan. Begitulah Wiratmo
Sukito kehilangan jabatannya di RRI, HB Jassin di Fakultas Sastra UI, dan banyak teman-
teman lain tidak bisa menulis di media massa. Melihat semua ini, saya cuma bisa merasa
sedih. Saya lihat budaya kekuasaan merajalela di sekeliling saya. Dan kembali saya
berjanji, saya akan selalu berusaha menciptakan budaya baru dimana kekuasaan tidak
dipakai untuk membungkam. Saya makin yakin bahwa pluralisme nilai adalah gizi yang
paling baik bagi bangsa ini.

Pramoedya dan Hadiah Magsaysay

Keadaan terus berubah. Tanpa terasa kita tiba pada tahun 1995, tahun kita merayakan
kemerdekaan kita yang ke-50. Lampu-lampu warna- warni mewarnai seluruh permukaan
Tanah Air, dari desa ke kota, dari daerah perbukitan ke dataran rendah. Dan Pramoedya
Ananta Toer memperoleh Hadiah Magsaysay.

Saya adalah salah seorang penggemar karya-karya sastra Pram, sejak ketika saya duduk di
SD sampai sekarang. Karena itu, saya sangat senang dan menghargai Yayasan Hadiah
Magsaysay. Bagi saya, hadiah tersebut tepat, karena diberikan kepada salah seorang
sastrawan terbaik Indonesia.

Bagaimana dengan tindakan-tindakan Pram pada permulaan tahun 1960-an? Apakah saya
sudah melupakannya? Sama sekali tidak. Saya tidak bisa melupakannya, meskipun saya
berusaha. Tapi saya ingin bersikap positif dari pengalaman masa lalu ini.

Bagi saya, persoalan yang kita hadapi sekarang bukanlah sekadar mau membalas dendam.
Saya tidak ingin mempertahankan budaya lama di mana yang lebih berkuasa selalu ingin
menggunakan kekuasaannya untuk "menggebuki" lawannya yang lebih lemah. Apalagi
kalau ternyata lawan (kita anggap) pernah berbuat salah kepada kita. Karena itu, persoalan
kita adalah beranikah kita menciptakan budaya baru di mana kekuasaan tidak dipakai
secara sewenang-wenang? Bisakah kita memisahkan dendam pribadi kita dengan masalah
prinsip yang mau kita tegakkan.

Saya teringat kembali pada janji-janji saya. Saya tidak mau bersikap seperti Pram dulu,
mencegah seseorang mendapatkan sebuah hadiah yang memang pantas diperolehnya,
hanya karena dia lawan kita. Kalau ini kita lakukan, maka ini artinya kita menghidupkan
kembali budaya yang kita lawan dulu. Kita tidak menciptakan budaya baru yang lebih baik.
Lalu, siapa jadinya yang menang?

Tapi sebaliknya, kalau saya bahkan menyambut hadiah tersebut dengan penuh syukur,
maka kita membuktikan bahwa kita sudah keluar dari budaya kesewenang-wenangan
kekuasaan yang dulu kita lawan. Kita menciptakan budaya baru dimana kita saling
menghormati martabat orang lain, meskipun dia berlainan pendapat dengan kita. Saya tentu
berharap bahwa karena sikap saya ini, Pram akan jadi setuju dengan saya, bahwa bagi
seorang intelektual, kebebasan manusia lebih bernilai ketimbang kekuasaan.

Atas dasar ini, saya menyatakan bahwa saya tidak bisa menyetujui pernyataan yang
diprakarsai oleh Taufiq Ismail, yang nadanya jelas meminta Yayasan Hadiah Magsaysay
untuk mencabut pemberian hadiah tersebut. (Dalam pembicaraan telepon, Taufiq
mengatakan bahwa dia hanya sekadar mau memberi informasi tentang apa yang dibuat
Pram kepada Yayasan tersebut. Tapi, nada pernyataan tersebut tampaknya tidak mendukung
kata-kata Taufiq. Apalagi, Mochtar Lubis di Harian Kompas tanggal 5 Agustus 1995
"bahkan mengancam akan mengembalikan Hadiah Magsaysay... bila yayasan itu tetap pada
keputusannya.")

Sikap saya ini didiskusikan bersama para kiai, santri dan wartawan yang kebetulan hadir di
sana. Gus Mus secara eksplisit menyatakan bahwa dia setuju dengan sikap saya, karena dia
berpendapat bahwa memaafkan dan menghormati kebebasan manusia adalah dasar dari
agama Islam. Pendapat yang sama dinyatakan juga oleh yang hadir.

Saya katakan, sikap ini perlu kita kembangkan di kalangan generasi muda. Persoalan yang
tercakup dalam pembentukan sikap ini, bukan sekadar mendukung atau menolak
Pramoedya Ananta Toer mendapatkan Hadiah Magsaysay, tapi jauh lebh dalam dan
mendasar. Dengan bersikap seperti ini, maka kita menciptakan sebuah budaya baru yang
demokratis dimana pluralisme ide bisa berkembang, dimana kita tidak terjebak kepada
siklus saling balas dendam tanpa akhir. Kita ingin menciptakan manusia baru bagi bangsa
ini yang tidak menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang, "yang tidak
mendendam kalau ditindas dan tidak menindas kalau berkuasa."

Saya kira, bangsa ini membutuhkan manusia-manusia seperti ini. Saya kira, kita semua
akan memberi sumbangan besar bagi masa depan bangsa kalau budaya semacam ini dapat
kita ciptakan, ketika kita merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-50. * Arief
Budiman, sosiolog, penandatangan Manifes Kebudayaan

Arief Budiman: Kata "Reformasi" Sedang Inflasi

KOMPAS edisi Selasa 23 Juni 1998Halaman: 11Penulis: SAL


Arief Budiman: Kata "Reformasi" Sedang Inflasi

SAL

Arief Budiman:

KATA "REFORMASI" SEDANG INFLASI

Jakarta, Kompas

Sosiolog Dr Arief Budiman berpendapat, dengan makin banyak diucapkan dan digunakan
tanpa pemahaman, kata "reformasi" kini sedang mengalami "inflasi" hebat.

Dalam orasi politiknya pada peringatan "Perlawanan Bredel 1994" hari Minggu (21/6)
malam, Arief Budiman menyampaikan pandangan kritis pengucapan dan penggunaan kata
reformasi sebelum dan setelah Soeharto turun tahta, serta saran bersahabat kepada majalah
Tempo bila terbit kembali dalam waktu dekat.

Guru Besar Universitas Melbourne itu menyebutkan, sebelum Soeharto jatuh, "reformasi"
memasuki ruang publik dengan sangat hati-hati sebab pemerintah rezim Soeharto sewaktu-
waktu bisa mengenakan cap subversif kepada pengucap kata itu. Namun setelah Soeharto
jatuh, "reformasi" menjadi slogan dari mulut orang-orang yang jelas-jelas pada era
Soeharto tak akur dengan para reformis.

"Maka, jangan heran sekarang menteri sampai lurah ngomong reformasi," kata Arief pada
acara yang diadakan Yayasan Alumni Tempo dan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) di
pekarangan Teater Utan Kayu, Jakarta Timur.
Inflasi hebat yang melanda kata "reformasi" oleh Arief dicontohkan dengan dua kasus
ekstrem aktual. Yang pertama, menyangkut pemakaian "reformasi" tanpa pemahaman,
terjadi pada sebuah kedai makan di Yogyakarta yang menamakan diri Warung Reformasi
dengan jualan sop reformasi. Yang kedua, menyangkut figur publik yang mengucapkan
"reformasi" tanpa tindakan atau komitmen pada reformasi itu sendiri. Ini terjadi pada
Presiden BJ Habibie yang sekarang memperlihatkan diri as if atau seolah-olah pahlawan
reformasi.

"Presiden sekarang tiga bulan lalu menentang reformasi, sekarang malah tampil seolah-
olah pahlawan reformasi," kata Arief.

Dengan inflasi hebat itu, Arief mengusulkan era pasca-Orde Baru ini mesti dibagi dalam
dua tahap. Orde Reformasi dan Orde Demokrasi. Orde Reformasi mencakup masa-masa
singkat setelah 21 Mei sebelum "reformasi" jatuh pada tingkat inflasi hebat, yang
kemudian dilanjutkan dengan Orde Demokrasi.

"Demokrasi mungkin akan inflasi juga, tapi sekarang kata itu masih kuat," katanya.

Mitos dan realitas

Pada bagian lain orasinya, Arief membagi keberadaan majalah berita mingguan Tempo
pimpinan Goenawan Mohamad ke dalam dua sosok. Sosok Tempo realitas, dan sosok
Tempo mitos.

Tempo realitas, menurut Arief, adalah Tempo pada masa sebelum dibreidel 21 Juni 1994
yang tampil sebagai the leading weekly magazine di Indonesia, baik finansial maupun
secara jurnalistik, bahkan pernah leader yang kuat sekali dalam pers. Tempo mitos
merupakan Tempo tertindas setelah breidel yang tampil sebagai pejuang demokrasi di
barisan depan, melawan pembreidelan dengan berbagai aksi, antara lain menggugat
Menteri Penerangan Harmoko.

Bagi Arief, masa-masa mitos adalah masa yang paling indah dari Tempo. Tempo realitas,
bagi sebagian orang, sering terkesan sombong. Pengalaman Arief, kalau dia menelepon
bahwa ada demonstrasi, Tempo sukar sekali memberitakannya. Setiap janji bertemu dengan
Goenawan dan Fikri pun, jawaban yang sering ia terima, kedua orang top di jajaran redaksi
itu sangat sibuk.

Ia berharap semoga dengan pengalaman tertindas pada masa mitosnya, Tempo bila kelak
terbit bisa sensitif terhadap bahaya- bahaya kekuasaan. Ia memperkirakan kekuatan yang
akan muncul pada Orde Demokrasi nanti adalah modal.

"Dibutuhkan sekali pers yang punya komitmen terhadap orang- orang tertindas dan orang-
orang kecil yang ditindas modal. Saya harap kawan-kawan di Tempo yang pernah ditindas
akan sensitif pada orang-orang tertindas pada Orde Demokrasi," katanya.

Malam peringatan perlawanan breidel itu diisi pula dengan penganugerahan Penghargaan
ISAI 1998 kepada pers mahasiswa dan penerbitan alternatif. Pemenang pertamanya,
majalah Balairung terbitan Badan Penerbit Pers Mahasiswa UGM Yogya. Pemenang kedua
tabloid Bulaksumur terbitan Badan Penerbit Pers Mahasiswa UGM. Pemenang ketiga
majalah Indikator terbitan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang.

Penghargaan khusus karena usaha penerbit mengangkat persoalan yang tak diperhatikan
pers umum dianugerahkan kepada majalah Baca terbitan LIPI, Jaringan LSM terbitan
Yayasan Pendamping Perempuan Usaha Kecil Jakarta, dan majalah Cendekia terbitan
Lembaga Pers KIR SMU Muhammadiyah 3 Yogyakarta. (sal) 

Anda mungkin juga menyukai