Anda di halaman 1dari 8

PERSPEKTIF SISTEM DUNIA

TEORI SISTEM DUNIA: IMMANUEL WELLERSTEIN

Sekarang ini orang memandang dunia sebagai suatu sistem yang ditandai
oleh derajat ketergantungan satu sama lain yang semakin meningkat. Dalam
hal ini globalisasi teori pembangunan terkait erat dengan nasib strategi
pembangunan nasional. Bagi dunia ke-tiga (Kawasan Tertinggal) semakin kuat
dirasakan, bahwa pembangunan tiruan harus segera diakhiri, tetapi
transformasi dari model pembangunan yang orsinil itu sendiri menghadapi
persoalan yang sangat berbeda. Sejauh ini pembahasan tentang teori
pembangunan telah menghasilkan beberapa sumbangan yang bersifat normatif
(otopis) dan berusaha menilai arti pentingnya. Tetapi persoalannya, apakah
pengalaman berinteraksi dengan masalah keterbelakangan selama tiga dekade
telah menjadikan teori pembangunan juga relevan bagi dunia maju.

Apakah usaha yang mutakhir guna


menerapkan teori pembangunan pada persoalan pembangunan di Eropa
merupakan suatu tahap dalam perkembangan teori pembangunan yang
kesahihannya lebih universal. Apakah dunia industri yang selama kurun waktu
panjang telah menjadi model bagi negara-negara “terbelakang”, telah
mencapai batas model aliran terbesar.

Pembahasan terhadap pusat-pinggiran sebagai sebuah „struktur dunia‟


semakin menguat seiring dengan kemunculan Teori Sistim-Dunia yang
dicetuskan oleh Immanuel Wallerstein melalui dua tulisannya, yaitu The Rise
and Future Demise of the World Capitalist System: Concepts for Comparative
Analysis (1974). dan The Modern World System I: Capitalist Agriculture and the
Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century (1976). Kedua
tulisan tersebut muncul pada saat Teori modernisasi sedang mengalami kritik
besar-besaran terutama dari Teori Ketergantungan. Sama halnya dengan para
ahli Teori Ketergantungan, Wallerstein sendiri bertujuan membangun pada
dasarnya mengkritik asumsi Teori Modernisasi yang menyatakan bahwa untuk
mencapai kemajuan semua negara hanya bisa mengikuti jalan perkembangan
evolusioner tunggal. Kritiknya juga ditujukan pada pengabaian Teori
Modernisasi terhadap perkembangan sejarah dunia dalam pembentukan
struktur transnasional.

Munculnya Wellerstein dengan Teori Sistem Dunianya juga merupakan


reaksi terhadap Teori Ketergantungan. Seperti juga teori Bill Warren dan
Teori Artikulasi, reaksi ini muncul karena Teori Ketergantungan dianggap
tidak bisa menjelaskan gejala pembangunan di Dunia Ketiga. Yang bisa
dijelaskan hanyalah gejala terjadinya keterbelakangan. Teori Sistem Dunia
Wellerstein sebenarnya sangat sederhana. Dia beranggapan bahwa dulu dunia
dikuasai oleh sistem-sistem kecil atau sistem mini dalam bentuk kerajaan atau
pemerintahan lainnya. Pada waktu itu belum ada sistem dunia. Masing-masing
sistem mini tidak saling berhubungan. Dunia terdiri dari banyak sistem mini
yang saling terpisah. Kemudian terjadi penggabungan-penggabungan, baik
melalui
penaklukan secara militer maupun secara sukarela. Sebuah kerajaan besar
kemudian muncul. Meskipun tidak sampai menguasai seluruh dunia, tetapi
karena besarnya yang luar biasa dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan yang
ada sebelumnya, kerajaan ini disebut dengan kerajaan dunia, atau world
empire. Kerajaan dunia ini mengendalikan kawasannya melalui sistem politik
yang dipusatkan.

Meskipun kerajaan dunia ini sangat besar, kawasannya


terbatas sampai sejauh mana kerajaan ini bisa menguasai secara politis
daerahnya. Penguasaan juga tidak dalam bentuk pengendalian yang ketat,
tetapi cukup dengan sistem upeti sebagai tanda takluk. Semakin jauh dari
pusat kekuasaan, semakin bebas daerah tersebut. Sehubungan dengan
pertentangan pusat-pinggiran, ahli ekonomi asal Brasil, Celso Furtado,
mendefinisikan hubungan pusat-pinggiran “bukan semata-mata sebagai
pembagian tak merata
atas manfaat-manfaat pembangunan, tetapi juga merupakan hubungan
ketergantungan yang berkaitan dengan dominasi dan eksploitasi ekonomi oleh
pusat terhadap pinggiran” (Ardnt, 1991: 142).

Sementara itu, sebagaimana dikutip oleh Forbes (1986:104), melalui


studinya di Afrika Selatan Rogerson menyatakan bahwa pusat telah
menjalankan hegemoni regional sehingga pembangunan di pinggiran lebih
berupa pembangunan daerah kantong ekspor yang terbatas pada pengolahan
bahan mentah secara sederhana tanpa dukungan mata rantai yang cukup besar
dan cukup tangguh. Dan oleh karenanya, dalam pandangan Rogerson,
fenomena pinggiran merupakan wujud pelestarian ketimpangan dan
rasionalisasi ketidakadilan yang terkandung
dalam pembagian kerja yang mapan. Pandangan-pandangan serupa juga
dinyatakan para pengikut aliran Ketergantungan era 1980-an seperti Herbel,
Heinrichs, dan Kraye (1978), Hymer (1975), Perrons (1981), Newfarmer dan
Topik (1982), Taylor dan Thift (1982).3 Oleh sebab itu, tidak mengherankan
apabila Andre Gunder Frank menyatakan:

an attempt... to conclude that the historical process of underdevelopment


cannot be reversed and turned into economic and social development for the
majority of the Latin American people until they destroy the capitalist class
structure through revolution and replace it with socialist
development (dikutip dari Moles, 1999:3)

Perkembangan teknologi perhubungan dan perkembangan di bidang lain


kemudian memunculkan sistem perekonomian dunia yang menyatu. Berbeda
dengan kerajaan besar dunia yang menguasai kawasannya melalui kekuatan
politik, sistem perekonomian dunia menghubungkan kawasan-kawasan yang
ada di dunia ini melalui pertukaran di pasar. Sejumlah kerajaan besar muncul
dan menghilang, sementara sistem perekonomian dunia yang berkembang
secara mantap sejak Abad ke-16 sudah menguasai seluruh dunia pada saat
ini. Dengan kata lain, sistem perekonomian dunia adalah satu-satunya sistem
dunia yang ada.

Sistem dunia inilah yang sekarang ada sebagai kekuatan yang


menggerakkan negara-negara di dunia. Kata Brewer,

Sebuah sistem “dunia” tidaklah harus berarti bahwa dia menguasai


seluruh dunia; sistem ini dirumuskan sebagai sebuah “unit dengan satu
pembagian kerja dengan macam-macam sistem budaya”. Sebuah sistem
dunia dengan demikian merupakan sebuah sistem dunia tanpa satu
kekuasaan pusat.

Sistem dunia yang ada sekarang adalah kapitalisme global. Wallerstein


kemudian membagi tiga kelompok Negara: pusat, setengah pinggiran, dan
pinggiran. Konsep ini jelas diambil dari teori ketergantungan. Wallerstein
hanya menambah kelompok setengah pinggiran. Perbedaan inti dari ketiga
kelompok ini adalah kekuatan ekonomi dan politik dari masing-masing
kelompok. Jelas, yang paling kuat adalah negaranegara pusat. Kelompok
negara-negara kuat, yakni negara-negara pusat, mengambil keuntungan yang
paling banyak karena kelompok ini bisa
memanipulasikan sistem dunia sampai batas-batas tertentu.

Selanjutnya, negara tengah pinggiran mengambil keuntungan dari


negara-negara pinggiran yang merupakan pihak yang paling dieksploitir.
Dinamika dari ketiga kelompok negara ini ditentukan oleh sistem dunia.
Bagi Wallerstein, “semua sistem sosial harus dilihat sebagai sebuah
keseluruhan; negara kebangsaan, dalam sebuah dunia yang modern, bukan
lagi sebuah sistem yang tertutup dan karena itu tidak bisa dianalisis seakanakan
mereka berdiri sendiri.’’ Selanjutnya, menurut Wallerstein, negara-negara bisa
“naik atau turun kelas,” misalnya dari negara pusat menjadi negara setengah
pinggiran dan
kemudian menjadi negara pinggiran, dan sebaliknya. Naik dan turun kelasnya
negara-negara ini ditentukan oleh dinamika sistem dunia.

Pada suatu saat, Inggris, Belanda, dan Prancis adalah negara-negara


pusat yang berperan dominan dalam sistem dunia. Akan tetapi kemudian,
Amerika Serikat muncul menjadi negara terkuat setelah Negara-negara Eropa
hancur dalam Perang
Dunia II. Akan tetapi, pada saat ini muncul Jepang sebagai negara yang
menantang kekuasaan hegemonik Amerika Serikat. Bangun dan jatuhnya
kekuatan negara-negara ini oleh Wellerstein dijelaskan melalui sebuah
analisis sejarah dari dinamika sistem dunia, yang dituangkan dalam dua
bukunya (semuanya akan ada empat buku, menurut Wallerstein) yang terbit
pada tahun 1974 dan 1980. Di samping itu, teori Wallerstein dapat dipakai
untuk menjelaskan naiknya negara-negara industri baru (Korea Selatan, Taiwn,
Hong Kong, dan Singapura) dari posisinya pinggiran. Naiknya upah kerja di
negara-negara
pusat membuat negara-negara ini memberikan kesempatan pada beberapa
negara yang sudah siap (dalam arti kesiapan teknologi, kestabilan politik,
disiplin kerja, dan sebagainya) untuk mengambil alih produksi barang-barang
industri yang lebih sederhana. Industri dengan teknologi canggih yang
memberi keuntungan besar seperti komputer, tetap ada di tengah negara
seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura ini naik kelas.

Sesungguhnya sistem dunia tidak ada, sebab hanya lebih sebagai


pendekatan umum terhadap proyek teoritis, dan upaya untuk merekonstruksi
ilmu sosial historis yang bebas dari bias yang melumpuhkan sejarah dan ilmu
sosial sebagaimana kita memahaminya selama dua dekade terakhir ini, seperti
bias evolusionisme, reduksionisme, negarasentrisme, Eropasentrisme, maupun
kompartementalisme. Adapun asal-usul pendekatan sistem dunia itu dapat
dilacak ke belakang hingga teori ketergantungan, yang samasama bersikap
kritis terhadap kerangka “developmentalis”. Sumber kedua, adalah aliran
Annales dalam sejarah yang melawan kecenderungan positivism dalam arus
utama penulisan sejarah, dan yang mempertahankan perspektif holistik.
Sumber ketiga, adalah tradisi realis atau mungkin neorealis dalam hubungan
internasional. Jadi pada dasarnya penafsiran sistem dunia mengenai negara-
bangsa merupakan penafsiran realis.
Pendekatan Sistem dunia menyatakan, bahwa perekonomian dunia
kapitalis telah ada sejak abad ke 16. Sejak itu, sistem ini mengikutsertakan
sejumlah masyarakat yang sebelumnya sedikit banyak terisolasi dan mencukupi
diri sendiri ke dalam sistem hubungan fungsional yang kompleks (Wallerstein
1974, 1980). Proses ekspansi ini memiliki dua dimensi, yaitu: perluasan geografis
dan pendalaman negara pusat dalam mengubah arena eksternal yang besar
menjadi wilayah “pinggiran”. Di antara negara pusat dan pinggiran ini, para
teoritikus sistem dunia menemukan negara semi-pinggiran yang juga
memainkan peranan kunci dalam membuat sistem tersebut berfungsi.
Polarisasi pusat-pinggiran memunculkan pembagian kerja di dunia, di mana
negara pusat mengambil peranan sebagai produsen industri, pinggiran
merupakan negara-negara yang
kuat dan ambisius, serta secara agresif bersaing merebut status negara pusat.
Pada tahap sistem dunia sekarang ini, tidak mudah untuk
menghancurkan mata rantai ketergantungan dan memprakarsai proses
pembangunan yang mandiri di tingkat nasional. Sebenarnya pengalaman
sebagian besar negara dunia ketiga memberikan nilai tambah bagi tesis yang
menyatakan, bahwa mereka suka atau tidak, tetap merupakan bagian dari
“sistem” dan bahwa sungguh ada “kemungkinan transformasi yang terbatas
dalam perekonomian dunia kapitalis” (Wallerstein, 1979:66).
Menurut para teoritikus sistem dunia pada dasarnya pembangunan itu
soal mengubah posisi struktural dari pinggiran ke semi pinggiran, ini suatu
kemungkinan yang secara komparatif terbuka bagi sedikit negara. Karena itu
perubahan sejati akan meniscayakan transformasi sistem dunia ke dalam suatu
pemerintahan dunia yang sosialis, sebuah prospek yang memang sangat jauh.
Ada perbedaan utama antara pendekatan sistem dunia dengan konsepsi Marxis
Kontemporer tentang pembangunan dunia, yaitu masalah definisi kapitalisme,
relevansi analisis kelas, dan konsep cara produksi.
Dalam pengertian kapitalisme, para teoritikus sistem dunia
mendefinisikannya sebagai suatu sistem pertukaran yang
berlangsung di tingkat global. Sementara marxis memandang kapitalisme
sebagai cara produksi yang hanya dapat didefinisikan secara konkret di tingkat
nasional. Kontroversi sirkulasionis versus produksionis ini tampaknya
merupakan prinsip utama yang membedakan kedua aliran tersebut.
Sedangkan dalam hal analisis kelas kaum Marxis melihat, bahwa konsep
kelas telah disingkirkan dalam teori sistem dunia. Sedangkan konsep cara
produksi juga menjadi kurang penting dalam analisis sistem dunia
dibandingkan aliran Marxisme, karena menurut analisis sistem dunia hanya ada
satu cara produksi yakni sistem dunia kapitalis. Posisi marxis kontemporer
dalam melihat situasi industrialisasi di dunia ketiga, adalah lebih melihat pada
pembangunan dunia masa mendatang yang diyakini, bahwa ketergantungan
ekonomi satu sama lain yang sedang tumbuh harus disambut baik karena
dalam konteks ini ikatan “ketergantungan” dilepaskan dankapitalisme pribumi
muncul. Sebagian besar marxis mengakui bahwa persoalan keterbelakangan
masih tetap ada dan menimbulkan kesulitan teoritis. Namun satu respons
terhadap masalah ini, adalah merevisi, memodifikasi, dan memperluas konsep
yang digunakan Marx sehingga konsep tersebut dapat diberi pengertian yang
lebih luas (Brenner, 1977).
Selanjutnya lahirnya pendekatan neostruktural modern mencakup
banyak masalah dan tingkat analisis. Dalam hal tertentu, pendekatan ini dapat
dianggap sebagai dualisme pada tingkat global karena ciri yang paling menonjol
dalam sistem tersebut adalah perkembangan transnasionalisme yang
terpolarisasi di satu pihak dan disintegrasi nasional di pihak lain. Pada aspek
pertama, sistem kapitalis berubah dari suatu struktur internasional ke struktur
transnasional yang sangat konsisten dan dengan perusahaan transnasional
sebagai aktor terpentingnya. Dinyatakan, bahwa komunitas transnasional baru
sedang muncul, terdiri dari orang-orang dari berbagai bangsa namun dengan
nilai dan gagasan, serta pola perilaku yang sama.
Di sisi lain pada struktur global ganda ini,
masyarakat nasional sebagai penerima konsekuensi proses transnasionalisasi
yang kemudian mengalami proses disintegrasi sehingga menimbulkan
kekacauan perekonomian masyarakat pribumi dan pemusatan kekayaan
maupun pendapatan.
Proses marginalisasi ini selanjutnya menjelaskan kecenderungan ke arah
penindasan dan otoritarianisme yang dapat dilihat di negara maju maupun di
negara terbelakang. Namun pada saat yang sama, masyarakat nasional
menghasilkan sejenis proses tandingan yang mengedepankan nilai-nilai
nasional dan atau nilai subnasional yang terkadang reaksioner, terkadang
progresif.

Anda mungkin juga menyukai