Anda di halaman 1dari 5

Regina Toasyana Sinedu

372018104
Kelas Introduction of International Relations of Africa & Middle East

Ujian Tengah Semester

Bagaimana hubungan konsepsi nasionalisme Afrika yang


dipraktikkan ke dalam bentuk satu partai pada masa awal kemerdekaan
berhubungan dengan etnisitas di Afrika ? Mengapa itu bisa diterima pada
masa dekolonisasi pertama, namun tidak bisa diterima pada periode akhir
abad 20 ?
Sesungguhnya, sebagaimana bangsa lainnya, konsepsi nasionalisme yang
diinginkan oleh Afrika ketika mereka meraih kemerdekaan, adalah terkait dengan
bagaimana mereka sebagai suatu bangsa yang terikat karena kesukuan bisa
ditempatkan di negara berdaulatnya sendiri. Namun, sayangnya konsepsi ini
diredefinisikan secara paksa oleh bangsa kolonial bagi Afrika ketika mereka membagi
daerah-daerah negara dengan “garis lurus” tanpa mempertimbangkan etnis, dimana
pada akhirnya bagi Afrika nasionalisme berarti negara-negara Afrika harus dapat
bersatu sebagai unit politik, dengan konsepsi bangsa yang bukan terikat berdasarkan
kesukuan, melainkan konsepsi bangsa yang lahir sebagai penerimaan atas pembagian
daerah-daerah negara. Bangsa yang ada menjadi begitu majemuk, namun terpaksa
harus hidup dibawah “satu bendera” yang sama. Konsepsi nasionalisme yang baru
inilah yang akhirnya mengarahkan Afrika kepada konsep pemerintahan satu partai
sebagai perwujudan konkret dari gerakan nasionalis untuk menjaga persatuan negara di
tengah perbedaan yang ada. Namun, hal ini pada akhirnya menjadi kontradiktif dengan
konsepsi etnisitas Afrika sendiri, yang memperhatikan sentimen asal keturunan
dibanding pertimbangan geografis. Mungkin dapat cukup diterima pada masa
dekolonisasi pertama, namun mulai ditentang pada akhir abad ke 20, dimana
democratization waves mulai menyebar di Afrika yang membuat warga Afrika
mengalami kebangkitan politik yang dapat dilihat dari meningkatnya akan keadilan
yang harus terjamin bagi seluruh bangsa dalam suatu negara. Konsepsi nasionalisme
yang dipraktikkan dalam sistem satu partai yang memberikan kekuasaan yang begitu
kuat pada eksekutif dengan etnis tertentu, dianggap tidak menjamin keadilan bagi
seluruh etnisitas dalam negara, dimana seakan-akan hanya etnis tertentu yang memiliki
akses kepada negara, dan etnis lain harus menerima diskriminasi. Ketimpangan ini
pada akhirnya memicu konflik besar-besaran dalam negara dimana para etnis sering
terjebak dalam konsep security dilemma ketika mereka berjuang untuk mengakses
public goods, dan pada akhirnya menghambat perkembangan politik dan ekonomi
negara. Namun, di satu sisi, etnisitas pun turut memberikan kontribusi positif pada
masyarakat sipil, dimana elit negara dipaksa untuk mengakui kekuatan etno-regional
sehingga cukup menjamin kestabilan negara. Pada akhirnya, sistem multipartai
dianggap sebagai solusi terbaik untuk memberikan keterwakilan bagi seluruh etnisitas
yang ada di pemerintahan untuk meredam konflik karena adanya equality of rights
dalam mengakses sumber daya.

Menurut Anda, siapa yang dimaksud dengan klien-patron ? Mengapa


hubungan keduanya sangat dilanggengkan dan bisa bertahan lama dalam
sebuah dinamika sosial-politik Afrika ? Apakah hubungan klien-patron bisa
dan tetap ada dalam sebuah suasana demokrasi multipartai yang lambat
laun banyak diterapkan oleh negara-negara Afrika ?
Sebagaimana yang diketahui, sentralisasi cukup lama menguasai Afrika karena
kurangnya SDM yang mampu menciptakan iklim politik yang sehat, hingga akhir abad
ke 20 sebelum democratization waves masuk ke Afrika. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya pemimpin Afrika yang berkuasa lebih dari 20 tahun dikarenakan ketiadaan
oposisi yang pada saat itu diharamkan eksistensinya karena dianggap tidak nasionalis.
Situasi inilah yang menciptakan hubungan klien-patron dalam dinamika sosial-politik
Afrika. Maka dari itu, patron yang dimaksud adalah pemimpin itu sendiri (eksekutif)
dan klien adalah publik yang “bermain aman”. Hubungan klien-patron ini
sesungguhnya merupakan hubungan pertukaran yang tidak setara dan tidak simetris,
karena hubungan ini menguntungkan “negara” tapi tidak dengan rakyat sebagai klien
dimana mereka memiliki risiko kehilangan segala sesuatunya jika tidak mematuhi
patronnya. Namun, hubungan ini bertahan sangat langgeng dalam dinamika sosial-
politik Afrika. Adapun beberapa faktor yang mengakibatkan hal ini, yakni : sistem satu
partai, legitimasi otoritas pribadi, dan kurangnya penghormatan terhadap HAM. Sistem
satu partai yang ada membuat klien perlu mematuhi dan melegitimasi patron, agar
mampu terjamin aksesnya ke sumber daya dan terjamin keamanannya, karena
terhindar dari kekerasan struktural. Ini kemudian berhubungan dengan faktor
selanjutnya, yakni legitimasi otoritas pribadi. Kemampuan patron untuk terus
memberikan rasa aman kepada klien yang biasanya juga sangat didukung oleh kharisma
pemimpin dan kemampuannya membangun narasi terhadap masyarakat, pada
akhirnya membuat klien terus menaruh rasa percaya dan melegitimasi pemimpin, yang
pada akhirnya telah berlebihan, hingga melegitimasi pemimpin untuk menganggap
urusan negara sebagai urusan pribadi. Siklus ini terus berlangsung agar klien tetap
dapat merasa terjamin hidupnya. Yang terakhir adalah terkait kurangnya
penghormatan terhadap HAM. Posisi klien yang ingin tetap aman menutup mata (yang
juga diakibatkan kurangnya wawasan terkait demokrasi & HAM) mereka bahwa
sesungguhnya mereka telah direbut HAMnya oleh patron. Sistem rapuh, otoriter, dan
korup yang ada telah melanggar HAM rakyat, namun dianggap wajar oleh pemimpin
karena ia memiliki legitimasi absolut oleh rakyat yang memercayakan hidup mereka di
tangannya. Seiring berkembangnya zaman, faktor-faktor ini kemudian tergerus oleh
demokratisasi yang membuat rakyat telah berani memperjuangkan kedaulatannya.
Hubungan klien-patron ini pun pada akhirnya tidak lagi relevan dalam sistem
demokrasi multipartai yang telah diterapkan di Afrika. Namun, tidak menutup
kemungkinan, hubungan klien-patron ini bisa saja tetap ada dalam kelompok-kelompok
kecil masyarakat (mungkin di pedalaman Afrika), yang masih awam dengan demokrasi
atau bahkan dengan sengaja ingin mempertahankannya akibat budaya.

Menurut Anda, mengapa militer melakukan kudeta terhadap


pemerintahan sipil pasca dekolonisasi bangsa Eropa di negara-negara
Afrika ? Bagaimana mereka memegang kendali pemerintahan pasca kudeta
? Apakah selalu berhasil ?
Adapun terdapat beberapa alasan mengapa militer melakukan kudeta terhadap
pemerintahan sipil pasca dekolonisasi bangsa Eropa di negara-negara Afrika. Yang
pertama, dikenal sebagai The Guardian Coup de Etat, adalah karena ingin
menyelamatkan masyarakat sipil dari pemerintahan yang tidak kompeten dan otoriter,
yang mana seperti yang sudah dibahas sebelumnya, telah mengorbankan kepentingan
rakyat untuk kepentingan pribadi, contohnya di Nigeria. Yang kedua, dikenal sebagai
The Veto Coup de Etat, adalah untuk memicu perubahan sosial yang secara langsung
mengancam kepentingan militer dan sekutunya, contohnya di Aljazair. Yang ketiga,
dikenal sebagai The Breakhthrough Coup de Etat, adalah untuk menggulingkan rezim
yang sudah terlalu ketinggalan zaman dan membutuhkan revolusi untuk mendukung
perwujudan kepentingan rakyat, contohnya di Ethiopia. Dari ketiga alasan, pada intinya
militer bergerak melakukan kudeta untuk menyelamatkan negara dari ketidakstabilan
yang akan mengganggu jalannya perkembangan negara dalam mencapai tujuannya.
Namun, setelah kudeta, militer tidak selalu berhasil memegang kendali pemerintahan,
dimana presesen yang telah ditetapkan serta sedikit pelatihan dan pengalaman terkait
pemerintahan membuat mereka kebingungan menentukan arah pemerintahan. Selain
itu, belum terbangunnya legitimasi yang baik dari masyarakat, membuat mereka
menghadapi kesulitan dalam menentukan keputusan bagi rakyat secara umum.
Indikator ketidakberhasilan ini dapat dinilai dari tidak adanya hasil signifikan yang
dihasilkan oleh pemerintahan militer, dimana masih belum menjawab masalah yang
diakibatkan rezim sipil sebelumnya.

Bagaimana krisis akumulasi dan krisis tata kelola negara dapat


mempengaruhi stabilitas suatu negara dan membentuk konsepsi “Vampire
State” seperti pada kasus Mobutu Sese Seko ? Bagaimana masyarakat
dalam kondisi itu merespons dengan exit strategies ?
Krisis akumulasi dan krisis tata kelola negara dapat sangat mempengaruhi
stabilitas suatu negara. Krisis akumulasi yang terkait dengan hancurnya akumulasi
kapital dalam sebuah negara jelas akan menciptakan situasi yang tidak kondusif karena
kegagalan negara mengelola sumber daya yang ada hingga tidak mampu menjalankan
perekonomian negara yang seharusnya mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Hal
ini kemudian dapat semakin memicu perlawanan rakyat, jika krisis akumulasi ini tidak
hanya tercipta karena keputusan ekonomi yang salah, tapi juga oleh korupsi kuat yang
dilakukan lembaga negara. Krisis tata kelola negara pun mampu menciptakan situasi
yang tidak kondusif karena ketiadaan check and balance dalam negara karena absennya
oposisi formal yang berujung pada vampire state, eksekutif telah dilegalkan untuk
bertindak semena-mena hingga akhirnya membuat rakyat terjebak dalam instabilitas.
Hal ini dapat dilihat secara konkret dalam kasus Mobutu Sese Seko di Zaire. Untuk
menghadapi situasi ini, masyarakat hanya bisa menanggapi dengan exit strategies
dimana gerakan akar rumput harus menuntut keadilan dari penguasa dengan
menggulingkan pemerintahan, melakukan legitimasi ulang, inversi negara,
memanfaatkan patronase asing, hingga memanfaatkan pasar parallel. Gerakan
reformasi rakyat yang kuat inilah yang akan menyelamatkan nasib negara demi
tercapainya kebaikan bersama.

Anda mungkin juga menyukai