Anda di halaman 1dari 10

( DEFINISI )

Untuk mengetahui arti demokrasi, dapat dilihat dari dua buah tinjauan, yaitu tinjauan bahasa
(etimologis) dan tinjauan istilah (terminologis). Secara etimologis demokrasi terdiri dari dua kata yang
berasal daribahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dancratein
atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau
demoscratos (demokrasi) adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan
berada di tangan rakyat,kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa,
pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. (Pasaribu,2010 ).
Jadi hakikat suatu pemerintahan yang demokratis bila ketiga hal di atas dapat dijalankan dan
ditegakkan dalam tata pemerintahan. Pertama, pemerintahan dari rakyat (government of the people)
mengandung pengertian yang berhubungan dengan pemerintahan yang sah dan diakui (legitimate
government) dan pemerintahan yang tidak sah dan tidak diakui (unligitimate government) di mata
rakyat. Pemerintahan yang sah dan diakui berarti suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan
dan dukungan yang diberikan oleh rakyat. Sebaliknya pemerintahan yang tidak sah dan tidak
diakui berarti suatu pemerintahan yang sedang memegang kendali kekuasaan tidak mendapat
pengakuan dan dukungan dari rakyat. Legitimasi bagi suatu pemerintahan sangat penting karena
dengan legitimasi tersebut, pemerintahan dapat menjalankanroda birokrasi dan programprogramnya
sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya. Pemerintahan dari wakyat
memberikan gambaran bahwa pemerintah yang sedang memegang kekuasaan dituntut kesadarannya
bahwa pemerintahan tersebut diperoleh melalui pemilihan dari rakyat, bukan dari pihak-pihak yang
tidak berkepentingan. Kedua, pemerintahan oleh rakyat, berarti bahwa suatu pemerintahan menjalankan
kekuasaan atas nama rakyat bukan atas dorongan diri dan keinginannya sendiri. Selain itu juga
mengandung pengertian bahwa dalam menjalankan kekuasaannya, pemerintah berada dalam
pengawasan rakyatnya. Karena itu pemerintah harus tunduk kepada pengawasan rakyat (social
control). Pengawasan rakyat (social control) dapat diakukan secara langsung oleh rakyat maupuntidak
langsung yaitu melalui perwakilannya di parlemen (DPR). Dengan adanya pengawasan oleh rakyat
(social control) akan menghilangkan ambisi otoritarianisme para penyelenggara negeri (pemerintah
dan DPR). Ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for the people) mengandung pengertian
bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah itu dijalankan untuk kepentingan
rakyat. Kepentingan rakyat harus didahulukan dan diutamakan di atas segalanya. Untuk itu
pemerintah harus mendengarkan dan mengakomodasi aspirasi rakyat dalam merumuskan dan
menjalankan kebijakan dan program-programnya, bukan sebaliknya hanya menjalankan aspirasi
keinginan diri, keluarga dan kelompoknya. Oleh karena itu pemerintah harus membuka kanal-kanal
(saluran) dan ruang kebebasan serta menjamin adanya kebebasan seluas-luasnya kepada rakyat
dalam menyampaikan aspirasinya baik melalui media pers maupun secara langsung. . (Pasaribu,..)
bab-06-demokrasi-dan-sistem-pemerintahan-negara
( JENIS DAN MACAM DEMOKRASI )
Menurut Meyer (2009), dalam lingkup global saat ini terdapat dua tipe demokrasi yang
bertarung merebutkan dominasi politik dan spiritual, yaitu demokrasi libertarian dan demokrasi
sosial. Keduanya mengaku sebagai strategi yang tepat untuk implementasi kebebasan dan keadilan
institusional. Namun kedua konsep ini bertentangan satu sama lain dalam semua syarat institusional
yang relevan, selain dari prasyarat minimum dari suatu institusi demokrasi liberal. Atau dengan

kata lain, kedua konsep ini memberikan pemahaman yang berbeda tentang konsep kebebasan dan
keadilan dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Demokrasi libertarian dikategorikan berdasarkan kenyataan bahwa walaupun Negara
(Pemerintah) merupakan bagian dari struktur demokratis dalam koridor konstitusional, namun sebagian
besar kondisi sosial dan ekonomi tetap dianggap sebagai wilayah privat yang lepas dari intervensi
dan struktur politik. Berdasarkan konsep ini, Undang-Undang Dasar yang menjamin kebebasan
institusi politik demokrasi liberal hanya akan menemukan keseimbangan sosialnya dalam ekonomi pasar
bebas yang dikombinasikan dengan kebebasan hak milik individu, privat, serta tanggung jawab
tiap-tiap individu warga negara atas kesejahteraan ekonomi dan sosial mereka.Tuntutan atas sebuah
tanggungjawab keseluruhan pemerintah untuk membentuk struktur sosial, mengatur perekenomian, dan
menjalankan kebijakan redistributif guna melaksanakan nilai-nilai dasar kebebasan dan keadilan bagi
pihak-pihak yang kurang mampu dirasakan sebagai sebuah invansi tidak sah oleh negara ke dalam
wilayah pribadi kekebasan warganegara.
Demokrasi sosial seperti sekarang ini bukan hanya sebuah ide/gagasan mengenai bagaimana cara
untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan dari demokrasi libertarian; ia pada dasarnya adalah
sebuah realitas dalam variasi negara-negara Eropa.Pengalaman sejarah mengenai kekurangan dan
kontradiksi demokrasi libertarian pada abad sembilan belas di Eropa-lah yang membawa kita kepada
konsep demokrasi sosial dan dukungan mayoritas yang semakin meningkat terhadapnya di sebagian
besar negara Eropa, terutama setelah Perang Dunia Kedua dan pengalaman krisis ekonomi dunia pada
tahun 1920-an, yang semakin membuka jalan untuk Demokrasi Sosial. Model ini terus menerus
berada dalam proses perubahan dan modernisasi sepanjang masa namun berdasarkan atas
seperangkat nilai dan hak dasar, preferensi institusional dan panduan pembuatan kebijakan yang
ditetapkan dengan baik.
(SEJARAH DEMOKRASI DAN DEMOKRASI SAAT INI)
Demokrasi lahir diera Yunani kuno sekitar abad kelima sebelum masehi, saat itu polis (Negarakota) Atena yang mempraktekkannya dengan penduduk hanya sekitar 20-40 ribuan jiwa. Karena
jumlah penduduknya yang relative kecil memungkinkan diterapkannya demokrasi langsung ( direct
democracy )Wujudnya adalah sidang rakyat (ecclesia) berkala dimana warga polis dapat terlihat
langsung dan terbuka sebagai partisipan. Ketika itu Atena ingin mewujudkan demokrasi sesuai
makna idealnya, rakyatlah yang m emerintah dirinya sendiri, membuat peraturan sendiri, dan
mengelola keperluan hidup bersama secara sendiri, termasuk memilih pemimpin tanpa diwakili
sekolompok orang yang mengklaim diri sebagai wakil rakyat.Jadi sistemnya tidak mengintrodusir
lembaga perwakilan yang kita kenal saat ini. Sayangnya demokrasi polis ala Yunani tersebut
bukanlah model demokrasi sejati karena hanya dapat dinikmati sekelompok kecil orang yang
berstatus warga Negara. Golongan sosial tertentu seperti budak, wanita dan pendatang dianggap tak
punya hak milik sehingga tidak berhak berstatus warga Negara sehingga tidak punya hak pilih dan
hak berpartisipasi dalam menentukan kehidupan pemerintahan.Dalam perkembangannya, demokrasi
polis itu akhirnya ketika Negara -kota ( city state ) berubah menjadi Negara-bangsa ( nation state )
Dengan luas wilayah dan penduduk yang umumnya jauh lebih besar dan plural membuat direct
democracy sulit dipraktekan sehingga lahirlah demokrasi tidak langsung atau perwakilan (indirect
democracy atau representati ve democracy ), rakyat menyerahkan kekuasaan politiknya pada lembaga
perwakilan.

Dalam pengisian keanggotaan lembaga perwakilan bukannya dipilh dari dan oleh rakyat tetapi
dari kalangan bangsawan yang ditunjuk / diangkat oleh raja. Akibat pemberontakan rakyat yang merasa
tidak terwakili, terjadi perubahan formasi pemiliihan lembaga perwakilan, dikembalikan pada
pemilik kedaulatan asli, rakyat ( demos ). Dengan demikian secara sederhana, defenisi demokratrisasi
dapat diartikan sebagai suatu transformasi atau proses untuk mencapai suatu system yang
demokratis.
Dalam literatur politik (modern) disebutkan beberapa ciri pokok dari sebuah sistem politik yang
demokratis, adalah :
Pertama, adanya partisipasi politik yang luas dan otonom; demokrasi pertama-tama mensyaratkan
dan membutuhkan adanya keleluasaan bagi siapa pun-baik individu maupun kelompok-secara
otonom. Tanpa perluasan partisipasi politik yang otonom, demokrasi akan berhenti sebagai jargon
politik semata. Oleh karena itu, elemen pertama dalam sebuah system politik yang demokratis
ialah adanya partisipasi poltik yang luas dan otonom.
Kedua, terwujudnya kompetisi politik yang sehat dan adil. Dalam konteks demokrasi liberal,
seluruh kekuatan politik (partai politik) atau kekuatan-sosial -kemasyarakatan (kelompok
kepentingan dan kelompok penekan) diakui hak hidupnya dan diberi kebebasan untuk berkompetisi
secara adil sebagai corong masyarakat, baik dalam pemilihan umum atau dalam kompetisi sosialpolitik lainnya.
Ketiga, adanya suksesi atau sirkulasi kekuasaan yang berkala, terkelola, serta terjaga denagn
bersih dan transparan-khususnya melalui proses pemilihan umum. Keempat, adanya monitoring,
control, serta pengawasan terhadap kekuasaan (eksekutif, legilatif, yudikatif, birokrasi, dan militer)
secara efektif, juga terwujudnya mekanisme checks and balances di antara lembaga-lembaga Negara.
Serta keempat, adanya tatakrama, nilai, norma yang disepakati (bersama) dalam bermasyarakat,
bernegara, dan berbangs (Patta, 2009) .
Negara Indonesia secara yuridis memang baru berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan
demikian, jika berbicara demokrasi Indonesia mustinya dibicarakan sejak Indonesia merdeka tersebut.
Akan tetapi dalam perspektif waktu, kehadiran Republik Indonesia sesungguhnya melalui proses yang
panjang, terutama masa Kolonial. Jima demokrasi dipandang sebagai paham yang anti otokrasi, maka
sesungguhnya demokrasi memiliki akar juga di masa Kolonial.
Jan Breman (1979) mengemukakan bahwa paham yang mengatakan bahwa desa-desa di Jawa yang
dikatakan sebagai desa demokratis sesungguhnya konstruksi kolonial. Desa-desa yang dikatakan asli,
sebelum mendapat sentuhan Kolonial adalah kepanjangan tangan atau bagian dari sistem feudal yang
lebih tinggi dalam tatanan masyarakat Jawa. Hal ini sesuai dengan temuan Wasino (2008) yang
membuktikan bahwa di wilayah pusat kekuasaan Jawa, Surakarta tidak ada pemilihan kepala desa hingga
awal kemerdekaan. Desa-desa di wilayah tersebut merupakan desa-desa yang terlambat menerima
pengaruh Kolonialisme. Menurut Schiecke (1929)desa-desa di Jawa bukanlah sebuah rumah tangga
tertutup yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Desa-desa itu sesungguhnya bagian dari struktur
dualistikdari sistem kerajaan Jawa yang mendasarkan diri pada pembagian wilayah terdiri dari lingkungan
keraton dan desa. Kepala desa merupakan penghubung antara petani dengan administrasi kerajaan. Situasi

ini berlangsung sejak abad ke-7 hingga abad ke -18. Kepala-kepala desa diangkat berdasarkan keturunan,
dan yang masih dianggap setia kepada administrasi kerajaan. Sejak abad XIX, Pemerintah
KolonialBelanda secara`resmi berkuasa atas wilayah Jawa. Sejak itu ada pemikiran bagaimana menguasai
pemerintahan hingga tingkat desa agar dapat digunakan sebagai pendukung kebijakan-kebijakan
Kolonial. Salah satu caranya adalah memangkas hubungan feodal masyarakat Jawa dengan cara
memperkuat institusi desa.
Daendels pada tahun 1809 mulai memperkenalkan sebuah sistem pemungutan suara pada tingkat
paling bawah. Di Cirebon, yang termasuk dalam wilayah Priangan di desa-desa yang lebih besar diangkat
dua orang kepala ( Kuwu atau mantri dan dan prenta atau pretinggi). Sementara itu pada desa-desa yang
lebih kecil hanya diangkat seorang parenta atau lurah. Dukuh-dukuh yang kurang dari enam keluarga
digabungkan kedesa terdekat dan penduduknya dipaksa pindah ke sana. Tradisi pemilihan kepala desa
yang dibuat di Cirebon awal abad XIX itu berkembang di kebanyakan desa-desa yang dikuasi secara
langsung oleh Pemerintah Kolonial Belanda, misalnya di Pati di Jawa Tengah (Husken,1998). Tradisi
pemilihan kepala desa itu yang kini berlanjut dan dikenal sebagai demokrasi desa. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa demokrasi yang menjadi ikon masyarakat desa pada saat ini asal-usulnya adalah
sebuah konstruksi Kolonial.
Pemikiran tentang demokrasi mengelora di sejumlah aktivis pergerakan. Maka terbentuklah
organisasi-organisasi yang berhaluan politik untuk menyuarakan suara rakyat di dalam sebuah
sistemKolonial. Suara-suara itu ada yang disalurkan melalui parlemen dan ada yang di di luar parlemen
Hindia Belanda yang dikenal sebagai Volksraad atau Dewan Rakyat. Banyak anggota partai politik yang
tidak bersedia duduk dalam parlemen Hindia Belanda itu, seperti para aktivis PNI, ISDV, NIP, dan
sebagainya. Mereka dikenal sebagai kaum nasionalis radikal. Akan tetapi banyak juga, yang dikenal
sebagai kaum nasionalis moderat yang bersedia duduk di Parlemen untuk memperjuangkan nasib rakyat
Indonesia dalam lembaga demokrasi bentukan Belanda itu (Budi Utomo, 1995).
A. Demokrasi Parlementer/ Liberal
Setelah Hindia Belanda berada di bawah pendudukan Jepang, lembaga Volksraad dibubarkan.
Sistem pemerintahan menjadi sistem pemerintahan militer, sehingga demokrasi sama sekali mengalami
kemandegan. Kondisi ini baru mengalami perubahan berarti setelah Indonesia merdeka. Momentum
historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada
3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya
partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu
pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah
terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru. Pada tahun 1953 Kabinet
Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu.
Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan
parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilihan Umum Indonesia
1955 adalah pemilihan umum pertamadi Indonesia dan diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering
dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat
keamanan negara masih kurang kondusif. Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan
Konstituante. Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu: Tahap pertama adalah
Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September1955, dan

diikuti oleh 29 partai politik dan individu, Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota
Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember1955.
Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang
mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung
umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.Fragmentasi politik
yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang
dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan
yang kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni gonta-ganti
pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.
Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang
memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan
kepentingan rakyat. Namun begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang keladi
kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang menempatkan demokrasi
parlementer atau demokrasi liberal sebagai sasaran tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya.
Kebobrokan demokrasi liberal yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab
utama kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari krisis politik tersebut adalah
mengubur demokrasi liberal yang dalam pandangannya tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia.
Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi,
parliamentary democracy is not good for revolution. Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada
lima tahun berikutnya, 1960. Hal ini dikarenakan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekrit Presiden yang
membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 (Wasino, 2007).
B. Demokrasi Terpimpin
Demokrasi terpimpin selalu diasosiasikan dengan kepemimpinan Sukarno yang otoriter. Hal itu
berawal dari gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante dan rentetan
peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959 yang akhirnya mendorong
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presidenpada tanggal 5 Juli 1959 dimana UUD 1945 kembali
diberlakukan dalam kerangka sebuah sistem demokrasi yakni Demokrasi Terpimpin.
Dalam kabinet tersebut Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir.
Djuanda bertindak sebagai menteri pertama. Demokrasi Terpimpin sebenarnya, terlepas dari
pelaksanaannya yang dianggap otoriter, dapat dianggap sebagai suatu alat untuk mengatasi perpecahan
yang muncul di dataran politik Indonesia dalam pertengahan tahun 1950-an. Untuk menggantikan
pertentangan antara partai-partai di parlemen, suatu sistem yang lebih otoriter diciptakan dimanaperan
utama dimainkan oleh Presiden Soekarno. Ia memberlakukan kembali konstitusi presidensial tahun 1945
pada tahun 1959 dengan dukungan kuat dari angkatan darat. Akan tetapi Soekarno menyadari bahwa
keterikatannya dengan tentara dapat membahayakan kedudukannya, sehingga ia mendorong kegiatankegiatan dari kelompok-kelompok sipil sebagai penyeimbang terhadap militer. Dari kelompok sipil ini
yang paling utama adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan juga walau tidak begitu signifikan peranan
dari golongan agama, yaitu khususnya yang diwakili oleh NU yang tergabung dalam poros nasakom
soekarno semasa pemberlakuan demokrasi terpimpin. Meskipun pemimpin PKI maupun Angkatan Darat
mengaku setia kepada Presiden Soekarno, mereka sendiri masing-masing terkurung dalam pertentangan
yang tak terdamaikan. Soekarno berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling bersaing

dari Demokrasi Terpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan kesadaran akan tujuan-tujuan
nasional. Ia menciptakan suatu ideologi nasional yang mengharapkan seluruh warga negara memberi
dukungan kesetiaan kepadanya. Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi dengan serangkaian doktrin
seperti Manipol-Usdek dan Nasakom.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata.
Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan kerjasama
yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan
gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik tidak mempunyai peran
besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin. Demokrasi terpimpin
yang dianggapnya mengandung nilai-nilai asli Indonesia dan lebih baik dibandingkan dengan sistim ala
Barat, ternyata dalam pelaksanaannya lebih mengarah kepada praktek pemerintahan yang otoriter .
C. Demokrasi Pancasila ala Orde Baru
Orde Baru identik dengan Pemerintahan Suharto. Hal itu dapat dipahami karena selama 32 tahun Suharto
memimpin pemerintahan, tidak ada presiden lain selain dirinya. Oleh karena sebagai penguasa tunggal
yang tak pernah tergantikan, maka masa ini sering disebut sebagai rezim Suharto.
Pemerintahan Orde Baru tak terlepas dari peristiwa berdarah tahun 1965, G-30 S. Peristiwa ini
memiliki dampak yang luar biasa dalam dalam kehidupan politik dan sosial di Indonesia, baik di tingkat
nasional maupun tingka daerah. Secara politik telah lahir peta kekuatan politik baru dari kekuasaan
politikyang heterogen, baik dari partai politik, Sukarno, maupun militer beralih ke satu golongan sosial,
yaitu tentara, terutama angkatan darat, terutama dari faksi Suharto (Kostrad) yang selama itu kurang
mendapatkan tempat terhormat di mata presiden Sukarno. Setelah Suharto berhasil memperoleh
legitimasi berupa Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), maka ruang gerak tentara dalam bidang
pertahanan keamanan dan kancah politik nasional semakin kuat. PKI dijadikan kambing hitam satusatunya sebagai dalang Kudeta G-30 Sepetember, meskipun dalam banyak penyelidikan banyak aktor
yang ikut bermain di dalamnya. PKI segera mendapatkan kecaman dari seluruh negeri, dan tentara
memperoleh dukungan dari kalangan santri untuk balas dendam terhadap keekjaman PKI di masa lampau
dalam menentang para kyai di pedesaan. Komandan-komandan tentara di daerah melarang kegiatan PKI
dan menangkap para pemimpinnya sampai ke tingkat desa. Pada bulan Desember 1966 sesungguhnya
PKI telah dihancurkan sebagai kekuatan politik di Indonesia. Dampak politik berimbas pada dampak
social. Dalam proses penangkapan tehadap para tokoh PKI tidak selalu didasarkan pada tindakantindakan yang cermat sehingga banyak orang yang tidak berdosa harus menjad korban penangkapan
pembunuhan baik oleh angkatan bersenjata maupun masyarakat sipil yang sebelumnya telah terlibat
dendam dan konflik. Sukarno yang sebelumnya menjadi penentu perpolitikan Indonesia hampir
tidakberdaya untuk menunjukkan kekuasaannya akibat ekonomi yang hancur dengan inflasi yang terus
membubung tinggi dan tak terkendali. Sukano juga sudah tidak dapat menggerakkan pendukungnya,
terutama darikalangan nasionalis dan sayap kiri. Kekuatan Sukarno mendapa tandingan baru dari para
jenderal angkatan darat yang didukung oleh kaum Islam militan dan sebagian nasioanlis yang tunduk
kepada rezim militer.
Dengan memegang Supersemar, Suharto berasumsi bahwa ia secara perlahan lahan akan
memiliki kekuasaan eksekutif yang penuh. Sehubungan dengan hal itu, maka nama rezimnya (Orde Baru)

didasarkan pada peistiwa Supersemar tersebut. Setelah dua tahun memegang Supersemar, dengan hatihati Suharto berhasil menyingkirkan Sukarno beserta para pendukung politiknya.
Konsepsi demokrasi Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak cukup jelas. Ia lebih sering
mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila, dalam
konsep yang sangat abstrak. Pada dasarnya, konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik berangkat
yang sama dengan konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli Indonesia.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat
Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang sehat dan bertanggungjawab, berdasarkan
moral dan pemikiran sehat, berlandaskan pada suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila.
Langkah politik awal yang dilakukan Soeharto untuk membuktikan bahwa dirinya tidak anti
demokrasi adalah dengan merespons penjadwalan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), sebagaimana
dituntut oleh partai-partai politik. Soeharto sendiri pada hakekatnya tidak menghendaki pemilu dengan
segera, sampai dengan terkonsolidasikannya kekuatan Orde Baru. Sebagai upaya lanjut mengatasi
peruncingan ideologi Soeharto melakukan inisiatif penggabungan partai politik pada 1973, dari 10
partai menjadi 3 partaipolitik (Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia).
Golkar sendiri yang notabene, dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa tidak bersedia menyatakan diri
sebagai parpol melainkan organisasi kekaryaan. Fusi atau penggabungan partai ini merupakan wujud
kekesalan Soeharto terhadap parpol dan hasratnya untuk membangun kepolitikan kekeluargaan.
Menjaga citra sebagai negara demokrasi terus dijaga oleh rezim Orde Baru.
Praktik demkrasi diktatorship yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam krisis
bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai akibat terjadinya krisis moneter mulai
1997. Krisis moneter yang semakin parah menjadikan porak porandanya ekonomi nasional yang ditandai
dengan runtuhnya nilai mata uang rupiah, inflasi, tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan
semakin besarnya pengangguran. Krisis ekonomi memacu berlangsungya aksi-aksi protes dikalangan
mahasiswa menuntut Soeharto mundur .
D. Demokrasi Pasca Orde Baru
Berakhirnya Orde Baru melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat. Berbagai kelompok
dengan latar belakang ideologi yang beranekaragam, mulai dari muslim radikal, sosialis, nasionalis,
muncul dan bersaing untuk mendapatkan pengaruh politik.
Pemerintahan baru hasil pemilu 1999 yang memunculkan pasangan Abdurrahman WahidMegawati jauh dari performance yang optimal. Wahid pada akhirnya dipaksa lengser setelah kurang dari
dua tahun berkuasa. Lengsernya Wahid yang terpilih dengan legitimasi demokratis dan dikenal luas
sebagai pendukung militan demokrasi, menjadi sebuah tragedi transisi demokrasi. Praktik berdemokrasi
di Indonesia masatransisi mendapatkan pengakuan luas dari dunia internasional.
Pada tahun 2004 diselenggarakan Pemilu kedua sebagai produk reformasi. Dalam pemilu itu
dipilih anggota DPR/DPRD. Selain itu juga dilakukan pemilihan Presiden Secara langsung. Momentum
pemilihan demikian memungkinkan rakyat menentukan hak pilihnya tanpa tekanan dari pihak manapun.
Ketika itu berhasil dipilih presiden dan wakil presiden secara langsung dengan terpilihnya Susilo
Bambang Yudoyono sebagai presiden dan Yusuf Kala sebagai wakil presiden. Pada tahun 2009 ini akan

dilaksanakan Pemilihan Umum lagi. Pemilihan pertama akan dilakukan tanggal 9 April 2009 untuk
memilih DPR/DPRD dan DPD. Setelah itu baru dilakukan pemilihan presiden secara langsung. Siapapun
yang terpilih oleh rakyat itulah yang berhak atas kekuasaan di negeri ini, sebab hakekat demokrasi adalah
menempatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan mutlak (Wasino, 2008).
( PERMASALAHAN DEMOKRASI )
Dengan perubahan tersebut maka sejak kehadiran Negara modern ( modern-state ) itupun bentuk
demokrasi mensyaratkan adanya pemilu. Dalam pelaksanaannya, makna sejati ide demokrasi tetap
ingin dipertahankan. Rakyat tetap diakui sebagai sumber kedaulatan. Namun demikian, partisipasi
dan suaranya dalam proses pemerintahan diwakilkan pada segelintir orang( kaum elite ) pada
lembaga perwakilan
Melalui prosedur pemilu tersebut rakyat memilih wakil-wakilnya yang duduk di lembaga perwaki
lan rakyat ( parlemen atau legislative ) dan pemerintahan. Melalui prosedur pemilu dibuat penentuan
bahwa pihak yang berhak tampil memerintah harus melalui prosedur kompetisi dimana pemenangnya
adalah kontestan yang berhasil memperoleh suara mayoritas dalam pemilu. Masalahnya, dengan
system pemilihan yang berdasarkan pada suara mayoritas terdapat kelemahan yang krusial.
Kekuasaan yang dilahirkan sering tidak adil, karena merugikan suara minoritas yang biasanya
dipaksa ikut pada keputusan bersama meskipun tidak disetujuinya.Apalagi jika cara yang berlaku
adalah pola hitungan suara mayoritas sederhana (50+1) yang berarti jumlah yang menolak relative
masih amat besar. Masalah lainnya, pemerintah perwakilan yang dipilih oleh rakyat sering kali
mengambil keputusan dengan mengatasnamakan suara rakyat sehingga kekuasaannya potensial
menjelma menjadi " tirani mayoritas ". Masalah krusial lainnya adalah karena demokrasi Negaramodern itu terlalu menekankan pendekatan procedural (institusional) dengan indicator hadirnya
parlemen, partai politik, dan pemilu. Padahal j ika syarat procedural tersebut yang jadi ukuran, akan
banyak Negara mengklaim diri demokratis, meski dalam prakteknya bertentangan atau jauh dari
idealitas demokrasi itu sendiri. Akhirnya penilaian bahwa dalam perkembangannya sejak era yunani
kuno hingga kini, demokrasi belum pernah terwuwjud sesuai makna ideal apalagi hakikinya. Yang
terjadi baru sampai pada sekedar usaha untuk mendekati makna idealnya. Artinya, belum pernah ada
satupun Negara di dunia ini yang telah dan pernah mencapai tahap perkembangan riil demokrasi
dalam arti yang sesungguhnya. Bahkan prakteknya di Negara-negara maju seperti di Eropa dan AS
yang dianggap sebagai kampiun demokrasi, menurut Robert Dahl (1992), baru mencapai tahap yang
diistilahkan sebagai poliarki (poliarchy). Suatu perkembanagan tahapan politik modern yang baru
berhasil dicapai adalah proses liberalisasi lembaga -lembaga politik namun belum mencapai
perwujudan cita cita demokrasi yang berdasarkan prinsip persamaan bagi setiap Negara tanpa kecuali
berperan sebagai subyek politik.
Di Indonesia demokrasi dan Pemilihan Umum (PEMILU) sebagai instrumen demokrasi itu sendiri,
turut mengikutsertakan partisipasi kualitas masyarakat dalam mewujudkan aspirasinya yang disalurkan
melalui wadah partai politik, serta kekuatan sosial politik yang dibawa kepada muara pemilihan dan
penetapan perwakilan politiknya baik di lembaga legislatif maupun eksekutif pemerintahan.
Partisipasi politik masyarakat merupakan perangkat penting karena teori demokrasi yang
menyebutkan bahwa perlunya partisipasi politik masyarakat pada dasarnya disebabkan bahwa masyarakat
tersebutlah yang paling mengetahui apa yang mereka kehendaki. Kebebasan dalam menentukan warna

politik dan hilangnya unsur pemaksaan terhadap hak politik masyarakat telah melahirkan instrumen
penunjang keberlangsungan demokrasi perwakilan di Indonesia melalui partisipasi politik masyarakat
.Azas dasar dalam sebuah negara yang demokrasi, yakni kedaulatan rakyat menentukan jalannya
pemerintahan. Perwujudan azas kedaulatan rakyat ini dalam kehidupan pemerintahan terbukti
dilibatkannya rakyat secara intensif dalam memutuskan kebijakan-kebijakan pemerintahan. Ukuran
kedaulatan rakyat dilihat dari semakin besarnya porsi peran yang dimainkan oleh rakyat, serta semakin
selarasnya kepentingan rakyat dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Dalam sebuah pengertian partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau kelompok orang
untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan
masyarakat dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy),
kegiatan yang mencakup tindakan seperti pemberian suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat
umum, menjadi anggota suatu partai politik dan kelompok kepentingan. Sebagai sebuah implementasi
terhadap partisipasi politik masyarakat dalam bentuknya maka lahirlah sistem PEMILU, dalam
pengertiannya pemilihan umum merupakan suatu kegiatan yang sering diidentikkan sebagai suatu ajang
pesta demokrasi, yang merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil
Walikota ataupun memilih Bupati dan Wakil Bupati berdasarkan per Undang-Undangan yang berlaku.
Melalui pemilihan umum, maka hak asasi rakyat dapat disalurkan, demikian juga halnya dengan hak
untuk sama didepan hukum dan pemerintahan. Dalam penentuan dan penetapan perwakilan di lembaga
eksekutif ketatanegaraan maka lahirlah sebuah sistem yang turut mengimplementasikan partisipasi
masyarakat secara langsung dalam menentukan arah kebijakan politik pemerintah. Sebuah sistem
partisipasi langsung dalam menentukan kepemimpinan daerah melalui proses Pemilihan Kepala Daerah
(PILKADA). Dikatakan demikaian karena dalam prosesnya masyarakat memiliki hak dipilih sebagai
pemimpin atau wakil rakyat, maupun memilih pemimpin daerah secara langsung. Hal ini berlaku sejak
diberlakukannya UU 32 / 2004 tentang pemerintahan daerah yang didalamnya mengatur pilkada secara
langsung. Maka mulai pertengahan 2005, satu persatu provinsi dan kabupaten / kota yang masa bakti
kepala daerahnya sudah berakhir, melaksanakan PILKADA yang melibatkan masyarakat secara langsung.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung diatur dalam UU No. 32/2004 tentang
pemerintahan daerah pasal 56 jo pasal 119.Dengan lahirnya UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah sebagai pengganti UU No. 22 tahun 1999 merupakan landasan hukum bagi pelaksanaan pemilihan
kepala daerah secara langsung. Rakyat memiliki kedaulatan penuh atas hak politiknya dalam memilih
pemimpin mereka. Semangat pemilihan kepala daerah secara langsung adalah memberikan ruang yang
luas bagi partisipasi politik masyarakat untuk menentukan kepala daerah sesuai dengan aspirasi dan
kebutuhan di daerah masing-masing sehingga diharapkan kebijakankebijakan dari pemerintah nantinya
sesuai dengan harapan dan keinginan rakyat pada umumnya dan peraturan pemerintah (PP) No.6/2005
tentang tata cara pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah. Sejak saat
bergulirnya PILKADA terbukalah lembaran baru dialam demokrasi di tanah air. PILKADA pertama kali
dilaksanakan pada bulan juni 2005, sejak berlakunya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, PILKADA dimasukkan dalam rezim PEMILU, sehingga secara resmi
bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Peserta Pilkada berdasarkan Undang- Undang
Nomor 32 Tahun 2004. Peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh
partai politik atau gabungan partai politik. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta pilkada dapat
berasal dari calon independen dan partai politik lokal. Adanya ketentuan peserta Pilkada hanya dapat
ditentukan ataupun dicalonkan oleh partai politik dan gabungan partai politik, hal ini akan menutup hak

konstitusional calon perseorangan (independen) dalam pilkada. Setelah mengadakan uji materiil, pada
tanggal 23 juni, mahkamah konstitusi menyatakan sebagian pasal dalam Undang- Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau
gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan (independen) dalam Pilkada
bertentangan dengan UUD 1945.
Suatu negara dapat dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan
kepada masyarakat untuk merumuskan prefensi- prefensi politik mereka melalui jalur- jalur perserikatan,
informasi dan komunikasi; memberikan ruang berkompetisi untuk jabatan politik. PILKADA langsung
merupakan salah satu kemajuan terbesar dalam reformasi politik di Indonesia.Rakyat dapat menentukan
presiden, gubernur dan bupati atau walikota melalui pemilihan langsung (Anonim, 2000)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2000. Penilaian Demokratisasi di Indonesia. Ameepro Graphic Design and Printing, Lembaga
Internasional untuk Bantuan Demokrasi dan Pemilu (International IDEA).
Bramantya,O.,G. 2011. Permasalahan Demokrasi dan Solusinya : Senuah Telaah Pemikiran Richard
Rorty. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Jakarta.
Breman, Jan, 1979, Desa Jawadan Negara Kolonial, Cakrawala, no. 11, th XI,
Salatiga: LPIS, UKSW.
Meyer, Thomas. 2009. Demokrasi Sosial dan Libertarian. Friedrich-Ebert-Stiftung (FES), Jakarta.
Pasaribu,R.,B.,F. 2010. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara.
Patta, Kadir. 2009. Masalah dan Prospek Demokrasi. Jurnal Academica, Fisip Untad. I : 35- 43.
Wasino. 2008. Kapitalisme Bumiputra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: LkiS.

Anda mungkin juga menyukai