Kembali ke buku ini, Daron Acemoglu, di dalam buku ini, menjelaskan alasan mengapa
ketidaksetaraan ekonomi (inequality) sangat umum terjadi di dunia saat ini dan secara
lanjut, buku ini menjelaskan bahwa akar dari masalah kemiskinan suatu negara berakar
dari keputusan yang salah yang diambil suatu golongan yang mempunyai kekuasaan
atau pengaruh politik yang sangat besar di suatu negara.
Beberapa dekade lalu, kita percaya dengan narasi bahwa kemiskinan suatu negara itu
ada hubungannya dengan lokasi, budaya, atau kurangnya pengetahuan suatu negara.
Saya masih ingat, saat kecil saya beberapa kali mendapatkan jawaban ngasal dari
pertanyaan, kenapa negara eropa kaya? dan dijawab dengan “Karena negara bersalju,
sehingga orang-orangnya sangat terbiasa untuk beradaptasi”. Pada kenyataannya,
Serbia adalah negara bersalju tetapi GDP per capitanya ($3,741) tidak lebih tinggi dari
Indonesia ($3,922)
Dalam buku yang telah membuka mata saya, Daron Acemoglu menjelaskan bahwa yang
menentukan negara itu sejahtera atau tidak sangat tergantung pada keputusan strategis
yang dibuat oleh institusi ekonomi dan politik dalam menghadapi perkembangan
“zaman”. Dan berikut 3 poin yang telah membuka mata saya
Institusi politik yang inklusif didefinisikan sebagai sebuah institusi yang tidak hanya
menguntungkan segelintir elit yang berkuasa namun sebuah institusi yang dimana
masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam proses politik. Dengan kata lain, institusi
politik yang dapat menciptakan kemakmuran adalah institusi politik yang bersifat plural.
Tidak hanya akses politik yang mudah, institusi politik yang inklusif ditandai dengan
adanya batasan kekuasaan terhadap elite penguasa melalui mekanisme checks and
balances, serta adanya rule of law yang melindungi segenap warga negara.
Institusi politik yang inklusif, menurut Acemoglu dan Robinson akan menciptakan
institusi ekonomi yang inklusif pula. Institusi ekonomi yang inklusif ini ditandai dengan
adanya jaminan akan hak milik dan patent, kemudahan berbisnis dan akses terhadap
pasar yang terbuka serta adanya dukungan negara untuk memberikan akses yang
mudah terhadap pendidikan dan kesempatan yang sama bagi semua warga negara
untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi.
Skenario sebaliknya akan terjadi dalam institusi politik ekstraktif di mana kekayaan akan
diakumulasikan hanya untuk elit penguasa saja. Institusi politik yang ekstraktif ditandai
dengan terkonsentrasinya kekuasaan politik di tangan segelintir orang tanpa
adanya checks and balances, serta lemahnya rule of law. Institusi politik ekstraktif akan
menghadirkan institusi ekonomi yang ekstraktif pula dimana segala sumber daya yang
ada digunakan untuk kepentingan elit penguasa. Institusi ekonomi yang ekstraktif
ditandai dengan lemahnya proteksi terhadap hak milik, adanya entry barrier terhadap
aktor pasar yang menciptakan level of playing field berbeda bagi setiap aktor, serta
adanya hambatan yang mencegah fungsi pasar berjalan dengan sempurna.
Bila institusi politik dan ekonomi yang inklusif dapat menciptakan kemakmuran,
mengapa hanya sedikit bangsa yang memilih membangun institusi ini? Menurut
Acemoglu dan Robinson, perubahan institusi dari yang bersifat ekstraktif menuju inklusif
merupakan sebuah proses perubahan kecil yang terus menerus dan
bersifat endegenous.
Sebelum Black Death, sebagian besar sistem ekonomi dan politik di Eropa sangat
ekstraktif. Raja suatu negara memiliki tanah, dan dia memberikan tanahnya kepada para
bangsawan yang berjanji memberikan dukungan militer sebagai imbalannya. Petani
kemudian akan mengurus tanah. Mereka bekerja keras untuk mencari nafkah tetapi
membayar sebagian besar dari apa yang mereka peroleh dalam bentuk pajak. Bisa
dipastikan, mereka tidak memiliki kebebasan.
Tetapi ketika Black Death melanda, tiba-tiba terjadi kekurangan tenaga kerja yang
sangat besar. Para petani di Eropa Barat memanfaatkan kesempatan ini untuk menuntut
pajak yang lebih rendah dan lebih banyak hak.
Namun, para petani Eropa Timur tidak seberuntung itu. Mereka kurang terorganisir, dan
pemilik tanah berhasil memanfaatkan ini dan mulai menaikkan pajak lebih tinggi dan
membuat sistem lebih ekstraktif.
Inilah sebabnya mengapa Acemoglu menyebut Black Death sebagai titik balik sejarah.
Bagi Eropa Barat, ini berarti akhir feodalisme ekstraktif. Tapi di timur, itu tumbuh lebih
buruk. Pergeseran institusional yang berbeda ini mengarahkan ke hasil yang berbeda. Di
situlah dua wilayah yang berdekatan, tumbuh ke arah yang berbeda.
Jadi apa yang bisa kita lakukan? Hal pertama yang harus dilakukan suatu negara adalah
mendorong lembaga-lembaga inklusif untuk terus bergerak lebih agresif, sehingga hal
ini ini dapat menumbuhkan kemakmuran dengan sendirinya. Yang kedua, kelompok-
kelompok yang dikucilkan oleh institusi yang berkuasa harus memiliki cara untuk
melawan institusi yang menindas.
Misalnya, di Brasil, gerakan akar rumput dari orang-orang yang diberdayakan berhasil
menggulingkan kediktatoran militer negara itu pada tahun 1985. Gerakan sosial yang
dipimpin oleh orang-orang ini membuka jalan bagi koalisi yang menentang kediktatoran
di masa yang akan datang.
Sejak Brasil memutus siklus itu, kemakmurannya meningkat pesat. Faktanya, antara
tahun 2000 dan 2012, Brasil adalah salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi
tercepat di dunia. Ini menjadi bukti bahwa memutus rantai kemiskinan tidak ada kata
terlambat.
Penutup
Sebagaimana teori-teori sosial lainnya, teori Acemoglu dan Robinson bukannya tanpa
kritik. Terdapat berbagai macam kelemahan di dalam teori yang mereka bangun.
Pertama, teori Acemoglu dan Robinson meskipun memiliki kekuatan eksplanasi
(explanative power), tidak memiliki kekuatan memprediksi (predictive power). Hal ini
disebabkan karena teori mereka berdasarkan kepada konsepsi critical juncture yang
tidak mudah atau bahkan mustahil untuk diprediksi karena critical juncture merupakan
kejadian sejarah yang acak yang dapat berakibat besar bagi evolusi institusional sebuah
bangsa.
Kedua, teori Acemoglu dan Robinson tidak mampu menjelaskan kemunculan institusi
ekonomi yang inklusif dari rahim institusi politik yang ekstraktif. Munculnya institusi
ekonomi yang inklusif di Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura terjadi pada saat negara-
negara ini berada dibawah rezim yang otoriter. Pertanyaan pun muncul, mungkinkah
institusi ekonomi yang inklusif muncul dari institusi politik yang ekstraktif?
Ketiga, teori Acemoglu dan Robinson tidak mampu memberikan pengukuran yang rigid
mengenai apa itu institusi politik yang inklusif atau ekstraktif. Di negara-negara yang
yang dianggap oleh Acemoglu dan Robinson memiliki institusi politik yang inklusif pada
dasarnya tidak pula terlalu inklusif. Penelitian terakhir mengenai kondisi politik di
Amerika Serikat memperlihatkan bahwa Pemerintah AS tidak mewakili kepentingan
mayoritas warga negara, melainkan hanya segelintir orang kaya yang berkuasa. Tidak
hanya itu, politik Amerika Serikat juga lebih banyak didominasi oleh orang-orang kaya.
Terlepas dari berbagai kelemahan dalam teori Acemoglu dan Robinson, Why Nations
Fail memberikan sebuah pelajaran penting bagi para pengambil kebijakan yakni
pentingnya sebuah institusi politik serta ekonomi yang inklusif untuk menciptakan
akumulasi kekayaan yang terdistribusi dengan baik ke seluruh masyarakat.