Penulis sangat tidak sepakat apabila budaya tidak dapat menjadi penentu kondisi
negara (gagal atau berhasil). Buta budaya atau menganggap budaya merupakan hal remah
temeh justru akan menjerumuskan negara dalam jurang kegagalan secara tidak sadar.
Raymond Williams menjelaskan budaya itu lebih kepada suatu aktivitas dan keadaan yang
diolah masyarakat. Budaya merupakan hal-hal biasa yang ditemukan dalam keseharian di
semua kalangan masyarakat dan di setiap pikiran. Di samping itu, budaya yang terkait
dengan tradisi dan reproduksi sosial merupakan soal kreativitas dan perubahan (Williams,
1989:4). Jika Williams melektakkan individu atau masyarakat sebagai aktor aktif yang
memproduksi budaya, durkheim melihat budaya sebagai hasil produksi dari relasi struktural
yang berada di luar individu atau masyarakat. Durkheim menjelaskan adanya sistem nilai
dari agama tertentu dapat mempengaruhi pola tindakan bunuh diri (Durkheim, 1952:19).
Dari kedua pemikir tersebut, menandakan bahwa budaya bukan hal yang remeh temeh.
Budaya dapat berpengaruh dalam masyarakat. Karakter budaya yang demikian, Williams
menegaskan jika budaya sebagai keseluruhan cara hidup yang berpengaruh pada
masyarakat secara kompleks. Pengaruh tersebut meliputi pada proses yang mendorong
adanya revolusi sosial, meliputi demokrasi, industri, dan budaya (Williams, 1965:10-12).
Jika kondisi buta budaya masih berlangsung, perlahan negara akan digerogoti oleh
proses-proses pengerukan keuntungan dari aktor lain melalui penyebaran budaya dalam
sistem kapitalis global. Sistem kapitalis berisikan sebuah sistem yang dapat
mengakumulasi kapital secara terus menerus, yang berada dalam world economy
(Wallerstein, 2004: 23 & Lechner dan Boli, 2015: 54). World economy juga dapat diartikan
sebagai kondisi dunia dengan runtuhnya negara-bangsa melalui agenda neoliberalisme.
Agenda tersebut teraktualisasikan melalui pelaksanaan mekanisme pasar bebas. Mekanisme
tersebut menyebabkan adanya pengurangan peran negara (deregulasi) (Harvey,2005:3).
Dalam mekanisme itu, perusahaan memiliki peranan yang lebih besar ketimbang negara
(Barber, 2003:27). Schiller (1991: 31) menyampaikan bahwa industri budaya memiliki
peran penting dalam ekspansi budaya. Korporasi dalam industri budaya merupakan tempat
untuk menciptakan, mengemas, menyebarkan sebuah budaya. Ia menyebutkan bahwa
kondisi budaya saat ini merupakan sebuah budaya yang diproduksi untuk dipasarkan dan
diperdagangkan. Jika dirunut dengan karakteristik budaya hari ini, maka ekspansi budaya
akan eksis dalam hal untuk memperoleh akumulasi kapital (Hal. 31).
Menurut Penulis, sangat munafik apabila mengeyampingkan perihal budaya untuk
meninjau kondisi negara. Budaya dapat menyelinap dalam setiap aktivitas ekonomi politik.
Dalam dunia modern saat ini, yang menjanjikan mausia akan sebuah petualangan,
kekuasaan, kegembiraan, pertumbuhan transformasi dunia, inovasi, kemudahan dalam
teknologi dsb. Tetapi, disaat yang sama modernisme dapat menimbulkan ancaman dan
kerusakan bagi manusia (Berman, 1982:15). Ide modern sebagai budaya, telah menyatukan
orang-orang di seluruh dunia, menghilangkan batas-batas etnis dan kebangsaan, jenis
kelamin dan kelas dan ras.
Transformasi dunia menjadi world modern yang dipenuhi modernisme merupakan
hasil dari kapitalisme dan industrialisme, yang mana juga mengalami perentangan hingga
ruang lingkup internasional (Giddens, 1991:11). Kapitalisme dan industrialisme
merupakan institusi dari world modern. Kapitalisme merupakan sistem produksi komoditas,
berpusat pada hubungan antara kepemilikan modal pribadi dan tenaga kerja murah.
Hubungan itu yang membentuk poros utama dari sistem kelas. Perusahaan kapitalis
tergantung pada produksi untuk pasar kompetitif, penentuan harga menjadi sinyal bagi
investor, produsen, dan konsumen. Sedangkan, industrialisme berkaitan dengan sistem
produksi yang berbasis permesinan, yang meliputi organisisir tenaga manusia, mesin dan
bahan-bahan produksi (Hal. 56).
Maka, secara tidak sadar kita telah dikendalikan oleh budaya. Negara-negara
sejatinya telah dipaksa tunduk pada nilai-nilai dalam budaya global yang terstandarisasi,
seperti munculnya Mcdonaliasai atau Kokakolanisasi. Sistem institusi inklusif dalam hal ini
telah gagal menangkap budaya modern yang eksis di tengah masyarakat. Sistem inklusif
patut untuk dipertanyakan kembali ketika tidak memandang budaya. Negara yang tidak
mampu mengikuti arus budaya global, justru akan tenggelam dalam keterasingan karena
dianggap terbelakang. Padahal, bisa jadi budaya global itu bukan merupakan budaya
masyarakat yang seharusnya mendapat porsi pertimbangan lebih dalam sistem institusi
inklusif. Ketika dengan tidak sadar terus mengikuti arus budaya global, yang terjadi justru
melanggengkan sistem institusi ekstraktif, bahkan dekstrutif. Dengan demikian, masih kah
kita buta budaya, dengan menganggapnya bukan penentu kondisi negara?