Anda di halaman 1dari 5

Dalam sebuah sistem internasional, tentu saja setiap negara melakukan suatu kerjasama namun juga

tetap adanya persaingan yang dilakukan oleh antarnegara. Menurut teori, negara dapat melakukan
apapun yang mereka inginkan dikarenakan mereka berdaulat dan berdiri sendiri tanpa dibawah
kekuasaan sebuah pemerintahan yang telah mengatur dunia, dan sebuah negara menggunakan
ketertarikan atau minat mereka sebagai acuan dalam melakukan suatu hubungan kerja sama dengan
negara-negara lain di dunia.

Politik internasional sendiri dirancang untuk meperlihatkan sebuah fakta bahwa adanya suatu pengaruh
dalam jumlah besar yang mampu mempengaruhi aksi suatu negara, fakta tersebut diperlihatkan agar
tidak akan terjadinya lagi kekeliruan dari adanya suatu kesepakatan yang dimana faktor-faktor tersebut
memberikan dampak yang cukup besar bagi sebuah negara.

Realisme

Secara umum, teori realisme ini mengandung sebuah anggapan bahwa negara lain merupakan musuh
yang harus diwaspadai dan tidak bisa dipercaya karena anggapan bahwa umat manusia yang bersifat
kompetitif dan egois.

Realisme struktural memiliki 3 asumsi sebagai berikut diantaranya:

1. Sistem internasional yang bersifat anarkis


Sistem anarkis adalah salah satu sistem yang tidak mempunyai wewenang yang berat untuk
membuat dan juga sekaligus menegakkan hukum,
mengadili perselisihan dan juga mengatur berbagai perilaku-perilaku
diantara berbagai negara. Sistem internasional ini dapat disamakan
dengan keadaan bahwa tidak adanya “polisi dunia” yang dapat menjaga
sebuah negara dari berbagai ancaman satu sama lain.
2. Semua negara dalam sistem merupakan pelaku atau aktor tunggal yang
rasional, karena negara cenderung memprioritaskan kepentingan
pribadinya sehingga dapat ditemuka sebuah kelompok berusaha meraup
sumber daya sebanyak-banyaknya. Pada Asumsi yang kedua ini ialah
pernyataan bahwa otoritas politik bangsa atau negara adalah yang tertinggisehingga tidak ada
lagi otoritas tertinggi lainnya yang patut untuk dipatuhi. Seperti yang telah tertuang dalam bab
dua dan sembilan pada Perdamaian Westphalia tahun 1648 yang mengantarkan sistem
internasional modern
dengan disahkannya negara sebagai otoritas pemerintahan yang tertinggi
dan berkuasa atas masyarakat beserta wilayah.
3. Asumsi ketiga dari realisme struktural adalah perhatian utama adalah menjunjung tinggi nilai-
nilai keamanan, bertahan hidup dan kelangsungan hidup bagi negaranya. Oleh karena itu negara
membentuk militer untuk
keberlangsungan negaranya, sehingga dapat menciptakan keamanan.
Karena sistem internasional adalah sistem yang bersifat anarkis, negara negara bagian dibiarkan
sendiri untuk menjamin kelangsungan hidupnya
sendiri, dikatrenakan tidak ada negara yang lain melakukan hal yang
sama. Realisme berpendapat bahwa di dunia yang bersifat anarkis ini,
kekuasaan merupakan sebuah sarana untuk menuju ilmu pengetahuan,
maka oleh dari itu negara berupaya penuh untuk memaksimalkan
kekuatan mereka sendiri.

Pergeseran struktur dalam sebuah system

Pergeseran ini memiliki arti bahwa telah terjadinya pergerakan dalam distribusi kekuasaan
diantara negara-negara. Namun pergeseran posisi ini relatif akan mencoba mendorong untuk
meningkatakan kedudukan yang relatif terhadap kekuatan yang dominan. Pada sistem bipolar,
dimana dua negara adikuasa melakukan persaingan untuk menjadi anggota, yang biasanya
dapat dicapai melalui mendorong pembangunan potensi atau kemampuan negara sendiri.
Sedangkan dalam system multipolar pada tahun 1648 hingga 1945, penyeimbangan dilakukan |dengan
adanya pembentukan sealibuah alansi ataupun koalisi.

Berdasarkan kedua kasus tersebut, dapat disimpulkan tentu saja semua negara ingin
mempertahankan negaranya, dan keinginan ini akan membuat mereka seimbang dengan
membentuk sebuah koalisi untuk melawan kekuatan yang dominan. Suatu negara akan melakukan hal
yang serupa meskipun terdapat perbedaan di antara suatu negara tersebut dengan
lembaga-lembaga ekonomi dan juga politiknya, latar belakang sejarahya, serta para
pemimpinnya.

Argumen berikutnya berpendapat bahwa realisme struktural yaitu


berisikan sebuah negara jarang melakukan kerjasama, terutama pada isu yang berkaitan dengan
masalah keamanan dikarenakan ketakukan bahwa pasangan kerjasamanya mungkin akan mendapatkan
bagian atau manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan dirinya sendiri yang bisa
berdampak dengan perubahan peringkat negara mereka di mata
internasional.

Polaritas dan Keseimbangan Kekuatan

Meskipun telah disepakati bahwa semua negara memerlukan keamanan melalui pemeliharaan
keseimbangan kekuasaan namun para realis tidak setuju pada jenis struktur sistem internasional yang
dimana memiliki stabilitas tergolong yang terbaik. Sebuah perdebatan akhirnya terjadi yang dimana
mempermasalahkan yang mana keseimbangan kekuasaan, dengan ketidakseimbangan
kekuasaan yang lebih diminati. Pendapat lain menyatakan bahwa distribusi kemampuan ataupun
keunggulan yang sama diantara negara-negara, atau keseimbangan kekuasaan yang mampu
menciptakan stabilitas dan jika perang akan lebih mungkin terjadi apabila salah satu negara
memiliki kekuatan yang dominan. Di sisi lain, pendapat selanjutnya adalah bahwa stabilitas lebih
diminati apabila tidak adanya ketidakseimbangan kekuatan yang dimana satu negara lebih
mendominasi suatu sistem dibandingkan dengan distribusi kekuatan yang sama, dimana perang
akan lebih mungkin terjadi.

Perdebatan antara perbedaan pendapat tersebut dapat diselesaikan dengan tanpa terlebih dulu
menentukan stabilitas dalam sistem internasional. Maksud dari kestabilan yang sempit ialah tidak
adanya perang antara kekuatan yang besar, dimana sistem tersebut masih bisa dianggap stabil,
meskipun terdapat banyak konflik regional karena tidak adanya perang yang terjadi dengan
negara adidaya seperti pada Perang Dingin.

Realisme: Kasus Keseimbangan

Teori keseimbangan kekuatan berpendapat bahwa distribusi kekuasaan yang bersifat sama
lebih stabil daripada distribusi yang bersifat hegemoni, dimana satu negara akan lebih
mendominasi. Teori Balance of Power atau Keseimbangan Kekuatan ini ditujukan untuk
mencegah adanya campuran atau sebuah sistem yang mendominasi oleh setiap negara. Apabila
terjadinya ketidakseimbangan, sistem ini justru mengarah kembali ke keseimbangan. Jika satu
negara menjadi kuat, negara lain akan membentuk koalisi yang mampu menyeimbangkan agar
kembali seperti semula. Alasan mengapa dominasi sistem oleh satu negara dilihat sebagai
destabilisasi yang jelas. Ketika suatu negara ataupun blok menjadi lebih dominan, maka akan
ada ketertarikan untuk mendominasi sistem dan memaksa kehendaknya pada negara-negara
lain dengan ancaman yang menggunakan kekuatan militer.

Dengan membentuk koalisi penyeimbang, negara-negara berupaya untuk mencegah terjadinya


peperangan. Jika pencegahan tersebut gagal, para koalisi keuangan harus bersedia
menggunakan kekuatan militer untuk memulihkan keseimbangan kekuasaan, namun negara
melukukan penyeimbangan tersebut bukanlah dikarenakan alasan moral namun untuk penataan diri.
Perbedaan yang bersifat pribadi antara para pemimpin, persaingan yang ideologis, ataupun antagonism
historis tidak memainkan perannya untuk mengambil keputusan dalam negara untuk bergabung dengan
sebuah koalisi.

Realisme: Kasus Preponderasi

Berdasarkan sebuah asumsi, bahwa kunci stabilitas internasional adalah untuk


mencapai keseimbangan kekuatan antara negara-negara yang terkemuka. Dengan
mempertimbangkan semua masalah yang dihadapi dalam menjaga keseimbangan
kekuasaan dan juga dengan adanya peringatan yang cukup banyak ketika koalisi
telah berusaha untuk memblokir tawaran negara adikuasa, berdasarkan hal tersebut kaum realis
percaya bahwa ketidakseimbangan kekuasaan lebih kondusif untuk stabilitas. Thucydides yang
merupakan seorang realis juga berargumen bahwa apa yang membuat terjadinya Perang Peloponnesia
tidak dapat terhindarkan adalah muncul dan tumbuhnya kekuatan Athena dan ketakutan yang
ditimbulkannya di Sparta. Ia juga berargumen bahwa perang tersebut kemungkinan besar terjadi dalam
sebuah sistem yang terdapat dua kekuatan besar di dalamnya yang relatif sama atau ketika
kedua negara mempunya persamaan yang mendekati.

Dapat dikatakan bahwa stabilitas internasional lebih mungkin terjadi ketika satu
negara hegemoni mendominasi yang lain, dikarenakan selama ada satu kekuatan hegemoni, tidak akan
ada negara yang akan menantangnya karena setiap
penantangnya cenderung akan mendapatkan kekalahan.

Perbandingan Paritas dan Preponderasi

Paritas dan Preponderasi memiliki kesimpulan yang bertentangan apabila keduanya dicoba untuk
disatukan. Kesimpulan yang bertentangan adalah mengenai distribusi kekuasaan yang mana yang lebih
buruk. Sebagai contoh Perang Dunia dan juga Perang Napoleon yang merupakan bukti dari lemahnya
argumen keseimbangan kekuatan. Salah satu cara untuk menyelesaikan dilemma permasalahan ini
adalah dengan mendefinisikan titik tengah antara paritas dan preponderasi sebagai yang paling stabil.

Agresi yang mengikutsertakan paritas didalamnya yang membuatnya menjadi tidak stabil dan efektif
yang menyebabkan negara bagian yang berkepentingan optimis akan menang. Titik tengah antara
paritas dan preponderasi semakin stabil dikarenakan telah menghalangi agresi dari kedua sisi.

Polaritas dalam Realisme

Kaum realis telah memperkenalkan konsep polaritas dalam hubungan internasional


yang berkaitan dengan sistem internasional yang ada. Polaritas merupakanlah
persebaran sebuah kekuasaan dalam sistem internasional. Polaritas menjelaskan
tentang sifat sistem internasional berdasarkan rentang waktu tertentu. Polaritas
pada umumnya memiliki beberapa jenis sistem diantaranya unipolar, bipolar dan
multipolar. Perdebatan yang telah terjadi menyangkut system polaritas ini ialah mengenai
tentang distribusi kekuasaan dan mempertanyakan apakah distribusi bipolar atau
multipolar kah yang lebih stabil?

Seseorang dapat membedakan diantara sistem ini yang dimana system bipolar ketat hanya memiliki dua
kekuatan super, dan sedangkan pada sistem bipolar yang longgar memiliki dua kekuatan super dan
beberapa kekuatan besar juga. Sedangkan sistem internasional unipolar atau hegemonik, didominasi
oleh satu negara yang kuat
Melampaui Keseimbangan Kekuatan: Keamanan Kolektif

Setelah adanya konflik panjang seperti Perang Dunia, upaya-upaya yang dilakukan oleh negara-negara
terkemuka di dunia untuk menggantikan peran dari keseimbangan kekuasaan adalah dengan keamanan
kolektif. Konsep keamanan kolektif seringkali digunakan sebagai peluang untuk segala bentuk
pengaturan pertahanan multilateral. Keamanan kolektif menggambarkan suatu sistem dimana berbagai
negara ikut gabung bersama, biasanya dengan menandatangani perjanjian untuk meninggalkan
penggunaan kekuatan ataupun kekuasaan untuk menyelesaikan perselisihan yang ada antara satu sama
lain.

Anda mungkin juga menyukai