Anda di halaman 1dari 15

Pengantar Ilmu Hubungan

Internasional
*Pendekatan Positivist*

-Kelompok 7-
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
PRODI ILMU
HUBUNGAN
INTERNASIONAL

Anggota kelompok 7 :
Evita Fitria Sukma [190564201008]
Karina Salsa Fitria [190564201025]
Razeta Zahra [190564201030]
Yuniati Ningsih [190564201026]
Sejarah dari kemunculan sudut pandang positivis bermula pada pemikiran dari seorang filsuf yang memperkenalkan
ide-ide tentang positivisme, yaitu Claude-Henri de Saint-Simon. Saint-Simon merupakan orang pertama yang
memerkenalkan istilah positive philosophy. Pandangan tentang positivisme yang diutarakan oleh Saint-Simon
berkaitan dengan hasil penelitian yang berdasarkan pengamatan empiris terhadap manusia dan masyarakat (Turner,
2001: 31). Empirisme menjadi ide yang seringkali diajarkan pada era pencerahan abad 17 dan 18 sehingga mendorong
Aguste Comte memperkenalkan gagasan positivisme sebagai seorang ilmuan sosiologi waktu itu (Halfpenny, 2001:
371). Dalam bukunya yang berjudul Course of Positive Philosophy menjadi titik awal perkembangan pandangan
positivisme dalam peradaban manusia.
Pendekatan Positivist
Kontroversi yang terdapat di dalam sebuah disiplin akademik akan
dapat menciptakan sebuah perdebatan didalamnya seperti pada
Ilmu Hubungan Internasional contohnya, Permasalahan tersebutlah
yang mendasari adanya pertukaran pemikiran antara ‘pendekatan
klasikal’ dengan ‘pendekatan saintifik’. Oleh karena itu, para kaum
behavorialis mencari data yang bersifat empiris. Berbeda dengan
tradisionalis yang berupaya untuk memahami HI sebagai ilmu
dasar yang bersifat kompleks yang dipelajari berdasarkan adanya
dilemma terhadap kebijakan luar negeri, diplomasi, hukum, teori
dan sejarah yang dimana semuanya mendasari pada cara
kemanusiaan.
Dengan cara meyakini bahwa studi ilmu HI merupakan studi yang
berisikan fakta-fakta dalam penelitian yang bersifat objektif dan
dapat diuji dengan berdasarkan teknik-teknik yang digunakan
dalam penelitian ilmiah yang akurat. Ambisi kaum behavioralis
dalam berupaya untuk menjadikan HI sebagai dasar dalam analisis
ilmiah yang dikenal sebagai ‘positivisme’
Think about it!
POSITIVISME
Positivisme memiliki pengertian sebagai Positivisme memiliki ambisi untuk
sebuah sudut pandang yang memisahkan menyatukan berbagai macam
antara metafisika dan sesuatu yang dapat pengetahuan ke dalam suatu “unified of
diamati secara empiris. Metafisika science” yang merupakan sebuah
merupakan fenomena yang tidak dapat pemikiran ala Barat. Salah satu dampak
diamati dan dirasakan secara nyata oleh dari adanya gerakan positivisme adalah
semua indera manusia, sehingga menjadi munculnya kaum Behavioralis di akhir
kebalikan dari empirisme. Halfpenny 1950-an dan awal 1960-an. Kaum
(2001: 372) menjelaskan positivism Behavioralis mendorong studi HI ke arah
memiliki logika krusial pada pembatasan terciptanya teori yang bersifat dapat
pengetahuan yang disebut sebagai memprediksi atau meramal.
saintifik yakni antara opini dan takhayul,
serta dari metafisik ke yang lebih umum
(Halfpenny, 2001: 372).
lLanjutan

Behavioralis berupaya membuat sebuah hukum yang Behavioralis dituntut agar mampu memformulasikan
bersifat universal atas fenomena HI. Para behavioralis “hukum-hukum” yang bersifat objektif untuk
akan selalu terus mencari tahu agar didapatkannya menjelaskan fenomena yang terjadi dalam social di
sebuah struktur atau pola yang memiliki siklus yang lingkup dunia, dengan dilakukannya pengumpulan
berulang atas fenomena internasional. Oleh karena itu, data empiris tentang fakta, yang biasanya disajikan
teori HI harus terus dikembangkan, dan dikaji agar dalam bentuk angka agar dapat dijadikan pengukuran,
diperoleh sebuah generalisasi.Maka dari itu, secara klasifikasi, dikarenakan para behavioralis lebih
epistemologis, behavioralisme mengarah pada cenderung tertarik pada fakta yang dapat diukur dalam
pendekatan saintifik yang tujuannya adalah agar dapat bentuk angka agar dapat dihitung dengan akurat
mempelajari pola-pola dan kecenderungan sehingga sehingga mampu menghasilkan pola yang berulang
dapat dijadikan sebuah prediksi bahwa apa yang yaitu hukum-hukum yang terdapat dalam hubugan
mungkin selanjutnya akan terjadi dalam hubungan internasional.
internasional.
Menurut Waltz, teori HI haruslah teori yang memiliki sifat empiris,
dikarenakan dengan menggunakan teori yang empiris akan lebih mudah
dalam memprediksi perilaku politik internasional. Berikut merupakan
langkah-langkah yang digunakan untuk membentuk keilmiahan teori menurut
Waltz, sebagai berikut :

1. Menyatakan teori yang akan diuji


2. Membuat hipotesis dari teori tersebut
3. Menempatkan hipotesis tersebut pada uji eksperimental atau
observasional
4. Pada saat melakukan cara kedua dan ketiga, gunakan definisi dari istilah
yang ditemukan dalam teori yang sedang diuji
5. Mengembangkan sejumlah pengujian yang berbeda dan menekan
6. Apabila pengujian tersebut gagal, dipikirkan lagi apakah teori tersebut
gagal sepenuhnya, apakah hanya membutuhkan perbaikan dan uraian baru
atau memerlukan penyempitan ruang lingkup dari pernyataan eskplanatori.

Namun, teori Waltz ini memiliki kecenderungan yang sangat belebihan dan
dilihat seperti ingin melepaskan konteks pada saat penelitian yang
dilangsungkan dengan harapan agar bisa menemukan sebuah fakta yang
objektif dan bebas nilai sehingga tampak seperti sebuah pemberian.
Ilmu HI sudah didominasi oleh positivisme selama 40 tahun lamanya. Positivisme diartikan sebagai pendekatan yang
berupa pengetahuan (epistemologi) dalam hubungan internasional yang menyiratkan penilaian terhadap hukum dari
sebuah metodologi. Nicholson (1996) mempercayai bahwa epistemologi sangat berguna untuk mebuat generalisasi
pada dunia sosial, termasuk pada sistem internasional yang dapat diverifikasi. Selain itu, positivis percaya bahwa studi
tersebut seharusnya bersifat empiris sehingga dapat diuji berdasarkan bukti dari hasil observasi.
Oleh karena itu positivis menuntut bahwa kajian ilmu tersebut harus memenuhi syarat-syarat empiris yang telah
ditentukan agar nantinya dapatberkembang sebagai studi yang baik, akurat, dan bersifat empiris.
Positivisme juga selalu dihubungkan dengan peneliti yang memiliki
analisis data kualitatif. Maka dari itu, positivism selalu terikat terhadap
sebuah teori dan fakta. Kaum positivis juga beranggapan bahwa fakta
yang benar adalah fakta yang harus bisa dipertanggung jawabkan
berdasarkan dari observasi data tersebut maka sebuah teori dapat
diikutsertakan. Meskipun demikian, pada realitanya dalam melakukan
observasi seorang peneliti juga perlu menggunakan teori dikarenakan
dapat memudahkannya dalam mencari penyelesaian dengan
menggunakan data.
Positivisme juga selalu dihubungkan dengan peneliti yang memiliki analisis data kualitatif. Maka dari itu, positivism
selalu terikat terhadap sebuah teori dan fakta. Kaum positivis juga beranggapan bahwa fakta yang benar adalah
fakta yang harus bisa dipertanggung jawabkan berdasarkan dari observasi data tersebut maka sebuah teori dapat
diikutsertakan. Meskipun demikian, pada realitanya dalam melakukan observasi seorang peneliti juga perlu
menggunakan teori dikarenakan dapat memudahkannya dalam mencari penyelesaian dengan menggunakan data.
Kajian utama dalam pendekatan positivisme ialah pada ilmu
pengetahuan sebagai kajian yang mendasarkan pada
berbagai bukti-bukti ilmu yang dapat diobservasi. Sehingga
metode yang paling tepat digunakan dalam pendekatan
positivisme ialah metode scientific yaitu menggunakan
instrumen pengukuran. Dapat disimpulkan bahwa kaum
poitivis tidak hanya memerlukan ilmu eksakta namun juga
sangat diperlukannya ilmu sosial dengan perhitungannya
yang spesifik.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang harus bersifat bebas nilai dan objektif,
positivism justru tidak dapat mengabaikan moralitas, terlebih lagi HI merupakan
kajiam ilmu sosial yang menjadikan manusia sebagai titik fokusnya seperti
pada peperangan beserta perdamaian. Namun positivis juga berpendapat
bahwa pernyataan empiris meskipun netral akan nilai, tetapi dalam konteks
sosial haltersebut juga berujung pada konsekuensi atau tanggung jawab. Oleh
karena itubanyak ilmuwan yang skeptis bahwa hubungan manusia dapat
dijadkan sebagai penelitian yang ilmiah. Pembahasan dalam HI sendiri memiliki
focus terhadap isu-isu yang memiliki hubungan dengan ikatan atau perasaan
moral yang kuat, dan mereka juga mempercayai akan pentingnya sebuah
kebenaran, sehingga kesenjangan, peperangan dan juga kemiskinan dapat
memiliki jalan keluarnya.
Meskipun demikian positivism hingga pada saat ini kurang terdefinisikan ada
dalam teori HI, dikarenakan adanya tiga syarat umum untuk menggunakan istilah
tersebut, yang diantaranya sebagi berikut :

1. Positivisme dianggap sama dengan empirisme, yang dimana melihat


semuanya sebagai sebuah epistemologi
2. Positivisme dilihat melalui sudut pandang metodologis didefinisikan peraturan
dari sebuah praktek sains ataupun sebuah studi
3. Positivisme disamakan dengan behaviouralisme yang didefinisikan dengan
adanya ketergantungan yang erat terhadapdata kuantitatif sebagai dasar
pengetahuan
Kami menyimpulkan bahwa positivisme telah lama
mewarnai dinamika studi HI. Hal ini terlihat dalam
salah satu perdebatan besar HI yang menitikberatkan
pada metodologi, yaitu antara tradsionalis dan
behavioralis. Melalui gerakan revolusi behavioralis,
studi ilmu HI dikaji lebih objektif dari sebelumnya
dan juga memperbolehkan adanya metode penelitian
kuantitatif. Positivis sendiri dianggap memiliki
perbedaan sedikit dari saintifik yaitu pada sifat
moralitasnya yang bebas nilai dan penting karena
bentuk pragmatis dapat memudahkan mencari solusi soal
peperangan dan perdamaian. Maka positivisme diartikan
sebagai sebuah sistem filosofi yang bertumpu pada
dasar pemikiran pengalaman dan pengetahuan empiris
dari fenomena yang telah dialami, sehingga menlak hal-hal
yang berkaitan dengan teologi dna metafisika
Terimakasih
*mohon maaf jika terjadi banyak kesalahan*

Anda mungkin juga menyukai