Anda di halaman 1dari 9

Resume Bacaan

Morgenthau, H.J. (1948) Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New
York: Alfred A. Knoff. (Limitations of International Power: Balance of Power)
Kelompok 2
Anggota:
1. Adre Anggia Rizky Alir Rahma (11201130000001)
2. Afnani  Hibatillah Syauqina (11201130000002)
3. Aulia Rahmi Sofiyatin (11191130000008)
4. Shafira Khairunnisa A. (11201130000014)
5. Aurora Saubil Navira (11201130000040)

CHAPTER IX

The Balance of Power

Dalam kepentingan internasional, keseimbangan kekuasaan hanyalah bentuk perwujudan


spesifik dari prinsip sosial umum, yakni:

a) Masyarakat terdiri dari individu otonom yang memiliki ketergantungan kepada


keberlangsungan masyarakat itu sendiri;
b) Selain tak terhindarkan, ekuilibrium kekuasaan dan kebijakan yang mempunyai tujuan
melestarikan dirinya, kekuasaan, dan kebijakan itu sendiri, juga merupakan faktor
penstabil yang krusial pada rakyat di negara itu;
c) Ketidakstabilan bukan disebabkan oleh kesalahan prinsip, melainkan karena situasi
dan kondisi yang mengharuskan prinsip dijalankan.
1. EKUILIBRIUM SOSIAL

Persamaan kata “ekuilibrium” ialah “keseimbangan” meski kedua kata tersebut


bersaudara, “ekuilibrium” digunakan dalam rumpun ilmu sains dan ilmu sosial. Semisal
dalam tubuh manusia, ketika kita mengalami pertumbuhan, keseimbangan akan tetap ada
selama perubahan itu tidak mengganggu stabilitas tubuh kita. Namun, ketika keseimbangan
itu terganggu, maka tubuh akan mampu membangun kembali keseimbangannya dalam taraf
yang sama atau berbeda dari sebelumnya. Jadi, jika terjadi gangguan sistem mampu
membangun kembali keseimbangan yang orisinil ataupun baru.
Menurut Morgenthau, ada dua asumsi dasar dari semua keseimbangan tersebut. Pertama,
bahwa elemen-elemen yang diseimbangkan diperlukan untuk masyarakat atau berhak untuk
hidup. Kedua, bahwa tanpa keadaan keseimbangan di antara mereka, satu elemen akan
menguasai yang lain, melanggar batas atas kepentingan, dan hak mereka, hingga pada
akhirnya dapat menghancurkannya. Oleh karena itu, tujuan keseimbangan bukan hanya
menjaga stabilitas, lebih dari itu. Keseimbangan harus mampu menjaga elemen-elemen
penyusunnya.

2. DUA POLA UTAMA KESEIMBANGAN KEKUASAAN

Dalam lingkup internasional, perebutan kekuasaan dapat dilakukan dalam dua pola
utama. Pertama, pola oposisi langsung. Contohnya, bangsa A melakukan imperialisme
terhadap bangsa B. Namun, bangsa B melakukan oposisi yang didasarkan oleh kebijakan
imperialisnya (status quo) sendiri. Maka dalam kasus ini keseimbangan kekuasaan tercipta
antara bangsa A yang meningkatkan kekuatannya untuk mengontrol bangsa B, serta B
meningkatkan kekuatannya untuk menggagalkan kebijakan bangsa A. Kedua, pola
persaingan. Ketika dua bangsa memperebutkan satu bangsa lainnya. Misalnya, bangsa A
memburu bangsa C dengan imperialism, ternyata bangsa B mengekor pada bangsa C dalam
kebijakan imperialis. Tentu bangsa B enggan merelakan bangsa C karena ingin
mempertahankan kebijakan imperialisnya. Jadi bangsa A dan bangsa B bersaing dengan
objek utamanya ialah dominasi bangsa C. Dalam pola ini keseimbangan kekuasaan terjadi
antara bangsa A dan bangsa B yang saling meningkatkan kekuatan untuk tujuannya masing-
masing.

Apabila keseimbangan kekuasaan tersebut berhasil, maka dua fungsi keseimbangan


kekuasaan dapat tercapai. Pertama, fungsi stabilitas hubungan kekuasaan antar negara, meski
pada hakikatnya keseimbangan tidaklah stabil. Kedua, fungsi memastikan kebebasan bangsa
lain dari dominasi bangsa lainnya.
CHAPTER X

Different Methods of the Balance of Power

Menurut Morgenthau, untuk mencapai keadaan seimbang bisa dilakukan dengan


mengurangi kekuatan yang lebih berat atau menambah kekuatan yang lebih ringan. Terdapat
lima metode dalam pencapaian keadaan balance of power, yaitu:

1. DIVIDE AND RULE

Teknik memecah dan menguasai (divide and rule) digunakan oleh negara yang mencoba
membuat atau mempertahankan saingan mereka tetap lemah dengan cara memecah belah
kekuasaan mereka atau mempertahankan agar kekuasaan mereka tetap terpisah.

2. COMPENSATIONS

Kompensasi atau ganti rugi (compensations) wilayah digunakan untuk mempertahankan


keseimbangan kekuasaan yang terganggu oleh pengambilalihan wilayah oleh negara lain.
Kebijakan kompensasi wilayah didasarkan pada penilaian standar total, kualitas, dan tipe
populasi. Kompensasi tidak berbentuk penyerahan langsung kedaulatan sebuah wilayah,
melainkan keuntungan eksklusif eksploitasi sebuah wilayah dalam bentuk komersial, politik,
militer, dan akhirnya pembentukan kedaulatan. Jadi, suatu negara memiliki hak tanpa
memiliki status kepemilikan penuh, untuk mengatur dan beroperasi dalam wilayah
kekuasaannya tanpa kompetisi atau oposisi dari negara lain.

3. ARMAMENTS

Penggunaan angkatan bersenjata (armaments) merupakan prinsip utama suatu negara


dengan kekuatan yang dimilikinya untuk mempertahankan atau mendirikan kembali
keseimbangan kekuasaan. Kondisi keseimbangan kekuasaan yang tidak stabil terjadi karena
perlombaan persenjataan, dimana negara A berusaha mengejar kemudian melampaui
persenjataan negara B dan sebaliknya. Percobaan berulang kali dilakukan untuk meraih
keadaan damai yang permanen dengan cara pengurangan persenjataan yang proporsional
diantara negara-negara yang bersaing. Dalam teknik ini diperlukan evaluasi kuantitatif atas
perubahan terjadinya pelucutan senjata suatu negara (136. Namun, kesulitan atas evaluasi
yang tidak seimbang (seperti kekuatan militer prajurit Perancis 1932 dengan kekuatan militer
industri Jerman) membuat teknik ini gagal dalam menciptakan keseimbangan kekuasaan yang
stabil.

4. ALLIANCES

Manifestasi paling penting dalam keseimbangan kekuasaan ditemukan dalam relasi antar
negara maupun antar aliansi (alliances). Terdapat dua bentuk perebutan kekuasaan dengan
sistem aliansi. Pertama, sistem “alliances vs world domination” keseimbangan kekuasaan
sebagai alat perlindungan aliansi negara (ingin merdeka) (hlm.137) melawan rancangan suatu
negara untuk menguasai dunia. Kedua, sistem “alliances vs counter alliances”, oposisi antara
dua aliansi, satu atau keduanya mengejar tujuan imperialis dan membela independensi
negara-negara mereka melawan aspirasi imperialis koalisi lain. Aliansi dalam keseimbangan
kekuasaan sering tidak pasti dalam bertindak karena mereka bergantung pada pertimbangan
politik masing-masing negara.

5. THE “HOLDER” OF THE BALANCE

Dalam situasi keseimbangan kekuasaan terdapat dua variasi yang mungkin terjadi. Dalam
suatu sistem bisa terdapat dua sisi, dimana bisa ditemukan sebuah negara atau negara-negara
yang mempunyai kebijakan status quo atau imperialis yang sama. Namun, sebuah sistem
bisa saja terdiri dari 2 sisi dengan tambahan elemen ke-3, yaitu balancer atau penentu
keseimbangan. Penentu keseimbangan berganti sisi dengan bebas tergantung sisi mana yang
lebih ringan. Penentu keseimbangan bisa menjadi teman dan lawan semua kekuatan besar,
dengan syarat mereka mengancam keseimbangan dengan mendominasi negara lain kemudian
terancam oleh pihak lain yang akan mendominasi. Walaupun penentu keseimbangan tidak
mempunyai sekutu permanen, ia juga tidak mempunyai musuh permanen. Penentu
keseimbangan disebut wasit karena memegang posisi penting dalam sistem keseimbangan
kekuasaan dan menjadi penentu pemenang dalam perebutan kekuasaan.
CHAPTER XI

The Structure of the Balance of Power

1. DOMINANT AND DEPENDENT SYSTEMS

Keterkaitan antara sistem yang berbeda merupakan salah satu subordinasi dalam arti yang
satu mendominasi karena akumulasi bobot yang relatif besar dalam timbangannya, sedangkan
yang lain seolah-olah melekat pada timbangan sistem dominan itu.

Pada abad ke-16, keseimbangan kekuasaan dominan beroperasi antara Perancis dan
Hapsburg, sementara pada saat yang sama sistem otonom menjaga negara-negara Italia tetap
seimbang. Akhir abad ke-17, keseimbangan kekuasaan yang terpisah berkembang di Eropa
Utara karena tantangan kebangkitan kekuatan Swedia yang dihadapi negara-negara,
berdekatan dengan Laut Baltik.

Transformasi Prusia menjadi kekuatan kelas satu di abad ke-18 menghasilkan


keseimbangan kekuasaan Jerman, skala lainnya menjadikan Austria sebagai bobot utamanya.
Abad ke-18, perkembangan keseimbangan kekuasaan Eastern disebabkan oleh kekuasaan
Rusia. Pembagian Polandia berdasarkan prinsip kompensasi antara Rusia, Prusia, dan Austria
adalah manifestasi spektakuler pertama dari sistem baru tersebut.

Abad ke-19 hingga saat ini keseimbangan kekuasaan di Balkan menjadi perhatian bangsa-
bangsa di Eropa. Akhir abad ke-19 orang-orang berbicara tentang keseimbangan kekuasaan
Afrika dengan mengacu pada keseimbangan tertentu di antara akuisisi kolonial dari kekuatan-
kekuatan besar.

2. STRUCTURAL CHANGES IN THE BALANCE OF POWER

Hubungan antara keseimbangan kekuasaan dengan sistem lokal telah menunjukkan


kecenderungan yang semakin meningkat untuk berubah sehingga merugikan otonomi sistem
lokal. Perkembangan ini terletak pada perubahan struktural yang telah dialami oleh
keseimbangan kekuasaan yang dominan sejak Perang Dunia Pertama dan menjadi nyata
dalam Perang Dunia Kedua. Penyempurnaan ekspansi terjadi melalui pergeseran bobot utama
neraca dari Eropa ke benua lain. Ketika Perang Dunia Pertama 1914 bobot utama dalam
neraca didominasi oleh Eropa: Inggris Raya, Perancis, dan Rusia dalam satu skala, Jerman
dan Austria di skala lain. Akhir Perang Dunia Kedua bobot utama dalam setiap skala
seluruhnya non-Eropa, seperti kasus AS, atau non-Eropa seperti kasus Uni Soviet, akibatnya
seluruh struktur keseimbangan kekuasaan dunia berubah.

Saat ini keseimbangan kekuasaan Eropa tidak lagi menjadi pusat politik dunia, dimana
keseimbangan lokal akan mengelompokkan dirinya sendiri dalam otonomi yang lebih kecil
atau lebih besar. Keseimbangan kekuasaan Eropa menjadi fungsi dari keseimbangan dunia,
dimana AS dan Uni Soviet menjadi bobot utamanya, ditempatkan pada skala yang
berlawanan. Distribusi kekuasaan di Eropa salah satu masalah konkret yang sedang
mengalami perebutan kekuasaan antara AS dan Uni Soviet.
CHAPTER XII

Evaluation of the Balance of Power

1. THE UNCERTAINTY OF THE BALANCE OF POWER

Sebuah gagasan “a balance among a number of nations” yang memiliki tujuan mencegah
salah satu negara menjadi cukup kuat untuk mengancam kemerdekaan negara lain, hanya
merupakan sebuah kiasan yang diambil dari metode di lapangan. Hal ini sesuai dengan cara
berpikir abad ke-16, ke-17, dan ke-18 mereka lebih tertarik menggambarkan masyarakat dan
seluruh alam semesta sebagai “a gigantic mechanism, a machine or a clockwork, created,
and kept in motion by the divine watchmaker”. Gagasan ini merupakan hubungan timbal balik
dari masing-masing bagian yang dipercaya dan ditentukan dengan tepat melalui mechanical
calculation.

Tetapi, apakah kekuatan suatu negara dilihat pada luas wilayahnya? apakah sebuah
negara menjadi lebih kuat karena wilayahnya yang luas? “Our examination of the factors
which makes for the power of a nation has shown that the answer can be in the affirmative
only with qualifications so far reaching as almost to nullify the affirmative character of the
answer”. Misalnya, wilayah Perancis menjadi lebih besar pada akhir pemerintahan raja Louis
XIV dibandingkan awalnya. Abad ke-18 muncul seorang penentang balance of power yang
mencoba melihatkan “the absurdity of the calculation” yang umum digunakan saat itu.
Ketidakpastian perhitungan sejak awal sudah melekat di sifat kekuasaan nasional. Oleh
karena itu, the uncertainty berperan dalam pola balance of power yakni jika satu negara
melawan negara lain. The uncertainty tidak bisa diukur jika skala di satu atau kedua-nya tidak
tersusun atas unit tunggal, melainkan hanya satu aliansi.

2. THE UNREALITY OF THE BALANCE OF POWER

“This uncertainty of all power calculations not only makes the balance of power
incapable of practical application, it leads also to its very negation in practice.” karena tidak
ada negara yang yakin perhitungan distribusi kekuasaannya pada saat tertentu benar,
setidaknya mereka harus memastikan jika terjadi kemungkinan kesalahan, mereka akan
mengabaikannya supaya tidak merugikan negara mereka dalam konteks perang. Mereka
harus menyiapkan paling tidak “a margin of safety” jika kemungkinan salah perhitungan dan
bisa tetap mempertahankan balance of power. Karena tidak ada negara yang yakin sebesar
apa kesalahan perhitungan mereka, pada akhirnya semua negara harus mencari “the
maximum of power”. Karena keinginan untuk mencapai kekuatan maksimum adalah
universal, semua negara harus selalu hati-hati dengan kesalahan perhitungan yang dilakukan
dengan perkembangan kekuatan negara lain. Selamanya akan mustahil untuk membuktikan
atau menyangkal klaim bahwa menstabilkan balance of power bisa membantu menghindari
banyak perang, karena seseorang tidak dapat mengubah arus sejarah, mengambil sebuah
anggapan sebagai titik tolak seseorang. Tetapi, meskipun tidak ada yang tahu berapa banyak
perang yang akan terjadi tanpa balance of power, tidak sulit jika melihat sebagian besar
perang yang pernah terjadi sejak awal “modern state system have their origin in the balance
of power”.

Kesulitan dalam menilai dengan benar kedudukan relatif kekuasaan negara telah
menjadikan keseimbangan kekuasaan sebagai salah satu ideologi yang menguntungkan dalam
international politics. Kemudian muncul istilah yang digunakan dengan cara yang sangat
bebas dan tidak tepat, jika sebuah negara ingin membenarkan salah satu langkahnya di dunia
internasional, hal ini cenderung mengarah pada “serving the maintaining or restoration of the
balance of power”. Perlu dicatat bahwa penggunaan ideologi sebagai “power lends” bukan
omongan semata. Karena terdapat kontras antara “pretended precision and the actual lack of
it” dengan “pretended aspiration for balance and the actual aim of predominance”, bahwa ini
adalah inti dari the balance of power.

3. THE INADEQUACY OF THE BALANCE OF POWER

Ketidakmampuan dari keseimbangan kekuasaan diharapkan dan dibenarkan dari setiap


orang untuk berbagi standar tersebut. Keinginan perang agama menyerah pada rasionalisme
dan keraguan. Kebencian nasional dan permusuhan hampir tidak dapat berkembang. Motif
egois yang mendorong semua orang untuk melakukan tindakan serupa. Kemudian masalah
keterampilan dan keberuntungan menjadi yang teratas. Ketakutan terhadap revolusi dan
pembaruan imperialisme Perancis memanggil moralitas aliansi suci, kristen, monarki, Eropa,
dan LBB pada akhir abad ke-19 menambah gagasan negara nasional. Gagasan ini menjadi
salah satu prinsip landasan, dimana generasi-generasi berikutnya dari revolusi liberal dari
tahun 1848 hingga pecahnya Perang Dunia Kedua, untuk menegakkan sistem politik yang
stabil. Dengan demikian, balance of power atau keseimbangan kekuasaan muncul sebagai
sistem politik internasional yang “which assumes a reality and a function that it actually does
not have, and which, therefore, tends to disguise, rationalize, and justify international
politics as it actually is”.

Anda mungkin juga menyukai