Anda di halaman 1dari 6

SISTEM POLITIK DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT

WAR POLICY BETWEEN US-CHINA IN PROVING THE POWER TRANSITION


THEORY

Disusun Oleh

Nur Afifah Ramadhani Musa E061211031

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2023
A. Pendahuluan

1. Over View

Dalam tulisan ini, penulis akan menjelaskan perihal fenomena perang kebijakan antara
Amerika Serikat dan Cina dalam menghadapi abad 21 kemajuan Cina. Amerika Serikat
dalam beberapa dekade belakangan telah menghadapi dilema akan kemajuan Cina.
Kemajuan Cina dalam 3 poin dalam mengukur kekuatan sebuah negara yaitu segi
industrialisasi, populasi dan militer jelas memberikan kekhawatiran kepada Amerika
Serikat dalam mempertahankan hegemonnya. Per tahun 2022, Cina dengan 1.426 juta jiwa
berhasil menjadi negara dengan populasi terbanyak di dunia. Cina dengan jumlah warga negara
yang 4 ½ kali lebih banyak daripada AS. Hal ini menjadi komponen yang penting dalam PTT atas
potensi yang dapat dimanfaatkan dalam memajukan perkembangan ekonomi dan kemampuan
militer. Contoh akan keberhasilan Cina dalam memanfaatkan bonus demografi dengan cara
mengembangkan industri-industri rumahan yang berfokus pada peralatan elektronika yang pada
akhirnya juga berhasil menyediakan begitu banyak lapangan pekerjaan. Pada bidang ekonomi, per
tahun 2000 pertumbuhan ekonomi Cina jika dibandingkan AS hanya terbilang sepersepuluh dari
PDB AS. Nampak mulai dari tahun 2000-an hingga sampai sekarang pertumbuhan ekonomi Cina
kian maju . Bahkan jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi AS dalam periode yang sama,
pertumbuhan ekonomi AS terbukti lebih sedikit eksplosif.dengan rata rata peningkatan GDP sebesar
10,2% Cina mencapai pertumbuhan ekonomi 4 kali lebih tinggi dari AS. Terkhususnya pada masa
kepresidenan Trump, berbagai kebijakan mulai dikeluarkan sebagai counter balance AS dalam
mempertahankan posisi hegemonnya. Kebijakan-kebijakan dari Trump berupa Tarif war Policy
yang bertujuan untuk menciptakan nuansa perang dagang dengan Cina, hal ini juga bertujuan untuk
melindungi industry domestic US dari kemajuan Cina. Bahkan AS membuat kebijakan dimana AS
menerapkan tarif sebesar 25% atas 279 produk yang berasal dari Cina. Produk ini berupa produk
plastik, sepda motor, skuter elektrik, produk kimia dan semikonduktor. Dilansir oada CNBC,
Amerika tercatat meningkatkan bujet militernya hingga 768 Miliar US Dolar dan Amerika juga
berhasil dalam meningkatkan populasi penduduknya dalam kurun waktu tahun terakhir. Segala
kebijakan AS ini tentu saja patut untuk diulas terkait efektivitas kebijakan yang dikeluarkan dan
pengaruh aktor-aktor terkait pembuat kebijakan ini. Maka dari itu, penulis akan mulai dengan
menjelaskan kerangka konsep dari Power Transition Theory lalu ke menganalisis
efektivitas pendekatan Amerika Serikat terhadap Cina dan peran aktor dibelakangnya.
2. Kerangka Konsep
- Power Transition Theory

Amerika Serikat, merupakan negara yang dapat dikatakan tengah memegang tahta tertinggi.
Amerika disebut sebagai negara hegemon yang memiliki dominasi yang berpengaruh terhadap negara-
negara di bawahnya baik dalam lingkup politik, ekonomi, militer, dan lain sebagainya. Di era ini, Cina
dikabarkan tengah mengejar status yang dimiliki oleh Amerika dengan cara terus meningkatkan
kekuatannya. Hal inilah yang kemudian dapat disebut sebagai suatu transisi kekuasaan kekuatan besar
dunia. Bagaimana suatu negara ingin mengejar dan menggantikan tahta “hegemoni” negara lain. Jika
kita melihat secara sekilas, hal tersebut merupakan hal yang sangat biasa terjadi di kalangan negara-
negara besar dunia, namun ketika kita perhatikan lebih detail, hal ini tentu dapat memicu permasalahan
yang sangat besar. Sesuai dengan teori transisi kekuasaan yang dikemukakan oleh Abramo Fimo
Kenneth Organski, yang merupakan seorang profesor ilmu politik di Universitas Michigan, yang
kemudian dijabarkan lebih detail dalam bukunya yang berjudul “The War Ledger” bersama dengan
Jacek Kugler, yang merupakan seorang ilmuwan politik Amerika terkemuka, yang menjelaskan dan
memberikan pemahaman bahwa dalam proses observasi fundamental Power Transition, kemampuan
negara dalam melakukan pengembangan internal adalah berbeda-beda dan akan melejit naik ataupun
turun dalam skala relatif. Kemudian, sistem internasional akan ditentukan oleh negara yang dominan
(hegemon).

Organski serta Kugler juga memaparkan bahwa ketika pendistribusian serta peningkatan
kemampuan dan kekuatan politik, ekonomi, serta militer terjadi secara merata di kalangan negara-
negara yang bersaing, kemungkinan terjadinya perang akan sangat besar karena negara-negara tersebut
ingin menjadi pemenang, ingin menjadi yang paling mendominasi, dan ingin menjadi negara yang
memiliki pengaruh besar terhadap negara-negara lain. Atas dasar hal tersebut, mereka akan saling
meningkatkan kekuatannya bagaimanapun caranya. Teori transisi kekuasaan dianggap sebagai
pendekatan yang berfokus pada tingkat pertumbuhan dan pengaruhnya terhadap perubahan kekuatan
antar negara . Teori transisi kekuasaan ini diklaim bersifat struktural dan materialistik, yang diartikan
sebagai fenomena yang terjadi dalam suatu negara yang juga dapat diturunkan ke negara lainnya di
masa yang akan datang, seperti bagaimana kedepannya suatu negara akan berusaha untuk menjadi
negara yang paling berpengaruh di dunia. Ketika suatu negara menginginkan hal tersebut, maka mereka
akan membentuk serta meningkatkan kekuatan serta kekuasaannya. Ketika suatu negara memegang
kendali kekuasaan, ia bisa mengatur serta membentuk kebijakan apa saja yang juga dapat berimbas
kepada negara-negara lain di bawahnya.

Dalam ranah inilah kasus Amerika dan China ini bermain, sehingga banyak yang beranggapan
bahwa teori transisi kekuasaan kemudian akan memicu terjadinya konflik dan perang antar kedua
negara tersebut. Namun kemudian timbul rasa penasaran bahwa apakah tindakan yang dilakukan oleh
China untuk merebut posisi Amerika sebagai negara hegemon ini hanya semata-mata akan memicu
terjadinya peperangan antar dua negara besar, atau adakah sisi lain yang dapat kita lihat dari kasus ini.

Penulis kemudian menemukan bahwa teori transisi kekuasaan kekuatan besar dunia hanya dapat
dilihat sebagai teori yang akan memicu terjadinya perang tidak selamanya benar. Transisi kekuasaan
dapat pula dilihat sebagai suatu hal dimana negara hanya ingin mengejar tahta “hegemoni” dalam ruang
lingkup tertentu. Hal ini dijabarkan dalam teori institusional liberalis yang menganalisis kasus transisi
kekuasaan ini dalam lingkup yang lebih luas. Berdasarkan teori ini, transisi kekuasaan tidak hanya
berputar pada bagaimana suatu negara ingin menjatuhkan negara lain sehingga dapat memecah
terjadinya perang, namun akan dilihat melalui sudut pandang yang berbeda . Perbandingan variabelnya
pun akan berbeda, karena dalam teori institutional liberalis, variabel yang dilihat adalah hal yang berupa
nilai, budaya, kebijakan, ataupun ekonomi suatu negara, yang kemudian akan diperbandingkan melalui
keterlibatan dengan lembaga internasional ataupun negara-negara lainnya sebagai bentuk penunjukkan
kekuasaan.

Siapakah negara yang akan menduduki tahta tertinggi akan dilihat melalui perbandingan tersebut.
Dengan demikian, teori transisi kekuasaan tidak akan selalu berputar dalam ranah perang, konflik,
ancaman, dan lain sebagainya. Jika kita memasukkan pendekatan teori lain ke dalam teori transisi
kekuasan ini, maka kita akan melihat berbagai sudut pandang dari negara, baik yang mempertahankan
posisi hegemoninya, maupun yang terlihat ingin merebut posisi hegemon tersebut. Analisis melalui
berbagai pendekatan teori memang sangatlah penting agar kita dapat memahami sejauh dan seberapa
besar dampak dari tindakan yang dilakukan oleh negara-negara, khususnya dalam situasi penunjukkan
pemilik kekuasaan dan kekuatan besar di dunia. Berdasarkan teori yang telah diulas diatas, kita tentu
perlu melihat situasi di lapangan atau dapat dikatakan studi kasus serta implementasi dari teori tersebut.
Apakah transisi kekuasaan kekuatan besar ini dapat dilihat sebagai suatu hal yang baik ataupun
sebaliknya

B. PEMBAHASAN
1. EFEKTIVITAS RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP PERANG
KEBIJAKAN DENGAN CINA

Sejak tahun 1970an, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat telah
berpusat pada Cina, hal ini dapat dilihat pada kebijakan perang dagang yang dilancarkan oleh
Amerika Serikat dalam masa kepresidenan Donald Trump, Kontra posisi dalam menghadapi
isu-isu dunia. Selama pemerintahan Obama, dapat dilihat bahwa Amerika Serikat melihat Cina
sebagai mitra dan bagaimana banyaknya upaya-upaya Amerika Serikat dalam menstabilkan
hubungan bilateral bersama Cina dibeberapa bidang. Akan tetapi, upaya dalam menstabilkan
Cina mulai nampak tidak berhasil melihat langkah Cina di Laut Cina Selatan. Hal ini menjadi
poin kekhawatiran dikarenakan kemungkinan Cina keluar dari ekspektasi tatanan global
dengan jumlah power yang kian meningkat. Sesuai dengan penjelasan Power Transition
Theory, bahwa posisi rising hegemon tidak akan bersifat mengancam jika ia setuju akan
ekspektasi tatanan global. Dalam hal ini bermaksud, Cina tidak kontra terhadap aturan
international order. Dalam pidato Xi Jinping mengatakan bahwa dia tidak ingin mengubah
tatanan internasional akan tetapi lebih ke melengkapinya sesuai dengan kepentingan Cina dan
negara berkembang lainnya. Namun, penting untuk mengingat bahwa tatanan internasional
bersifat statis dan dapat sewaktu-waktu berubah jika eksistensi rising hegemoni bangkit.
Sekarang Amerika Serikat dihadapkan akan pilihan kebijakan fundamental terkait strategi
menghadapi Cina. Apakah kebijakan yang dikeluarkan harus terkait perluasan dominasi udara
dan laut di Pasifik Barat? Atau mendorong aksi tanggung jawab negara inti dalam membantu
kawasan (re: Pasifik Barat) yaitu Cina. Walaupun, dalam konteks ini, pembaca mungkin masih
mempertimbangkan rivalitas dominasi Cina dan AS yang cukup sengit alih-alih sikap
menyambut dari AS. Cina sendiri dianggap bersedia dalam mengambil kepemiminan global
yang saat ini dilakukan Amerika Serikat

Kondisi kian mengecam melihat respon Amerika Serikat yang dianggap gagal dalam
merespon Cina. Dengan demikian, penulis akan lanjut mengulas efektivitas kebijakan Amerika
Serikat. Parameter akan efektivitas atau keberhasilan tidak boleh berdasarkan apakah kebijakan
tersebut berhasil mengubah perkembangan domestik luar negeri. Kebijakan keterlibatan
merupakan salah satu dari kebijakan yang bersifat soft attack dalam menghadapi Cina. Maka
dari itu hubungan AS-Tiongkok harusnya menjadi pusat perhatian kebijakan luar negeri AS
dengan cara melihat kasus ini dari perspektif realisme dan kreativitas. Kebijakan-kebijakan
yang telah dikeluarkan AS dilakukan melalui penyeimbangan militer yang konstan. Interaksi
diplomatik ekonomi untuk mempersempit perbedaan dan meningkatkan kerjasama. Akan tetapi
hal ini dinilai gagal terutama pada kasus di Laut Cina Selatan dengan bagaimana Cina secara
terang-terangan mengatakan bahwa mereka tidak akan mematuhi dan melanjutkan tindak
tindak mereka seperti arbitrasi PCA yang telah berjalan. Hal ini juga terlihat dengan bagaimana
Cina dapat mengalahkan dominasi AS di kawasan pasifik barat. Maka dari itu penulis
berpendapat bahwa Amerika Serikat perlu bersaing tanpa konfrontatif terhadap Cin adan tidak
mengharapkan perubahan ideologi yang akan dilakukan Cina.
Bibliography
Putra, B. A. (2019). INVALIIDITAS KONVERGENSI DAN INTEGRASI PADA PT
MENGHADAPI CINA ABAD XXI. Jurnal Liberty dan Uurusan Internasional, 1-9.
Baptisa, J. 2012. "Power Transitions and Conflict: Applying power transition theory and
liberalinstitutionalist theory to US-China relations." 1-76

Susanto, Polamolo. 2013. "Reformasi Konstitusi Indonesia: Fenomena Transisi Kekuasaan Oleh:
Susanto Polamolo ." Supremasi Hukum 98-124

Anda mungkin juga menyukai