Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Transformasi Global Vol. 7 No.

2 [2020]
Universitas Brawijaya

Rivalitas Negara Adidaya di Ruang Angkasa


Veronica Marsulina Situmorang
Universitas Brawijaya

ABSTRACT
International relations not only focused on cooperative relations but also rivalry
relationships that characterize the existence of competition to create progress in the global
system, whose primary goal is to prioritize the domestic interests of each competing state
actor. With all the demands for existing renewal, the modern world makes every country
compete fiercely to show self-esteem as a great country. After the cold war, the source of
world power has grown from being bipolar, namely the United States and the Soviet
Union, to becoming multipolar. This paper will focus on the competition between the
United States, and one of the countries predicted to become a new center of power in the
international world, namely China. China's rapid progress in various fields has made it even
more calculated and has become a new threat to the US as a superpower. Not only the
economy and defense, now China's progress is starting to develop in the field of space
control, and this is increasingly making the US-China rivalry relationship even more
complex. This paper will be explained with a descriptive-qualitative research method that
tries to describe in-depth and narrate the form of competition between the United States
and China in the control of space and its astropolitics strategy.

Keywords: rivalry, Astropolitik, great power, USA, China

PENDAHULUAN
Hubungan internasional telah melibatkan negara-negara di dunia dalam keadaan yang
konfliktual, adanya anarki dan kompleksitas lainnya berkaitan dengan human nature yang
ditunjukkan oleh setiap aktor. Hal ini menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri sebagai latar
belakang utama bagi suatu negara untuk terus melakukan gerakan yang berorientasi
kepentingan domestic untuk menunjukkan eksistensi sebagai negara yang kuat dan bertahan
ditengah keadaan global yang penuh dengan persaingan. Rivalitas yang terbentuk dalam
hubungan internasional saat ini menjadi suatu hal yang wajar dimana setiap negara akan
berupaya untuk mempertahankan kedaulatannya (sovereignty). Oleh karena itu, unsur
pertahanan dan keamanan tidak dapat dipisahkan terutama untuk mempersiapkan diri
menghadapi ancaman yang mungkin terjadi.
Pertahanan dan keamanan yang diupayakan sebagai kebijakan strategis yang dibuat
oleh negara-negara didunia semakin kompleks tidak hanya berkaitan dengan keamanan dalam
pengadaan militer di wilayah darat, laut dan udara, namun di era ini berkembang pada
penguasaan terhadap ruang angkasa. Aktivitas terkait penguasaan ruang angkasa, baik militer,
teknologi mutakhir, kebijakan dan strategi keseluruhan dari hal ini disebut dengan
“Astropolitic”. Fenomena globalisasi yang diiringi dengan perkembangan teknologi membuat
bidang keantariksaan dan hal-hal dalam aspek ruang angkasa dipandang sebagai suatu
determinan baru didalam politik internasional. Sebenarnya ruang angkasa telah menjadi suatu
dimensi aktivitas strategis sejak kegiatan eksplorasi ruang angkasa pada periode perang dingin
dimana persaingan ideologi, politik, dan hankam menjadi latar belakang dari persaingan
antariksa antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Keduanya memiliki kekuatan dalam
bidang teknologi dan penguasaan terkait ruang angkasa yang diakui dunia. Namun setelah
Uni Soviet runtuh dan kalah dalam perang dingin, Amerika Serikat mendominasi serta

[corresponding author: veronicams@student.ub.ac.id]


Jurnal Transformasi Global [293]

menjadi global leading power di bidang keantariksaan, bahkan bertahan hingga saat ini (Alvaretta,
2019).
Penguasaan terhadap ruang angkasa dianggap memiliki nilai lebih daripada area
penguasaan lainnya yakni darat, laut maupun udara. Hal ini dikarenakan penguasaan dataran
atau ruang yang lebih tinggi membuat jangkauan pemantauan menjadi luas dan jaminan
terhadap pencegahan dan kewaspadaan akan ancaman peperangan menjadi lebih terkontrol.
Situasi ini akan didukung dengan penciptaan teknologi tinggi dan negara yang mampu
melakukan penguasaan yang kuat atas ruang angkasa akan dianggap unggul dan sulit disamai
oleh negara lain. Hal ini menjadi faktor strategis yang menentukan peningkatan kemampuan
militer terpadu oleh suatu negara, sekaligus menandai bahwa orientasi kepentingan eksplorasi
ruang angkasa yang semula sifatnya riset dan damai, saat ini mulai digunakan sebagai
instrumen power dan militer.
Dalam beberapa dekade pasca perang dingin, Amerika Serikat melakukan eksplorasi
dengan tetap memegang predikat sebagai yang terunggul dalam bidang keantariksaan. Hal ini
tidak terlepas dari keberadaan dan produktivitas NASA sebagai badan antariksa nasional
milik Amerika Serikat yang bertanggung jawab untuk melakukan penelitian dan juga
pengembangan yang berkaitan dengan ruang angkasa, termasuk pengembangan space weaponry
(Triarda, 2015). Namun sejak munculnya China yang sangat gempar melakukan
pengembangan dan kebangkitan Tiongkok dalam motto pembangunan terutama yang
dibawa oleh presiden Xi Jinping yakni China’s Dream, China mulai menunjukkan eksistensinya
sebagai pemain baru yang tidak hanya unggul dalam bidang seperti ekonomi dan perdagangan
yang sempat mengancam Amerika Serikat dalam persaingan pasar global hingga terbentuknya
perang dagang diantara keduanya. Kini China mulai menunjukkan eksistensinya pula dalam
bidang keantariksaan. Meskipun dikatakan sebagai pemain baru, kebolehan China tidak dapat
diremehkan dimana mereka mulai menunjukkan peningkatan kapasitas yang pesat dan
mampu bersaing secara kualitas dengan Amerika Serikat. Strategi, program dan kebijakan
pemerintah China terhadap astropolitik-nya cenderung ambisius dan banyak ditujukan untuk
menggoyangkan supremasi Amerika Serikat (Dillow, 2017). Kondisi ini membuat Amerika
Serikat mengalami tekanan dan merasa tersaingi oleh China meskipun dengan pergerakan
yang bertahap. Dan pada akhirnya lahirlah kompetisi dan hubungan rivalitas yang sengit
bernuansa militer juga teknologi antar kedua negara.
Perkembangan teknologi ruang angkasa China yang semakin bergerak maju
menghasilkan implikasi persaingan yang cukup mengancam. Hal ini yang disebut dengan
implikasi security dilemma yang oleh John Herz (1951) merupakan gagasan struktural bahwa
kemandirian negara untuk mengurus keamanannya sendiri, cenderung memicu
ketidaknyamanan di negara lain karena masing-masing negara menganggap tindakan yang
diambilnya bersifat defensive dan tindakan yang diambil negara lain bersifat mengancam
(Herz, 1951). Secara nyata hal ini ditunjukkan dalam persaingan antara Amerika Serikat dan
China, dimana dalam perspektif China, keaktifan Amerika Serikat dalam dominasinya di
ruang angkasa menjadi ancaman untuk keamanan nasional China. Sebaliknya, program ruang
angkasa China yang berkembang sangat pesat juga menjadi ancaman bagi Amerika Serikat.

KERANGKA PEMIKIRAN
Politik Keantariksaan atau Astropolitics merupakan teori pengembangan geopolitik
sebagai aplikasi strategis dari munculnya teknologi baru dalam bidang geografi, topografi,
dan positional knowledge (pengetahuan pasional), termasuk ruang angkasa. Teori ini membahas
mengenai hubungan antara wilayah antariksa dan teknologi, serta pengembangannya atas
kebijakan – kebijakan politik, militer, maupun strategi. Menurut Dolman (2002), Astropolitik
sendiri dapat dijabarkan sebagai penerapan visi realis terdepan dan terluas dari kompetisi
[294] Rivalitas Negara Adidaya di Ruang Angkasa

negara ke dalam kebijakan antariksa, khususnya perkembangan dan evolusi dari rezim
internasional mengenai keterlibatan manusia di ruang angkasa. (Dolman, 2002). Lebih lanjut,
dalam teori ini membahas mengenai hubungan antara state power dengan kapabilitas negara
untuk mengontrol antariksa dengan tujuan meningkatkan dominasi negara di seluruh
permukaan bumi.
Dolman (2002) mengaplikasikan disiplin geopolitik tradisional dengan membagi tata
surya kedalam 4 bagian, yaitu (1) terra atau bumi, (2) angkasa bumi yakni daerah yang
mencakup orbit geostasioner, (3) angkasa bulan yakni orbit diluar geostasioner, dan (4) angkasa
tata surya yang mencakup semua daerah disekitar tata surya (Dolman, 2002).

Selanjutnya, semua penerbangan antariksa harus melintasi Orbit Bumi Terendah atau
Lower Earth Orbit (LEO) dimana orbit ini merupakan orbit terpenting dalam perspektif
strategi astropolis. Dalam teori Dolman, siapa yang menguasai Orbit Bumi Terendah atau
Lower Earth Orbit (LEO) akan menguasai angkasa yang paling dekat dengan bumi; siapa yang
mendominasi angkasa yang paling rendah dengan bumi, akan mengontrol bumi; dan siapa
yang menguasai bumi akan menentukan nasib umat manusia. Berdasarkan pemahaman
tersebut, strategi yang paling utama bagi negara manapun yang menginginkan dominasi
antariksa secara lebih, akan mengontrol Orbit Bumi Terendah atau Lower Earth Orbit (LEO)
yang merupakan prinsip pertama dari astropolitik (Imanino, 2014). Dengan demikian, strategi
paling utama bagi negara manapun yang ingin mendominasi antariksa adalah dengan
mengontrol orbit bumi terendah (LEO). Dan Dolman juga mengusulkan upaya yang harus
dilakukan oleh sumber kekuatan dunia yakni Amerika Serikat untuk melakukan 3 hal, yakni;
mundur dari rezim antariksa klasik dan memfokuskan diri pada prinsip kedaulatan pasar
bebas di antariksa, menggunakan kemampuannya untuk merebut control militer atas orbit
bumi terendah (LEO), dan mendefinisikan, memisahkan dan mengkoordinasi usaha-usaha
proyek komersialisasi, privatisasi dan militerisasi antariksa (Imanino, 2014).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perkembangan Astropolitik Amerika Serikat
Perkembangan dibidang penguasaan ruang angkasa oleh Amerika Serikat telah
dimulai pasca perang dunia II dan berlanjut hingga masa perang dingin. Di era itu, dua
kekuatan besar dunia yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet sedang berlomba-lomba
menunjukkan kekuatan dalam berbagai bidang termasuk keantariksaan. persaingan dimulai
ketika satelit pertama dari USSR yang bernama Sputnik I diluncurkan pada Oktober 1957,
dimana Sputnik ini masih berupa bola besar dengan antena panjang dan teknologi yang
digunakan juga sudah terlampau canggih di masa itu, dengan mengirimkan sinyal secara
Jurnal Transformasi Global [295]

berkala dan diterima melalui transmitter dari ruang angkasa ke bumi (Longsdon, 1991).
Peluncuran tersebut membuat AS mengalihkan perhatiannya pada sektor ruang angkasa. Hal
ini memunculkan era baru yang disebut space age dan kedua negara saling bersaing dalam space
race. Space race sendiri juga mendorong penelitian terhadap pengembangan roket yaitu
transportasi pendorong senjata misil, sehingga uji coba roket yang tidak hanya digunakan
untuk misi-misi ruang angkasa saja namun juga dipakai dalam misil ulang alik.
Sebagai bagian dari visi untuk menjadikan Amerika sebagai negara yang superpower
dan menjadi pelopor dalam ekplorasi antariksa, maka geostrategi yang efektif perlu dirancang.
Selama perkembangannya, Amerika telah memasukkan pemanfaatan dan penggunaan
antariksa dalam setiap sektor kehidupan negaranya. Mulai dari sosial atau sipil, ekonomi
hingga militer pertahanan. Dari sektor sipil, melalui NASA, Amerika terus menerus
melakukan eksplorasi ruang angkasa untuk membuka tabir pengetahuan yang masih
tersimpan di alam semesta yang belum diketahui. Dengan berbagai misi yang telah
diluncurkan sejak pembentukannya pada 1958, misi - misi ini juga memiliki daerah penelitian
yang berbeda-beda. Seperti daerah sistem tata surya kita, Kuiper Belt, Oort Claud dan diluar
sistem tata surya kita (deep space). Selain itu, terdapat juga penelitian robotik untuk asteroid
(misi Clementine dan NEAR), komet (misi Stardust) dan meteor. Untuk penelitian Matahari
terdapat sekitar 11 (sebelas) misi, planet Merkurius 1 misi, planet Venus 3 dengan misi, planet
Bumi dan planet dalam tata surya kita lainnya yaitu Mars, Jupiter, Saturnus, Neptunus dan
Uranus. Disamping itu, terdapat juga penelitian untuk bulan yang mengorbit planet-panet
tersebut, seperti Bulan planet Bumi, Bulan Jupiter dan sebagainya (Launius, 2009). Eksplorasi
yang dilakukan Amerika Serikat secara konsisten dilakukan bersamaan dengan pemenuhan
kebutuhan mereka atas teknologi terbaru yang dapat membantu keberhasilan misi dan
peralatan bagi kekuatan militer juga keamanan bagi negaranya. Hal ini yang secara konsisten
membuat posisi Amerika Serikat adalah yang terkuat dalam bidang keantariksaan.

Perkembangan Astropolitik China


China sebenarnya telah melakukan aktivitas terhadap bidang keantariksaan sejak
tahun 1955 yang berakar dari pengembangan senjata nuklir selama perang dingin. Pada tahun
1957, dengan adanya peluncuran Sputnik I oleh Uni Soviet, Mao Zedong sebagai Presiden
China saat itu, menyatakan bahwa China juga perlu mengembangkan teknologi untuk
mengirim satelitnya ke luar angkasa. Dan pada tahun 1960, China berhasil meluncurkan
wahana antariksa pertama yang disebut roket T-7 dan juga satelit remote sensing,
telekomunikasi, meteorologi, serta satelit untuk penelitian dan eksperimen ilmu pengetahuan
(Alvaretta, 2019).
Pada 1985 China melakukan konferensi terbuka ruang angkasa internasional yang
mengumumkan bahwa China memiliki keinginan untuk mengkomersialisasikan jasa
peluncuran armada ruang angkasa dengan meluncurkan peluncur milik China yaitu Roket
Long March. China juga melakukan ekspansi pasar besar terhadap pasar satelit internasional
dan aktivitas industry peralatan antariksa lainnya. Selain itu China juga memberanikan diri
membangun dan melakukan uji coba terhadap Anti Satelitte Weapons (ASATs). Uji coba ini
membuktikan bahwa China merupakan salah satu aktor paling progresif dalam melakukan
perkembangan terhadap teknologi ruang angkasa (Triarda, 2015). Dengan melakukan
progresivitas dalam kemampuan teknologi keantariksaannya, China pun mendapat
kemampuan tambahan disamping kemampuan dari perkembangan ekonominya. Hal ini
dimanfaatkan sebagai salah satu kekuatan bagi China.
Kemajuan juga terjadi ditahun 1990an dengan menciptakan program-program baru
seperti pengembangan pesawat ruang angkasa berawak dan sebuah stasiun ruang angkasa.
China juga mendirikan badan sejenis NASA yakni Badan Antariksa Nasional China (CNSA)
[296] Rivalitas Negara Adidaya di Ruang Angkasa

dan juga perusahaan Dirgantara Sains dan Industri China (CASIC). Badan ini tercatat
memiliki progress tercepat di dunia dan telah membuat berbagai pencapaian yang
mengesankan dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Kapasitas ekonomi China yang
berkembang pesat menjadi suatu penyokong yang erat terkait dengan perkembangan
program eksplorasi ruang angkasanya. Pada tahun 2000 China telah memiliki 20 ICBMs
(Intercontinental Ballisctic Missile) dengan jarak jangkauan dan kapabilitas yang mampu
menyerang Amerika Serikat. Terkait hal ini, China telah menuangkan roadmap berisi
pembangunan keantariksaan yang berisi ambisi China untuk dapat menggantikan posisi
Amerika Serikat dalam supremasinya di bidang keantariksaan. Roadmap ini dituangkan dalam
bentuk White Paper China’s Space Activity yang dikeluarkan 5 tahun sekali berisi pencapaian dan
kemajuan program antariksa China serta agenda dalam lima tahun selanjutnya.

Rivalitas Amerika Serikat dan China


Sejak masa perang dunia, ketika Amerika Serikat mulai mengandalkan persenjataan
nuklir dan melakukan eksplorasi ruang angkasa dan persenjataan lain berbasis militer
keantariksaan bersama dengan Uni Soviet, China telah memiliki keinginan untuk mengejar
kemampuan itu. Meskipun memulai dengan kemampuan terbatas dan belum dengan
dukungan yang mumpuni dari pemerintah dan juga dari segi pembiayaan, ambisi China telah
membawa progress yang terlihat dan selalu meningkat secara signifikan. Dan dengan kondisi
China pada era ini, dimana China mulai menunjukkan wajah barunya dalam agenda
kebangkitan Tiongkok, China mampu melakukan kemajuan yang pesat diberbagai bidang dan
kini didiakui dunia sebagai pesaing terberat Amerika Serikat diberbagai bidang. Yang paling
menonjol dari China pada saat ini adalah kemampuannya untuk menguasai pasar bebas dan
mengontrol perekonomian negara baik dari dalam maupun ke luar, sehingga saat ini China
sangat diperhitungkan dunia. Kemajuan dibidang ekonomi ini menjadi pendukung paling
utama bagi China untuk dapat semakin meningkatkan kemampuannya dalam eksplorasi
ruang angkasa dan penciptaan teknologi baru terkait kemiliteran dan penguasaan ruang
angkasa. Kondisi ini menjadikan perkembangan China dalam keantarikasaan semakin
menekan dan mengancam posisi Amerika Serikat yang telah bertahan sebagai pusat kekuatan
dunia diberbagai bidang, khususnya dalam bidang keantariksaan selama kurun waktu yang
lama.
Persaingan keduanya terlihat jelas dalam bentuk respon-respon yang saling
ditunjukkan atas suatu pembaruan atau kemajuan yang sedang diupayakan baik dari Amerika
Serikat maupun China. Hubungan rivalitas keduanya saat ini, berbeda dengan kompetisi yang
terjadi pada masa perang dingin. Keduanya berada dalam kondisi paradoks dimana konstelasi
politik dan ideologi dari kedua negara berlangsung secara terang-terangan atau transparan.
Artinya, kedua negara memang secara terbuka menyatakan bahwa terdapat benturan
kepentingan satu sama lain (Syahrin, 2018). Keterbukaan persaingan ini dapat dilihat ketika
Amerika Serikat menyatakan dengan transparan di dalam National Security Strategy (NSS)
bahwa China menantang kekuatan dari Amerika Serikat. Secara khusus, NSS mengklaim
bahwa China berusaha menggeser pengaruh Amerika Serikat dengan memperluas jangkauan
ekonomi dibawah kendali China.
Secara garis besar, dalam persaingan astropolitik dan penguasaan ruang angkasa
seperti yang dinyatakan dolman yaitu kegiatan militarization of space, weaponization of space dan
juga commercialization of space. Dalam kegiatan militerisasi (militarization) enderung pada
penggunaan teknologi ruang angkasa untuk tujuan militer, seperti penyediaan satelit yang
mendukung operasi militer. Sedangkan weaponization of space berkaitan dengan kegiatan
mempersenjatai ruang angkasa untuk tujuan perang antariksa. Dan commercialization of space
berkaitan dengan akplikatif atas keantariksaan untuk kepentingan praktis ekonomis.
Jurnal Transformasi Global [297]

Bentuk persaingan pertama yang terjadi adalah respon Amerika Serikat yang muncul
atas keberhasilan China membentuk 20 Intercontinental Ballistic Missile pada tahun 2000.
Respon yang ditunjukkan pada saat itu ialah pada bulan Mei 2001, Presiden George W. Bush
mengumumkan rencana program National Missile Defence (NMD) yang merupakan program
pertahanan dengan tujuan untuk melindungi wilayah territorial Amerika Serikat dari serangan
misil seperti ICBM milik China (Norton, 2001). Selain itu Amerika Serikat juga memutuskan
untuk menarik diri daari Anti-Ballistic Missile Treaty 1972 yang juga ditunjukkan sebagai respon
atas peningkatan kapasitas China di ruang angkasa.
Kompetisi keduanya juga kembali terjadi di tahun 2003, dimana dalam laporan
berjudul Transformation Flight Plan yang berisi sejumlah sistem senjata luar angkasa yang
dimiliki oleh Amerika Serikat jika terjadi perang antariksa. Dan didalam laporan ini juga
terdapat dokumen berisi tujuan Amerika Serikat dalam mempertahankan superioritasnya di
luar angkasa. Laporan ini kemudian memicu respon China untuk melakukan tiga rangkaian
demonstrasi Anti-Satelite Weapons (ASAT) pada Oktober 2005, serta April dan November
2006. Kemudian diberi respon kembali oleh Amerika Serikat dengan menyatakan bahwa
mereka dapat menggunakan kapasitas dan kapabilitas di luar angkasa apabila diperlukan
ketika mendapat ancaman terhadap keamanan nasional Amerika Serikat. Respon terhadap uji
coba ASAT ini tercantum dalam National Space Policy (NSP) tahun 2006. Hal ini justru memicu
China untuk melakukan uji coba lanjutan terhadap ASAT pada tahun 2007.
Kemudian di tahun 2008 Amerika Serikat melakukan Operation Burnt Forst yang
merupakan bentuk demonstrasi kemampuan Amerika Serikat dalam menanggapi uji coba
ASAT oleh China. Signifikansi perkembangan teknologi luar angkasa Cina akhirnya menjadi
alasan dilakukannya pengesahan terhadap sebuah kebijakan yang dirumuskan oleh Kongres
Amerika Serikat pada April 2011 berisi pelarangan NASA (National Aeronautics and Space
Administration) untuk terlibat perjanjian, koordinasi bilateral, maupun segala bentuk kerja
sama dengan CNSA (China National Space Administration). Keputusan tersebut turut
memperjelas posisi Cina yang tidak dapat bergabung di dalam program kolaborasi antariksa
internasional yaitu International Space Station (ISS) setelah sebelumnya Cina menyatakan
ingin bergabung dalam keanggotaan ISS. Penolakan tersebut merupakan salah satu strategi
kompetisi yang dilakukan Amerika Serikat dengan tujuan untuk menghambat progresivitas
program keantariksaan Cina (Kluger, 2015).
Rivalitas keduanya terus berlanjut dan semakin sengit dengan keberhasilan China di
sepanjang tahun 2018 dimana China meluncurkan roket jauh lebih banyak dari negara lain,
yaitu 39 roket, sedangkan Amerika Serikat 31 roket, menyusul Rusia 20 roket dan Eropa 8
roket. China juga berhasil mendaratkan astronautnya di sisi terjauh bulan yang pernah
dijangkau oleh manusia dalam eksplorasi bulan oertama kali dilakukan di dunia. Baik Amerika
Serikat maupun China semakin berlomba- lomba melakukan pembaruan dan kemajuan atas
penguasaan ruang angkasa, serta memperbaiki kebijakan astropolitik yang penting dalam
pertahanan dan kemanan nasional masing-masing negara.

KESIMPULAN
Wilayah ruang angkasa menjadi areal yang pada saat ini menjadi penting untuk
diperhatikan, baik perlengkapan dan teknologinya, maupun strategi pengamanannya. Strategi
dalam pengamanan dan hal-hal yang berkaitan dengan keantariksaan ini disebut dengan
Astropolitik dimana strategi kebijakan secara keseluruhannya menjadi dasar yang penting
terutama untuk bidang keamanan. Wilayah ruang angkasa dianggap sebagai wilayah yang
penting karena penguasaannya sangat berpengaruh terhadap keamanan wilayah di areal
lainnya seperti darat, laut dan udara. Oleh karena itu, negara-negara mulai menunjukkan
perhatiannya pada sektor luar angkasa, namun kepentingan yang sama untuk pengamanan
[298] Rivalitas Negara Adidaya di Ruang Angkasa

wilayah luar angkasa oleh negara- negara di dunia menciptakan gesekan kepentingan yang
membuat adanya persaingan atas penguasaan ruang angkasa itu sendiri. Salah satunya adalah
persaingan antara Amerika Serikat sebagai super power dan China yang muncul sebagai salah
satu kekuatan baru yang tidak dapat diremehkan kekuatannya sehingga dinilai menjadi
ancaman baru.
Hubungan rivalitas antara Amerika Serikat merupakan suatu perwujudan dari adanya
security dilemma dimana masing-masing negara akan selalu merasa teranam atas kemajuan yang
berhasil diciptakan oleh negara lain karena dianggap dapat mengancam keamanan nasional
negaranya. Perilaku kedua negara sangat menggambarkan naturalisasi dari sifat aktor negara
yang selalu ingin melindungi kepentingan negaranya. Namun dari kasus ini, terdapat motto
atau tujuan baru yang membuat hubungan rivalitas keduanya semakin panas, yakni keinginan
untuk meraih status sebagai global leading power khususnya dalam sektor keantariksaan. Inovasi
dan penciptaan teknologi ruang angkasa memang dirasa baik sebagai bentuk persenjataan,
perlengkapan dalam tujuan ilmiah yang penting bagi dunia secara luas. Namun karena
persaingan ini, terdapat bentuk-bentuk kecurigaan yang membuat transparansi dari
keberhasilan pembuatan teknologi cenderung banyak yang tidak diberitakan.

DAFTAR PUSTAKA
Alvaretta, S. (2019). Astropolitik Amerika Serikat sebagai Respon Pengembangan Senjata
Antariksa Cina.
Dillow, C. (2017, 03). China's secret plan to crush SpaceX and the US space program. Retrieved
from CNBC.com: https://www.cnbc.com/2017/03/28/chinas-secret-plan-to-crush-
spacex-and-the-us-space-program.html
Dolman, E. (2002). Astropolitics: Classical Geopolitics in the Space Ager. London: Frank Cass
Publisher.
Herz, J. (1951). Political Realism and Political Idealism. Chicago: University of Chicago Press.
Imanino, I. (2014). Kelembaman Perjanjian Antariksa: Aplikasi Politis Astropolitik Dolman
Terhadap Praktik Komersialisasi Antariksa (Studi Kasus Komersialisasi International
Space Station). Global & Policy Vol.2, 17.
Launius, R. D. (2009). United States Space Cooperation and Competition: Historical
Reflection. Astropolitics.
Longsdon, J. M. (1991). Together in Orbit: The Origins of International Participation in Space Station
Freedom. Washington: NASA Contractor Report 4237.
Repository UNPAS. (2017). Kebijakan Keantariksaan China dalam APSCO.
Triarda, R. (2015). Astropolitik: Signifikansi Ruang Angkasa Terhadap Posisi China dalam
Hubungan Internasional. Interdepedence Jurnal , 48.

Anda mungkin juga menyukai