Anda di halaman 1dari 6

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/342437435

Konsep Balance of Power dalam Rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok di


Laut Tiongkok Selatan

Article · June 2020

CITATIONS READS

0 2,266

1 author:

Shanti Amelia
Airlangga University
3 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Turkey’s Involvement in The European Union External Migration Governance: An Effort to Manage Migrant Crisis in Europe View project

All content following this page was uploaded by Shanti Amelia on 25 June 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Konsep Balance of Power dalam Rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok
di Laut Tiongkok Selatan

Shanti Amelia
NIM:071911233107
Departemen Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Airlangga

Esai ini ditulis sebagai ujian akhir mata kuliah Teori Hubungan Internasional

Salah satu ciri yang dapat menggambarkan hubungan internasional di Asia Timur selama
lima tahun terakhir adalah meningkatnya ketegangan dalam perselisihan kedaulatan
wilayah dan yurisdiksi maritim di Laut Tiongkok Selatan (Fravel 2014). Pada dasarnya,
ketegangan yang semakin meningkat di Laut Tiongkok Selatan didorong karena belum
adanya penyelesaian sengketa wilayah antara Tiongkok dan negara-negara Asia Tenggara
lain yang masih saling tumpang tindih dalam klaimnya. Namun, ketegangan yang terjadi
juga dapat dilatarbelakangi oleh rivalitas antara dua kekuatan besar yaitu Amerika Serikat
dan Tiongkok. Meskipun AS tidak mengambil tindakan yang secara langsung mendukung
klaim negara tertentu atas wilayah Laut Tiongkok Selatan, hal tersebut tidak berarti AS tidak
akan melibatkan diri. AS tetap hadir di Laut Tiongkok Selatan demi membendung sikap
tegas Tiongkok dan kemungkinan penyebaran besarnya pengaruh Tiongkok terhadap
kawasan Asia-Pasifik. Pada akhirnya, Laut Tiongkok Selatan menjadi arena pertarungan
antara AS dan Tiongkok. Berdasarkan kepentingan tertentu melalui kebijakan masing-
masing, AS dan Tiongkok telah berusaha menyeimbangkan posisinya. Namun, seperti yang
diketahui, rivalitas antara AS dan Tiongkok tersebut juga tidak dapat dihindari kedua pihak.

Berdasarkan paparan sebelumnya, dapat diketahui bahwa hubungan bilateral antara AS dan
Tiongkok merupakan hubungan kompleks yang penting untuk diketahui dan dipertanyakan
kembali. Misalnya, bagaimana nantinya AS dan Tiongkok merespons kebijakan masing-
masing serta mencapai keseimbangan posisi yang diharapkan agar tidak perlu terjadi adanya
konflik. Untuk menjawab hal tersebut, penulis menggunakan teori neorealisme yang cukup
relevan dalam melihat hubungan AS dan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan. Neorealisme
merupakan salah satu teori utama dalam kajian ilmu HI kontemporer yang membahas
anarki dan struktur sistem internasional. Dalam teori neorealisme, balance of power adalah
elemen penting dalam dinamika sistem internasional. Terkait rivalitas AS dan Tiongkok di
Laut Tiongkok Selatan, dapat dilihat dan ditekankan adanya balance of power yang pada
dasarnya ingin dicapai kedua negara. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi adanya
konflik antar negara-negara yang terlibat dalam meraih kepentingan masing-masing yang
ingin dicapai. Tulisan ini akan membahas mengenai proposisi teori neorealisme yaitu
balance of power sebagai media analisis rivalitas AS dan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.
Pembahasan dibagi menjadi dua bagian yaitu kepentingan serta kebijakan Amerika Serikat
dan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.

Neorealisme dalam Kajian Hubungan Internasional

Neorealisme atau realisme struktural menjadi salah satu teori utama kajian kontemporer
Hubungan Internasional. Kemunculan neorealisme sejalan dengan Great Debate kedua
dalam kajian HI dan merupakan kritik terhadap pandangan realisme klasik. Terdapat
perbedaan jelas antara neorealisme dan realisme klasik. Neorealisme berfokus pada struktur
internasional yang dapat memengaruhi perilaku aktor. Sementara itu, realisme klasik lebih
banyak membahas mengenai perilaku aktor yang memengaruhi struktur internasional.
Neorealisme berusaha menangkap gambaran yang lebih besar dari arena percaturan politik
internasional. Dalam pandangan neorealisme, penekanan terkait politik internasional
diberikan pada arti penting struktur atau sistem internasional yang tidak mudah berubah,
konstan, dan memberikan tekanan terhadap aktor-aktor internasional (Mearsheimer 2013
dikutip dalam Dharmaputra 2018). Bagi neorealis, ciri khas politik internasional adalah
adanya kompetisi dalam perebutan kekuasaan. Neorealisme menjelaskan kondisi sistem
internasional sebagai hasil dari sebuah struktur dominan dengan menunjukkan dinamika
relasi antarkomponen dalam sistem, yang masing-masing berusaha selamat dalam
kompetisi internasional bercirikan pola distribusi kekuasaan khas (Booth 2011 dikutip dalam
Dharmaputra 2018).

Terdapat empat argumen utama neorealisme (Dharmaputra 2018). Pertama, neorealisme


menekankan pada struktur internasional yang anarki. Anarki dapat didefinisikan sebagai
kondisi dengan ketiadaan otoritas tunggal di atas masing-masing aktor, sehingga pola
interaksi antaraktor menjadi tidak teratur. Terdapat dua konsekuensi sistem internasional
anarki. Konsekuensi yang pertama adalah tidak adanya otoritas yang mampu menjamin
keamanan masing-masing negara sehingga terjadi adanya security dilemma. Kondisi
tersebut kemudian menjadi sebab konsekuensi kedua yaitu relevansi self-help, bahwa setiap
negara harus bisa menolong diri sendiri agar tidak menjadi korban dari negara lain dan
menjamin survivalitas. Argumen kedua neorealisme menganggap bahwa negara merupakan
aktor utama yang berprinsip satu-kesatuan. Negara adalah aktor utama yang merespons
berjalannya struktur internasional yang anarki. Argumen ketiga neorealisme terkait dengan
upaya masing-masing negara untuk mencari survival-nya. Terakhir, argumen neorealisme
terkait kapabilitas negara sebagai dasar penciptaan keamanan. Struktur internasional anarki
memandang kapabilitas negara berdasarkan seberapa besar power atau kekuatan yang
dimiliki melalui kapabilitas militer. Sistem internasional anarki hanya melihat adanya
negara kuat atau lemah berdasarkan kapabilitas militernya.

Neorealisme memandang bahwa untuk mempertahankan survivalitas negara dalam sistem


internasional anarki, diperlukan adanya lebih dari satu aktor superpower pada politik
internasional (Mersheimer 2013 dikutip dalam Dharmaputra 2018). Bahwa rem yang dapat
diandalkan pada kekuatan satu negara adalah kekuatan negara lain. Hal itu dimaksudkan
untuk membentuk balance of power dalam arena politik internasional. Balance of power
merupakan kondisi di mana terdapat lebih dari satu aktor superpower yang menjadi
penentu dinamika sistem internasional. Balance of power juga dapat merujuk pada rasio
kapabilitas kekuatan antara negara atau aliansi, atau hanya dapat dimaknai sebagai rasio
yang relatif sama. Balance of power mengacu pada ide meeting force with force, yaitu
keadaan seimbang yang akan dicapai apabila terdapat dua kekuatan yang berimbang dan
saling bertemu (Dharmaputra 2018). Terdapat aspek yang harus dipenuhi, yaitu kondisi
sistem internasional anarki di mana terdapat aktor yang ingin selamat dari ancaman.
Balance of power merupakan elemen penting untuk mewujudkan stabilitas pada sistem
internasional anarki.

Apabila berbicara kembali mengenai rivalitas AS dan Tiongkok, neorealisme akan tepat
digunakan sebagai media analisisnya. AS dan Tiongkok merupakan dua negara superpower
yang ingin mencapai keseimbangan tertentu di antara keduanya agar tidak perlu terjadi
suatu konflik. Hal tersebut tampak jelas pada wilayah Laut Tiongkok Selatan sebagai arena
pertarungan antara AS dan Tiongkok. Terdapat berbagai elemen kompleks dan rumit yang
mendasari kehadiran keduanya di Laut Tiongkok Selatan. Terlepas dari wilayah strategis
Laut Tiongkok Selatan, AS dan Tiongkok memiliki kepentingan masing-masing yang secara
tidak langsung merujuk pada hubungan bilateral keduanya. Salah satu proposisi neorealisme
yaitu balance of power, menjadi fondasi dasar pada kebijakan-kebijakan yang diambil
dalam memandang hubungan bilateral AS dan Tiongkok. Kedua negara tidak menginginkan
adanya konflik untuk mencapai kepentingan masing-masing. Keduanya terlibat untuk
mempertahankan survivalitas negara masing-masing melalui proposisi balance of power.

Kepentingan Amerika Serikat dan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan

Laut Tiongkok Selatan telah lama menjadi arena pertarungan politik regional maupun
internasional. Potensi Laut Tiongkok Selatan menyebabkan adanya keadaan asimetri dan
ketegangan dalam perselisihan kedaulatan wilayah dan yurisdiksi maritim. Hal itu juga
menarik AS untuk berusaha terlibat di wilayah Laut Tiongkok Selatan. Rivalitas antara AS
dan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan juga memiliki kepentingan masing-masing yang
ingin dicapai. Melalui aksi Tiongkok selama empat dekade terakhir, diketahui bahwa
Tiongkok mengejar setidaknya tiga kepentingan (Dutton 2011). Pertama, tujuan Tiongkok
adalah adanya integrasi regional dengan negara-negara Asia Tenggara. Investasi Tiongkok
merupakan strategi untuk mengimbangi kekuatan AS dan membekukan ketegangan antara
Tiongkok dan negara-negara Asia Tenggara atas klaim Laut Tiongkok Selatan. Kedua,
Tiongkok ingin memastikan kontrolnya atas sumber daya di Laut Tiongkok Selatan. Minyak,
gas, dan stok ikan menjadi hal penting bagi Tiongkok untuk memastikan kontrol sumber
daya di Laut Tiongkok Selatan. Ketiga, Tiongkok ingin meningkatkan kontrol atas Laut
Tiongkok Selatan untuk menciptakan zona penyangga keamanan maritim yang melindungi
wilatah vital Tiongkok.

Pada lensa yang berbeda, AS juga diketahui memiliki kepentingan signifikan dalam politik,
keamanan, dan ekonomi yang ingin dicapai di Laut Tiongkok Selatan (Glaser 2012).
Pertama, dalam aturan dan norma global, AS memiliki kepentingan pada penyelesaian
damai perselisihan Laut Tiongkok Selatan berdasarkan hukum internasional. Pembenaran
Tiongkok atas klaim Laut Tiongkok Selatan berdasarkan pada nine-dash line merupakan
kegagalan penegakan hukum internasional yang bisa membahayakan kepentingan AS.
Kedua, terkait dengan keamanan aliansi dan stabilitas regional. Kehadiran AS di Laut
Tiongkok Selatan merupakan penjamin keamanan regional bagi aliansi AS. Kegagalan
komitmen AS terhadap aliansinya dapat merusak kepentingannya di wilayah Asia-Pasifik.
Ketiga, kepentingan AS dalam ekonomi. Setiap tahunnya, $5,3 triliun perdagangan melewati
Laut Tiongkok Selatan. AS menyumbang $1,2 triliun dari totalnya, sehingga konflik dalam
skala apapun dapat membahayakan ekonomi regional dan AS. Keempat, AS memiliki
kepentingan untuk tetap menjaga stabilitasnya dengan Tiongkok dan mengamankan
masalah regional dan global.

Kebijakan Amerika Serikat dan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan

Dalam konteks rivalitas AS dan Tiongkok, setiap tindakan yang ditunjukkan merupakan
cerminan pandangan ke depan bagi kedua negara. Bagi Tiongkok, AS merupakan kekuatan
luar yang dapat menghambat kepentingan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan. Oleh karena
itu, Tiongkok tentu memiliki kebijakan strategis di Laut Tiongkok Selatan. Berdasarkan
indikasi yang ada, Tiongkok tidak akan memancing AS untuk mengundang aksi militer (Lee
2003). Tiongkok tidak ingin memberi AS alasan untuk terlibat dalam sengketa klaim wilayah
di Laut Tiongkok Selatan. Bahwa konflik kawasan harus diselesaikan secara bilateral dengan
penggunggat lainnya (Lee 2003). Tiongkok menganggap konflik regional termasuk masalah
yurisdiksi dan teritorial, tidak dapat diinternasionalisasi. Hal itu ditujukan untuk
mengurangi intervensi AS dan kekuatan luar lain yang ingin terlibat. Pada dasarnya,
Tiongkok ingin mengurangi ketergantungan ASEAN pada AS. Pendekatan Tiongkok di Laut
Tiongkok Selatan dicirikan melalui strategi “salami slice” (McDevitt 2014). Tiongkok terus
mengambil langkah kecil secara bertahap yang tidak memicu respons militer pihak
berlawanan. Fitur penting dari pendekatan Tiongkok adalah untuk menghindari keterlibatan
langsung Angkatan Laut People's Liberation Army milik Tiongkok.

Terdapat empat fitur fondasi yang mendasari kebijakan-kebijakan AS di Laut Tiongkok


Selatan (Fravel 2014). Pertama, AS mengambil suatu kebijakan sebagai tanggapan atas
perubahan tingkat ketegangan di Laut Tiongkok Selatan. Kedua, kebijakan AS terhadap Laut
Tiongkok Selatan didasarkan untuk menjaga netralitas atas klaim kedaulatan yang saling
bertentangan. Ketiga, AS menekankan proses yang bertujuan untuk mempertahankan
netralitas dan stabilitas sejalan dengan keterlibatannya yang meningkat. Keempat, kebijakan
AS di Laut Tiongkok Selatan berusaha membentuk perilaku Tiongkok dengan menyorot
tindakan-tindakan Tiongkok yang tidak sesuai dengan hukum internasional. Respons AS
atas aksi Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan telah dimulai sejak tahun 1995 (Fravel 2014).
Pada Mei 1995, AS menanggapi aksi Tiongkok atas isu perusakan terumbu karang melalui
sebuah pernyataan. Pada tahun 2010, AS memperluas kebijakannya di Laut Tiongkok
Selatan sebagai tanggapan atas meningkatnya ketegangan antara pihak-pihak yang terlibat.
Pada periode sebelumnya, kebijakan AS merujuk langsung pada Tiongkok. Namun, di tahun
2012, isu Gosong Scarborough and Kota Sansha mengubah kebijakan AS menjadi lebih
umum. Pada tahun 2014, AS menyatakan pernyataan detail yang secara langsung merujuk
pada Laut Tiongkok Selatan.

Security dilemma dapat menjadi penyebab utama rivalitas AS dan Tiongkok. Tiongkok
merasa perlu mengamankan posisinya untuk mengimbangi AS. Begitu pula dengan AS yang
harus mempertahankan posisinya. Oleh karena itu, kedua negara merupakan aktor utama
yang menerapkan relevansi self-help demi menjamin survivalitas masing-masing. Dapat juga
dilihat bahwa seluruh kepentingan serta kebijakan antara AS dan Tiongkok yang telah
dipaparkan sebelumnya, mengarah dan mengindikasikan bahwa kedua negara tidak ingin
terlalu gegabah untuk saling menyerang satu sama lain. Alih-alih menyerang, kedua negara
berusaha menjaga status quo di Laut Tiongkok Selatan. Konteks rivalitas antara AS dan
Tiongkok cenderung berbeda apabila dibandingkan dengan fenomena Perang Dingin. AS
dan Tiongkok memiliki hubungan bilateral yang penting sebagai mitra strategis masing-
masing negara. Proposisi balance of power merupakan strategi yang digunakan kedua
negara untuk meraih kepentingannya dan proposisi yang dapat menjelaskan gambaran
rivalitas AS dan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan. Proposisi balance of power dituangkan
dalam kebijakan-kebijakan maupun tindakan yang dilakukan dalam setiap hubungan
bilateral kedua negara. Hal tersebut dapat dilihat melalui fondasi kebijakan AS dan
Tiongkok yang tegas menunjukkan bahwa kedua negara ingin meraih kepentingan dan
survivalitas masing-masing dengan tetap berusaha mempertahankan stabilitas di Laut
Tiongkok Selatan.

Kesimpulan

Berdasarkan paparan yang dibahas sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa neorealisme


merupakan perspektif yang relevan dalam menggambarkan rivalitas antara AS dan Tiongkok
di Laut Tiongkok Selatan melalui proposisi balance of power-nya. Balance of power adalah
kondisi di mana terdapat lebih dari satu aktor superpower yang menjadi penentu dinamika
sistem internasional. Hal tersebut terjadi dalam rivalitas AS dan Tiongkok dengan Laut
Tiongkok Selatan sebagai area kompetisinya. Rivalitas antara AS dan Tiongkok di Laut
Tiongkok Selatan merupakan hubungan yang kompleks. Tidak hanya melibatkan kedua
negara, tetapi juga seluruh kawasan Asia-Pasifik bahkan dunia. Rivalitas antara AS dan
Tiongkok memengaruhi dinamika sistem internasional. Kondisi tersebut dilatarbelakangi
kepentingan-kepentingan tertentu yang ingin dicapai kedua negara demi mempertahankan
survivalitas masing-masing. Laut Tiongkok Selatan dengan potensinya yang menjanjikan,
menarik kedua negara dalam hal-hal terkait politik, ekonomi, maupun keamanan. Tiongkok
menjadikan Laut Tiongkok Selatan sebagai media untuk menyeimbangkan kekuatannya
dengan AS sejalan dengan citra barunya yaitu “rising China”. Menanggapi Tiongkok, AS
berusaha mempertahankan pengaruhnya di kawasan Asia-Pasifik. Proposisi balance of
power adalah fondasi dasar rivalitas antara AS dan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.
Balance of power juga dapat dilihat melalui kebijakan-kebijakan dan tindakan yang
dilakukan kedua negara.

Referensi

Buku

Dharmaputra, Radityo, 2018. “Neorealisme”, dalam Dugis, Vinsensio,2018. Teori Hubungan


Internasional (Perspektif-Perspektif Klasik). Edisi Revisi. Surabaya: Airlangga
University Press.

Jurnal
Dutton, Peter, 2011. “Three Disputes and Three Objectives—China and the South China Sea”,
Naval War College Review, 64(4): 55-58.
Fravel, M. Taylor, 2014. “U.S. Policy Towards the Disputes in the South China Sea Since
1995”, S. Rajaratnam School of International Studies (2014).
Glaser, Bonnie S., 2012. “Contingency Planning Memorandum No. 14: Armed Clash in the
South China Sea”, Council on Foreign Relations.
Lee, Lai To, 2003. “China, the USA and the South China Sea Conflicts”, Security Dialouge,
34(1): 25-39.
McDevitt, Michael, 2014. “The South China Sea: Assessing U.S. Policy and Options for the
Future”, CNA Occasional Paper.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai