Anda di halaman 1dari 8

SIGNIFIKANSI HUBUNGAN AS-TAIWAN DALAM ASPEK KERJA SAMA PERTAHANAN

PADA MASA PEMERINTAHAN PRESIDEN TRUMP

Oleh

Kelompok 3
Agnes Theodora Yustina A. Gambujap/ 1901508865
Anastasia Febiola Sumarauw/ 1901517996
Michelle/ 1901459094
LC66 – INTR6008

International Relations Program


International Relations Study Program
School of Humanities
Bina Nusantara University
Jakarta
2019
1. Latar Belakang
Hubungan AS dan Taiwan telah banyak mengalami berbagai tantangan baik dari AS dan Taiwan
sendiri, maupun dengan Tiongkok yang merupakan aktor signifikan dalam pembangunan
nasionalnya, serta dalam menjalin hubungan dan memperluas pengaruhnya di kawasan. Kaitan
awal dua negara dimulai dengan asistensi AS untuk membangun ekonomi Taiwan pasca Perang
Dunia II. Namun bantuan tersebut tidak bertahan lama setelah adanya penandatanganan US-PRC
Joint Communique antara AS dengan Tiongkok yang menyetujui bahwa hanya ada satu Tiongkok
(One China) dan Taiwan sebagai bagian dari Tiongkok pada tahun 1972 (China Embassy, 1972).
Secara resmi AS mengakui Tiongkok sebagai satu-satunya pemerintahan resmi pada bulan
Januari 1979.
Pasca menyetujui One China policy dari Tiongkok, AS dan Taiwan kemudian
menjalani hubungan diplomatik tidak resmi yang didasari oleh Taiwan Relations Act tahun 1979.
Meskipun demikian, AS terus mempertahankan dan mengembangkan kerja samanya dengan
Taiwan, khususnya kerja sama ekonomi dimana Taiwan merupakan mitra perdagangan terbesar
ke sembilan AS, sedangkan AS menjadi mitra perdagangan terbesar kedua bagi Taiwan. Institut
yang berperan penting dalam hal ini bagi Taiwan adalah The American Institute in Taiwan (AIT)
yang bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan AS di Taiwan (US Government,
2018).
Tidak hanya dari segi ekonomi, kerja sama AS-Taiwan juga dalam sektor pertahanan
yang dimulai dengan perjanjian kerja sama pada tahun 1979-1980 senilai 487 juta dolar AS
(Arms Control Association, 2012). Keputusan AS untuk menyetujui ide One China Policy
Tiongkok bersamaan dengan kerja samanya dengan Taiwan merupakan upaya Washington agar
dapat mempertahankan perannya dalam berbagai kemungkinan skenario strategis di kawasan
yang dianggapnya signifikan pasca Perang Dunia 2 (McClaran, 2000). Selain itu, upaya
modernisasi postur militer dan pertahanan Tiongkok, latihan-latihan militer, dan soft-diplomacy
Tiongkok untuk menjadi kekuatan di kawasan juga turut memengaruhi upaya AS dalam
mempertahankan hubungannya dengan Taiwan.
Konstelasi hubungan AS-Taiwan kemudian mencapai signifikansi sejak Donald Trump
menjadi presiden AS. Kebijakan luar negeri AS sejak pemerintahan Trump mengalami
perubahan substansial dengan komitmennya untuk meninjau kembali hubungan AS dengan
berbagai negara sekutu seperti Jerman, Jepang, Korea Selatan, dan Arab Saudi, maupun dengan
‘lawannya’ seperti Mexico, Rusia, Korea Utara dan Tiongkok. Menurut Trump, AS telah
mengambil keputusan-keputusan keliru dalam perannya di hubungan internasional – yang
diutarakannya selama masa kampanye. Hal ini termasuk penegasan kembali posisi AS terhadap
One China Policy dan hubungannya dengan Taiwan.
Pada masa jabatan Presiden Trump, AS kemudian meningkatkan dukungannya
terhadap Taiwan dengan kerja sama pertahanan yang berisiko untuk mengancam hubungan Sino-
Amerika yang dimulai dengan ucapan selamat Presiden Taiwan Tsai Ing Wen setelah Trump
memenangkan pemilihan umum di AS (Greenert, 2018). Sepuluh bulan setelah Trump menjabat
sebagai presiden AS, Departemen Nasional AS kemudian menyetujui lisensi pemasaran yang
menyetujui industri pertahanan AS untuk menjual teknologi kapal selam bagi Taiwan pada bulan
April 2018 (Greenert, 2018). Putusan ini kemudian disusul dengan dukungan terhadap
persinggahan Angkatan Laut (AL) AS ke Taiwan dan peningkatan kerja sama keamanan siber
(cybersecurity) dan intelijen yang merupakan salah satu keunggulan Taiwan (Greenert, 2018).
Peningkatan hubungan AS-Taiwan khususnya di bawah pemerintahan Trump menjadi
topik yang menarik untuk dikaji terutama signifikansinya terhadap stabilitas kawasan, dimana
peningkatan pengaruh Tiongkok menjadi tantangan bagi hegemoni AS dan perannya di Asia-
Pasifik. Maka daripada itu, tulisan ini akan mengkaji secara singkat hubungan AS-Taiwan di
bawah pemerintahan Presiden Trump, khususnya dalam aspek pertahanan. Secara praktis tulisan
ini memberikan kontribusi pengetahuan dan informasi mengenai hubungan AS-Taiwan di bawah
pemerintahan Presiden Trump dalam bidang pertahanan. Sedangkan secara teoretis, tulisan ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa referensi ilmiah bagi ilmu Hubungan
Internasional, khususnya dalam studi keamanan, kawasan, geostrategi, maupun geopolitik.

2. Permasalahan Kajian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian yang menjadi permasalahan
kajian ini ialah:
‘Bagaimana signifikansi hubungan AS-Taiwan dalam aspek kerja sama pertahanan pada
masa pemerintahan Presiden Trump?’

3. Kerangka Konsep
Pemikiran balance of power biasa dipahami sebagai milik dari tradisi hubungan
internasional yaitu “kekuasaan negara” atau “realisme”. Dougherty dan Pfalzgraff
mengungkapkan bahwa ada empat prinsip dasar dari perspektif ini: 1. Negara adalah aktor utama
dalam sistem internasional yang terdiri dari negara yang berdaulat, 2. Kebijakan dalam negeri
dan luar negeri jelas merupakan bidang kebijakan nasional yang terpisah, 3. Politik internasional
adalah perebutan kekuasaan dalam lingkungan internasional yang anarkis, 4. Negara memiliki
kemampuan yang berbeda dalam mencapai tujuan serta mempertahankan kepentingan negara
nya (Sheenan, 2005). Realisme mengamati bahwa politik internasional atau perilaku negara
terhadap satu sama lain didasarkan pada perjuangan untuk kekuasaan. Untuk membatasi
kekuasaan dan membatasi potensi penyalahgunaannya, balance of power menjadi pusat bagi
realis dalam hubungan internasional (Toledo, 2019).
Morgenthau mendefinisikan kekuasaan sebagai kontrol manusia atas pikiran dan
tindakan nya terhadap orang lain atau kemampuannya dalam meyakinkan orang untuk
berperilaku dengan cara tertentu. Dalam istilah militer, kekuasaan dapat dilihat sebagai ancaman
dari penggunaan kekuatan atau adanya penggunaan kekuatan itu sendiri saat perang. Meski tidak
ada kesepakatan mengenai definisi kekuasaan di dalam realis, beberapa realis memandang
kekuasaan sebagai sesuatu yang absolut (Toledo, 2019). Sedangkan konsep keseimbangan
sendiri umum digunakan dalam banyak ilmu fisika, biologi, ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik.
Ini menandakan bahwa stabilitas dalam suatu sistem terdiri dari kekuatan otonom. Setiap kali
keseimbangan terganggu oleh kekuatan luar atau perubahan dalam sauatu elemen atau sistem,
maka sistem tersebut menunjukkan kecenderungan untuk membangun kembali keseimbangan
tersebut (Thompson, 1985).
Aspirasi kekuasaan di beberapa negara masing-masing adalah berusaha untuk
mempertahankan atau menggulingkan status quo yang mengarah pada yang disebut sebagai
balance of power (Thompson, 1985). Diantara berbagai maknanya, balance of power diartikan
sebagai berikut: 1. distribusi kekuasaan yang merata, 2. prinsip bahwa kekuasaan harus
didistribusikan secara merata, 3. prinsip meningkatkan kekuasaan yang sama besar dengan
mengorbankan yang lemah, 4. prinsip bahwa pihak kita harus memiliki kekuasaan yang lebih
besar untuk mencegah keadaan dimana kekuasaan menjadi merata, 6. situasi mempertahankan
distribusi kekuatan yang merata antara dua pihak yang bersaing, dan 7. kecenderungan politik
internasional untuk menghasilkan pemerataan kekuasaan (Schweller, 2016). Balance of power
sendiri dapat dipahami sebagai situasi atau kebijakan. Sebagai situasi, balance of power dapat
diartikan sebagai ekuilibrium atau tidak ekuilibrium. Balance of power dalam ekuilibrium
mengacu pada kondisi dimana kekuatan suatu negara atau kelompok negara “seimbang” dengan
kekuatan negara atau kelompok negara. Sedangkan balance of power dalam tidak ekuilibrium
menggambarkan kondisi dimana distribusi kekuasaan di antara negara-negara yang bersaing
tidak seimbang. Hal ini dapat memicu penyalahgunaan kekuasaan oleh negara kuat. Balance of
power sebagai kebijakan lebih mengarah kepada upaya untuk mendorong pencegahan adanya
ekuilibrium, serta mendorong adanya tidak ekuilibrium. Bagi realis klasik dan Morgenthau,
kebijakan keseimbangan penting untuk menjaga kedaulatan bangsa dan sifat pluralistik sistem
internasional. Dalam pengertian ini, mereka percaya bahwa balance of power dapat diciptakan
oleh “negarawan”, dan bahwa mungkin bukan yang terbaik, namun satu-satunya pilihan, dimana
prinsip tersebut harus beroperasi pada negara-negara berdaulat (Toledo, 2019). Hal apa yang
sebenarnya dijanjikan oleh balance of power? Maksud atau tujuan balance of power bukan
mengenai mempertahainkan perdamaian serta keseimbangan internasional, melainkan untuk
menjada integritas sistem multistate dengan mencegah negara-negara yang berambisius untuk
menaklukkan negara-negara tetangganya (Schweller, 2016).
4. Analisis Teori
Hubungan tidak resmi yang di jalankan oleh AS dan Taiwan sejak tahun 1979 atau di kenal
dengan Taiwan Relations Act memberikan dasar hukum untuk hubungan tidak resmi dan
mengukuhkan komitmen AS untuk membantu Taiwan dalam mempertahankan kemampuan
pertahanannya. Kerjasama militer yang dilakukan oleh Taiwan dan AS adalah perilaku
penyeimbangan kekuatan AS di Asia Timur dalam merespon The Rise of China atau kebangkitan
kekuatan Tiongkok.
Dalam kerjasama yang dilakukan oleh Taiwan dan AS terjadi peningkatan kekuatan atau
rising power baik dalam bidang ekonomi dan juga keamanan. Faktor-faktor yang dapat menjadi
indikator peningkatan keuatan militer suatu negara dapat dilihat dari besarnya anggran belanja
militer pertahun, kepemilikan terhadap alat tempur seperti tank, kapal perang, rudal dan pesawat
terbang serta besaran jumlah personil angkatan laut, darat, dan udara negara tersebut. Dasar dari
konsep keseimbangan kekuasaan yaitu gagasan bahwa keseimbangan adalah keadaan yang
rasional dan stabil. Balance of power merupakan salah satu konsep yang paling mendasar dan
banyak diketahui dalam hubungan internasional Balance of power menunjukan suatu kondisi
yang stabil, dimana semua aktor-aktor negara memiliki kekuatan yang sama. Dalam merespon
kebangkitan Tiongkok, AS melakukan internal balancing dan external balancing. Internal
balancing yang dilakukan oleh AS adalah meningkatkan kapabilitas militer dalam negeri AS,
selain itu AS melakukan external balancing yaitu membuat dan memperkuat aliansi bersama
negara-negara Asia Timur antara lain Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.
Perjanjian kerjasama di bidang pertahanan antara AS dan Taiwan telah dilakukan
semenjak Perang Dunia ke dua hingga saat ini. Dari waktu ke waktu perjanjian AS dan Taiwan
telah mengalami beberapa reformasi (perubahan) dan semakin diperkuat hingga sekarang. Selain
membantu dalam bidang militer, AS juga menjalin hubungan ekonomi dengan Taiwan.
Hubungan perekonomian ini bertujuan untuk membantu Taiwan membangun perekonomian
domestiknya. Hubungan perekonomian AS - Taiwan di mulai pada tahun 1951 dan AS
mempunyai kepentingan yang besar terhadap Taiwan, karena Taiwan menempati urutan kelima
mitra dagang terbesar AS. Taiwan sebagai aliansi AS yang secara historis dan geografis
mempunyai kedekatan dengan Tiongkok. Hal ini dilihat oleh AS sebagai sebuah kesempatan
yang dapat di gunakan oleh AS untuk menekan peningkatan kekuatan Tiongkok di Asia Timur.
Setelah terpilih pada pemilu tahun 2016, Presiden AS Presiden Donald J. Trump
melakukan komunikasi dengan presiden Taiwan Tsai Ing-wen melalui telepon, hal dilihat
sebagai suatu kesempatan yang baik bagi Taiwan untuk melakukan kerja sama militer dengan
AS. Selama pemerintahan Trump telah melakukan patroli kapal-kapal militer AS yang berlayar
melalui selat Taiwan, hal ini merupakan suatu bentuk dukungan AS terhadap Taiwan dalam
merespon kebangkitan kekuatan Tiongkok (Haas, 2017).
Selain kontak militer, AS juga mendukung Taiwan dengan cara peningkatan penjualan
persenjataan ke Taiwan. Departemen Luar Negeri AS mengumumkan paket penjualan senjata
senilai 1,4 miliar dolar AS ke Taiwan (Singh, 2018) Kesepakatan itu terdiri dari tujuh item,
termasuk dukungan teknis untuk radar peringatan dini, rudal anti-radiasi, torpedo dan komponen
untuk rudal SM-2. Ini adalah penjualan pertama di bawah administrasi presiden Trump. Pada
masa kepemimpinan Barrack Obama pada 2015 AS juga telah melakukan penjualan senjata
senilai 1,8 miliar dollar AS ke Taiwan. Hal ini dilakukan oleh AS guna meningkatkan kemitraan
startegis dan memperkuat angkatan militer Taiwan di Kawasan Asia Timur.
Tidak hanya melakukan penjualan senjata ke Taiwan, tetapi pada kepemimpinan
sebelumnya, yaitu kepemimpinan Barrack Obama pada tahun 2009, AS mulai mengubah fokus
kebijakannya. Secara resmi AS menerapkan kebijakan rebalancing yang difokuskan ke Kawasan
Asia-Pasifik, sehingga fokus kebijakan luar negeri AS tidak lagi ke Kawasan Timur Tengah
melainkan Kawasan Asia. Kawasan Asia-Pasifik adalah kawasan yang memiliki nilai penting
dalam kegiatan dunia, melihat lokasi geografis dapat mempengaruhi kebijakan strategi dan
kekuatan suatu negara yang ingin mencapai kepentingan nasionalnya. Kawasan Asia-Pasifik
dipandang sebagai kawasan yang paling cocok untuk memahami pentingnya peran dalam
membangun interaksi yang sifatnya multilateral.
Setelah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS, Trump menandatangani Undang-
Undang Otorisasi Pertahanan Nasional (NDAA) Amerika Serikat untuk tahun 2018. Mengenai
masalah Taiwan, beberapa ketentuan dalam RUU tersebut menyerukan penguatan kemitraan
pertahanan dengan Taiwan, termasuk rekomendasi agar pasukan militer Taiwan diundang untuk
berpartisipasi dalam latihan militer, seperti latihan Red Flag dan latihan pelatihan pertempuran
udara (Maizland, 2019). Ketegangan dan dilema keamanan yang di rasakan oleh Tiongkok
ketika hubungan Tiongkok-AS telah memburuk, pasca perselisihan mengenai perdagangan dan
keamana di South China Sea.
Perilaku AS yang melakukan strategi balancing melalui kebijakan rebalancing dan latihan
militer antara AS-Taiwan merupakan bentuk sekaligus konfirmasi atas adanya rasa tidak aman
terhadap peningkatan kapabilitas yang sedang dialami oleh Tiongkok dalam beberapa tahun
terakhir. Rasa tidak aman yang dapat dikatakan sebagai ancaman kekuatan oleh Tiongkok
sehingga AS melakukan peningkatan kekuatan dan peningkatan aliansi.

5. Kesimpulan
Konstelasi hubungan AS-Taiwan diakibatkan oleh tantangan yang ada, baik tantangan internal
maupun eksternal. Hal ini menjadikan hubungan kedua negara tersebut menjadi hal yang menarik
untuk dibahas, seperti hubungan AS-Israel. Dengan masing-masing negara, AS memiliki
kepentingannya sendiri yang melatarbelakangi berbagai perjanjian kerja sama antara keduanya.
Dalam hal kerja sama AS dengan Taiwan, Taiwan menjadi negara dengan nilai geopolitik
yang penting khususnya dengan letak strategisnya di kawasan dalam upaya balancing AS
terhadap Tiongkok. Khususnya dalam aspek pertahanan, kerja sama dengan Taiwan menjadi
sebuah ancaman tersendiri bagi hubungan AS dengan Tongkok. Meskipun AS telah menyetujui
One China Policy dan tidak mengakui Taiwan secara langsung sebagai entitas yang berdaulat,
namun kerja sama dalam bidang militer dipandang Tiongkok sebagai hal serius yang melanggar
perjanjian One China Policy tersebut.
Dalam perkembangannya, hubungan AS-Taiwan pada masa pemerintahan Presiden
Trump mencapai titik signifikan yang berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya
di AS. Pada masa Presiden Trump, AS secara terang-terangan meningkatkan kerja sama
pertahanannya dengan Taiwan. Tindakan ini membuat Tiongkok menganggap keputusan AS
merupakan provokasi terhadap kedaulatannya, yang mana Taiwan dianggap sebagai bagian dari
Tiongkok dalam One China Policy versinya.
Pada gilirannya, signifikansi kerja sama pertahanan AS-Taiwan pada masa pemerintahan
Presiden Trump menjadi salah satu aspek balancing AS terhadap rising power Tiongkok. Di
kawasan sendiri, Tiongkok memiliki peran signifikan sehingga AS perlu menjaga pengaruhnya
melalui hubungan bilateralnya dengan masing-masing negara strategis, termasuk Taiwan. Dalam
ranah global, Presiden Trump ingin membuat Amerika ‘great again’, yang diwujudkan dalam
upayanya untuk mempertahankan status sebagai hegemoni. Sehingga, kekuatan baru apapun
dapat menjadi ancaman dalam politik internasional yang tidak stabil ini.
Referensi

Arms Control Association. (2012, October). U.S. Conventional Arms Sales to Taiwan 1980-2010:
Fact Sheets and Briefs. Retrieved from Arms Control Association:
https://www.armscontrol.org/factsheets/taiwanarms
China Embassy. (1972, February 28). Joint Communiqué of the People's Republic of China and the
United States of America (February 28, 1972). Retrieved from Embassy of the People's
Republic of China in the United States of America: http://www.china-
embassy.org/eng/zmgx/doc/ctc/t36255.htm
Greenert, A. J. (2018). Strengthening U.S.-Taiwan Defense Relations. The National Bureau of Asian
Research.
Haas, B. (2017, January 9). Taiwanese delegation will attend new president’s swearing-in, prompting
Beijing to warn it could ‘disturb or undermine Sino-US relations’. Trump inauguration:
Taiwan delegation could 'disturb Sino-US relations'. Hongkong: The Guardian. Retrieved
July 2019, from https://www.theguardian.com/us-news/2017/jan/19/trump-inauguration-
deepens-rift-with-china-over-taiwan
Maizland, L. (2019, April 3). U.S. Military Support for Taiwan: What’s Changed Under Trump?
Retrieved from Council on Foreign Relation: https://www.cfr.org/article/us-military-support-
taiwan-whats-changed-under-trump
McClaran, J. P. (2000). U.S. Arms Sales to Taiwan: Implications for the Future Sino-U.S.
Relationshop. Asian Survey, 40(4), 622-640.
Schweller, R. L. (2016). The Balance of Power in World Politics . Politics: Oxford Research
Encyclopedias, 1-6.
Sheenan, M. (2005). The Meanin of Balance of Power. In M. Sheenan, The Balance of Power:
History and Theory (pp. 4-5). London: Taylor & Francis e-Library.
Singh, T. (2018, March). Overview of US-China Relations under the Trump Administration.
Overview of US-China Relations under the Trump Administration, pp. 9-11.
Thompson, K. W. (1985). Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. In H. J.
Morgenthau, The Balance of Power (pp. 237-238). McGraw-Hill. Inc.
Toledo, P. (2019). Classic Realism and the Balance of Power Theory. 52-60.
US Government. (2018, August 31). U.S. Relations with Taiwan: Bilateral Relations Fact Sheet.
Retrieved from U.S. Department of State: https://www.state.gov/u-s-relations-with-taiwan/

Anda mungkin juga menyukai