Anda di halaman 1dari 10

Nama : Muhammad Faizal

NIM : 202110360311104
Kelas : Metodologi Hubungan Internasional-D

Analisis Kebijakan Amerika Serikat yang ambigu terhadap China dan Taiwan

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah

Dinamika politik internasional yang terjadi dalam kawasan Asia Timur merupakan
salah satu kajian yang menarik untuk di teliti oleh akademisi-akademisi keilmuan hubungan
internasional. Seperti Kerjasama yang terjadi antara negara-negara dalam kawasan ini,
sampai konflik-konflik yang ada, mewarnai konstelasi politik hubungan di kawasan asia
timur. Slah satu konflik berkepanjangan yang menjadi sorotan para studi hubungan
internasional adalah konflik yang terjadi antara cina dan Taiwan.

One China Policy atau yang bisa disebut Kebijakan Satu China ini adalah kebijakan
luar negeri China dengan negara lain yang hanya mengakui satu China. Dalam kebijakan nya
tersebut AS mengakui dan mengikuti kebijakan tersebut dan melakukan hubungan formal
dengan China. China disini hanya melihat pulau Taiwan itu hanyalah sebuah provinsi yang
terpisah dan ingin disatukan kembali dengan China Mainland/daratan China suatu hari nanti.
Hal ini juga merupakan kebijakan dasar hubungan diplomatic China-AS, akan tetapi dalam
kebijakan lainnya juga Washington ini melakukan hubungan tidak resmi dengan Taiwan,
yang mana bisa hubungan itu adalah menjual terus menerus persenjataan kepada Taiwan
untuk mempertahankan posisi dan mengantisipasi atas serangan yang mungkin saja dilakukan
China suatu saat nanti.1 Perkembangan konflik,kepentingan partai komunis, bagaimana
mencari jalan damai antar kedua negara, serta AS yang selalu membela dan melindungi
Taiwan. Sejarah Taiwan telah dipenuhi dengan serangkaian tantangan identitas yang
mengadu lokasi geopolitiknya yang strategis dengan proses demokratisasi dan pembangunan
bangsanya. Empat puluh tahun setelah Perang Saudara Tiongkok, posisi Taiwan sebagai garis
patahan dalam Perang Dingin bersama dengan ambisi Kuomintang untuk bersatu kembali
dengan Tiongkok telah menghambat pertumbuhan politik Taiwan dan pembangunan
bangsanya. Pada 1980-an, ganda Taiwan proses demokratisasi dan pembangunan bangsa
kemudian diprioritaskan, menghadirkannya dengan hambatan geo-strategis baru bagi Taiwan
dan Cina dan seluruh dunia.2

Selat Taiwan yang memisahkan China dan Taiwan merupakan salah satu titik nyala di
dunia, yang dapat memicu konflik militer serius antara kedua belah pihak. tidak hanya
mencakup Cina dan Taiwan tetapi juga AS. Dikatakan di sini bahwa untuk mempelajari
hubungan lintas Selat, penting untuk memeriksa berbagai tingkat permainan: internasional,
politik domestik, dan intrapartai. Ini adalah khususnya benar berkaitan dengan kasus Taiwan.
Jadi, meskipun ada ketegangan dari waktu ke waktu dalam interaksi lintas selat, dengan
adanya keseimbangan yang diinduksi preferensi di tingkat internasional, konflik militer yang
serius telah dihindari, dan dapat diharapkan bahwa perdamaian dan stabilitas dari beberapa
1
BBC, ‘Apa Kebijakan “Satu China”?’, 2021 <https://www.bbc.com/news/world-asia-china-38285354>
[accessed 17 October 2022].
2
Jing Feng, ‘Contending Identities: Taiwan and China’s Cross-Strait Relations’, 2018
<https://repository.usfca.edu/capstone>.
macam dapat dipertahankan di masa mendatang.3 Karena telah terjadi perdebatan publik yang
cukup besar tentang nilai kebijakan Satu-China, bagian ini akan dimulai dengan penjelasan
tentang bagaimana kebijakan tersebut telah membantu menjaga stabilitas di Selat Taiwan. Di
bawah kebijakan Satu-China (one china policy), Amerika Serikat tidak mengakui kedaulatan
China atas Taiwan, juga tidak mengakui kemerdekaan Taiwan posisi AS adalah bahwa status
Taiwan belum ditentukan. Seperti yang dijelaskan Richard Bush, Larangan alasan hukum
internasional untuk terus mengatakan bahwa status Taiwan belum ditentukan, logika yang
kembali ke tahun 1950-an, mengatakan bahwa selama itu kasusnya, Taiwan menjadi
perhatian internasional mengenai negara mana yang berhak untuk bertindak (misalnya
dengan menjual senjata atau membela pulau itu). Menolak pengakuan kedaulatan Tiongkok
atas Taiwan memungkinkan Amerika Serikat untuk mengakui RRT sebagai pemerintah
Tiongkok pada 1979 tanpa melepaskan haknya untuk campur tangan jika terjadi permusuhan
antara Beijing dan Taipei. Apakah Amerika Serikat benar-benar akan campur tangan atau
tidak, tidak jelas, mengingat kebijakan tradisional ambiguitas strategis. Namun, karena
pasukan AS akan memainkan peran yang menentukan dalam konflik semacam itu, posisi ini
tidak diragukan lagi membantu menghalangi Beijing untuk menggunakan kekuatan militer.4

Masalah Taiwan menjadi semakin menonjol dalam beberapa tahun terakhir. Selama
periode ini, Taipei telah melakukan upaya yang berkembang untuk mendefinisikan kembali
status kedaulatan Taiwan melalui manipulasi politik di dalam dan di luar pulau. Washington
telah berusaha untuk menopang posisi Taipei dengan meningkatkan hubungan mereka ke
tingkat yang lebih resmi dan dengan memfasilitasi upaya Taipei untuk memperluas “ruang
internasionalnya”. Di berbagai tanggapan, Beijing telah mengintensifkan tekanan diplomatik
dan militernya di Taipei untuk menghalangi upaya yang dirasakan oleh Taipei dan
Washington untuk mengubah status kedaulatan Taiwan. Akibatnya, ketiga belah pihak telah
melihat interaksi mereka terperangkap dalam lingkaran setan, membuat konfrontasi militer
dan bahkan perang habis-habisan menjadi semakin mungkin terjadi.5

Konflik China-Taiwan bisa saja dilihat sebagai persoalan internal bagi China. Namun,
kehadiran Taiwan sebagai entitas yang cukup penting di kawasan telah mengundang AS,
yang juga memiliki kepentingan dengan Taiwan dan juga kawasan, untuk menaruh perhatian
pada persoalan yang terjadi di Taiwan, termasuk dalam hubungan China-Taiwan.
Kepentingan AS adalah menjaga konflik China-Taiwan tidak menimbulkan persoalan bagi
kelangsungan kepentingan AS di kawasan Asia-Pasifik. Sebaliknya, bagi China, persoalan
Taiwan adalah urusan internal yang tidak bisa dikompromikan, dan menjadi urusan China
untuk menanganinya.6 Ambiguitas strategis AS dan hubungan China-Taiwan. Presiden AS ,
Trump telah mempertahankan ambiguitas strategis dalam hubungan lintas selat. Terlepas dari
kebebasan yang diberikan kepada para pemimpin ini oleh dokumen-dokumen yang
mendukung ambiguitas strategis, ada kesinambungan yang luar biasa di seluruh pemerintahan
dalam menjaga keseimbangan ketidakpastian antara Taiwan dan China. Sementara kadang-
kadang presiden tertentu sedikit condong ke Taiwan atau China, tidak ada yang menyimpang

3
S.-J. Shi, ‘The Changing Credibility of Institutions: How Household Registration Systems (Hukou) in Mainland
China and Taiwan Define Immigrants’ Social Benefits’, Journal of Chinese Governance, 6.2 (2021), 307–26
<https://doi.org/10.1080/23812346.2021.1896206>.
4
J Lee, ‘Did Thucydides Believe in Thucydides’ Trap? The History of the Peloponnesian War and Its Relevance
to U.S.-China Relations’, Journal of Chinese Political Science, 24.1 (2019), 67–86
<https://doi.org/10.1007/s11366-019-09607-0>.
5
Q Jia, ‘Taiwan: Can a Perfect Storm Be Averted?’, China International Strategy Review, 3.1 (2021), 66–82
<https://doi.org/10.1007/s42533-021-00080-0>.
6
Konflik China-taiwan D A N Respons, ‘Konflik China-Taiwan Dan Respons Amerika Serikat 7’, September, 2021.
dari ambiguitas strategis ketika ketidakseimbangan mengancam untuk memberanikan kedua
belah pihak menuju tindakan yang dapat memicu konflik di selat. .7
Berdasarkan fenemona yang terjadi maka penulis ingin menganalisis alasan mengapa
Amerika Serikat menerapkan kebijakan yang ambigu terhadap China dan Taiwan.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan atas latar belakang yang telah terurai di atas, maka rumusan masalah dari
penelitian ini ialah: “Mengapa Amerika Serikat melakukan kebijakan yang Ambiguitas
yang mana mengakui kebijakan One China Policy akan tetapi tetap menjalin berbagai
hubungan Kerjasama dengan Taiwan?”

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan Penelitian
Atas rumusan masalah di atas, penelitian ini disusun untuk mengatahui alasan dibalik
kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang menerapkan kebijakan luar negeri yang
ambiguitas terhadap China dan Taiwan.
1.4. Penelitian Terdahulu
Pada penelitian ini penulis mengambil rujukan dari berbagai penelitian terdahulu yang
memiliki keterkaitan atas isu yang dibahas pada apa yang sedang diteliti oleh penulis,
terutama penelitian yang terkait dengan kepentingan suatu negara terhadap negara lain.
Penelitian mengenai Kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang ambiguitas telah
banyak dilakukan ada yang berhasil dan ada pula yang tidak sampai mencapai target dan
yang dianggap berhasil ternyata telah menjadi acuan.
Ada beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan sebelumnya, dan menjadi
bahan acuan dan referensi bagi penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Penelitian-
penelitian terdahulu tersebut berkaitan dengan penelitian penulis. Antara lain dalam
pembahasan mengenai faktor yang melatar belakangi mengapa Amerika Serikat
menerapkan kebijakan yang ambiguitas terhadap China dan Taiwan di kawasan Asia
Timur.
Adapun penelitian terdahulu yang pertama, yang ditulis oleh Dion Maulana
Prasetya, yang berjudul “STRATEGI DEFENSIF RRC DALAM MERESPON
KEBIJAKAN AS ATAS TAIWAN”.
Permasalahan yang dibahas pada penelitian ini adalah mengapa strategi RRC terhadap
AS berkaitan dengan Taiwan bersifat defensive dikarenakan Penjualan senjata oleh
7
H T Boon and H E Sworn, ‘Strategic Ambiguity and the Trumpian Approach to China-Taiwan Relations’,
International Affairs, 96.6 (2020), 1487–1508 <https://doi.org/10.1093/ia/iiaa160>.
Amerika Serikat kepada Taiwan. Di bawah kerangka perjanjian Taiwan Relations Act
(TRA), Amerika Serikat berhak untuk menyediakan persenjataan untuk tujuan
pertahanan bagi Taiwan. Hal ini dilakukan AS untuk melindungi Taiwan dari
kemungkinan tindakan unilateral Cina. Kebijakan AS ini sangat mempengaruhi Cina,
yang menganggap bahwa Taiwan merupakan salah satu propinsi yang memberontak dari
Tanah Air. Bagi Cina, status Taiwan telah final dan tidak dapat dirubah, yaitu merupakan
bagian dari Republik Rakyat Cina, dan tidak akan pernah memperoleh kemerdekaan
secara de jure. Sehingga kebijakan AS menjual persenjataan dalam jumlah besar, seperti
yang terjadi pada tahun 2010, dipandang oleh Cina sebagai dukungan untuk
kemerdekaan Taiwan. Penelitian ekplanatif ini berfokus pada aspek keamanan RRC yang
berkaitan dengan AS – dengan Taiwan sebagai driving force- nya. Yang mana
Sedangkan untuk lingkup waktu, penulis membatasi bahasan hanya pada tahun 2000-
2010 saja.8
Penelitian terdahulu yang kedua, adalah penelitian yang ditulis oleh Iin Norfita
Ningrum dengan judul “ALASAN TAIWAN MELAKUKAN PEMBELIAN
ALUTSISTA DENGAN AMERIKA SERIKAT PADA TAHUN 2017 – 2020” dalam
penelitian ini penulis membahas mengenai alasan pembelian alutsista dari Taiwan ke
Amerika Serikat. Taiwan adalah salah satu daerah yang menggunakan senjata dari AS.
Sebanyak 70 persen senjata Taiwan diimpor dari AS sedangkan 30 persen sisanya
merupakan senjata buatan dalam negeri yang bekerja sama dengan perusahaan senjata
AS. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Dalam
penelitian ini digunakan teori pilihan rasional dan konsep revolusi dalam urusan militer
dengan melihat kasus-kasus penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pembelian alutsista oleh Taiwan ke Amerika Serikat dikarenakan perjanjian Taiwan
Relations Act (TRA) yang disepakati pada tahun 1979 yang membuat Taiwan tergantung
untuk membeli senjata militer terhadap AS. Selain itu juga untuk merevitalisasi dan
meningkatkan kebutuhan akan modernisasi alutsista Taiwan, sehingga membuat Taiwan
merasa percaya diri untuk melawan China yang semakin besar.9
Penelitan rujukan ketiga adalah penelitian dengan judul “PENGARUH
PENINGKATAN KAPABILITAS MILITER TAIWAN TERHADAP TAIWAN
STATE’S CONFINDENCE DALAM MERESPON ANCAMAN DARI CINA” yang
8
DION MAULANA Prasetya, ‘Strategi Defensif RRC Dalam Merespon Kebijakan AS Atas Taiwan’ (Universitas
Muhammadiyah Malang, 2013).
9
Iin Norfita Ningrum, ‘ALASAN TAIWAN MELAKUKAN PEMBELIAN ALUTSISTA DENGAN AMERIKA SERIKAT PADA
TAHUN 2017 - 2020’ (universitas Muhammadiyah Malang, 2022).
disusun oleh Julia Christiara Anggraini Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Malang, dalam penelitian tersebut peneliti membahas
mengenai upaya berkelanjutan dari China untuk mendorong Taiwan memenuhi target
reunifikasi China. Mulai dari jaminan pemenuhan untuk seluruh wilayah dan
kesejahteraan rakyat Taiwan juga melalui ancaman terhadap kedaulatan Taiwan. Di sisi
lain, setelah peningkatan kemampuan militer yang dilakukan Taiwan melalui kerja sama
dengan Amerika Serikat, usulan reunifikasi China tampaknya bukan lagi hal yang
menakutkan bagi Taiwan. Apalagi setelah aliansi dengan Amerika Serikat yang semakin
memperkuat Taiwan untuk menolak reunifikasi. Penelitian ini menggunakan balance of
power dan military ability sebagai teori untuk menjelaskan sejauh mana pengaruh
peningkatan kapabilitas militer Taiwan terhadap tindakan menolak Taiwan atas
reunifikasi China.10
Penelitian rujukan ke empat adalah penelitian yang disusun oleh Mila Cahya Listiana
Juli Fradika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang
dengan judul “KEBIJAKAN ONE CHINA POLICY VERSI TAIWAN SEBAGAI
RESPON REUNIFIKASI TIONGKOK PADA MASA PEMERINTAHAN LEE TENG
HUI” yang meneliti mengenai alasan Taiwan menggunakan Kebijakan Satu China
Taiwan untuk menanggapi reunifikasi China pada masa pemerintahan Lee Teng Hui. Di
bawah kepemimpinannya, Lee Teng Hui memilih pragmatis dengan membuka hubungan
Taiwan-Tiongkok melalui SEF dan ARATS. Dari kedua badan ini adalah kesepakatan
konsensus tahun 1992 bahwa Taiwan-Cina memiliki hak untuk memiliki interpretasinya
sendiri atas prinsip Kebijakan Satu Cina. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori
konstruktivisme Alexander Wendt yang menekankan pada identitas dan bagaimana
pengaruhnya terhadap kebijakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai
intrinsik KMT (Three People Principles) membangun identitas Taiwan secara pribadi
sebagai negara demokrasi. Fondasi identitas, memberi makna pada situasi bahwa One
China Policy merupakan ancaman kedaulatan. Interpretasi Taiwan atas situasi tersebut
adalah alasan dasar untuk mempertahankan kedaulatannya. Ketertarikan inilah yang
mendorong Lee Teng Hui mengeluarkan One China Policy Taiwan sebagai penegasan

10
Julia Christiara Anggraini, ‘PENGARUH PENINGKATAN KAPABILITAS MILITER TAIWAN TERHADAP TAIWAN
STATE’S CONFINDENCE DALAM MERESPON ANCAMAN DARI CINA’ (Universitas Muhammadiyah Malang,
2019).
bahwa Taiwan tetap mengakui China, dan menganggap China adalah negara yang setara
dengan Taiwan.11

1.5. Kerangka Pemikiran


1.5.1. Teori Rational Choice
Rational Choice Theory yang juga dikenal dengan sebagai Rational Action Theory
adalah teori yang digagas oleh ahli sejarah ekonomi AS yaitu Gary Becker yang
memenangkan hadiah nobel pada tahun 1992. Teori ini didasarkan pada premis bahwa para
pembuat keputusan cenderung melakukan pilihan rasional setelah menimbang-menimbang
secara cermat keuntungan maksimal yang diperoleh dari sejumlah kemungkinan yang ada.
Teori ini mengasumsikan bahwa setiap individu yang normal sudah pasti berpikir rasional
dalam menentukan pilihan keputusan tertentu. Pertimbangan untung-rugi secara teliti yang
dilakukan individu dapat berbuah pada keputusan yang baik dan berdaya guna.12
1.5.2. Konsep Strategic Ambiguity
Strategic Ambiguity merupakan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap
Republik Rakyat Cina dan Republik Cina atau yang lebih dikenal dengan Taiwan,
dimana kebijakan tersebut memiliki pola relasi yang bersifat dualistik, dimana pada satu
sisi, Amerika Serikat memberikan legitimasi dukunganya pada kebijakan One China
Policy yang menyatakan bahwa hanya terdapat satu Cina, dengan kata lain memberikan
pengakuan bahwa Taiwan harus menjadi bagian dari Cina, dan pada sisi lainnya tetap
memberikan bantuan politik dan militer bagi pemerintah Taiwan sebagai bentuk ekspresi
bahwa Amerika Serikat juga tetap memiliki kepentingan untuk menjadikan Taiwan
sebagai mitra strategisnya. Kebijakan luar negeri ini pada dasarnya diformulasikan
sebagai bentuk balancing dalam hal pembentukan kemitraan ekonomi dengan Cina
sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi paling besar di dunia, juga Taiwan
itu sendiri, serta sebagai bentuk balancing atas military containment terhadap kekuatan
Cina di Asia Timur, bersama sama dengan Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Filipina.13

11
Mila Cahya Listiana Juli Fradika, ‘KEBIJAKAN ONE CHINA POLICY VERSI TAIWAN SEBAGAI RESPON
REUNIFIKASI TIONGKOK PADA MASA PEMERINTAHAN LEE TENG HUI’ (universitas Muhammadiyah Malang,
2018).
12
Bob Sugeng Hadiwinata, Studi Dan Teori Hubungan Internasional (Jakarta: yayasan pustaka obor indonesia,
2017), VII <https://books.google.com/books?
hl=id&lr=&id=_fY8DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA15&dq=hubungan+internasional&ots=Ts8-
yEZ73E&sig=THkL5E58Ld-lx95nTqjb1TcOokw>.
13
Kerry B Dumbaugh, ‘Taiwan: Recent Developments and U.S. Policy Choices (Updated March 17, 2005)’, CRS
Issue Brief for Congress (IB98034), 2005
<http://www.globalsecurity.org/military/library/report/crs/44122.pdf>.
Konsep ini berarti Amerika berusaha untuk membuat hubungannya berjalan baik
dengan Cina dan Taiwan, tanpa membuat satu sama lain saling terprovokasi, sehingga
dapat menjaga kredibilitas, perdamaian, dan stabilitas di kawasan. Konsep ini muncul
karena konflik antara PRC (Cina) dan Republic of China/ROC (Taiwan) yang
memperebutkan status resmi pemerintah Cina. Meskipun Cina dan Taiwan sama-sama
menyetujui One China Policy, namun keduanya memiliki interpretasi yang berbeda
terhadap hal ini. PRC menganggap One China Policy sebagai sebuah kebijakan dimana
PRC mengontrol sepenuhnya seluruh pemerintahan di Cina, termasuk Taiwan, yang
merupakan bagian dari Cina. Sedangkan ROC menganggap One China Policy berarti
kesatuan Cina secara geografis dan kultur. Kesatuan politik nantinya akan dicapai di
masa depan yang belum spesifik kapan waktunya, dengan kesatuan ideologi antara PRC
dan ROC. Taiwan terus berupaya mencari dukungan internasional agar mengakuinya
sebagai sebuah negara yang memiliki kedaulatan. .14
Kondisi ini menjadikan Amerika Serikat harus menentukan posisinya. Bagi AS, Cina
adalah potensi pasar yang besar untuk bisnis, sedangkan Taiwan adalah aliansi lama yang
dapat dipercaya dan menjadi parter perdagangan besar. Di satu sisi, kepentingan ekonomi
AS di Cina akan terganggu jika AS memiliki konflik dengan Cina terkait status Taiwan.
Namun di sisi lain, jika AS mengabaikan Taiwan maka kredibilitas AS secara
internasional dan perdagangan dengan Taiwan akan terganggu. Hal inilah yang menjadi
latar belakang munculnya konsep kebijakan strategic ambiguity, yaitu a policy that
intentionally introduces uncertainty into the decision making processes of both China
and Taiwan. Dengan konsep ini, AS tidak memiliki arah kebijakan yang pasti (uncertain)
untuk mendukung atau melawan baik Cina maupun Taiwan. Seluruh kebijakan AS akan
bergantung pada konteks apa kebijakan tersebut dibuat.15

1.6. Metodologi Penelitian


1.6.1 Level Analisa
Unit Analisis : Kebijakan Amerika Serikat terhaadap konflik China dan Taiwan
Unit Explanasi : Alasan dibalik Amerika Serikat membuat kebijakan yang ambigu
terhadap konflik yang terjadi di China dan Taiwan
1.6.2 Metode/ Tipe Penelitian

14
Brett V Benson, ‘Comprehending Strategic Ambiguity : US Security Commitment to Taiwan’, Duke University,
2001.
15
Raymond Kuo, ‘“Strategic Ambiguity” Has the U.S. and Taiwan Trapped’, Foreignpolicy.Com, 2023
<https://foreignpolicy.com/2023/01/18/taiwan-us-china-strategic-ambiguity-military-strategy-asymmetric-
defense-invasion/>.
Penelitian ini berbentuk penelitian ekplanatif, di mana peneliti berusaha menjelaskan
hubungan kausalitas yang terjadi antar variabel. Lebih khusus peneliti Konsep Strategic
Ambiguity ingin menggambarkan pola kebijakan AS terhadap konflik China dan Taiwan.
Kemudian penulis juga mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan AS
yang ambigu atas konflik tersebut. Setelah itu peneliti berusaha menghubungkan kedua
variabel tersebut, dan menjelaskannya secara eksplanatif.
1.6.3 Teknik Analisa Data
Secara garis besar tahapan analisis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Seelah pengumpulan data, langkah selanjutnya adalah pengolahan data, yang mencakup
peninjauan dan pemilihan data berdasarkan kebutuhan penelitian, serta memperluas beberapa
konsep yang relevan. Jika ada data yang tidak terpakai, maka akan dihilangkan. Setelah
mengumpulkan data yang diperlukan, data tersebut dianalisis hingga diperoleh suatu
kesimpulan yang merupakan hasil akhir dari penelitian ini. Analisis data penelitian ini
menggunakan analisis kualitatif deduktif untuk menilai suatu hipotesis.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data melalui kajian literatur. Penulis akan
menginvestigasi data yang berkaitan dengan pembahasan seputar judul studi tersebut,
“Kebijakan Amerika Serikat yang ambigu terhadap China dan Taiwan.” Data penelitian
penelitian ini dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan, khususnya dari referensi yang
relevan seperti buku, jurnal, website pemerintah, dan media massa elektronik..

1.6.5 Ruang Lingkup Penelitian


a. Batasan Wktu
Peneliti akan membatasi ruang lingkup penelitian hanya pada aspek faktor-faktor yang
mempengaruhi dari 3 rezim pemerintahan Barack Obama, Donald Trumph dan Joe Biden
menetapkan kebijakan yang ambigu terhadap China dan Taiwan. Sehingga untuk waktu
lingkup penelitian hanya dari 2009-2023 saja.

1.7. Argumen Dasar


Penulis memiliki hipotesa dalam menjawab rumusan masalah penelitian ini, bahwa
Rasionalitas AS dalam mengambil keputusan yang menyebabkan ambiguitas kebijakan yang
diterapkan oleh AS terhadap China dan Taiwan dikarenakan AS memiliki kebijakan ekonomi
terhadap kedua negara, disatu sisi AS ingin mempertahankan keuntungan ekonomi dari
hubungan bilateral dengan China, AS mendapat keuntungan dari arus perdagangan dan
investasi dengan China. Kombinasi perdagangan bilateral, investasi, dan integrasi rantai
pasokan telah mendukung pertumbuhan ekonomi, pilihan konsumen, dan penciptaan
lapangan kerja. Sedangkan disatu sisi lainnya hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan
Taiwan, AS sendiri adalah mitra dagang barang terbesar kedua Taiwan. Itu juga merupakan
sumber impor terbesar ketiga Taiwan, senilai USD $46 miliar, serta tujuan ekspor terbesar
kedua, senilai USD $75 miliar. karena perdagangan AS dengan negara negara lain
meningkat, perdagangan AS-Taiwan telah mencapai nilai tertinggi yang pernah ada, dua kali
lipat dari nilai yang diperdagangkan pada tahun 2017 (USD $68 miliar). Berdasarkan faktor
yang didasari data diatas, hal ini lah yang membuat AS berpikir rasional terhadap
kebijakannya kepada kedua negara tersebut yang mana itu menghasilkan kebijakan yang
ambigu oleh AS.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, Julia Christiara, ‘PENGARUH PENINGKATAN KAPABILITAS MILITER


TAIWAN TERHADAP TAIWAN STATE’S CONFINDENCE DALAM MERESPON
ANCAMAN DARI CINA’ (Universitas Muhammadiyah Malang, 2019)
BBC, ‘Apa Kebijakan “Satu China”?’, 2021 <https://www.bbc.com/news/world-asia-china-
38285354> [accessed 17 October 2022]
Benson, Brett V, ‘Comprehending Strategic Ambiguity : US Security Commitment to
Taiwan’, Duke University, 2001
Boon, H T, and H E Sworn, ‘Strategic Ambiguity and the Trumpian Approach to China-
Taiwan Relations’, International Affairs, 96.6 (2020), 1487–1508
<https://doi.org/10.1093/ia/iiaa160>
Dumbaugh, Kerry B, ‘Taiwan: Recent Developments and U.S. Policy Choices (Updated
March 17, 2005)’, CRS Issue Brief for Congress (IB98034), 2005
<http://www.globalsecurity.org/military/library/report/crs/44122.pdf>
Fradika, Mila Cahya Listiana Juli, ‘KEBIJAKAN ONE CHINA POLICY VERSI TAIWAN
SEBAGAI RESPON REUNIFIKASI TIONGKOK PADA MASA PEMERINTAHAN
LEE TENG HUI’ (universitas Muhammadiyah Malang, 2018)
Hadiwinata, Bob Sugeng, Studi Dan Teori Hubungan Internasional (Jakarta: yayasan pustaka
obor indonesia, 2017), VII <https://books.google.com/books?
hl=id&lr=&id=_fY8DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA15&dq=hubungan+internasional&ot
s=Ts8-yEZ73E&sig=THkL5E58Ld-lx95nTqjb1TcOokw>
Jia, Q, ‘Taiwan: Can a Perfect Storm Be Averted?’, China International Strategy Review, 3.1
(2021), 66–82 <https://doi.org/10.1007/s42533-021-00080-0>
Jing Feng, ‘Contending Identities: Taiwan and China’s Cross-Strait Relations’, 2018
<https://repository.usfca.edu/capstone>
Kuo, Raymond, ‘“Strategic Ambiguity” Has the U.S. and Taiwan Trapped’,
Foreignpolicy.Com, 2023 <https://foreignpolicy.com/2023/01/18/taiwan-us-china-
strategic-ambiguity-military-strategy-asymmetric-defense-invasion/>
Lee, J, ‘Did Thucydides Believe in Thucydides’ Trap? The History of the Peloponnesian War
and Its Relevance to U.S.-China Relations’, Journal of Chinese Political Science, 24.1
(2019), 67–86 <https://doi.org/10.1007/s11366-019-09607-0>
Ningrum, Iin Norfita, ‘ALASAN TAIWAN MELAKUKAN PEMBELIAN ALUTSISTA
DENGAN AMERIKA SERIKAT PADA TAHUN 2017 - 2020’ (universitas
Muhammadiyah Malang, 2022)
Prasetya, DION MAULANA, ‘Strategi Defensif RRC Dalam Merespon Kebijakan AS Atas
Taiwan’ (Universitas Muhammadiyah Malang, 2013)
Respons, Konflik China-taiwan D A N, ‘Konflik China-Taiwan Dan Respons Amerika
Serikat 7’, September, 2021
Shi, S.-J., ‘The Changing Credibility of Institutions: How Household Registration Systems
(Hukou) in Mainland China and Taiwan Define Immigrants’ Social Benefits’, Journal
of Chinese Governance, 6.2 (2021), 307–26
<https://doi.org/10.1080/23812346.2021.1896206>

Anda mungkin juga menyukai