NIM : 202110360311104
Kelas : Metodologi Hubungan Internasional-D
Analisis Kebijakan Amerika Serikat yang ambigu terhadap China dan Taiwan
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dinamika politik internasional yang terjadi dalam kawasan Asia Timur merupakan
salah satu kajian yang menarik untuk di teliti oleh akademisi-akademisi keilmuan hubungan
internasional. Seperti Kerjasama yang terjadi antara negara-negara dalam kawasan ini,
sampai konflik-konflik yang ada, mewarnai konstelasi politik hubungan di kawasan asia
timur. Slah satu konflik berkepanjangan yang menjadi sorotan para studi hubungan
internasional adalah konflik yang terjadi antara cina dan Taiwan.
One China Policy atau yang bisa disebut Kebijakan Satu China ini adalah kebijakan
luar negeri China dengan negara lain yang hanya mengakui satu China. Dalam kebijakan nya
tersebut AS mengakui dan mengikuti kebijakan tersebut dan melakukan hubungan formal
dengan China. China disini hanya melihat pulau Taiwan itu hanyalah sebuah provinsi yang
terpisah dan ingin disatukan kembali dengan China Mainland/daratan China suatu hari nanti.
Hal ini juga merupakan kebijakan dasar hubungan diplomatic China-AS, akan tetapi dalam
kebijakan lainnya juga Washington ini melakukan hubungan tidak resmi dengan Taiwan,
yang mana bisa hubungan itu adalah menjual terus menerus persenjataan kepada Taiwan
untuk mempertahankan posisi dan mengantisipasi atas serangan yang mungkin saja dilakukan
China suatu saat nanti.1 Perkembangan konflik,kepentingan partai komunis, bagaimana
mencari jalan damai antar kedua negara, serta AS yang selalu membela dan melindungi
Taiwan. Sejarah Taiwan telah dipenuhi dengan serangkaian tantangan identitas yang
mengadu lokasi geopolitiknya yang strategis dengan proses demokratisasi dan pembangunan
bangsanya. Empat puluh tahun setelah Perang Saudara Tiongkok, posisi Taiwan sebagai garis
patahan dalam Perang Dingin bersama dengan ambisi Kuomintang untuk bersatu kembali
dengan Tiongkok telah menghambat pertumbuhan politik Taiwan dan pembangunan
bangsanya. Pada 1980-an, ganda Taiwan proses demokratisasi dan pembangunan bangsa
kemudian diprioritaskan, menghadirkannya dengan hambatan geo-strategis baru bagi Taiwan
dan Cina dan seluruh dunia.2
Selat Taiwan yang memisahkan China dan Taiwan merupakan salah satu titik nyala di
dunia, yang dapat memicu konflik militer serius antara kedua belah pihak. tidak hanya
mencakup Cina dan Taiwan tetapi juga AS. Dikatakan di sini bahwa untuk mempelajari
hubungan lintas Selat, penting untuk memeriksa berbagai tingkat permainan: internasional,
politik domestik, dan intrapartai. Ini adalah khususnya benar berkaitan dengan kasus Taiwan.
Jadi, meskipun ada ketegangan dari waktu ke waktu dalam interaksi lintas selat, dengan
adanya keseimbangan yang diinduksi preferensi di tingkat internasional, konflik militer yang
serius telah dihindari, dan dapat diharapkan bahwa perdamaian dan stabilitas dari beberapa
1
BBC, ‘Apa Kebijakan “Satu China”?’, 2021 <https://www.bbc.com/news/world-asia-china-38285354>
[accessed 17 October 2022].
2
Jing Feng, ‘Contending Identities: Taiwan and China’s Cross-Strait Relations’, 2018
<https://repository.usfca.edu/capstone>.
macam dapat dipertahankan di masa mendatang.3 Karena telah terjadi perdebatan publik yang
cukup besar tentang nilai kebijakan Satu-China, bagian ini akan dimulai dengan penjelasan
tentang bagaimana kebijakan tersebut telah membantu menjaga stabilitas di Selat Taiwan. Di
bawah kebijakan Satu-China (one china policy), Amerika Serikat tidak mengakui kedaulatan
China atas Taiwan, juga tidak mengakui kemerdekaan Taiwan posisi AS adalah bahwa status
Taiwan belum ditentukan. Seperti yang dijelaskan Richard Bush, Larangan alasan hukum
internasional untuk terus mengatakan bahwa status Taiwan belum ditentukan, logika yang
kembali ke tahun 1950-an, mengatakan bahwa selama itu kasusnya, Taiwan menjadi
perhatian internasional mengenai negara mana yang berhak untuk bertindak (misalnya
dengan menjual senjata atau membela pulau itu). Menolak pengakuan kedaulatan Tiongkok
atas Taiwan memungkinkan Amerika Serikat untuk mengakui RRT sebagai pemerintah
Tiongkok pada 1979 tanpa melepaskan haknya untuk campur tangan jika terjadi permusuhan
antara Beijing dan Taipei. Apakah Amerika Serikat benar-benar akan campur tangan atau
tidak, tidak jelas, mengingat kebijakan tradisional ambiguitas strategis. Namun, karena
pasukan AS akan memainkan peran yang menentukan dalam konflik semacam itu, posisi ini
tidak diragukan lagi membantu menghalangi Beijing untuk menggunakan kekuatan militer.4
Masalah Taiwan menjadi semakin menonjol dalam beberapa tahun terakhir. Selama
periode ini, Taipei telah melakukan upaya yang berkembang untuk mendefinisikan kembali
status kedaulatan Taiwan melalui manipulasi politik di dalam dan di luar pulau. Washington
telah berusaha untuk menopang posisi Taipei dengan meningkatkan hubungan mereka ke
tingkat yang lebih resmi dan dengan memfasilitasi upaya Taipei untuk memperluas “ruang
internasionalnya”. Di berbagai tanggapan, Beijing telah mengintensifkan tekanan diplomatik
dan militernya di Taipei untuk menghalangi upaya yang dirasakan oleh Taipei dan
Washington untuk mengubah status kedaulatan Taiwan. Akibatnya, ketiga belah pihak telah
melihat interaksi mereka terperangkap dalam lingkaran setan, membuat konfrontasi militer
dan bahkan perang habis-habisan menjadi semakin mungkin terjadi.5
Konflik China-Taiwan bisa saja dilihat sebagai persoalan internal bagi China. Namun,
kehadiran Taiwan sebagai entitas yang cukup penting di kawasan telah mengundang AS,
yang juga memiliki kepentingan dengan Taiwan dan juga kawasan, untuk menaruh perhatian
pada persoalan yang terjadi di Taiwan, termasuk dalam hubungan China-Taiwan.
Kepentingan AS adalah menjaga konflik China-Taiwan tidak menimbulkan persoalan bagi
kelangsungan kepentingan AS di kawasan Asia-Pasifik. Sebaliknya, bagi China, persoalan
Taiwan adalah urusan internal yang tidak bisa dikompromikan, dan menjadi urusan China
untuk menanganinya.6 Ambiguitas strategis AS dan hubungan China-Taiwan. Presiden AS ,
Trump telah mempertahankan ambiguitas strategis dalam hubungan lintas selat. Terlepas dari
kebebasan yang diberikan kepada para pemimpin ini oleh dokumen-dokumen yang
mendukung ambiguitas strategis, ada kesinambungan yang luar biasa di seluruh pemerintahan
dalam menjaga keseimbangan ketidakpastian antara Taiwan dan China. Sementara kadang-
kadang presiden tertentu sedikit condong ke Taiwan atau China, tidak ada yang menyimpang
3
S.-J. Shi, ‘The Changing Credibility of Institutions: How Household Registration Systems (Hukou) in Mainland
China and Taiwan Define Immigrants’ Social Benefits’, Journal of Chinese Governance, 6.2 (2021), 307–26
<https://doi.org/10.1080/23812346.2021.1896206>.
4
J Lee, ‘Did Thucydides Believe in Thucydides’ Trap? The History of the Peloponnesian War and Its Relevance
to U.S.-China Relations’, Journal of Chinese Political Science, 24.1 (2019), 67–86
<https://doi.org/10.1007/s11366-019-09607-0>.
5
Q Jia, ‘Taiwan: Can a Perfect Storm Be Averted?’, China International Strategy Review, 3.1 (2021), 66–82
<https://doi.org/10.1007/s42533-021-00080-0>.
6
Konflik China-taiwan D A N Respons, ‘Konflik China-Taiwan Dan Respons Amerika Serikat 7’, September, 2021.
dari ambiguitas strategis ketika ketidakseimbangan mengancam untuk memberanikan kedua
belah pihak menuju tindakan yang dapat memicu konflik di selat. .7
Berdasarkan fenemona yang terjadi maka penulis ingin menganalisis alasan mengapa
Amerika Serikat menerapkan kebijakan yang ambigu terhadap China dan Taiwan.
10
Julia Christiara Anggraini, ‘PENGARUH PENINGKATAN KAPABILITAS MILITER TAIWAN TERHADAP TAIWAN
STATE’S CONFINDENCE DALAM MERESPON ANCAMAN DARI CINA’ (Universitas Muhammadiyah Malang,
2019).
bahwa Taiwan tetap mengakui China, dan menganggap China adalah negara yang setara
dengan Taiwan.11
11
Mila Cahya Listiana Juli Fradika, ‘KEBIJAKAN ONE CHINA POLICY VERSI TAIWAN SEBAGAI RESPON
REUNIFIKASI TIONGKOK PADA MASA PEMERINTAHAN LEE TENG HUI’ (universitas Muhammadiyah Malang,
2018).
12
Bob Sugeng Hadiwinata, Studi Dan Teori Hubungan Internasional (Jakarta: yayasan pustaka obor indonesia,
2017), VII <https://books.google.com/books?
hl=id&lr=&id=_fY8DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA15&dq=hubungan+internasional&ots=Ts8-
yEZ73E&sig=THkL5E58Ld-lx95nTqjb1TcOokw>.
13
Kerry B Dumbaugh, ‘Taiwan: Recent Developments and U.S. Policy Choices (Updated March 17, 2005)’, CRS
Issue Brief for Congress (IB98034), 2005
<http://www.globalsecurity.org/military/library/report/crs/44122.pdf>.
Konsep ini berarti Amerika berusaha untuk membuat hubungannya berjalan baik
dengan Cina dan Taiwan, tanpa membuat satu sama lain saling terprovokasi, sehingga
dapat menjaga kredibilitas, perdamaian, dan stabilitas di kawasan. Konsep ini muncul
karena konflik antara PRC (Cina) dan Republic of China/ROC (Taiwan) yang
memperebutkan status resmi pemerintah Cina. Meskipun Cina dan Taiwan sama-sama
menyetujui One China Policy, namun keduanya memiliki interpretasi yang berbeda
terhadap hal ini. PRC menganggap One China Policy sebagai sebuah kebijakan dimana
PRC mengontrol sepenuhnya seluruh pemerintahan di Cina, termasuk Taiwan, yang
merupakan bagian dari Cina. Sedangkan ROC menganggap One China Policy berarti
kesatuan Cina secara geografis dan kultur. Kesatuan politik nantinya akan dicapai di
masa depan yang belum spesifik kapan waktunya, dengan kesatuan ideologi antara PRC
dan ROC. Taiwan terus berupaya mencari dukungan internasional agar mengakuinya
sebagai sebuah negara yang memiliki kedaulatan. .14
Kondisi ini menjadikan Amerika Serikat harus menentukan posisinya. Bagi AS, Cina
adalah potensi pasar yang besar untuk bisnis, sedangkan Taiwan adalah aliansi lama yang
dapat dipercaya dan menjadi parter perdagangan besar. Di satu sisi, kepentingan ekonomi
AS di Cina akan terganggu jika AS memiliki konflik dengan Cina terkait status Taiwan.
Namun di sisi lain, jika AS mengabaikan Taiwan maka kredibilitas AS secara
internasional dan perdagangan dengan Taiwan akan terganggu. Hal inilah yang menjadi
latar belakang munculnya konsep kebijakan strategic ambiguity, yaitu a policy that
intentionally introduces uncertainty into the decision making processes of both China
and Taiwan. Dengan konsep ini, AS tidak memiliki arah kebijakan yang pasti (uncertain)
untuk mendukung atau melawan baik Cina maupun Taiwan. Seluruh kebijakan AS akan
bergantung pada konteks apa kebijakan tersebut dibuat.15
14
Brett V Benson, ‘Comprehending Strategic Ambiguity : US Security Commitment to Taiwan’, Duke University,
2001.
15
Raymond Kuo, ‘“Strategic Ambiguity” Has the U.S. and Taiwan Trapped’, Foreignpolicy.Com, 2023
<https://foreignpolicy.com/2023/01/18/taiwan-us-china-strategic-ambiguity-military-strategy-asymmetric-
defense-invasion/>.
Penelitian ini berbentuk penelitian ekplanatif, di mana peneliti berusaha menjelaskan
hubungan kausalitas yang terjadi antar variabel. Lebih khusus peneliti Konsep Strategic
Ambiguity ingin menggambarkan pola kebijakan AS terhadap konflik China dan Taiwan.
Kemudian penulis juga mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan AS
yang ambigu atas konflik tersebut. Setelah itu peneliti berusaha menghubungkan kedua
variabel tersebut, dan menjelaskannya secara eksplanatif.
1.6.3 Teknik Analisa Data
Secara garis besar tahapan analisis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Seelah pengumpulan data, langkah selanjutnya adalah pengolahan data, yang mencakup
peninjauan dan pemilihan data berdasarkan kebutuhan penelitian, serta memperluas beberapa
konsep yang relevan. Jika ada data yang tidak terpakai, maka akan dihilangkan. Setelah
mengumpulkan data yang diperlukan, data tersebut dianalisis hingga diperoleh suatu
kesimpulan yang merupakan hasil akhir dari penelitian ini. Analisis data penelitian ini
menggunakan analisis kualitatif deduktif untuk menilai suatu hipotesis.