Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tiongkok terus melanjutkan sikapnya terhadap sengketa Laut Cina Selatan

(selanjutnya disebut LCS), di mana ia mengabaikan eskalasi konflik yang terjadi di

tengah klaimnya terhadap LCS yang bersinggungan dengan empat negara ASEAN

lainnya (Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam).1 Pada tahun 2009,

Tiongkok merilis peta resmi nasionalnya sendiri atas LCS yang dibuat berdasarkan

Nine Dash Lines atau Sembilan Garis Putus-Putus yang menguasai hampir

keseluruhan dari teritorial LCS.2 Klaim dari Tiongkok, Nine-Dash Lines hadir atas

dasar historis perairan LCS sebagai sumber aktifitas Tiongkok sejak zaman dahulu.

Klaim ini kemudian dinilai sebagai klaim sepihak yang tidak memiliki alasan

hukum yang diakui hukum internasional. Dengan adanya klaim ini, luas laut

negara-negara lain, seperti Filipina dan Malaysia, berkurang 80 persen, Vietnam 50

persen, dan Brunei 90 persen.3 Atas klaim ini, Filipina mengajukan proposal

arbitrase kepada pengadilan arbitrase internasional, yang kemudian Tiongkok

1
Rehia Sebayang, 6 Januari 2020, “Ramai-ramai Negara ASEAN Geram Karena Klaim Laut
China”, artikel dalam CNBC Indonesia, diakses dalam
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200106140946-4-127958/ramai-ramai-negara-asean-
geram-karena-klaim-laut-china [04/05/2021 pada pukul 11:12 WIB].
2
SD Pradhan, 5 Juni 2020, “South China Sea: Assessing Chinese historical justification of nine
dashed line”, artikel dalam Times of India, India Times, diakses dalam
https://timesofindia.indiatimes.com/blogs/ChanakyaCode/south-china-sea-assessing-chinese-
historical-justification-of-nine-dashed-line/ [04/05/2021 pada pukul 11:16 WIB].
3
Muhammad Idris, 5 Januari 2020, “Merunut Klaim China di Laut yang Bikin Sewot 5 Negara
ASEAN”, artikel dalam Kompas.com, diakses dalam
https://money.kompas.com/read/2020/01/05/125745326/merunut-klaim-china-di-laut-yang-bikin-
sewot-5-negara-asean?page=all [04/05/2021 pada pukul 11:49 WIB].

1
menolak untuk berpartisipasi dalam peradilan tersebut dan lebih memilih untuk

menyelesaikan permasalahan ini secara negosiasi. Pada akhirnya, Tiongkok

menolak peradilan tersebut dengan dua pertimbangan, yaitu pertimbangan

kedaulatan teritorial dan pertimbangan kekalahan dalam peradilan arbitrase.4

Turut hadir dalam dinamika konflik di kawasan Asia Pasifik, Amerika Serikat

(selanjutnya disebut dengan AS) membentuk poros diplomasi dan militer di

kawasan tersebut terutama sekali terhadap Beijing sebagai respon terhadap

meningkatnya ambisi Tiongkok di kancah internasional. Dilansir dari situs The

Diplomat5, pada tanggal 1 Juni 2020, Duta Besar AS, perwakilan AS terhadap PBB,

mengirimkan surat yang menyatakan bahwa Amerika Serikat mendesak Tiongkok

untuk menyesuaikan klaim maritimnya dengan hukum internasional sebagaimana

tercermin dalam UNCLOS; untuk mematuhi keputusan Pengadilan 12 Juli 2016;

dan untuk menghentikan kegiatan provokatifnya di LCS. Surat itu juga menolak

“setiap klaim perairan internal antara pulau-pulau yang tersebar yang diklaim

Tiongkok di LCS”.6 Terkait perkembangan situasi ini, Tiongkok dinilai tidak

mengindahkan tekanan internasional yang diberikan kepadanya. Tiongkok bahkan

semakin meningkatkan aktivitasnya di kepulauan Spartly dan Paracel terlepas dari

kecaman negara-negara yang bersengketa di kawasan tersebut.7

4
Firdaus Amir, Sri Yuniati, dan Abubakar Eby Hara, 2017, Penolakan China terhadap Arbitrase
Filipina atas Penyelesaian Klaim Laut China Selatan, Jurnal E-SOSPOL, Volume IV Edisi 2, Mei-
Agustus 2017, diakses dalam https://jurnal.unej.ac.id/index.php/E-SOS/article/view/5713; hal. 89,
[07/05/2021 pada pukul 18:33 WIB].
5
Portal berita daring internasional yang khusus membahas tentang politik internasional,
kebudayaan, dan masyarakat di wilayah Asia-Pasifik
6
Ibid.
7
Ibid.

2
Di sisi lain, Association of South East Asian Nations (selanjutnya disebut

dengan ASEAN), turut aktif dalam mengelola konflik yang terjadi di kawasan LCS.

Meskipun beberapa pengamat melihat kesuksesan ASEAN dalam menjaga

stabilitas kawasan dan keamanan melalui peran norma-norma ASEAN, cara ini

dinilai kurang efektif dalam menangani konflik.8 Namun, walaupun ASEAN

dianggap kurang mampu menghasilkan kemajuan yang cepat dan drastis, ASEAN

dengan transformasi ASEAN Way berjalan ke arah yang positif dalam merespon isu

LCS. Selain itu, pendekatan bilateral lebih dominan dijalankan antara Tiongkok

dengan negara-negara claimants di dalam konflik di LCS, kecuali dengan Taiwan.

Hal ini menunjukkan bahwa di antara sesama negara anggota ASEAN masih

terdapat perbedaan kepentingan dalam mengatasi konflik LCS ini.9

Selain itu, menurut beberapa ahli, peran Indonesia dalam mengelola konflik

LCS dapat dikatakan aktif terbukti dengan banyaknya kerja sama dan diplomasi

Indonesia yang dilakukan dalam upaya pengelolaan sengketa LCS selama 26 tahun

terakhir hingga tahun 2018.10 Sedangkan peran Indonesia dikatakan berdampak

8
Timo Kivimäki, “The Long Peace of ASEAN,” Journal of Peace Research 38, no. 1 (2001): 5-25;
Nikolas Busse, “Constructivism and Southeast Asian security,” The Pacific Review 12, no. 1 (1999):
39-60; Mely Caballero-Anthony, “Mechanism of Dispute Settlement: The ASEAN Experience,”
Contemporary Southeast Asia 20, no. 1 (1998): 38-66, dalam Arief Bakhtiar Darmawan dan
Hestutomo Restu Kuncoro, 2019, Penggunaan ASEAN Way dalam Upaya Penyelesaian Sengketa
Laut Tiongkok Selatan: Sebuah Catatan Keberhasilan?, Andalas Journal of International Studies,
Vol. 8 No.1, May 2019, diakses dalam https://doi.org/10.25077/ajis.8.1.43-61.2019; hal. 44,
[01/11/2021 pada pukul 10:08 WIB].
9
Ibid.
10
Peggy Puspita Haffsari dan Yandry Kurniawan, 2018, Peran Kepemimpinan Indonesia dalam
Pengelolaan Sengketa Laut Cina Selatan, Jurnal Sospol, Vol.4 No.1, Januari-Juni 2018, Hlm. 55-
77, diakses dalam https://ejournal.umm.ac.id/index.php/sospol/article/view/5327; hal. 73.
[01/11/2021 pada pukul 11/27 WIB].

3
terbatas dikarenakan masalah-masalah dan kendala-kendala yang kemudian

muncul dalam pengimplementasian pengelolaan sengketa LCS itu sendiri.11

Beberapa peneliti di sisi lain juga melihat bahwa adanya benturan kedaulatan

Indonesia pada perairan Natuna tidak serta merta menyurutkan niatan Indonesia

untuk bisa meningkatkan hubungan dengan Tiongkok. Hal ini kemudian

memberikan stigma lunaknya sikap Indonesia pada konflik LCS sehingga dunia

internasional turut mengkritik dan mempertanyakan sebenarnya sejauh mana

hubungan Indonesia dengan Tiongkok hingga pada akhirnya peran Indonesia dalam

mengelola konflik LCS terkesan kurang efektif. Insiden publik yang terjadi di

antara Desember 2019 hingga Januari 2020 di mana terdapat hampir 60 kapal

penangkap ikan Tiongkok didampingi oleh penjaga pantai dan milisi maritimnya

melintasi perairan Laut Natuna Utara mengindikasikan Tiongkok telah menerapkan

taktik zona abu-abu untuk secara bertahap mengubah persamaan strategis di laut

dan sekitarnya tanpa memprovokasi perang kekerasan langsung.12 Tetapi pembuat

kebijakan Indonesia bersikeras bahwa Indonesia tidak berada di sisi yang sama

dengan negara-negara claimants tersebut. Indonesia dikatakan tidak

mempertaruhkan klaim dalam perselisihan itu dikarenakan hubungan bilateral yang

kuat dengan Tiongkok.13

Namun di tengah konflik LCS dan kritik dunia internasional, dapat dilihat

bahwa Indonesia tetap memiliki hubungan yang relatif baik dengan Tiongkok.

11
Ibid.
12
Evan A. Laksamana, 8 Desember 2021, “Indonesia and China’s Maritime Grey Zone Strategy:
In Denial”, artikel dalam Fulcrum: Analysis of Southeast Asia, diakses dalam
https://fulcrum.sg/indonesia-and-chinas-maritime-grey-zone-strategy-in-denial/ [11/12/2021 pada
pukul 08:40 WIB].
13
Ibid.

4
Secara simbolis, Tiongkok merupakan negara yang pertama kali dikunjungi

Presiden Joko Widodo pada 8 November 2014. Kunjungan Jokowi tersebut

bertepatan dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacific Economic

Cooperation (APEC) di Bejing, Tiongkok. Dalam kunjungan itu, kedua negara

mencapai kesepakatan-kesepakatan strategis di mana salah satu kesepakatan yang

akan dibahas pada penelitian ini adalah ketika Jokowi menyatakan komitmennya

untuk bergabung dengan Tiongkok dalam pembentukan Asian Infrastructure

Investment Bank (AIIB) yang dipimpin oleh Tiongkok.14 Momentum bergabungnya

Indonesia dengan AIIB menjadikan banyak sekali kerja sama-kerja sama dan

investasi-investasi Tiongkok diarahkan ke Indonesia. Berdasarkan penjelasan

tersebut, maka bisa kita lihat arah kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo

yang salah satunya berfokus pada peningkatan ekonomi nasional yang diraih

melalui salah satunya pembangunan infrastruktur.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat upaya pemerintah Indonesia dan

Tiongkok dalam peningkatan hubungan bilateral antara kedua negara di tengah

eskalasi konflik LCS dan tekanan dunia internasional yang melihat Indonesia

terkesan lemah lembut dalam mengelola konflik di kawasan ASEAN. Penelitian ini

akan mengkaji konteks hubungan Indonesia-Tiongkok yang tidak terpengaruh oleh

adanya konflik di LCS serta gesekan-gesekan di Pulau Natuna. Penelitian akan

menjadi sebuah kajian Politik Kerja Sama Internasional, di mana meskipun ada

14
Kompas, 2015, Indonesia Tiongkok Sepakati Kerja Sama di Delapan Bidang, artikel dalam
Kompas.com, diakses dalam https://nasional.kompas.com/read/2015/03/26/22510981/Indonesia-
Tiongkok.Sepakati.Kerja.Sama.di.Delapan.Bidang, [07/07/2018 pada pukul 14.10 WIB].

5
konflik terjadi, negara-negara yang terlibat konflik tetap bisa bekerja sama dengan

baik berdasarkan kepentingan nasionalnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dijawab

pada penelitian ini adalah “Mengapa Indonesia dan Tiongkok terus mengupayakan

peningkatan hubungan ekonomi dan infrastruktur di tengah eskalasi konflik LCS?”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang diharapkan didapatkan melalui penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Memahami dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok di tengah konflik LCS.

2. Menjelaskan politik kerja sama Indonesia dan Tiongkok untuk

mempertahankan stabilitas keamanan di LCS dan mencapai kepentingan kedua

belah pihak di tengah benturan konflik tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Praktis

Bagi peneliti, manfaat praktis yang diharapkan adalah bahwa seluruh tahapan

penelitian serta hasil penelitian yang diperoleh dapat memperluas wawasan dan

sekaligus memperoleh pengetahuan empirik mengenai penerapan fungsi Ilmu

Hubungan Internasional yang diperoleh selama mengikuti kegiatan perkuliahan

pada Universitas Muhammadiyah Malang. Bagi pihak-pihak yang berkepentingan

dengan hasil penelitian, peneliti berharap manfaat hasil penelitian dapat diterima

6
sebagai kontribusi untuk memahami upaya peningkatan hubungan Indonesia-

Tiongkok, serta mempelajari sikap Indonesia yang terkesan lunak kepada Tiongkok

di tengah konflik LCS.

1.4.2 Manfaat Akademis

Manfaat akademis yang diharapkan adalah bahwa hasil penelitian dapat

dijadikan rujukan bagi upaya pengembangan Ilmu Hubungan Internasional, dan

berguna juga untuk menjadi referensi bagi mahasiswa yang melakukan kajian

terhadap politik kerja sama internasional terutama hubungan dua negara dan aksi-

reaksi yang dihasilkan atas kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh suatu

negara.

1.5 Penelitian Terdahulu

Topik LCS merupakan topik yang sudah cukup banyak diteliti oleh para

peneliti terdahulu. Oleh sebab itu, peneliti akan mencoba melampirkan beberapa

penelitian pada topik peran Indonesia dan ASEAN dalam mengelola sengketa LCS,

hubungan dinamika kedaulatan dan dinamika ekonomi Indonesia-Tiongkok di

tengah konflik LCS, serta penelitian yang menggunakan konsep serta pendekatan

yang sama sebagai acuan terhadap apa yang akan peneliti tulis. Dengan

pertimbangan tersebut, tinjauan pustaka pada penelitian ini akan dibagi menjadi dua

kelompok, kelompok pertama yaitu tinjauan pustaka berdasarkan topik yang sama

serta yang kedua berdasarkan teori penelitian dan pendekatan yang sama.

Beberapa pandangan peneliti seperti Hari U., Mitro P., Lena A., (2017, 76-77),

Peggy P. Haffsari dan Yandry K. (2018, p55), Hendra M. Saragih, (2018, p20-p21)

7
memiliki persamaan dengan topik yang dibahas oleh peneliti yaitu menyatakan

bahwa peran Indonesia dalam mengelola konflik LCS termasuk cukup aktif, di

mana berbagai macam upaya signifikan telah dilakukan, mulai dari

penyelenggaraan Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China

Sea selama 26 tahun, ASEAN Maritime Forum, Declaraction of Conduct (DoC),

Code of Conduct (CoC) in the South China Sea, China-Indonesia Maritime

Cooperation Committee (MCC) dan China-Indonesia Maritime Cooperation Fund

(MCF).

Namun meskipun dari ketiga penelitian ini terdapat persamaan hasil, yaitu

peran-peran signifikan yang telah diambil Pemerintah Indonesia, penelitian dari

Peggy Puspa Haffsari dan Yandri Kurniawan menyatakan bahwa meskipun peran

Indonesia menonjol dan terlihat cukup aktif, hal tersebut masih berdampak terbatas

dengan ditemukannya hambatan dalam praktik peran pemimpin Indonesia dalam

memfasilitasi dan membantu para pihak yang berkonflik dalam mengembangkan

solusi internal untuk menyelesaikan sengketa LCS. Penelitian telah menunjukkan

bahwa faktor-faktor pembatas ini berada di luar kendali di Indonesia, serta dilema

diplomasi pertahanan dengan negara-negara di luar kawasan.15

Kemudian penelitian selanjutnya adalah penelitian dari Tri N. Pudjiastuti dan

Pandu P. (2015, p100)16, Arief B. Darmawan dan Hestutomo R. Kuncoro (2019,

15
Peggy Puspita Hapsari dan Yandry Kurniawan, Loc. Cit.
16
Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga, 2015, ASEAN dan Isu Laut Cina Selatan: Transformasi
Konflik Menuju Tata Kelola Keamanan Regional Asia Timur, Jurnal Penelitian Politik, Vol. 12 No.1
Juni 2015, Hlm. 99-115, diakses dalam
https://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/view/532; hal. 56-57. [21/01/2022 pada pukul
08:42 WIB].

8
p56-p57)17, Naifa R. Lardo (2021, p229-p230)18 yang sepakat bahwa peran ASEAN

dalam sengketa LCS sangat berpotensi besar dan sangat berdampak. Namun dibalik

itu, Darmawan dan Kuncoro dan Lardo menyatakan bahwa ada beberapa hal yang

menghambat ASEAN dalam upayanya mengelola konflik LCS, yaitu nilai atau

norma ASEAN Way yang kurang memadai dalam menangani ketidakseimbangan

kekuatan yang signifikan di kawasan Asia Tenggara serta dalam usaha penyelesaian

konflik. Namun Lardo berargumen bahwa tidak serta merta kemudian kita

menganggap ASEAN Way menjadi sebuah kegagalan jika hanya melihat hasil dari

caranya menyeimbangkan kekuatan di kawasan Asia Tenggara. Tetapi kita bisa

melihat bagaimana ASEAN Way dapat membawa Tiongkok ke proses negosiasi dan

konsultasi yang kuat karena nilai “musyawarah dan mufakat”-nya. Pudjiastuti dan

Pandu menyampaikan bahwa negara anggota ASEAN hingga saat ini tidak ingin

menggunakan mekanisme organisasi regional ASEAN sebagai institusi untuk

menyelesaikan masalah karena alasan kedaulatan nasional. Hal ini didukung dalam

tulisan Darmawan dan Kuncoro yang mengutip dari Acharya, “Constructing a

Security Community”, bahwa pemimpin-pemimpin ASEAN lebih menjurus pada

pembentukan organisasi regional berbasis norma, di mana hal itu mengacu pada

“the route of informality, of eschewing legal formulations and legally binding

commitments, of avoiding elaborate regional, supranational institutions”.

17
Arief Bakhtiar Darmawan dan Hestutomo Restu Kuncoro, Loc. Cit.
18
Naifa Rizani Lardo, 2021, ASEAN WAY: Managing Expectation in the Code of Conduct for the
South China Sea, Global: Jurnal Politik Internasional, Vol. 23 No. 2, Hlm. 218-235, diakses dalam
https://scholarhub.ui.ac.id/global/vol23/iss2/; hal.229-230. [21/01/2022 pada pukul 09:14 WIB].

9
Dari keenam penelitian tersebut, yang menjadi berbeda dengan penelitian

peneliti adalah bahwa penelitian peneliti mendukung peran Indonesia yang dinilai

tidak terlalu berdampak besar dan mendukung nilai non-intervensi di mana selagi

Indonesia tetap aktif mengelola sengketa LCS, hubungan kuat antara Indonesia-

Tiongkok dalam hal ekonomi tidak ada kaitannya sama sekali dengan upaya

Indonesia membantu menyelesaikan konflik antara negara-negara Asia Tenggara

lainnya dengan Tiongkok. Penelitian ini menyadari adanya aspek pragmatis negara-

negara Asia Tenggara dalam hubungannya secara bilateral dengan Tiongkok yang

tidak dapat dipungkiri merupakan sebuah kekuatan besar di kawasan Asia

Tenggara.

Penelitian berikutnya adalah artikel ilmiah yang ditulis oleh Muhammad T.

Andika dan Allya N. Aisyah, (2017, p176)19 di mana mereka menyadari situasi

peningkatan kerja sama ekonomi Indonesia-Tiongkok yang diikuti juga oleh

ketegangan kedua negara di perairan Natuna. Indonesia-Tiongkok hingga saat ini

masih aktif dalam kerja sama ekonomi baik pada sektor investasi maupun sektor

perdagangan. Mereka menyimpulkan bahwa peningkatan hubungan ekonomi

antara kedua belah pihak tidak berkorelasi dengan adanya ketegangan dikarenakan

sengketa LCS. Hal ini dikarenakan diplomasi Indonesia dengan Tiongkok dalam

bidang kedaulatan dan ekonomi mempunyai struktur kepentingan dan karakter yang

berbeda. Dalam hubungan ekonomi, bisa dilihat Indonesia memiliki prinsip kerja

sama yang realis dalam upaya meningkatkan perdagangan dan investasi. Sedangkan

dalam bidang kedaulatan, Indonesia lebih berpijak pada diplomasi pertahanan dan

19
Muhammad Tri Andika dan Allya Nur Aisyah, Loc. Cit.

10
kepentingan strategis. Melalui penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa

hubungan kuat Indonesia dan Tiongkok tidak ada pengaruhnya dengan ketegasan

Indonesia dalam menjaga kedaulatan di Natuna.

Berdasarkan penelitian di atas, dapat dilihat bahwa penelitian tersebut memiliki

kesamaan topik dengan penelitian peneliti. Yang menjadikan kedua penelitian ini

berbeda adalah konsep dan pendekatan yang dilakukan. Penelitan terdahulu

tersebut menggunakan konsep kepentingan nasional dan diplomasi dengan

pendekatan realisme dan liberalisme. Sedangkan peneliti akan menjelaskan hal

tersebut dengan model institutional bargaining di mana ada kekuatan lain selain

hegemoni yang bisa kita lihat dalam upaya negosiasi Indonesia dan Tiongkok di

tengah sengketa LCS dan akan didukung dengan pendekatan konstruktivisme.

Penelitian terdahulu selanjutnya adalah naskah publikasi yang ditulis oleh ST

Khadijah Tinni (2016, p2-p4)20 bahwa Indonesia memang memiliki kepentingan

ketika memutuskan bergabung dengan AIIB. Pembangunan berkelanjutan,

pembangunan infrastruktur besar-besaran, dan upaya untuk menyejahterakan

rakyat tak luput dari janji Presiden Joko Widodo Ketika terpilih menjadi Presiden

Indonesia pada tahun 2014. Poros Maritim Dunia yang juga dicetuskan oleh Jokowi

juga menjadikan Indonesia sedikit banyak bersinggungan dengan Belt and Road

Initiative (sebelumnya disebut One Belt One Road Initiative)21, di mana hal inilah

20
ST Khadijah Tinni, 2016, Kepentingan Indonesia Bergabung dalam Asian Infrastructure
Investment Bank (AIIB), Naskah Publikasi, diakses dalam
http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/7646; hal. 2-4, [20/01/2021 pada pukul 13:14 WIB].
21
Perubahan nama dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman akan kata "one" dan tidak
mengacu pada One China Policy, dalam Artha Yudilla, 2019, “Kerjasama Indonesia Cina Dalam
Belt and Road Initiative: Analisa Peluang dan Ancaman Untuk Indonesia”, Journal of Diplomacy
and International Studies, Vol. 02. No. 01, diakses dalam

11
yang kemudian membuat Presiden Xi Jinping mengumumkan pendirian AIIB untuk

merealisasikan mega proyek tersebut dan juga sebagai sumber dana pembangunan

infrastruktur transportasi negara-negara Asia. Dengan adanya AIIB, peneliti

kemudian bisa melihat bahwa ada sebuah tatanan lain yang melebihi tatanan negara

dalam proses pengambilan keputusan ketika Indonesia memutuskan untuk

melakukan kerja sama dengan Tiongkok di sela hubungan yang kerap kali memanas

dan mendingin dengan adanya isu LCS. Pada penelitian ini, peneliti akan mengajak

pembaca untuk melihat Belt and Road Initiative dan AIIB sebagai sebuah institusi

yang menopang kerja sama Indonesia dengan Tiongkok di tengah konflik LCS.

Penelitian terdahulu selanjutnya ada pada kelompok penggunaan teori yang

sama. Andrei Marin and Ivar Bjørklund (2015, p26-p29)22 mendefinisikan

institutional bargaining sebagai proses interaktif yang saling berkaitan dengan

faktor-faktor tertentu yang saling berbeda satu sama lain. Maksudnya adalah,

berbeda dengan proses pengambilan keputusan pada umumnya, pada model

institutional bargaining, negara dapat melihat hubungan dalam suatu masalah

melalui lingkungan sosial-ekonomi, politik dan konteks kebudayaan dalam sebuah

institusi di mana permasalahan tersebut terjadi. Sedangkan Jack Knight dan Melissa

Schwartzberg, (2020, p260-p261)23 mendahului penjelasan mengenai institutional

https://journal.uir.ac.id/index.php/jdis/article/view/4427, [20/01/2021 pada pukul 15:22 WIB],


hal.52.
22
Andrei Marin dan Ivan Bjørklund, 2015, A tragedy of errors? Institutional dynamics and land
tenure in Finnmark, Norway, International Journal of the Commons, 9(1), 19–40, diakses dalam
https://www.jstor.org/stable/26522814; [25/01/2022 pada pukul 22:01 WIB].
23
Jack Knight dan Melissa Schwartzberg, 2020, Institutional Bargaining or Democratic Theorists
(or How We Learned to Stop Worrying and Love Haggling, The Annual Review of Political Science,
diakses dalam https://doi.org/10.1146/annurev-polisci-060118-102113; hal. 260-261, [27/01/2022
pada pukul 09:22 WIB].

12
bargaining dengan political bargaining di mana negosiasi itu sendiri adalah sebuah

bentuk dari kontrol yang memiliki timbal balik antara para pemimpin di bawah

kondisi pluralisme sosial, ketergantungan satu sama lain, dan perbedaan yang dapat

diatasi24. Kedua penelitian ini memperlihatkan adanya kekuatan yang asimetris

dalam proses tawar-menawar, dalam hal ini institusi itu sendiri, bahwa institusi

dengan hubungannya terhadap berbagai aspek penting dinamika ekonomi-sosial,

politik, dan budaya memegang peranan yang kuat atas proses pengambilan

keputusan yang biasanya bisa dilakukan sendiri oleh pemimpin negara. Melihat hal

ini, peneliti juga melihat bahwa hubungan Indonesia-Tiongkok pada dasarnya tidak

semerta-merta hanya sebatas hubungan ekonomi, politik, dan pertahanan strategis

saja. Namun telah menjelma sebagai nilai atau norma yang melebihi kepentingan

hegemoni Tiongkok di kawasan Asia Tenggara.

1.1 Tabel Posisi Penelitian

No. Judul dan Nama Jenis Penelitian dan Alat Hasil


Peneliti Analisa
1. Hari Utomo, Deskriptif Analitis Dinamika konflik yang
Mitro Prihantoro, terjadi di LCS telah sampai pada
Lena Adriana pada -Teori Dinamika Konflik tahap polarisasi, yang mana
tahun 2017 dengan -Diplomasi Pertahanan pihak-pihak yang bersengketa
judul “Peran tidak ingin memunculkan konflik
Pemerintah satu sama lain sehingga saling
Indonesia dalam menarik diri. Indonesia yang
Mengelola Konflik termasuk pada dinamika konflik
Laut China tersebut juga menegaskan
Selatan.” kedaulatannya melalui diplomasi
pertahanan terhadap Tiongkok
bahwa tidak ada overlapping
claim di perairan Natuna.
Indonesia tetap tegas
menegakkan kedaulatannya di
atas kepentingannya pribadi

24
(Dahl & Lindblom 1953, p. 324) dalam Jack Knight dan Melissa Schwartzberg, Ibid.

13
dengan Tiongkok (kerja sama
infrastruktur).
2. Peggy Puspita Penelitian Deduktif. Terdapat lima komponen
Haffsari dan Yandry yang menjelaskan perilaku
Kurniawan, pada pemimpin regional yang akan
tahun 2018 dengan Konsep Kepemimpinan membantu penentuan model
judul “Peran regional dengan dampak peran kepemimpinan
Kepemimpinan pendekatan kekuatan Indonesia pada sengketa LCS.
Indonesia dalam regional dan kerangka Komponen tersebut ialah proses
Pengelolaan keamanan (Regional inisiasi, pembingkaian isu,
Sengketa Laut Cina Powers and Security pertimbangan kepentingan,
Selatan”. Framework-RPSF). membangun institusi, dan yang
terakhir yaitu penyebaran
kekuatan.
3. Hendra Deskriptif. Indonesia menerapkan
Maujana Saragih, beberapa strategi dengan
pada tahun 2018 -Diplomasi Pertahanan diplomasi pertahanan pada
dengan judul dengan Teori - konflik LCS di mana Indonesia
“Diplomasi Perimbangan Kekuatan juga berperan sebagai motor dan
Pertahanan (Balance of Power) dan pencetus ide terbukanya kerja
Indonesia dalam Konsep Penangkalan. sama multilateral antarnegara
Konflik Laut China yang aktif dalam konflik LCS.
Selatan”. Selain itu, Indonesia dapat
diperkirakan terus menjalankan
aksi untuk memperkuat posisi
Indonesia di Natuna, baik melalui
tenaga militer dan peningkatan
ekonomi.
4. Tri N. Deskriptif. Dari sudut pandang strategis,
Pudjiastuti dan Kawasan LCS memiliki nilai
Pandu P., pada tahun Pendekatan Transformasi politik dan ekonomi. Namun,
2015 dengan judul Konflik. terlepas dari inisiatif Indonesia
“ASEAN dan Isu yang membuat forum konferensi
Laut Cina Selatan: menjadi mungkin, pendekatan
Transformasi bilateral antara Tiongkok dan
Konflik Menuju Tata pihak-pihak yang berkonflik di
Kelola Keamanan LCS lebih dominan. Di tingkat
Regional Asia regional, empat negara ASEAN
Timur”. yang terlibat dalam konflik LCS
(Filipina, Vietnam, Malaysia dan
Brunei Darussalam) cenderung
meniadakan mekanisme regional
ASEAN dalam penyelesaian
konflik. Selain mekanisme
ASEAN yang semakin tidak
berkembang, pendekatan

14
bilateral terhadap konflik LCS
menunjukkan masih adanya
perbedaan kepentingan negara-
negara anggota ASEAN, yang
juga menunjukkan sikap saling
tidak percaya antarnegara.
5. Arief Bakhtiar Metode Riset Kualitatif. Penanganan kasus prahara
Darmawan dan ASEAN di Asia Tenggara kerap
Hestutomo Restu Pendekatan menuai kritik. ASEAN sering
Kuncoro, pada tahun Konstruktivisme. dianggap tidak cocok untuk
2019 dengan judul menyelesaikan masalah-masalah
“Penggunaan besar di kawasan. Hal ini tidak
ASEAN Way dalam terlepas dari harapan bahwa
Upaya Penyelesaian ASEAN akan memainkan peran
Sengketa Laut multilateral yang lebih besar.
Tiongkok Selatan: Dinamika regional baru yang
Sebuah Catatan muncul dengan adanya
Keberhasilan?” permasalahan LTS merupakan
salah satu ujian yang
membuktikan bahwa ASEAN
adalah organisasi yang kuat dan
efektif. Meski belum ada
perkembangan yang pesat dan
dramatis, namun ASEAN
bergerak ke arah yang positif
dengan transformasi ASEAN Way
untuk menyikapi isu LTS.
6. Naifa Rizani Analisis Sejarah. ASEAN Way tidak menjadi
Lardo, pada tahun sebuah kegagalan jika hanya
2021 dengan judul -Norm-Institutionalism di melihat hasil dari caranya
“ASEAN Way: Asia Tenggara. menyeimbangkan kekuatan di
Managing -Kerja Sama Keamanan kawasan Asia Tenggara. Tetapi
Expectation in the Regional dari ASEAN kita bisa melihat bagaimana
Code of Conduct for Way. ASEAN Way dapat membawa
the South China Tiongkok ke proses negosiasi
Sea” dan konsultasi yang kuat karena
nilai “musyawarah dan
mufakat”-nya.
7. Muhammad Tri Deskriptif Analitis. Diplomasi Indonesia dengan
Andika dan Allya Tiongkok dalam bidang
Nur Aisyah, pada -National Interest kedaulatan dan ekonomi
tahun 2017 dengan -Politik Bebas Aktif mempunyai struktur kepentingan
judul “Analisis -Diplomasi Pro-Rakyat dan karakter yang berbeda.
Politik Luar Negeri -Smart Diplomacy/Smart Dalam hubungan ekonomi, bisa
Indonesia-China di Power dilihat Indonesia memiliki
Era Presiden Joko prinsip kerja sama yang realis

15
Widodo: Benturan dalam upaya meningkatkan
Kepentingan perdagangan dan investasi.
Ekonomi dan Sedangkan dalam bidang
Kedaulatan”. kedaulatan, Indonesia lebih
berpijak pada diplomasi
pertahanan dan kepentingan
strategis. Melalui penelitian ini
juga dapat disimpulkan bahwa
hubungan kuat Indonesia dan
Tiongkok tidak ada pengaruhnya
dengan ketegasan Indonesia
dalam menjaga kedaulatan di
Natuna.
8. ST Khadijah Deskriptif Analitis. Poros Maritim Dunia yang
Tinni, pada tahun juga dicetuskan oleh Jokowi juga
2016 dengan judul -Konsep Kepentingan menjadikan Indonesia sedikit
“Kepentingan Nasional banyak bersinggungan dengan
Indonesia -Politik Luar Negeri Belt and Road Initiative
Bergabung dalam (Model Aktor Rasional) Tiongkok di mana hal inilah yang
Asian Infrastructure kemudian membuat Presiden Xi
Investment Bank”. Jinping mengumumkan
mendirikan AIIB, untuk
merealisasikan mega proyek
tersebut dan juga sebagai sumber
dana pembangunan infrastruktur
transportasi negara-negara Asia.
Hal ini merupakan kesempatan
bagi Indonesia untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan
infrastruktur yang sulit dicapai
jika hanya mengandalkan
anggaran pemerintah.
9. Andrei Marin Eksplanatif. Dalam dekade-dekade sejak
and Ivar Bjørklund, Kata Pengantar Dahl, para ahli
pada tahun 2015 -Institutional Bargaining teori politik telah menggambar
dengan judul “A model-model yang elegan dan
tragedy of errors? menarik dari institusi-institusi
Institutional yang adil yang dapat mewajibkan
dynamics and land semua anggota, di mana asimetri
tenure in Finnmark, kekuasaan dan penggunaan
Norway”. ancaman dikesampingkan.
Tetapi upaya-upaya ini telah
mendorong para ahli teori
semakin jauh dari ilmu politik
lainnya, dengan fokusnya yang
semakin tajam pada penjelasan

16
tawar-menawar untuk perang,
koalisi legislatif, dan
pengambilan keputusan yudisial.
10. Jack Knight dan Analisis kontekstual. Analisis mereka
Melissa menggambarkan bagaimana
Schwartzberg, pada -Institutional Bargaining ketidaksesuaian antara lembaga
tahun 2020 dengan -Institutional Layering formal dan informal serta logika
judul “Institutional -Institutional Bricolage dan gaya berpikir yang
Bargaining or mendasarinya telah
Democratic menghasilkan dinamika
Theorists (or How kelembagaan yang kompleks
We Learned to Stop yang mempengaruhi penguasaan
Worrying and Love lahan dan sumber daya. Mereka
Haggling”. mengidentifikasi tiga proses
utama yang telah membentuk
dinamika ini: tawar-menawar
kelembagaan, pelapisan, dan
bricolage.
11. Fitria Ahibba Eksplanatif Model institutional
Linna, pada tahun bargaining dari Orang R. Young
2022 dengan judul -Institutional Bargaining memberikan gambaran terhadap
“Analisis -Pendekatan adanya institusi dan
Peningkatan Konstruktivisme asymmetrical power pada proses
Hubungan negosiasi dan tawar-menawar
Indonesia-Tiongkok antara Indonesia dan Tiongkok
di Tengah Konflik yang kemudian membuktikan
Laut Cina Selatan”. bahwa meskipun ada konflik
dengan Tiongkok di kawasan
LCS (termasuk perairan Natuna),
institutional bargaining
memperjelas bahwa kedua hal
tersebut berada pada ranah yang
berbeda dan tidak berhubungan
satu sama lain. Hubungan kerja
sama Indonesia dan Tiongkok
memiliki sifat pragmatis di mana
ada kepentingan lain yang tak
kalah pentingnya dengan
kepentingan kedaulatan
Indonesia di Natuna.

17
1.6 Kajian Teori

1.6.1 Politik Kerja Sama Internasional Melalui Institutional Bargaining

Nanang Pamuji Mugasejati menyampaikan dalam jurnalnya bahwa dinamika

di percaturan politik internasional selalu ditentukan oleh dua gejala yang saling

kontradiktif, yaitu konflik dan kerja sama antarnegara.25 Meskipun konflik

merupakan hal yang lumrah terjadi, dalam kancah politik internasional konflik juga

ditandai oleh sebuah paradoks di mana dalam situasi konflik, sebenarnya pada saat

yang bersamaan juga terdapat upaya kerja sama internasional yang telah

berlangsung sejak lama.26 Dalam arena ekonomi internasional, sebagian besar dunia

berhasil bekerja sama mendirikan IMF, Bank Dunia, GATT, dan yang terbaru AIIB,

di tengah konflik Perang Dingin maupun konflik LCS. Kerja sama ekonomi

internasional ini pulalah yang menghasilkan ribuan perjanjian internasional, baik

bilateral maupun multilateral. Selanjutnya, jumlah lembaga-lembaga internasional

tumbuh semakin banyak, baik secara global maupun regional sehingga bisa kita

lihat dalam pembahasan penelitian ini bahwa konflik dan kerja sama sebenarnya

adalah dua sisi dari mata uang yang sama, menandakan sifatnya yang selalu

berdampingan satu sama lain.27

Untuk menjelaskan kerja sama Indonesia dengan Tiongkok di tengah konflik

LCS ini, dan dengan mempertimbangkan teori politik kerja sama internasional yang

telah dijelaskan di atas, peneliti melihat bahwa ada lembaga yang melebihi negara

25
Nanang Pamuji Mugasejati, 2006, Konsep Legalisasi dalam Politik Kerja Sama Internasional,
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 10, No. 2, November 2006, Hlm. 121-141, diakses dalam
https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/11015/8256; hal. 122 [07/02/2022 pada pukul 10.12WIB].
26
Ibid.
27
Ibid, hal. 123.

18
dalam sifat hubungan bilateral maupun regional dari Indonesia dan Tiongkok,

sehingga peneliti menggunakan teori institutional bargaining. Institutional

bargaining menurut Oran R. Young adalah keadaan di mana institusi melaksanakan

tugas ‘memerintah’ dengan proses yang interaktif serta melibatkan interaksi

kekuatan negara-negara yang melakukan tawar-menawar.28 Young juga

mengatakan bahwa institusi dalam posisi ini memiliki aturan-aturan yang harus

saling diterima. 'Institusi' di sini mengacu pada munculnya institusi-institusi baru

seperti halnya tawar-menawar yang terjadi antarinstitusi yang sudah ada. Oleh

karena itu sebenarnya bukan institusi yang melakukan tawar-menawar, tetapi hasil

dari tawar-menawar itulah yang dinamakan institusi baru atau penyesuaian besar

dari yang lama.29 Institutional bargaining di komunitas internasional juga dibentuk

dari seberapa besarnya distribusi kekuatan antarpartisipan pada proses tawar-

menawar.30 Dalam hal ini, adanya kekuatan yang superior dapat membuat

keputusan untuk menuntaskan persyaratan kontrak konstitusional yang

membangun sistem pemerintahan atau rezim untuk memandu interaksi negara-

negara pada isu tertentu. Lebih jauh, restrukturisasi institusi yang ada terjadi

sebagai respons terhadap pergeseran distribusi kekuasaan di tingkat internasional.31

Selain itu, model institutional bargaining ini juga mencoba mengolaborasikan

hubungan kerja sama internasional yang berbasis pada kepentingan suatu negara

dengan power yang dimiliki oleh suatu negara, yang ditandai dengan adanya peran

28
Oran R. Young, dalam Andrei Marin dan Ivan Bjørklund, Loc. Cit.
29
Ibid.
30
Oran R. Young, “The Politics of International Regime Formation: Managing Natural Resources
and the Environment,” International Organization 43 (1989): h. 362.
31
Ibid.

19
dari seorang “leader” yang dapat dikatakan sebagai hegemon. Peran hegemon di

sini sendiri lebih dianggap sebagai “negosiator” untuk melancarkan jalannya kerja

sama antara negara-negara, yang kemudian memperlihatkan adanya asymmetrical

power32, di mana seperti yang telah disebutkan di atas, menjadikan terdapat

distribusi kekuatan yang berbeda saat negosiasi dilakukan. Dengan

kehadiran seorang negosiator di sini juga sebenarnya untuk menekan

kemungkinan defect yang mungkin terjadi di dalam hubungan kerja sama

internasional antar beberapa negara, hal ini dikarenakan ketika negosiator berhasil

membawa bargaining power33 masing-masing negara dalam negosiasi tersebut,

kedua negara dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Tiongkok diketahui sebagai kekuatan terbesar kedua di mana perannya dinilai

cukup besar dalam mengatur konstelasi global saat ini. Secara ekonomi, Tiongkok

melalui Asian Infrastructure Investment Bank telah menggelontorkan dana sebesar

Rp 41,3 trilliun hingga Agustus 2021 ini hanya untuk Indonesia. 34 Kekuatan besar

Tiongkok inilah yang mempengaruhi Indonesia untuk bekerja sama dengan

Tiongkok. Indonesia sebagai negara berkembang yang juga memiliki pasar besar

32
Asymmetrical power adalah sebuah hubungan antara dua individu/aktor yang mana, aktor yang
lebih kuat dapat memiliki kontrol terhadap hasil negosiasi aktor subordinate, yang tidak berlaku
kebalikannya, dalam Oran R. Young, Loc.Cit.
33
Bargaining power adalah kekuatan tawar suatu negara yang didasarkan pada keahlian atau
kemampuan seorang aktor untuk mempengaruhi lawan dengan menawarkan sesuatu yang
menguntungkan kepentingan lawan itu sendiri, dalam Branislav L. Slantchev, 2005, Introduction to
International Relations, Lecture 4: “Bargaining and Dynamic Commitment”, Jurnal: Department of
Political Science, University of California, San Diego, diakses dalam
http://slantchev.ucsd.edu/courses/ps12/04-bargaining-dynamic-commitment.pdf, [27/01/2022 pada
pukul 07:22 WIB].
34
Ardiansyah Fadli, 9 September 2021, “Hingga Agustus, Total Utang Indonesia kepada AIIB Rp
42,3 Triliun”, artikel dalam Kompas.com, diakses dalam
https://www.kompas.com/properti/read/2021/09/09/210000721/hingga-agustus-2021-total-utang-
indonesia-kepada-aiib-rp-42-3-triliun; [27/01/2022 pada pukul 08:51 WIB]

20
menarik perhatian Tiongkok untuk terus bekerja sama. Namun, kekuatan Tiongkok

ini tidak serta merta menjadikan alasan Tiongkok untuk mengontrol Indonesia, hal

ini dikarenakan selama ‘hasil tawar-menawar’ menjadi indikator distribusi

kekuasaan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses tawar-menawar

tersebut, kekuasaan atau kekuatan tidak dapat menjelaskan atau memprediksi hasil

yang akan terjadi.35 Hal ini dikarenakan Indonesia juga memiliki nilai tawar yang

tinggi pada tatanan global, dengan tetap berpedoman pada penerapan politik ‘bebas-

aktif’36, Indonesia pada akhirnya akan selalu memiliki prinsip sebagai negara non-

blok yang tidak melakukan afiliasi atau berpihak dengan negara manapun.37

1.6.2 Kepentingan Kerja Sama Indonesia-Tiongkok dalam Perspektif

Konstruktivisme

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan konstruktivisme untuk

membantu melihat masalah dengan lebih tajam. Konstruktivisme menurut Christian

Reus-Smit dapat dipahami dalam tiga komponen utama.38 Pertama,

konstruktivisme menekankan bahwa struktur normatif sama pentingnya dengan

35
Oran Young, Loc. Cit.
36
Yang dimaksud dengan "bebas aktif" adalah politik luar negeri yang pada hakikatnya bukan
merupakan politik netral, melainkan politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan
kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara a priori pada
satu kekuatan dunia serta secara aktif memberikan sumbangan, baik dalam bentuk pemikiran
maupun partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik, sengketa dan permasalahan dunia lainnya,
demi terwujudnya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, dalam Penjelasan Atas UU RI No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri, diakses
dalam
https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/1999/37TAHUN1999UUPenjel.htm#:~:text=Yang%20dimaks
ud%20dengan%20%22bebas%20aktif,kekuatan%20dunia%20serta%20secara%20aktif,
[21/02/2022 pada pukul 11:17 WIB].
37
Kemhan, 2015b, Buku Putih Pertahanan Indonesia, Jakarta: Kementerian Pertahanan Republik
Indonesia, dalam Peggy Puspita Hapsari dan Yandry Kurniawan, Loc. Cit.
38
Christian Reus-Smit,”Constructivism,” dalam Theories of International Relations, ed. S. Burchill,
et al. (New York: Palgrave Macmillan, 2005), 188-212, dalam Arief Bakhtiar Darmawan dan
Hestutomo Restu Kuncoro, Loc. Cit.

21
struktur material. Konstruktivisme berpendapat bahwa ide, keyakinan, dan nilai

harus dianggap sebagai bagian dari struktur karena memiliki pengaruh kuat pada

perilaku politik aktor. Kedua, konstruktivisme menekankan pentingnya melihat

bagaimana struktur immaterial (ide, keyakinan, nilai) mempengaruhi identitas yang

terbentuk. Identitas menentukan keuntungan, dan keuntungan menentukan

tindakan. Ketiga, konstruktivisme menekankan bahwa agen dan struktur memiliki

interaksi yang sama kuatnya. Struktur mempengaruhi perilaku agen, tetapi struktur

itu sendiri dibentuk oleh perilaku agen.

Dari sudut pandang konstruktivis, struktur yang tidak signifikan

mempengaruhi tidak hanya apa yang dianggap mungkin, tetapi juga apa yang

dianggap perlu bagi aktor untuk dilakukan. Sederhananya, struktur tidak berwujud

dengan hanya mempengaruhi strategi yang dipilih oleh aktor, tetapi juga tujuan dan

kepentingan aktor, serta perilaku aktor.39 Konstruktivisme melihat perilaku negara

sebagai struktur sosial yang dipengaruhi oleh struktur domestik dan internasional

yang tidak signifikan.40 Oleh karena itu, dalam menjelaskan tindakan negara,

konstruktivisme dibentuk oleh identitas yang mendasari tindakan tersebut dan

gagasan, keyakinan, dan nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh identitas itu sendiri

baik di tingkat regional maupun nasional.41

Dengan penjelasan ini, peneliti mencoba melihat dinamika hubungan

Indonesia dengan Tiongkok pasca Belt and Road Initiative dan Poros Maritim

39
Ibid.
40
Ibid.
41
Ibid.

22
Dunia yang tidak jauh dari aspek nilai-nilai, budaya, dan historis di mana Jalur

Sultra merupakan jalur perdagangan kuno yang menghubungkan Barat dan Timur

melalui darat dan laut, yang berawal dari Guanzhou, Tiongkok Selatan, ke Selat

Malaka, dan terus sampai ke Sri Lanka, India, dan pantai timur Afrika. Di sisi lain,

Indonesia masa lampau juga merupakan sebuah kekuatan maritim yang besar, yang

mendominasi pusat jalur perdagangan Maritim Silk Road di abad ke-10 sampai abad

ke-14.42 Sebagai negara kepulauan, Indonesia saat ini sedang berusaha mewujudkan

mimpinya menjadi negara maritim, seperti pada zaman Sriwijaya dan Majapahit

yang dapat mempengaruhi pantai timur Afrika dan Pasifik Selatan. Gagasan poros

maritim juga menekankan peran Indonesia yang lebih besar dalam menghubungkan

Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Hal ini memperhitungkan dinamika ekonomi

kawasan yang menyumbang 70% perdagangan dan transportasi dunia dan 45%

melewati perairan Indonesia.43

Dari segi historis inilah nilai-nilai budaya Indonesia dan Tiongkok

berkesinambungan sehingga Belt and Road Initiative dan Poros Maritim Dunia

kemudian menjadi penting dalam penelitian kali ini sebagai bentuk dari institusi

yang dihasilkan oleh tawar-menawar kedua negara dalam upaya pemenuhan

kepentingan masing-masing melalui kedua kebijakan ini.

42
D. Djumala, 6 Oktober 2016, Diplomacy for maritime fulcrum, diakses dalam
http://www.thejakartapost.com/news/ 2015/02/09/diplomacy-maritime-fulcrum.html, dalam
Wahyu Wardhana, 2016, Poros Maritim: Dalam Kerangka Sejarah Maritim dan Ekonomi
Pertahanan, Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016, diakses dalam
https://jmb.lipi.go.id/jmb/article/view/569/364 ; hal. 370.
43
Ibid.

23
1.7 Metodologi Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif untuk mengkaji

bagaimana fenomena atau entitas sosial dijelaskan, dipahami, dialami, diciptakan,

atau disusun.44 Melalui penelitian ini, peneliti berusaha menjelaskan fenomena

yang menjadi masalah atau pertanyaan dalam penelitian ini. Untuk bisa

menjelaskan dengan lebih baik atas fenomena tersebut, penelitian ini kemudian

menggunakan metode eksplanatif sebab-akibat karena sifatnya yang diperlukan

untuk mengetahui dua variabel yang diteliti, yaitu unit analisis dan unit eksplanasi

dengan menggunakan teori institutional bargaining untuk menjelaskan kepada

pembaca tentang sebab dan akibat dari mengapa politik kerja sama Indonesia

terhadap Tiongkok tidak terpengaruh oleh eskalasi konflik LCS serta untuk melihat

bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari sekadar hanya hubungan tawar-menawar

kedua negara tersebut, yang tidak lepas dari betapa kuatnya Tiongkok di kancah

internasional saat ini.

1.7.2 Tingkat Analisa

Tingkat analisa yang peneliti gunakan pada penelitian ini adalah tingkat

negara-bangsa dan sistem internasional, di mana proses pengambilan keputusan

pemerintah Indonesia dipengaruhi oleh adanya sistem yang melebihi level negara.

44
Gunawan dan Kuncoro, Loc. Cit., hal. 47

24
1.7.3 Variabel Penelitian

Penelitian ini memiliki dua variabel yaitu dependen dan independen. Variabel

dependen adalah variabel yang dianalisa atau yang dipengaruhi oleh variabel

independen, dan sebaliknya variabel independen adalah variabel yang

mempengaruhi variabel dependen. Alasan Indonesia tetap mengupayakan

hubungan ekonomi dan infrastruktur merupakan variabel dependen, dan

pendekatan peran Indonesia dalam pengelolaan sengketa LCS sebagai variabel

independen. Variabel dependen pada penelitian ini memiliki tingkat yang berbeda

dengan variabel independen yaitu negara dan sistem sehingga penelitian ini bersifat

induksionis di mana variabel penjelasan berada di tingkat yang lebih rendah

daripada variabel penentunya.

1.7.4 Batasan Penelitian

Pada sebuah penelitian, batasan penelitian sangat diperlukan agar diskusi

penelitian lebih terfokus dan terarah, batasan penelitian ini juga bertindak sebagai

pembatas dari masalah dan pembahasan.

a. Batasan Materi

Pada penelitian ini, peneliti membatasi materi hanya pada kerja sama

Indonesia-Tiongkok yang menjadi analisa institutional bargaining yang mengacu

pada bentuk kerja sama bilateral dan regional.

b. Batasan Waktu
Pada penelitian ini, peneliti akan membatasi waktu penelitian sejak 2013 ketika

Xi Jinping mencetuskan Belt and Road Initiative hingga tahun 2019 di mana

Presiden Joko Widodo menyelesaikan kepemimpinan periode pertamanya.

25
1.7.5 Teknik Pengumpulan Data

Data-data yang tersedia untuk penelitian ini merupakan data sekunder yang

diperoleh dengan cara studi kepustakaan. Data sekunder diperoleh dari dokumen

resmi baik data non-fisik (daring) maupaun web resmi pemerintah. Data-data

sekunder berasal dari buku, jurnal, skripsi/naskah publikasi, portal berita daring

yang terpercaya dan kredibel, serta dokumen-dokumen lain yang mendukung

analisa topik penelitian ini.

1.7.6 Teknik Analisa Data

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deduktif, di mana peneliti akan

mereduksi data dan menganalisa data untuk menarik kesimpulan. Reduksi data

dalam metode penelitian ini adalah pengklasifikasian data yang berkaitan dengan

topik penelitian, penyederhaan data, dan penghilangan data yang tidak sesuai

dengan tujuan penelitian. Data yang terpilih kemudian diolah dan dianalisis untuk

diambil kesimpulannya.

1.8 Hipotesa Penelitian

Terlepas dengan adanya konflik dengan Tiongkok di kawasan LCS (termasuk

perairan Natuna), ternyata memang benar Indonesia tetap mengupayakan

peningkatan hubungan ekonomi dan infrastruktur dengan Tiongkok. Hal ini

dikarenakan hubungan kerja sama Indonesia dan Tiongkok memiliki sifat pragmatis

di mana ada kepentingan lain yang tak kalah pentingnya dengan kepentingan

kedaulatan Indonesia di Natuna. Adanya institusi baru, dalam hal ini BRI dan AIIB

dan hasil dari tawar-menawar Indonesia-Tiongkok, membuat Indonesia tetap

memiliki keleluasaan dalam meningkatkan kerja sama ekonomi dan infrastruktur di

26
mana pada saat yang sama tetap mempertahankan diplomasi pertahanan di Natuna.

Pernyataan ini dianalisis berdasarkan dua faktor yaitu: (1) Tiongkok memiliki

kapabilitas (power) yang lebih tinggi dibandingkan dengan masing-masing

claimant states dan Indonesia sehingga secara tidak sadar, Tiongkok sendiri bisa

menjadi sebuah ‘institusi’ yang memegang posisi tawar cukup kuat terhadap

negara-negara di Asia Tenggara; (2) Pendekatan konstruktivisme melihat hubungan

Indonesia-Tiongkok yang lebih dari sekadar kepentingan ekonomi dan

infrastruktur, namun juga nilai, identitas, dan budaya yang juga telah melekat,

terkhusus setelah normalisasi hubungan Indonesia-Tiongkok.

1.9 Sistematika Penelitian

1.2 Tabel Sistematika Penelitian

BAB JUDUL ISI


BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Praktis
1.4.2 Manfaat Akademis
1.5 Penelitian Terdahulu
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Politik Kerja Sama
Internasional Melalui
Institutional Bargaining
1.6.2 Kepentingan Kerja Sama
Indonesia-Tiongkok
dalam Perspektif
Konstruktivisme
1.7 Metodologi Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
1.7.2 Tingkat Analisa
1.7.3 Variabel Penelitian
1.7.4 Ruang Lingkup Penelitian
1.7.5 Teknik Pengumpulan
Data

27
1.7.6 Teknik Analisa Data
1.8 Hipotesa Penelitian
1.9 Sistematika Penelitian
BAB II GAMBARAN UMUM 2.1 Gambaran Konflik LCS
KONFLIK LAUT CINA 2.1.1 Dinamika Konflik dan Sikap
SELATAN Tiongkok di LCS
2.1.2 Peran Indonesia di Konflik
LCS untuk Mempertahankan
Keamanan dan Kedaulatan
Negara
2.2 Posisi Tawar-menawar Indonesia
Tiongkok di LCS dalam Upaya
Mencapai Kepentingan Masing-
masing Negara
BAB III GAMBARAN UMUM 3.1. Hubungan Indonesia-Tiongkok
HUBUNGAN Pasca Dicetuskannya Belt and
INDONESIA- Road Initiative
TIONGKOK 3.2. Kerja Sama Ekonomi dan
Infrastruktur Indonesia-Tiongkok
dalam Lingkup Bilateral dan
Regional
3.3. Asian Infrastructure Investment
Bank (AIIB) dalam Hubungan
Indonesia-Tiongkok
3.3.1 Pembentukan Asian
Infrastructure
Investment Bank (AIIB)
3.3.2. Bergabungnya Indonesia
dalam Asian
Infrastructure
Investment Bank (AIIB).
BAB IV ANALISIS 4.1 Belt and Road Initiative (BRI)
PENINGKATAN dan Asian Infrastructure
HUBUNGAN Investment Bank (AIIB) sebagai
INDONESIA- Institusi Baru
TIONGKOK DI 4.2 Kepentingan Indonesia dalam BRI
TENGAH KONFLIK dan AIIB sebagai Hasil
LCS Konstruksi Identitas Poros
Maritim Dunia (PMD)
4.3 Analisis Peningkatan Hubungan
Indonesia-Tiongkok di tengah
Konflik LCS
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan
5.2 Saran

28

Anda mungkin juga menyukai