Anda di halaman 1dari 9

Nam:Dhika Ananta Akbar

Nim:2021051103

Kelas:2D manajemen

Mata kuliah:ketahanan Nasional

Dosen pengampu:Rendi Adiwilaga S.IP.M.Sc

1. Konflik yang saat ini terjadi di Eropa Timur antara Ukraina dan Rusia bukan merupakan

konflik baru dan menjadi bagian dari sisa-sisa perang dingin yang masih bertahan hingga saat

ini meskipun beberapa pihak menyatakan perang dingin sudah lama selesai sejak runtuhnya

tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet.

Hal tersebut disampaikan Dosen Studi Keamanan Internasional Program Studi Hubungan

Internasional (HI) UII, Irawan Jati, S.IP., M.Hum., MSS., Ph.D (Cand.) dalam International

Relations In Conversation dengan tema Russia-Ukraine Updates: What Happens Next, Kamis

(24/2) petang, melalui Zoom Metting.

Irawan Jati mengatakan bahwa apa yang saat ini dilakukan Rusia bukan merupakan hal yang

baru karena pernah terjadi di 2014 saat Rusia mencoba menganeksasi kembali dan mengklaim

Ukraina sebagai bagian sah dari Rusia.

Mohamad Rezky Utama, S.IP., M.Si., Dosen Studi Kawasan Eropa Program Studi HI UII yang juga

hadir sebagai menjadi narasumber menyampaikan bahwa situasi yang saat ini terjadi di Ukraina

tidak terlepas dari ekspansi NATO yang mulai melebarkan pengaruh di Eropa Timur. Rezky

Utama menambahkan bahwa ekspansi NATO ke Eropa Timur membahayakan Rusia karena hal

ini berpotensi memindahkan rudal balistik yang awalnya ditempatkan di Rumania Ukraina dan

berpotensi menjadi ancaman terbuka bagi Rusia.


Disampaikan Rezky Utama, sebelum 2014, Ukraina sangat dekat dengan Rusia dan menjadi

buffer zone antara Rusia dan Eropa. Namun setelah revolusi 2014, pemerintah Ukraina

berpindah haluan, dari sebelumnya dekat dengan Rusia beralih mendekati NATO. Hal ini

menyebabkan Belarusia menjadi satu- satunya buffer zone antara Rusia dan negara-negara

Eropa.

Menurut Rezky Utama, invasi yang dilakukan oleh Putin menjadi salah satu cara untuk

mengembalikan Ukraina sebagai salah satu sekutu Rusia dengan mengganti rezim pemerintah

Ukraina melalui dukungan kelompok sepratis di Donetsk, Luhan, dan Krimea.

Lebih lanjut disampaikan Irawan Jati, dukungan yang diberikan Rusia kepada kelompok

separatis Ukraina tidak terlepas dari konsep the enemy of my enemy is my friend yang diadopsi

Rusia. “Rusia mencoba memaksimalkan potensi kelompok-kelompok sparatis untuk

mempertahankan dan memperkuat kedudukan mereka di negara-negara tersebut,” ujar Irawan

Jati.

Rezky Utama menambahkan, bahwa hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Rusia

dengan mendukung kelompok separatis Georgia setelah negara tersebut mulai memihak

kepada Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Terkait indikasi konflik yang mengarah ke perang dunia ketiga, kedua narasumber sepakat
bahwa hal ini masih terlalu jauh melihat kondisi yang saat ini terjadi. Salah satu indikatornya

adalah bantuan militer yang diberikan oleh negara-negara anggota NATO seperti Turki, Kanada

dan Spanyol lebih bersifat bantuan individu alih-alih atas nama organisasi.

“Hal ini ditambah dengan pernyataan Joe Biden (Presiden Amerika Serikat) yang tidak akan

mengirimkan bantuan militer ke Ukraina,” ujar Irawan Jati.

Menurut Rezky Utama, faktor penghambat lainnya adalah Uni Eropa dan NATO yang cukup

berhati-hati dalam mengambil langkah untuk menghindari perang dunia ketiga karena hal ini

bisa menyebabkan Eropa menjadi teater perang dunia lagi.

“Ancaman sanksi ekonomi dan embargo untuk mendorong Rusia menghentikan perang

tidak banyak berpengaruh karena Rusia merupakan suatu wilayah yang cukup sustain

sehingga mereka masih bisa survive menghadapi embargo tersebut.” Ujar Irawan Jati.

Irawan Jati menambahkan bahwa kondisi yang terjadi di lapangan adalah Rusia yang menjadi

pemasok utama gas untuk negara-negara di kawasan eropa sehingga sanksi tersebut bisa

berbalik merugikan negara-negara di kawasan Eropa.

Irawan Jati menilai Pendekatan diplomasi dipandang menjadi salah satu solusi meskipun cukup
bertele- tele. Hal ini disebabkan legitimasi militer negara-negara di sekitar Rusia belum cukup

kuat sehingga apabila memaksakan penyelesaian konflik lewat cara militer malah akan

mengarah pada invasi yang lebih besar.

Sementara Rezky Utama menilai bahwa penyelesaian konflik melalui PBB belum bisa

dilakukan karena Rusia masih memiliki hak veto di United Nations Security Council (Dewan

Keamanan PBB) yang bisa menghambat langkah-langkah penyelesaian konflik. Ia

berpendapat bahwa NATO dan EU harus turun tangan dan terlibat dalam perjanjian damai

untuk menyelesaikan konflik kedua negara ini. (AP/RS)

2. Jakarta, CNN Indonesia -- Laut China Selatan (LCS) merupakan satu perairan strategis

yang paling diperebutkan oleh China dan sejumlah negara di ASEAN. Berikut sejarah

konflik Laut China Selatan.

Laut China Selatan dipandang sebagai perairan dengan sumber daya alam dan hasil laut yang

melimpah. Nilai komoditas perairan ini disebut bisa mencapai triliunan dolar. Hal tersebutlah

yang kerap memicu sengketa panas terhadap LCS oleh negara-negara kawasan.

Setidaknya terdapat enam negara yang memperebutkan Laut China Selatan, yakni China,

Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam.


Upaya saling klaim tersebut menjadikan LCS sebagai sengketa kedaulatan yang melibatkan lebih

dari dua pihak.

Laut China Selatan adalah laut tepi bagian dari Samudra Pasifik. Secara geografis, Laut China

Selatan berbatasan dengan Brunei Darussalam, China, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan,

dan Vietnam.

Organisasi Hidrografis Internasional (International Hydrographic Bureau) mendefinisikan Laut

China Selatan memanjang dari arah barat daya ke timur laut, berbatasan dengan China dan

Taiwan di sebelah utara, Filipina di sebelah barat, Malaysia dan Brunei di barat dan selatan, dan

Vietnam di timur.

Merujuk LIPI, garis batas Laut China Selatan menyerupai huruf "U", dimulai dari perairan

Mainan, dan berakhir di sebelah timur perairan Taiwan.

Batas tersebut ditandai oleh China dengan demarkasi sembilan garis putus-putus (the nine-

dash line), yang disebut juga sebagai lidah sapi atau "cow's tongue".

Sementara luas Laut China Selatan mencakup 3,685 juta kilometer persegi, mengutip Britannica.

Di dalamnya terdapat banyak terumbu karang, pulau karang (atol), ratusan pulau-pulau kecil

tak berpenghuni, serta dua kepulauan besar yakni Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel

yang diklaim oleh sejumlah negara.

Sengketa atau konflik Laut China Selatan tidak bisa dilepaskan dengan klaim sepihak negara

kawasan termasuk China dalam hal kepemilikan wilayah perairan tersebut.

Klaim ini bermula ketika China pada 1947 memproduksi peta LCS dengan 9 garis putus-

putus dan menyatakan bahwa wilayah yang masuk dalam lingkaran garis tersebut--
termasuk Kepulauan Spartly dan Paracel--sebagai wilayah teritorinya.

Peta ini kemudian ditegaskan kembali pada saat Partai Komunis berkuasa pada 1953.

Klaim ini didasarkan pada sejarah China kuno, mulai dari Dinasi Han yang berkuasa pada

abad 2 SM sampai dengan Dinasi Ming dan Dinasi Qing abad 13 SM

Pemicu Sengketa Laut China Selatan

Sengketa atau konflik Laut China Selatan tidak bisa dilepaskan dengan klaim sepihak negara

kawasan termasuk China dalam hal kepemilikan wilayah perairan tersebut.

Klaim ini bermula ketika China pada 1947 memproduksi peta LCS dengan 9 garis putus-putus

dan menyatakan bahwa wilayah yang masuk dalam lingkaran garis tersebut--termasuk

Kepulauan Spartly dan Paracel--sebagai wilayah teritorinya.

Peta ini kemudian ditegaskan kembali pada saat Partai Komunis berkuasa pada 1953. Klaim

ini didasarkan pada sejarah China kuno, mulai dari Dinasi Han yang berkuasa pada abad 2 SM

sampai dengan Dinasi Ming dan Dinasi Qing abad 13 SM.

Aspek historis dan penemuan-penemuan dijadikan alasan China untuk mempertahankan

klaimnya atas kepemilikan Laut Cina Selatan.

5 Negara yang Terusik Klaim China di LCS, Malaysia-Vietnam

Guna menjaga klaimnya atas LCS, China kini agresif membangun fasilitas militer,

mendirikan pulau buatan, dan menempatkan kapal-kapal perangnya di wilayah perairan

tersebut.

Klaim China atas 80-90 persen wilayah di Laut China Selatan (LCS) dengan alasan sejarah

tersebut lantas memantik ketegangan di antara negara pantai lain yang juga sama-sama

mengklaim berhak atas kawasan tersebut.


Seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam, yang mendasarkan pada

aturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Di sisi lain, Vietnam turut mengklaim kepemilikan Kepulauan Paracel dan Kepualaun Spratly,

yang tak lain mencakup hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan.

Filipina juga mengklaim sebagian wilayah LCS khususnya kepulauan Spartly atau dinamakan

Kepulauan Kalayaan dan beberapa kepulauan di sebelah barat Filipina yakni Scarborough

Shoal.

Sementara Brunei dan Malaysia mengklaim bagian selatan LCS dan sebagian Kepulauan Spratly.

Laut China Selatan adalah kawasan menggiurkan. Secara umum, ada dua hal yang penting dalam

perebutan wilayah LCS, yakni letak strategis serta potensi ekonomi.

Ditilik dari aspek strategis, perairan tersebut merupakan salah satu pintu gerbang komersial yang

krusial bagi beberapa jalur pelayaran dan sebagian besar industri logistik dunia.

Laut China Selatan adalah jalur tercepat dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia yang

menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika.

Dilansir CFR Global Conflict Tracker, total nilai perdagangan yang melintasi kawasan Laut China

Selatan pada 2016 mencapai US$3,37 triliun. Perdagangan gas alam cair global yang transit

melalui LCS pada 2017 sebanyak 40 persen dari total konsumsi dunia.

Selanjutnya dari potensi ekonominya, Laut China Selatan kaya akan sumber daya hasil laut,

meskipun dalam praktiknya cenderung dieksploitasi secara berlebihan. Perairan ini juga

dilaporkan memiliki cadangan minyak dan gas yang signifikan.

Diperkirakan ada 11 miliar barel minyak yang belum dimanfaatkan dan 190 triliun kaki kubik

cadangan gas alam di LCS. Atas nilai kekayaan alam dan potensi ekonomi tersebut diduga
menjadi faktor yang memperburuk sengketa maritim dan teritorial antarnegara di kawasan

itu.

Persaingan klaim kedaulatan teritorial atas pulau-pulau dan perairan tersebut turut menjadi

sumber konflik Laut China Selatan dan saling curiga yang berlangsung sejak lama.

1. - menurut analisa saya penyebab terjadinya konflik ukraina dengan rusia

diakibatkan karena Rusia tidak menyetujui apabila ukraina menjadi anggota NATO

- Menurut analisa yang sudah saya buat konflik laut cina selatan terjadi karena

perbedaan pendapat antar indonesia dengan cina karena menurut cina garis line Dash

line merupakan milik cina tetapi menurut internasional Natuna adalah milik indonesia.

2. Yang dikhawatirkan antara perang ukraina dan rusia jika berlanjut maka akan

menyebabkan perang dunia ke 3 cina sebagai sekutu rusia pasti akan ikut andil

dalam peperangan tersebut yang mana ini jelas cina akan terang terangan

mendeklarasikan perang bersama rusia melawan pihak NATO hal ini bisa

menyebabkan cina tanpa ragu2 akan ikut menyerang kawasan yang dianggap

musuh dalam hal ini kita patut khawatir dengan akuisisi Natuna dari indonesia ke

cina.

3. - yang akan saya lakukan jika menjadi presiden di tengah konflik ukraina dan rusia

adalah memilih memberikan bantuan berupa peralatan kesehatan kepada korban

perang terutama warga sipil dan mengirim tentara untuk mengamankan dan
membantu warga sipil mengungsi sekaligus menjadi tentara perdamaian karena kita

memilih menjadi negara nonblok.

Anda mungkin juga menyukai