Anda di halaman 1dari 12

KONFLIK LAUT CHINA SELATAN

Dwgi Gita Oktavia Mutiarahati


200906010

ASEAN didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 berdasarkan Deklarasi Bangkok yang
ditandatangani oleh lima wakil negara pendirinya, yaitu Adam Malik (Indonesia), Tun Abdul
Razak (Malaysia), Thamat Khoman (Thailand), Narisco Ramos (Filipina) dan Rajaratman
(Singapura). Keanggotaan resmi ASEAN saat ini terdiri dari sepuluh negara, yang
memperluas keanggotaannya ke Brunei pada Januari 1984, Vietnam, Laos dan Myanmar
pada Juli 1997 dan ke Kamboja pada Januari 1999. Kerja sama internasional ini merupakan
bagian penting dari pelaksanaan politik luar negeri dan kebijakan hubungan internasional.
Hubungan antara suatu negara dengan negara lain tidak dapat dipisahkan dari kepentingan
nasional masing-masing negara. Melalui kerjasama internasional ini, negara-negara dapat
memanfaatkannya untuk pembangunan nasional.

Dalam kaitan ini, kerja sama antar negara di kawasan Asia Tenggara, yaitu Association of
Southeast Asian Nations (ASEAN), berperan penting dalam mewujudkan kerja sama
internasional di kawasan ini. Dan dalam bidang kerjasama antar negara, politik luar negeri
memegang peranan yang sangat penting. Semua negara pasti ingin maju dan sejahtera.
Namun untuk maju dan sejahtera, suatu negara membutuhkan negara lain. Organisasi ini
didirikan untuk mempromosikan kerja sama di bidang pertumbuhan ekonomi, kemajuan
sosial, dan pengembangan budaya di antara negara-negara anggotanya. Dengan latar
belakang negara-negara ASEAN yang beragam, bentuk kerjasama saat ini harus didasarkan
pada kesamaan sehingga ASEAN dapat berkembang menjadi organisasi internasional
regional yang kuat.

Pada dasarnya tujuan didirikannya ASEAN adalah untuk mewujudkan kawasan Asia
Tenggara dalam suasana persahabatan, kemakmuran dan perdamaian. Lebih penting lagi,
ASEAN secara politis menegaskan dirinya sebagai forum kerja sama negara-negara Asia
Tenggara, ASEAN memikul tanggung jawab besar bagi perkembangan dan kehidupan
hubungan diplomatik negara-negara Asia Tenggara. Tidak hanya dalam hubungan diplomatik
yang menguntungkan di kawasan, ASEAN juga harus mampu berperan sebagai mitra dan
mediator dalam perselisihan antar anggota ASEAN itu sendiri. Dalam perkembangannya,
banyak konflik dan perselisihan antar anggota ASEAN yang tidak terselesaikan.

ASEAN ini diharapkan mampu menjadi jembatan bagi negara-negara anggota yang
bersengketa dalam menyelesaikan sengketa. Karena hubungan yang sumbang antara anggota
ASEAN dapat menghambat tujuan dan fungsi yayasan ASEAN. Apabila perselisihan antar
negara anggota dapat diselesaikan dengan baik, maka akan tercipta kondisi yang harmonis
bagi hubungan antar negara di kawasan Asia Tenggara. Kenyataannya, banyak sekali
masalah antar negara ASEAN yang belum terselesaikan oleh ASEAN atau yang belum bisa
diselesaikan oleh ASEAN.

Salah satu konflik yang saat ini belum terselesaikan adalah konflik Laut China Selatan yang
dinamikanya di Laut China Selatan (LCS). Laut China Selatan asih menjadi perhatian
keamanan utama di kawasan ASEAN karena klaim yang tumpang tindih. Dalam konflik Laut
China Selatan atau Laut Tiongkong Selatan,selain ketegangan yang terjadi akibat tumpang
tindihnya klaim antar negara bersengketa yang belum bisa dihentikan (Buszynski, 2012: 139-
156),hingga kini, terdapat juga perkembanganyang tidak menggembirakan terutama
mengenaihubungan antara dua negara anggotaASEAN yaitu Vietnam dan Filipina
denganChina. secara geografis, SCS meliputi area sekitar 3 juta km2, terjepit di antara pantai
selatan China dan Konflik ini bermula dari adanya pernyataan Pemerintah RRC yang
mengklaim hampir seluruh wilayah perairan Laut China Selatan yang didasarkan pada teori
nine dash line, sedangkan pengertian nine dash line merupakan sembilan titik imajiner yang
menunjukkan klaim China atas hampir seluruh Laut China Selatan. Berdasarkan teori tersebut
membuat China menyatakan status pulau-pulau yang berada di kawasan Laut China Selatan
masuk dalam wilayah teritorialnya. Hal tersebut membuat negara-negara sekitar kawasan
tersebut seperti Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam dan Malaysia marah
dikarenakan mereka juga mengklaim bahwa sebagian wilayah LCS merupakan bagian dari
Zona Ekonomi Eksklusif mereka. Klaim tumpang tindih wilayah di LCS tersebut telah
menimbulkan ketegangan hubungan di antara pihak yang bersengketa, bahkan sempat terjadi
konflik militer yang menimbulkan korban jiwa, seperti yang terjadi pada konflik antara
Angkatan Laut China dan Vietnam di Johnson Reef di Kepulauan Spratly pada Maret 1988
yang menewaskan lebih dari 70 pelaut Vietnam.

Konflik militer pertama antara China dan Vietnam pernah terjadi sebelumnya pad tahun
1974 di Kepulauan Paracel yang menewaskan 18 tentara China. Konflik militer kedua antara
China dan Vietnam mengandung arti penting karena selain menunjukkan supremasi China di
Spratly, juga membawa dua perkembangan yang saling berhubungan yang mempunyai
konsekuensi terhadap stabilitas kawasan ini di masa depan. Ada 3 (tiga) alasan utama negara-
negara yang terlibat dalam konflik Laut China Selatan, seperti China, Taiwan, Filipina,
Brunei Darussalam, Vietnam dan Malaysia saling berkepentingan memperebutkan wilayah
kawasan laut dan daratan dua gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly di Laut China Selatan

China Selatan atau Laut Tiongkok Selatan. China misalnya, mengklaim wilayah sengketa
tersebut berdasarkan kepemilikan bangsa China atas kawasan laut dan dua gugusan
kepulauan Paracel dan Spratly sejak 2000 tahun yang lalu, kemudian Pemerintah China
mengklaim telah mengeluarkan peta yang merinci kedaulatan China atas Laut China Selatan
atau Laut Tiongkok Selatan pada tahun 1947, yang dikenal dengan istilah “Nine- Dashed
Line”(Nainggolan, 2013: 8). Pertama, wilayah laut dan gugusan kepulauan di Laut China
Selatan memiliki cadangan sumber daya alam sangat besar. RRT memperkirakan cadangan
minyak yang terkandung di Laut Tiongkok Selatan sebesar 231 miliar barel atau sepuluh kali
lipat dari cadangan milik Amerika Serikat.(Wiranto: 2016: 68).meliputi kandungan minyak
dan gas bumi serta kekayaan laut lainnya. Kedua, wilayah perairan LCS merupakan wilayah
perairan yang menjadi jalur perlintasan aktivitas pelayaran kapal-kapal internasional,
terutama jalur perdagangan lintas laut yang menghubungkan jalur perdagangan Eropa,
Amerika dan Asia. Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di Asia, membuat
negara- negara seperti China dan negara-negara di kawasan LCS bahkan termasuk Amerika
Serikat sangat berkeinginan menguasai kontrol dan pengaruh atas wilayah LCS yang dinilai
sangat strategis dan membawa manfaat ekonomis yang sangat besar bagi suatu
negara.Taiwan di utara, pantai negara-negara Asia Tenggara di barat, serta Filipina dan
Kalimantan di timur. dan Indonesia di selatan.

Konflik ini bermula dari adanya pernyataan Pemerintah RRC yang mengklaim hampir
seluruh wilayah perairan Laut China Selatan yang didasarkan pada teori nine dash line,
sedangkan pengertian nine dash line merupakan sembilan titik imajiner yang menunjukkan
klaim China atas hampir seluruh Laut China Selatan. Berdasarkan teori tersebut membuat
China menyatakan status pulau-pulau yang berada di kawasan Laut China Selatan masuk
dalam wilayah teritorialnya. Hal tersebut membuat negara-negara sekitar kawasan tersebut
seperti Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam dan Malaysia marah dikarenakan
mereka juga mengklaim bahwa sebagian wilayah LCS merupakan bagian dari Zona Ekonomi
Eksklusif mereka. Klaim tumpang tindih wilayah di LCS tersebut telah menimbulkan
ketegangan hubungan di antara pihak yang bersengketa, bahkan sempat terjadi konflik militer
yang menimbulkan korban jiwa, seperti yang terjadi pada konflik antara Angkatan Laut
China dan Vietnam di Johnson Reef di Kepulauan Spratly pada Maret 1988 yang
menewaskan lebih dari 70 pelaut Vietnam.

Konflik militer pertama antara China dan Vietnam pernah terjadi sebelumnya pad tahun 1974
di Kepulauan Paracel yang menewaskan 18 tentara China. Konflik militer kedua antara China
dan Vietnam mengandung arti penting karena selain menunjukkan supremasi China di
Spratly, juga membawa dua perkembangan yang saling berhubungan yang mempunyai
konsekuensi terhadap stabilitas kawasan ini di masa depan. Ada 3 (tiga) alasan utama negara-
negara yang terlibat dalam konflik Laut China Selatan, seperti China, Taiwan, Filipina,
Brunei Darussalam, Vietnam dan Malaysia saling berkepentingan memperebutkan wilayah
kawasan laut dan daratan dua gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly di Laut China Selatan.
Pertama, wilayah laut dan gugusan kepulauan di Laut China Selatan mengandung sumber
kekayaan alam yang sangat besar, meliputi kandungan minyak dan gas bumi serta kekayaan
laut lainnya. Kedua, wilayah perairan LCS merupakan wilayah perairan yang menjadi jalur
perlintasan aktivitas pelayaran kapal-kapal internasional, terutama jalur perdagangan lintas
laut yang menghubungkan jalur perdagangan Eropa, Amerika dan Asia. Ketiga, pertumbuhan
ekonomi yang cukup pesat di Asia, membuat negara- negara seperti China dan negara-negara
di kawasan LCS bahkan termasuk Amerika Serikat sangat berkeinginan menguasai kontrol
dan pengaruh atas wilayah LCS yang dinilai sangat strategis dan membawa manfaat
ekonomis yang sangat besar bagi suatu negara.

LCS memiliki sepuluh negara tetangga yang berdekatan, yaitu Brunei Darussalam, Kamboja,
China, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Sementara
itu, titik fokus sengketa ini adalah wilayah laut dan darat kepulauan Paracel dan Spratly.
Konflik LCS pertama terjadi pada tahun 1970-an dan belum mencapai titik akhir. Beberapa
negara yang terlibat sebagai penggugat dalam sengketa LCS yaitu China, Filipina, Malaysia,
Vietnam, Brunei Darussalam dan Taiwan semuanya mengklaim berada di bawah kedaulatan
negaranya. China menggunakan basis sejarah, sedangkan negara kandidat lainnya
menggunakan basis geografis terkait Konvensi Internasional Hukum Laut (UNCLOS). LCS
merupakan daerah yang kontroversial karena nilai strategisnya sebagai jalur laut, terdapat
Mui of Trade (SLOT) dan Sea Lines of Communication (SLOC) yang menghubungkan
Samudera Hindia dan Pasifik, sehingga LCS paling banyak diperdagangkan untuk jalur religi
itu.

Setengah dari dunia perdagangan ditransaksikan melalui wilayah tersebut. Selain itu, LCS
juga memiliki nilai ekonomi berupa gianjing.oris. Sumber daya alam Kanada, sumber daya
minyak dan gas alam. Nilai strategis ini mendorong setiap negara kandidat untuk
mempertahankan kepentingan nasionalnya sendiri melalui berbagai langkah, mulai dari
inisiatif Tiongkok menerbitkan peta sembilan garis putus-putus hingga pengajuan kasus
Filipina melawan Tiongkok ke Pengadilan Tetap Arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa.
percaya diri. tindakan seperti pembangunan pulau buatan Cina dan kehadiran militer di
selatan - di Laut Cina. Kompleksitas masalah LCS bahkan menciptakan negara adikuasa
seperti Amerika Serikat
Isu Laut China Selatan sangat erat kaitannya dengan ASEAN karena sebagian besar dari
berbagai negara yang berkonflik merupakan anggota ASEAN, seperti Filipina, Vietnam,
Malaysia, dan Brunei Darussalam. Negara anggota ASEAN ini memiliki kepentingan di Laut
China Selatan dan juga berbatasan langsung dengan Laut China Selatan. Sebelum putusan,
Republik Rakyat Tiongkok melakukan kampanye sistematis dan masif untuk mendapatkan
dukungan atas posisinya, yang ditolak oleh majelis arbitrase. China bahkan secara terbuka
meminta ASEAN untuk tidak mengomentari penghargaan tersebut. Contoh argumen yang
disajikan secara publik meliputi:

Majelis arbitrase tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan klaim Filipina karena klaim
tersebut menyangkut kedaulatan dan penetapan batas laut, yang tidak dapat diselesaikan oleh
UNCLOS melalui mekanisme ini. (2) Pengadilan tidak akan mengadili sengketa bilateral ini
tanpa persetujuan Republik Rakyat Tiongkok. (3) sengketa kedaulatan hanya dapat
diselesaikan melalui jalur bilateral, tidak melalui pihak ketiga, 40 negara mendukung posisi
China; 4. China tidak menghormati keputusan pengadilan. Indonesia bukan negara kandidat.
Terminologi negara penggugat selalu mengacu pada sengketa kepemilikan, yaitu kepemilikan
pulau (fitur navigasi). Indonesia tidak mengklaim fitur maritim LCS yang disengketakan oleh
para pemohon, dan China juga mengklaim Kepulauan Natuna. Tantangan Indonesia dalam
menghadapi konflik LCS adalah sikap percaya diri China, negara ini telah melakukan
beberapa langkah yang mengancam stabilitas keamanan kawasan LCS.

Laut China Selatan yang meliputi sekitar 3.500.000 kilometer persegi yang mengelilingi Selat
Malaka dan Selat Taiwan dan terdiri dari lebih dari 250 pulau kecil dan terumbu karang,
diyakini memiliki sumber daya alam yang dapat memberikan manfaat bagi negara-negara di
sekitarnya. China sebagai konsumen minyak nomor dua terbesar setelah AS, mengimpor 52
persen minyaknya dari Timur Tengah dan mencoba meningkatkan kebutuhan minyaknya dari
Laut China Selatan. Selain sumber daya minyak, Laut China Selatan menjadi daya tarik
perikanan bagi negara-negara di sekitarnya. Laut China Selatan diperkirakan berkontribusi
sekitar 12 persen dari total produksi ikan di seluruh dunia terutama oleh China, Vietnam, dan
Thailand.

China yang tidak meratifikasi ZEE mengklaim wilayah Laut China Selatan dengan garis
sembilan garis putus-putus (nine dash line). China menduduki pulau-pulau termasuk
Kepulauan Spratly dan Paracel dan mulai mengambil kekuatan besar untuk melindungi
wilayahnya dari negara lain. Laut China Selatan menjadi pusat daya tarik dengan lokasi yang
strategis dan sumber daya alamnya. Secara geografis, Laut China Selatan adalah bagian
maritim dari China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei, Malaysia, Indonesia, dan Singapura.
Peraturan tentang dividennya didasarkan pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di bawah
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Stabilitas Laut China Selatan menjadi masalah penting yang akhir-akhir ini kembali memanas
pasca aksi latihan militer yang dilakukan China dan mengundang reaksi dari dunia
internasional seperti Amerika, ASEAN, dan India. Ketegangan di Kawasan Laut China
Selatan dipandang sudah mencapai titik krisis pasca Amerika Serikat mengirimkan bomber
nuklir sebagai bentuk respons untuk menunjukkan kekuatan kepada China. Amerika juga
menunjukkan aksi lain dengan menggelar latihan di dekat Kepulauan Paracel. Agenda yang
dilakukan Amerika tersebut sebagai bentuk reaksi atas klaim China pada beberapa pulau dan
beberapa daerah yang dinilai kontroversial lainnya.
Stabilitas di Laut China Selatan semakin bergejolak karena China mengatakan dapat
merespons apa yang sudah dilakukan oleh Amerika dengan kekerasan. Hal tersebut
disebabkan karena Amerika yang dinilai sudah menggerakkan kekuatan militernya di Laut
China Selatan dengan melakukan latihan bersama dengan dua kapal induk milik Amerika di
jalur perairan strategis. Sementara Amerika tidak akan tinggal diam dan terus berupaya untuk
menghentikan penguasaan China di wilayah tersebut. Selain sebagai upaya untuk
perimbangan kekuatan, aksi yang dilakukan Amerika menunjukkan kepada beberapa sekutu
bahwa Amerika masih merupakan negara super power di dunia.

Angkatan laut Amerika bahkan mengatakan akan terus melakukan latihan sebagai upaya
untuk memaksimalkan kekuatan pertahanan udara dan memperluas jangkauan serangan di
wilayah maritim. China menganggap apa yang sudah dilakukan oleh AS adalah bentuk
perpanjangan dari motif tersembunyi sebagai langkah untuk memperkeruh keamanan di
wilayah Laut China Selatan. Namun China akan terus berupaya mempertahankan tekad untuk
dapat menjaga integritas teritorial, kedaulatan, serta kepentingan maritimnya di wilayah
tersebut.

Sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia memiliki kewajiban untuk menjaga stabilitas
keamanan kawasan dan mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia, meskipun bukan
negara yang berpengaruh dalam konflik Laut China Selatan. Ketika pecah perang terbuka,
secara tidak langsung berdampak pada kehidupan masyarakat Indonesia di wilayah
Kepulauan Natuna yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan. Di bawah
kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pendekatan Indonesia terhadap konflik Laut Cina
Selatan telah berubah dari aktor aktif yang mencari solusi damai menjadi perselisihan yang
lebih luas menjadi yang terutama melindungi kepentingannya sendiri di sekitar Kepulauan
Natuna tanpa menimbulkan kekhawatiran para donor. selamat cina Mengingat pentingnya
peran Indonesia dalam penyelesaian konflik Laut China Selatan yang berimplikasi pada
Indonesia, maka penulis melakukan kajian tentang peran strategis Indonesia dalam
penyelesaian konflik Laut China Selatan.

ASEAN menilai bahwa perjanjian mengenai pengelolaan laut tahun 1982 di AS harus
menjadi dasar dari pengaturan hak dan kedaulatan di jalur perairan yang disengketakan.
Vietnam atas nama 10 negara blok menyepakati bahwa UNCLOS 1982 adalah dasar untuk
menentukan hak kedaulatan, hak maritim, yuridiksi serta kepentingan yang sah atas zona
maritim. ASEAN menyayangkan sikap negara yang tidak bertanggung jawab dan melanggar
aspek hukum internasional masih terjadi. Mengingat saat ini, ASEAN dan dunia masih fokus
untuk memerangi pandemi.

China melakukan klaim atas hampir semua bagian dari Laut China Selatan, termasuk negara-
negara ASEAN. Bahkan China dan Filipina pernah terlibat konflik bersenjata karena klaim
teritori tersebut. Penyebab sengketa ini semakin panjang karena tiap negara melakukan
justifikasi wilayah Laut China Selatan sebagai bagian dari kedaulatan negara mereka. Faktor
identifikasi mengenai kedaulatan yang tidak pernah selesai menjadi penyebab pemicu konflik
dari negara yang bersengketa. Sikap konfrontatif AS dengan segala kekuatan yang dimiliknya
juga menjadi penyebab semakin keruhnya stabilitas keamanan di Laut China Selatan. Jika AS
dan China enggan melakukan negosiasi dengan baik dalam mengelola konflik secara
konstruktif di kawasan Laut China Selatan, kedua Negara berpotensi untuk menyelesaikan ini
dengan menempuh jalur lain, seperti menggunakan kekerasan dan berujung pada perang.
Melihat akar masalahnya, persoalan klaim teritori ini memang berada di AS dan China. AS
yang hadir dengan sikapnya yang konfrontatif, sementara China yang mengklaim wilayah
LCS hingga 80% dengan modal Sembilan garis putus-putus (nine dash line) yang beredar di
tahun 1947 dan 2009. Hal tersebut justru sangat berdampak kepada kedaulatan Indonesia
yang bersinggungan langsung dengan Laut Natuna di Kepulauan Riau. Indonesia harus
mampu mengambil sikap yang tegas atas sengketa di LCS. Mengingat bahwa China tidak
akan menerima pendekatan diplomatik yang biasa. Seperti yang diketahui bahwa strategi
China adalah dengan menempuh realisme politik, mengabaikan segala bentuk diplomasi dan
aspek hukum internasional termasuk UNCLOS 1982. Indonesia harus mampu menolak
sepenuhnya klaim China atas Laut Natuna karena dipandang tidak memiliki dasar pijakan
hukum dan tidak pernah diakui dalam UNCLOS 1982.

Ketegangan di Laut China Selatan


akan memuncak karena persaingan Amerika Serikat dan China, tetapi suasana akan tetap
terjaga jika negara-negara di Asia Tenggara tetap bersatu untuk mempertahankan status quo,
kata Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana dalam sebuah sesi diskusi. Perhimpunan
Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) terjebak di tengah- tengah rivalitas AS dan China
dan upaya mereka memperebutkan pengaruh di kawasan. Namun, ASEAN memiliki
kemampuan untuk memelihara stabilitas di kawasan dan seluruh anggota perhimpunan harus
menempuh cara yang sama, ASEAN cukup jarang berbicara mewakili perhimpunan untuk
menentang militerisasi secara terang-terangan atau bersikap agresif. Pasalnya, beberapa
negara khawatirlangkah itu akan membuat geram Beijing atau Washington.

Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam memperebutkan wilayah


di Laut China Selatan dengan China. Negara-negara itu, kecuali Brunei, sempat menghadapi
kapal-kapal China di batas wilayahnya. China tidak mengakui keputusanmahkamah arbitrase
internasional pada 2016 yang membatalkan klaim Beijing bahwa kedaulatan wilayahnya
membentang di sebagian besar wilayah Laut China Selatan. Ketegangan di Laut China
Selatan akan terus memuncak karena China akan terus menuduh AS dan negara lain telah
melakukan provokasi serta upaya melemahkan stabilitas di kawasan China telah
meningkatkan jumlah patroli dan latihan militernya tahun ini, beberapa di antaranya digelar
di pulau sengketa yang juga diklaim oleh Vietnam. Sementara itu, AS mengerahkan kapal
perangnya sebagai wujud dukungan terhadap lalu intas perairan yang bebas. AS dan China
saling tuduh masing- masing pihak sengaja membuatprovokasi. Lorenzana mengatakan
negara-negara di Asia Tenggara khawatir ancaman konflik bersenjata dapat terus memuncak.
Filipina, yang merupakan sekutu AS, "akan terlibat dalam konflik, suka atau tidak suka

Laut China Selatan yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN. Peran yang dimainkan
Indonesia telah dijalankan semenjak tahun 1990 dengan menginisiasi sebuah workshop yang
berjudul Workshop on Management of Potential Conflict in the South China Sea. Dalam
konflik Laut China Selatan Indonesia selalu menjadi yang terdepan untuk menyelesaikan
sengketa ini, Indonesia dapat diandalkan di tengah- tengah negara-negara anggota ASEAN.

Peran strategis Indonesia saat ini adalah sebagai negara penjaga keamanan kawasan Asia
Tenggara dari ancaman perang terbuka di Laut Tiongkok Selatan, selain itu Indonesia selalu
menjadi inisiator perundingan penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan ini. Namun
demikian, konflik Laut China Selatan hingga saat ini masih belum dapat terselesaikan,
konflik ini melibatkan 4 negara ASEAN (Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei
Darussalam) serta Taiwan dan China. Konflik Laut China Selatan terus mengalami eskalasi
dan dapat menimbulkan ancaman di kawasan. Terlebih lagi, Amerika Serikat menginginkan
adanya freedom of navigation di Laut China Selatan. Konflik Laut China Selatan memasuki
babak baru dimana pada tahun 2016 Filipina memenangkan gugatan di Mahkamah Arbitrase
Internasional, yang pada intinya adalah tidak mengakui klaim wilayah China serta traditional
fishing ground yang selalu dijadikan dalil oleh China.

Di sisi lain, Filipina dan India siap untuk melakukan kegiatan navigasi di Laut China Selatan
dengan tujuan untuk menjaga perimbangan kekuatan di kawasan tersebut. Filipina dan India
siap bekerja sama untuk melawan sikap tegas China di Laut China Selatan. Hal tersebut
dilakukan sebagai bentuk untuk memperluas kerja sama kemitraan strategis antara kedua
negara. Filipina juga telah berkomitmen akan memberikan respons terberat kepada China jika
latihan angkatan laut Tiongkok sampai meluas ke wilayah Filipina. Kemitraan strategis ini
juga menunjukkan bahwa Filipina dan India akan merapat untuk mendukung AS dalam
menjaga keseimbangan teritorial di Laut China Selatan. Bentuk dukungan yang dilakukan
oleh India kepada Filipina adalah perpanjangan konflik perbatasan antara India dan China di
perbatasan Himalaya.

Seluruh negara ASEAN memahami bahwa isu Laut China Selatan merupakan suatu ujian
berat dalam pengelolaan kawasan, yaitu tentang bagaimana ASEAN mengelola situasi
konflik di kawasan ini. ASEAN terlihat semakin solid dalam menyelesaikan isu ini dan
berkomitmen untuk melangkah maju mewujudkan CoC di Laut Cina Selatan bersama-sama
dengan RRT. ASEAN saat ini menunggu kesiapan RRT untuk membahas CoC dan sepakat
agar para pihak yang terkait dengan isu tersebut menahan diri dan tidak melakukan kegiatan
yang dapat merusak trust dan confidence building di Laut China Selatan.

Pihak-pihak negara yang merasa berhak atas sejumlah wilayah di Laut China Selatan meliputi
Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Kamboja serta RRT.
Selama ini ASEANÂ telah maju dengan menyepakati elemen-elemen dari CoC di antara
ASEAN, dimana Indonesia memprakarsai penyusunan draft-nya. Namun untuk prosesnya,
ASEAN harus merangkul dan melibatkan RRT agar RRT merasa turut memiliki dan
mengambil bagian atas proses tersebut. Proses percepatan pembentukan CoC di Laut China
Selatan nantinya akan mengalami penyesuaian dengan kecepatan terukur, dimana proses
harus bergerak maju, namun tidak tidak terlalu cepat meninggalkan RRT.

ASEAN adalah forum komunikasi tingkat regional negara- negara di kawasan Asia Tenggara.
Saat ini fokus ASEAN dikenal dengan tiga pilar yaitu pilar keamanan, ekonomi dan sosial
budaya.
Dalam permasalahan upaya Negara anggota ASEAN dalam menyelesakan konflik Laut Cina
Selatan atas klaim Tiongkok ini, maka ASEAN berperan sebagai organisasi internasional
dengan wakil pemerintah negara-negara sebagai anggota atau Intergovernmental
Organization (IGO) yang memiliki tugas dan fungsi sebagai forum komunikasi.

Secara historis, Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Samudera Pasifik, yang meliputi
sebagian wilayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas
sekitar 3.5 juta km2 Berdasarkan ukurannya,
Laut Cina Selatan ini merupakan wilayah perairan terluas atau terluas kedua setelah kelima
samudera. Laut Cina Selatan merupakan sebuah perairan dengan berbagai potensi yang
sangat bear karena di dalamnya terkandung minyak bumi dan gas alam dan selain itu juga
peranannya sangat penting sebagai jalur distribusi minyak dunia, perdagangan, dan pelayaran
internasional.
Negara-negara dan wilayah yang berbatasan dengan Laut Cina
Selatan adalah (searah jarum jam dari utara) Republik Rakyat Cina (RRC) termasuk (Makau
dan Hongkong), Republik Cina (Taiwan), Filiphina, Malaysia, Singapura, Brunei Indonesia,
dan Vietnam Adapun sungai-sungai besar yang bermuara di Laut Cina Selatan antara lain
sungai Mutiara (Guangdong).

Persoalan Laut Cina Selatan ini sangat berkaitan erat dengan negara- negara yang merupakan
anggota ASEAN, karena beberapa negara ASEAN berbatasan langsung dengan Laut Cina
Selatan yang tentunya juga punya kepentingan di wilayah Laut Cina Selatan, sehingga
ASEAN dituntut untuk menyatakan sikap dalam persoalan tersebut. Akan tetapi sangat
disayangkan adalah munculnya perpecahan di ASEAN dalam upaya penyelesaian sengketa di
Laut Cina Selatan, sehingga ditakutkan konflik tersebut akan menjadi konflik terbuka dan
mengganggu stabilitas regional Asia Tenggara. Dampak buruk lainnya dari permasalahan
Laut Cina Selatan
tersebut adalah terjadinya perpecahan di antara anggota-anggota ASEAN seperti Kamboja
yang menolak gagasan yang mengatakan bahwa ASEAN harus turut serta menyelesaikan
permasalahan tersebut Menurut pemerintah Kamboja, permasalahan tersebut cukup
diselesaikan melalui penyelesaian secara bilateral dan tidak perl adanya suatu deklarasi
bersama seluruh anggota ASEAN terkait penyelesaian konflik Laut Cina Selatan tersebut.
Beberapa upaya penting yang dilakukan oleh ASEAN dalam Menyelesaikan konflik Laut
Cina Selatan.

Dinamika Asia Tenggara yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal tetapi faktor
eksternal berasal dari Asia Timur (Tiongkok), dan Asia Selatan (India), yang merupakan dua
sumber pengaruh dinamika yang pertemuannya di Asia Tenggara. Berarti dinamika yang
terjadi di Asia Tenggara berpeluang menimbulkan kondisi ketidakstabilan regional,sehingga
mendapatkan respon dan tindakan internasional. Begitu pentingnya peran kedua negara ini
dalam pengaruh dinamika Asia Tenggara, sebab itu ASEAN menuntut untuk
memprioritaskan terhadap keamanan regional menjadi pengatur stabilitas dinamika yang
terjadi di Asia Tenggara. Tiongkok sendiri, bagi ASEAN sangat dibutuhkan dibanding
beberapa negara di Asia Timur lainnya, karena Tiongkok memiliki kepentingan geopolitik
negara tersebut sekaligus mengendalikan sistem maritim ke wilayahnya. Terkait dengan Laut
Cina Selatan yang menjadi bagian geografis di Asia Tenggara, dimana sebagian masyarakat
negara anggota ASEAN menemukan potensi kapitalnya disana, dan perairan tersebut menjadi
potensi bagi Cina membangun kekuatan baru di Asia Pasifik melalui klaim wilayah perairan
Laut Cina Selatan.

Klaim ini menimbulkan ujian bagi ASEAN untuk tegas menanggapi sifat eksesif Tiongkok
atas klaimnya. Jika ditarik melalui pendekatan pada prinsip fundamental ASEAN yang
tercantum pada TAC (Treaty of Amity and Corporation) dalam poinnya menjadi perhatian
yakni non-interference dan menjaga kedaulatan setiap negara-negara dari ancaman intervensi
dari luar. Selama in perkembangan dinamika di ASEAN dari beberapa
dekade terakhir perubahannya sangat signifikan, hal inimencoba mempertanyakan
kemampuan ASEAN dalam menyikap konflik-konflik yang berasal dari internal dan
eksternal. ditambahkan konflik sengketa Laut Cina Selatan merupakan. perpaduan konflik
internal antar negara anggota ASEAN dan eksternal dari Tiongkok yang mengklaim teritorial.
Sejumlah tantangan yang dialami ASEAN dalam permasalahan keamanan harus tetap.
Mempertahankankeberadaan interference yang non- didasari oleh ASEAN Way.

Pada masa dekade akhir ini, ASEAN sebagai institusi mengandalkan sistem rejim ARF
dalam isu keamanan tradisional dan non-tradisional issue dengan mencerminkan nilai-nilai
ASEAN Way, dengan sukses dalam konflik sengketa Kuil Preah Vihear melalui
CBM (Confidence Building Measures), kerjasama keamanan yang berujung sukses yakni
Aceh Monitoring Mission, selain itu sukses mengajakTiongkok untuk duduk bersama dalam
konflik sengketa Laut Cina Selatan. Dengan dimulai dari legitimasi Myanmar bergabung di
ASEAN menimbulkan cara pandang yang berubah bagi nilai-nilai ASEAN Way dan prinsip
fundamental ASEAN yakni non-interference yang sedikit bergeser menjadi constructive
engagement dan proactive engagement

. Pada konsepnya bahwa negara ASEAN bersikap proaktif untuk membantu suatu negara
yang mengalami permasalahan politik dan konflik keamanan manusia, melalui bantuan
ekonomi dan politik demokrasi, tetapi tetap tidak melanggar prinsip kedaulatan. Dalam kasus
sengketa Laut Cina Selatan, ASEAN berada diposisi krusial dimana Tiongkok telah
melakukan latihan angkatan lautnya di daerah perairan tersebut, melalui ARF atas kesediaan
Tiongkok untuk terlibat dengan ASEAN, muncul anggapan bahwa Tiongkok akan semakin
agresif dalam konflik sengketa Laut Cina Selatan. Ajang diskusi dan kerjasama diforum
ARF, hanya semata menggunakan pendekatan cooperative security, otomatis pencapaiannya
bukan melalui instrument militer. Dalam hal in komunitas keamanan didefinisikan komunitas
sebagai negara yang menyeesaikan permasalahan di antara mereka tidak dengan penggunaan
kekuatan militer, tetapi dengan cara-cara damal (peaceful changes). Krusialnya, negara
anggota ASEAN pun masih lemah dalam peningkatan kerjasama militer, kemudian sikap
setiap keanggotaan ASEAN menjadi terbelah dan berteguh pada non-interference. hal ini
semakin memperkeruh keadaan dinamika sengketa Laut Cina Selatan, dengan akibat ASEAN
belum mampu menciptakan balance of power untuk mengimbangi kekuatan Tiongkok.

Ekspresi geopolitik Tiongkok, terkait Laut Cina Selatan terlihat dengan kebijakan Tiongkok
yang dibawa dalam ASEAN Regional Forum (ARF), salah satunya menyetujui The
Declaration on the Conduct of Parties in the South Tiongkok Sea, pada tahun 2002. Dalam
deklarasi tersebut Tiongkok sepakat bahwa sengketa perairan tidak akan meniadi isu
internasional dan isu multilateral. Delapan tahun setelah deklarasi tersebut dengan Tiongkok
mengenai konflik perairan in1 diratifikasi, kejelasan status atas kepemilikan Kepulauan
Spratly dan Paracel belum jelas. Optimalisasi peran ASEAN Regional Forum sebagai badan
yang mampu lebih menjawab tantangan keamanan, kedepannya, terutama permasalahan is
tradisional dan non- tradisional. Beberapa optimalisasi peran Asean Regional Forum dalam
menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan.

upaya ASEAN dalam menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan adalah dilakukan dengan cara
perundingan damai berdasarkan peraturan hukum internasional. Pendekatan yang digunakan
oleh ASEAN dalam menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan dengan Tiongkok
menggunakan pendekatan cooperative security, otomatis pencapaiannya bukan melalui
instrument militer. Dalam hal ini komunitas keamanan didefinisikan sebagal komunitas
negara yang menyeesaikan permasalahan di antara mereka tidak dengan penggunaan
kekuatan militer, tetapi dengan cara-cara damai (peaceful changes). Laut Cina Selatan
merupakan bagian dari Samudera Pasifik, yang meliputi sebagian wilayah dari Singapura dan
Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas sekitar 3,5 juta km. Berdasarkan
ukurannya, Laut Cina Selatan in merupakan wilayah perairan terluas atau terluas kedua
setelah kelima samudera. Laut Cina Selatan merupakan sebuah perairan dengan berbagai
potensi yang sangat bear karena di dalamnya terkandung minyak bumi dan gas alam dan
selain itu juga peranannya sangat penting sebagai jalur distribusi minyak dunia, perdagangan,
dan pelayaran internasional. Oleh karena itu, dengan pentingnya posisi strategis Laut Cina
Selatan yang berada di wilayah perairan Laut negara Asia Tenggara, maka diperlukan upaya
oleh negara- negara anggota ASEAN untuk menyelesaikan konflik sengketa Laut Cina
Selatan dengan Tiongkok secara bersama-sama. Adapun upaya yang dilakukan oleh ASEAN
dalam menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan.

Keterlibatan seluruh negara-negara anggota ASEAN seperti yang diharapkan juga termasuk
negara-negara yang tidak ikut bersengketa dalam melawan China, seperti Kamboja,
Myanmar, dan Laos yang notabene memiliki hubungan diplomatik yang dekat dengan China.
Dekatnya hubungan diplomatik antara Kamboja dengan China terlihat pada Konferensi
Tingkat Tinggi ASEAN yang diselenggarakan di Phnom Penh, Kamboja terlihat secara segan
untuk membahas permasalahan konflik Laut China Selatan. Tindakan Kamboja tersebut
dapat menghambat proses penyelesaian konflik secara multilateral.

De-eskalasi dengan membangun stabilitas dan keamanan pada kawasan secara multilateral
merupakan sebuah hal yang harus dilakukan agar dapat mencapai konsensus, sehingga tidak
ada yang merasa dirugikan atas konflik tersebut baik untuk pihak yang terlibat sengketa
maupun yang tidak terlibat dalam sengketa. Salah satu bentuk peran aktif pemerintah
Indonesia adalah dengan mengajukan diri untuk menjadi mediator dalam perundingan, seperti
saat konferensi ASEAN di Kamboja pada tahun 2012 yang lalu. Selain itu, pemerintah
Indonesia juga dapat mengajak negara- negara anggota ASEAN untuk bersama-sama
menyelesaikan permasalahan ini pada forum-forum internasional.

Dalam meredakan konflik di Laut China Selatan, telah banyak upaya yang dilakukan. Upaya-
upaya tersebut seperti diskusi-diskusi secara multilateral, pengajuan ke mahkamah
internasional Den Haag, patroli bersama, dan sebagainya. Selain itu, melalui jalur hukum
dapat ditempuh beberapa cara seperti Aribtrase, Penyelesaian yudisial, Negosiasi, mediasi
dan konsiliasi, penyelidikan, dan penyelesaian di bawah naungan organisasi PBB. Akan
tetapi, apabila melihat perkembangan dalam konflik ini maka upaya terbaik yang bisa
dilakukan oleh negara-negara yang terlibat dalam sengketa adalah dengan melalui diskusi
bersama secara multilateral melalui forum-forum kerjasama internasional. Dengan
melakukan diskusi-diskusi bersama dalam forum-forum kerjasama internasional, maka
stabilitas kawasan akan terbentuk dan ketegangan-ketegangan yang terjadi dapat diredakan
untuk sementara. Karena konflik itu sendiri by nature pasti akan muncul kembali sesuai
dengan perspektif Realisme. Dalam menyelesaikan permasalahan di Laut China Selatan,
forum ntuk menghadapi China.

Dalam meredakan konflik di Laut China Selatan, telah banyak upaya yang dilakukan. Upaya-
upaya tersebut seperti diskusi-diskusi secara multilateral, pengajuan ke mahkamah
internasional Den Haag, patroli bersama, dan sebagainya. Selain itu, melalui jalur hukum
dapat ditempuh beberapa cara seperti Aribtrase, Penyelesaian yudisial, Negosiasi, mediasi
dan konsiliasi, penyelidikan, dan penyelesaian di bawah naungan organisasi PBB, Akan
tetapi, apabila melihat perkembangan dalam konflik ini maka upaya terbaik yang bisa
dilakukan oleh negara-negara yang terlibat dalam sengketa adalah dengan melalui diskusi
bersama secara multilateral melalui forum-forum kerjasama internasional. Dengan
melakukan diskusi-diskusi bersama dalam forum-forum kerjasama internasional, maka
stabilitas kawasan akan terbentuk dan ketegangan-ketegangan yang terjadi dapat diredakan
untuk sementara. Karena konflik itu sendiri by nature pasti akan muncul kembali sesuai
dengan perspektif Realisme. Dalam menyelesaikan permasalahan di Laut China Selatan,
forum kerjasama internasional yang memiliki peranan besar adalah ASEAN dan juga forum
yang bernama ASEAN Regional Forum (ARF).
ASEAN Regional Forum merupakan suatu forum kerjasama internasional yang
beranggotakan berbagai negara yang telah menjalin hubungan kerjasama multilateral bersama
ASEAN untuk membahas permasalahan mengenai isu keamanan dan perdamaian kawasan,
terutama di kawasan Asia Pasifik. Keanggotaan ARF meliputi 10 negara anggota ASEAN,
Amerika Serikat, Kanada, China, India, Jepang, Korea Selatan, Rusia, Selandia Baru, dan Uni
Eropa serta beberapa negara di kawasan yaitu: Papua Nugini, Mongolia, Korea Utara,
Pakistan, Timor-Leste, Bangladesh dan Sri Lanka.

ARF dalam melaksanakan fungsinya untuk menyelesaikan suatu permasalahan keamanan dan
juga meredakan konflik dilakukan melalui dialog-dialog multilateral. Dengan adanya negara-
negara besar yang ikut serta dalam forum tersebut, ASEAN memposisikan dirinya untuk
dikelilingi oleh negara-negara besar dalam menghadapi agresi China di kawasan Laut China
Selatan.

Dalam hal ini, ASEAN bisa dimanfaatkan sebagai instrumen bagi negara-negara yang terlibat
dalam konflik di Laut China Selatan, terutama Indonesia sebagai bagian dari strateginya
untuk meredakan konflik. Hal tersebut dikarenakan ASEAN merupakan organisasi yang
dapat menyatukan pihak-pihak yang ikut berkonflik. ASEAN sebagai organisasi regional
juga mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan stabilitas kawasan. Sehingga organisasi
ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai negara dalam mencapai kepentingannya
Daftar Pustaka

Setiawan, Asep .“Keamanan Maritim di Laut China Selatan: Tinjauan atas Analisa Barry
Buzan,” Jurnal Keamanan Nasional, Volume 3, Nomer 1, (2017).

Snyder, Craig “Maritime Security in the South China Sea.” Journal of Conflict Studies, Vol.
XXIV, No. 1, (2004).

Sosiawan, Ulang Mangun . “Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Mekanisme


Penyelesaian Konflik Antar Negara Dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan,” Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI. Jakarta, 2015.

Kementerian Luar Negeri RI, Laut China Selatan, http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-


khusus/Pages/Laut-China-Selatan.aspx (diakses 6 Januari 2023)

Kementerian Luar Negeri RI, Lokakarya Laut China Selatan ke-21, Surakarta, 9-11
November 2011, http://www.kemlu.go.id/id/berita/siaran-pers/Pages/Lokakarya-Laut-China-
Selatan-ke-21- Surakarta-9-11-November-2011.aspx (diakses 6 Januari 2023)

Kementerian Luar Negeri RI, ASEAN Regional Forum (ARF),


http://kemlu.go.id/id/kebijakan/kerjasama-regional/Pages/ARF.aspx (diakses 8 januari 2023)

U.S. Energy Information Administration, South China Sea,


https://www.eia.gov/beta/international/regions-topics.cfm?RegionTopicID=SCS (diakses
tanggal 8 Januari 2023)

Anda mungkin juga menyukai