NIM: 2103101010356
Mata Kuliah: Hukum Ekonomi Internasional
Kelas: A
Masalah di Laut China Selatan atau Laut Tiongkok Selatan (LTS) merupakan masalah
sengketa yang sangat rumit, termasuk dalam hal sengketa teritorial dan batas wilayah maritim
yang hingga saat ini belum terselesaikan. Indonesia telah mengambil tindakan yang sangat hati-
hati dalam menghadapi permasalahan sengketa di LTS ini . Dalam konflik LTS, selain
ketegangan yang timbul akibat tumpang tindihnya klaim wilayah antara negara-negara yang
terlibat dalam sengketa, yang belum dapat dihentikan , terdapat juga perkembangan yang tidak
menggembirakan, terutama dalam hubungan antara dua negara anggota ASEAN, yaitu Vietnam
dan Filipina, dengan China. Sebagai contoh, Filipina telah melaporkan berbagai pelanggaran
yang dilakukan oleh kapal-kapal China yang melewati perairan yang menjadi sengketa, bahkan
terjadi beberapa insiden antara kapal patroli China dan kapal nelayan Filipina. Di sisi lain, China
juga dituduh melakukan pemasangan instalasi baru di wilayah yang disengketakan dan
mengintimidasi kapal-kapal eksplorasi minyak milik Filipina. Vietnam juga telah melakukan
setidaknya empat kali pertemuan bilateral dengan China pada awal tahun 2011 untuk membahas
perbedaan mereka mengenai LTS. Sayangnya, beberapa tindakan China, seperti peningkatan
jumlah dan aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal China di perairan
Vietnam, akhirnya membuat hasil pertemuan bilateral antara kedua negara tersebut menjadi tidak
efektif. Insiden seperti pemotongan kabel-kabel di tempat eksplorasi minyak Vietnam oleh China
juga semakin memperburuk situasi dan mendorong Vietnam untuk terus meningkatkan
kemampuan militer mereka di LTS
Demikian pula, Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, dan Malaysia juga
mengklaim bahwa sebagian wilayah LTS masuk ke dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
negara-negara tersebut berdasarkan pendekatan geografis yang diakui oleh Konvensi Hukum
Laut Internasional tahun 1982. Negara-negara yang terlibat dalam konflik LTS sering terlibat
dalam bentrokan fisik menggunakan kekuatan militer masing-masing dalam upaya untuk
mempertahankan klaim mereka atas wilayah LTS.
Dari lima negara yang mengajukan klaim kedaulatan di LCS, empat di antaranya adalah
anggota ASEAN, yaitu Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei. Secara politis, hal ini
menyebabkan China menjadi pihak yang berlawanan dengan ASEAN yang bersatu karena
kepentingan tiga anggotanya. Ini mendorong ASEAN untuk menekan China agar menerima
Deklarasi ASEAN 2002 mengenai Conduct of Parties di LCS. Deklarasi ini bertujuan untuk
mengurangi ketegangan antara China dan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara.
Deklarasi 2002 tersebut mencakup kesepakatan setiap pihak untuk menetapkan wilayah teritorial
mereka masing-masing dan menyelesaikan sengketa dengan cara damai, tanpa penggunaan
kekerasan. Deklarasi ini kemudian dijadikan acuan oleh semua negara yang bersengketa dalam
bertindak. Hingga satu dekade setelah deklarasi tersebut disepakati, kondisi LCS setelah tahun
1995 relatif stabil. China mengubah kebijakannya dengan tujuan meningkatkan integrasi regional
dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara melalui upaya peningkatan ekonomi,
perdagangan, infrastruktur, dan program-program kebudayaan.
Norma dan kesepakatan menjadi elemen penting dalam penyelesaian konflik di LCS. Hal ini
juga penting untuk mencegah eskalasi konflik yang lebih lanjut. ASEAN dan China
menandatangani Deklarasi Kesepakatan yang mengatur perilaku setiap pihak di LCS pada
November 2002. Ini merupakan momen pertama kali China menerima kesepakatan multilateral
mengenai LCS. ASEAN berupaya untuk mendapatkan pengakuan China terhadap norma-norma
internasional yang diterapkan terhadap LCS sejak tahun 1992. Di sisi lain, China memandang
LCS sebagai wilayah yang pernah hilang dan harus dipersatukan kembali dengan daratan,
sehingga mereka tidak merespons permintaan ASEAN.
Sikap China terhadap LCS berubah setelah Taiwan memisahkan diri dari China pada tahun
1995-1996, terutama setelah terlibat dalam Visiting Forces Agreement of 1998 dengan AS.
China menyadari pentingnya norma dan perilaku dalam menghadapi kekuatan eksternal. Dalam
situasi di mana kekuatan dominan dapat memanfaatkan pihak yang lemah, diperlukan kekuatan
penyeimbang untuk menegosiasikan norma dan peraturan. Tanpa kekuatan penyeimbang, pihak
yang memiliki kekuatan dominan tidak memiliki insentif untuk mengikuti norma dan peraturan.
Dalam hal norma dan kesepakatan, ASEAN dan China pernah menandatangani code of
conduct yang mengatur perilaku mereka di LCS. Namun, hingga sekarang, code of conduct
tersebut belum tercermin dalam sikap yang menjaga hubungan baik antara pihak yang
bersengketa. Meskipun belum diimplementasikan, kesediaan China untuk menandatangani
deklarasi ini merupakan salah satu cara untuk menjaga reputasi mereka di ASEAN dan membuka
pintu bagi bentuk kerja sama lain seperti perdagangan bebas melalui China-ASEAN Free Trade
Area (CAFTA). Sebelumnya, China bersikeras pada kesepakatan bilateral dengan negara-negara
yang juga mengajukan klaim atas LCS dan menghindari kesepakatan multilateral. Deklarasi ini
menunjukkan perubahan dalam pendekatan China terhadap konflik.
Pada tanggal 4 November 2002, ASEAN menandatangani deklarasi kesepakatan dengan
China sebagai titik awal dalam menyelesaikan masalah LCS. Sebelumnya, China lebih fokus
pada kesepakatan bilateral dan menghindari kesepakatan multilateral. China lebih suka
berunding secara bilateral dengan negara-negara yang memiliki klaim atas wilayah LCS karena
mereka ingin memulihkan wilayah teritorial yang hilang dan mengklaim kedaulatan atas wilayah
tersebut. Fase kedua terjadi sejak tahun 1999 hingga saat ini, di mana China terlihat lebih terbuka
terhadap negosiasi mengenai norma-norma peraturan dengan ASEAN.
Deklarasi panduan yang mengatur perilaku pihak-pihak yang bersengketa yang ditandatangani
oleh ASEAN dan China sempat mengurungkan sengketa teritorial di wilayah tersebut. Namun,
klaim kedaulatan kembali muncul terutama oleh China. Untuk menghindari perpecahan di antara
pihak yang bersengketa, China mulai bernegosiasi untuk membuat code of conduct yang baru
pada tahun 2010. Partisipasi China dalam penandatanganan code of conduct ini merupakan
perubahan besar karena sebelumnya China menolak negosiasi multilateral (Nehru, 2012).
Meskipun negosiasi tersebut telah disepakati, ketegangan di LCS diprediksi akan terus
meningkat karena tiga faktor. Pertama, peningkatan dalam kapabilitas militer dan kecenderungan
untuk mempertahankan klaim wilayah oleh negara-negara tersebut. Kedua, peningkatan
nasionalisme dan rasa percaya diri China. Ketiga, perubahan dalam kebijakan AS di Asia.
Sejak tahun 1992, potensi terjadinya ketegangan telah terlihat di LCS. Namun, negosiasi
multilateral belum memberikan hasil yang efektif hingga saat ini (. Tidak ada mekanisme
multilateral yang benar-benar diterapkan oleh semua pihak yang bersengketa. Secara jelas, China
menghindari negosiasi multilateral dan lebih suka jika isu LCS diatasi secara terpisah dari
ASEAN. China berupaya untuk menghapus isu LCS dari agenda ASEAN Regional Forum
(ARF) dan militerisasi di Kepulauan Spratly. Dalam pandangan China, kedaulatan di kepulauan
tersebut dapat dinegosiasikan melalui perundingan bilateral, bukan multilateral.
Peran ASEAN dalam Penyelesaian sengketa laut china selatan dalam aspek BIdang ekonomi,
ASEAN memainkan peran yang penting dalam penyelesaian sengketa Laut China Selatan dalam
aspek ekonomi. Laut China Selatan adalah wilayah perairan yang kaya sumber daya alam,
strategis secara geopolitik, dan penting untuk perdagangan internasional. Beberapa negara
anggota ASEAN, seperti Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam, memiliki klaim atas sebagian
dari wilayah ini. China juga memiliki klaim yang luas atas sebagian besar Laut China Selatan.
Berikut adalah beberapa peran ASEAN dalam penyelesaian sengketa Laut China Selatan dalam
aspek ekonomi: