Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

SENGKETA LAUT CHINA SELATAN

MATA KULIAH : HUKUM LAUT

DISUSUN OLEH :
NAMA : GANDA PUTRA
NO BP : 1910003600201
KELAS : 4H4

UNIVERSITAS EKASAKTI (UNES) PADANG


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Permasalahan Laut Tiongkok Selatan (South China Sea) telah dimulai sejak pemerintah Tiongkok di
bawah rezim Zhou Enlai mengklaim kedaulatan mereka atas pulau Spratly dan pulau Paracel pada
tahun 1951 ketika terjadi negosiasi perjanjian damai dengan Jepang.1 Tiongkok mengajukan klaim
yang berdasarkan pada prinsip “Historic Waters” atau wilayah perairan yang menjadi yurisdiksi
Tiongkok berdasar sejarahnya.

Klaim yang dibuat oleh pemerintah Tiongkok tersebut mendapat pertentangan oleh beberapa
negara yang berada di wilayah Laut Tiongkok Selatan. Taiwan, mengklaim Paracel dan Spratly
sebagai bagian teritorinya dengan alasan historis yang sama. Sementara Vietnam membuat klaim
mutlak tentang kedaulatannya atas Kepulauan Spratly yang mencakup laut teritorial, zona
tambahan, Zona Ekonomi Ekslusif, dan landas kontinen berdasarkan argumen wilayah “warisan
kolonial Prancis”. Pernyataan ini juga didukung dengan adanya dokumen resmi yang berjudul

Limits in the Seas. Filipina menyatakan klaimnya atas dasar kedekatan geografis, keamanan nasional,
okupasi efektif, dan kontrol serta ketentuan hukum dari ZEE, meskipun klaim Filipina dianggap
lemah (hanya berdasar klaim bahwa pelaut Filipina menemukan beberapa kepulauan di barat spratly
pada tahun 1956) dan tidak didukung dengan adanya bukti yang solid dalam hukum internasional
atas kepulauan Spratly.

Malaysia mengklaim kepemilikan atas 12 pulau yang berada di kawasan kepulauan Spratly, Malaysia
juga mengklaim 200 mil ZEE dari garis pantainya, hal yang sama dilakukan oleh Brunei. Tumpang
tindih klaim atas kawasan laut Tiongkok Selatan terus berlanjut hingga tahap konflik bersenjata.
Pada tahun 1994 terjadi konfrontasi bersenjata antara Tiongkok dan Vietnam di perairan Tu Chinh
blok 133,134 dan 135 dimana Vietnam berpendapat wilayah tersebut adalah wilayah perairan
internasional dan mereka memiliki hak untuk mengadakan kegiatan eksplorasi sementara Tiongkok
men gklaim bahwa wilayah tersebut adalah milik mereka. 4 Lalu pada tahun 1995 Tiongkok
menuduh Filipina mencuri karang dan Filipina membalas dengan menyerang orang-orang Tiongkok.
Di tahun yang sama, pasukan artileri Taiwan menyerang kapal suplai Vietnam. Dari Tahun 1996
hingga 1999 terjadi serangkaian kontak senjata antara Tiongkok dan Filipina berlanjut hingga tahun
2002. Menimbang konflik laut Tiongkok Selatan yang berpotensi mengganggu kestabilan di kawasan,
ASEAN sebagai organisasi di kawasan yang terkait sudah melakukan serangkaian usaha-usaha untuk
meredam terjadinya konflik lebih lanjut. Pada tahun 2002 diinisiasi sebuah kesepakatan antara
negara-negara ASEAN dan Tiongkok yaitu The Declaration on the Conduct of Parties in the South
China Sea(DOC). Dalam DOC disepakati bahwa negara anggota ASEAN terutama Vietnam, Filipina,
Malaysia, Brunei Darussalam, serta Tiongkok berkonsolidasi serta memperbaiki kembali hubungan
yang sempat menegang akibat konflik perebutan wilayah.

Pihak-pihak yang terlibat di dalam deklarasi tersebut harus memiliki komitmen untuk melakukan
afirmasi kembali terhadap Charter PBB dan UN Convention on the Law of the Sea 1982, TAC, dan
berbagai hukum internasional lainnya yang mengakui prinsip-prinsip hukum internasional yang
mengakomodasi hubungan antar negara.

1
Namun, DOC ini dinilai kurang efektif dalam misinya untuk membentuk rasa saling percaya diantara
pihak yang berkonflik dan untuk mencegah permasalahan berkembang menjadi lebih jauh.
Kesepakatan yang terjalin di dalam DOC dipandang lemah karena hanya memberikan batasan-
batasan moral dalam menangani konflik yang ada, lalu dokumen DOC juga tidak mempunyai
mekanisme untuk memonitor bahkan untuk memaksa negara-negara yang terlibat mematuhi
dokumen yang sudah disahkan. Hal yang paling krusial adalah tidak adanya sanksi yang jelas jika
terjadi pelanggaran. Beijing juga menanggapi perjanjian ini dengan cara yang berbeda dan memilih
untuk menyelesaikannya dengan cara bilateral seperti yang disampaikan oleh Xue Hanqin, Duta
Besar Tiongkok untuk ASEAN pada forum the Institute of Southeast Asian Studies di Singapura.
Penyelesaian konflik melalui jalur bilateral seperti yang Beijing kehendaki dianggap hanya akan
menguntungkan Tiongkok yang dapat mendesak negara-negara yang terlibat untuk menyetujui apa
yang diinginkan oleh mereka mengingat negara Tiongkok yang bertatus sebagai negara adidaya dan
tidak adanya kekuatan yang sebanding dari negara-negara di ASEAN.8 Penyelesaian konflik secara
multilateral dianggap lebih pas untuk mengimbangi kekuatan Tiongkok tersebut ditambah dengan
hadirnya ASEAN sebagai penengah akan memberikan hasil perundingan yang lebih adil.

Sebagai salah satu negara yang berada di kawasan ASEAN dan dekat dengan Laut Tiongkok Selatan,
Indonesia sebenarnya menolak untuk disebut sebagai negara pengklaim yang bersengketa di dalam
konflik ini, namun tentu saja Indonesia juga memiliki kepentingan di dalamnya. The nine dashed line
atau 9 garis putus-putus yang dibuat oleh pemerintah Tiongkok berbatasan langsung dengan wilayah
terluar Indonesia, yaitu kawasan Laut Natuna. Hal ini juga diprediksi dapat menimbulkan konflik di
kemudian hari karena wilayah laut tersebut yang merupakan wilayah Kedaulatan ZEE Indonesia
menyumbang sebanyak 30 persen dari pendapatan migas

Indonesia. Terlebih potensi di sektor perikanan yang ada di wilayah tersebut mengundang kapal-
kapal nelayan asing untuk melakukan kegiatan perikanan secara illegal, salah satu pelanggaran yang
sering terjadi adalah aktivitas kapal nelayan Tiongkok yang mengklaim wilayah Laut Natuna masih
merupakan wilayah perairan mereka.11 Lalu, sejak Orde Baru Indonesia mengasosiasikan diri
sebagai negara berkembang yang perlu menjaga kestabilan di kawasan sekitarnya dan
menghilangkan ancaman potensial yang dapat mengganggu laju pertumbuhan ekonomi di dalam
negeri.

Sikap Indonesia di dalam Konflik Laut Tiongkok Selatan juga terus mengalami perubahan dari waktu
ke waktu. Awal keterlibatan Indonesia didalam konflik Laut Tiongkok Selatan pada era Orde Baru
(sekitar tahun 1980), dengan kondisi hubungan diplomatik yang masih “beku” dengan Tiongkok,
Indonesia menggunakan pendekatan yang tradisional terhadap konflik yaitu dengan mengirimkan
kekuatan militer ke daerah perbatasan di Natuna, hal ini dianggap wajar karena ketika itu
pemerintahan Indonesia lebih fokus pada masalah perbatasan dan teritorial.Setelah terjadinya
normalisasi hubungan diplomatik dengan Tiongkok, dan keterlibatan Tiongkok yang lebih aktif
didalam forum-forum ASEAN, Indonesia perlahan mengubah sikap dan mulai mengakomodasi
perundingan. Sebagai contoh sejak tahun 1990 Indonesia secara aktif menjadi inisiator sekaligus
fasilitator agar terciptanya lokakarya yang bernama The Workshop on Managing Potential Conflict in
The South China Sea yang mempertemukan semua negara pengklaim kepulauan spratly dan
bertujuan untuk memberikan pandangan dan saran secara teknis dalam proses negosiasi,
lokakaryaini juga bertujuan untuk menanamkan rasa kepercayaan dan pemahaman yang lebih
diantara pihak yang bertikai.
Pasca jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 dan terjadinya Reformasi yang Menimbulkan pergolakan
di dalam negeri, permasalahan Laut Tiongkok Selatan Kurang menjadi fokus bagi pemerintahan
selanjutnya hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai menjabat.

Gaya kebijakan luar negeri Indonesia pada Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki
slogan “Thousand Friends, Zero Enemy” yang berarti Indonesia secara aktif mengutamakan jalan
perundingan Dan perdamaian tanpa menggunakan senjata dalam setiap pertikaian menjadi acuan
Bagaimana kebijakan luar negeri Indonesia di rencanakan dan diimplementasikan. Pada pertemuan
AMM ke 45 di Kamboja pada tahun 2012,Negara-negara ASEAN terbelah dalam mendudukkan posisi
dan peran Tiongkok. Di satu pihak, Sebagian negara ASEAN seperti Kamboja berpendapat bahwa
Tiongkok harus Dilibatkan sejak awal dalam proses perumusan Code of Conduct. Sebagian anggota
Lain, khususnya Filipina dan Vietnam, berpendapat bahwa ASEAN harus menyatukan Posisi terlebih
dulu sebelum menyodorkan draft Code of Conduct untuk Dinegosiasikan dengan Tiongkok. 16
Kejadian ini membuat ASEAN gagal untuk Mengeluarkan joint communique tentang permasalahan
LTS untuk pertama kalinya Dalam 45 tahun perjalanan ASEAN.Pasca gagalnya pertemuan AMM ke 45
tersebut, Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa melakukan mediasi melalui Shuttle
Diplomacy ke 4 Negara ASEAN, yaitu Filipina, Vietnam, Kamboja dan Singapura selama dua hari Pada
tanggal 18 – 19 Juli 2012 dan mendorong untuk disepakatinya 6 poin komitmen Oleh Menteri Luar
Negeri yang ada di ASEAN untuk mematuhi Declaration on the Conduct of Parties in the South China
Sea dan mengikuti pedoman pelaksanaannya serta menahan diri dan menghindari ancaman atau
penggunaan kekerasan; untuk menegakkan penyelesaian sengketa damai sesuai dengan prinsip-
prinsip hukum internasional yang diakui secara universal, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Draft komunike ini berhasil dengan ditandatanganinya 6 poin
komitmen oleh negara-negara ASEAN pada tanggal 20 Juli 2012 dan menggantikan hasil dari
pertemuan tingkat menteri yang gagal sebelumnya. Untuk sementara waktu, perjanjian ini berhasil
menjaga persatuan negara-negara ASEAN terbukti dengan berkurangnya konflik kepentingan yang
terjadi diantara negara-negara anggota ASEAN, salah satu indikator keberhasilan ini adalah pada
tahun berikutnya (2013) ketika Brunei menjadi chair ASEAN, proses pembuatan joint communique
menjadi lebih mudah tanpa adanya tekanan yang berarti dari negara anggota.18 dan melalui shuttle
diplomacy yang dilakukan oleh Marty Natalegawa berhasil menjembatani kepentingan ASEAN dan
Tiongok di Laut Tiongkok Selatan. Berdasarkan fenomena tersebut, penulis ingin meneliti apa saja
faktor yang menyebabkan shuttle diplomacy yang dilakukanselama 2 hari oleh Indonesia menjadi
efektif dan menyediakan alternatif bagi joint communique yang tidak tercapai sebelumnya dan
berhasil untuk menyatukan suara ASEAN terhadap permasalahan LTS untuk sementara waktu.

1.2 Rumusan Masalah

Konflik Laut Tiongkok Selatan merupakan konflik di wilayah Asia Tenggara yang telah berlangsung
lama dan telah mengalami proses eskalasi dan de-eskalasi konflik secara terus menerus. Indonesia
sebagai salah satu negara yang dekat dengan wilayah konflik telah secara aktif terlibat dalam
mencari solusi untuk menyelesaikan konflik laut Tiongkok Selatan. Penyelesaian multilateral melalui
ASEAN merupakan pilihan yang wajar bagi Indonesia mengingat ASEAN sendiri merupakan salah
satucorner stone bagi kebijakan luar negeri Indonesia. Namun usaha-usaha yang telah dilakukan
tersebut masih belum membuahkan hasil yang memuaskan hingga sekarang.

Tidak tercapainya satu suara negara-negara ASEAN dalam konflik di wilayah spratly pada pertemuan
ke 45 AMM (ASEAN Ministerial Meeting)menimbulkan kekhawatiran bagi pihak-pihak terkait dan
bahkan dunia internasional mengingat terdapatnya jalur pelayaran internasional di daerah yang
bersangkutan. Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa melakukan perjalanan ke
negara-negara ASEAN yang berbeda pendapat dan berhasil untuk mencapai kesepakatan dengan
menghasilkan Six Point of Principles on the South China Se

Pencapaian ini termasuk luar biasa karena dihasilkan hanya dalam waktu dua hari. Mengingat
bahwa beberapa hari sebelumnya negara-negara ASEAN mencapai kebuntuan terkait permasalahan
Laut Tiongkok Selatan sehingga tidak tercapai sebuah joint communique dalam pertemuan AMM ke
45, menarik untuk diketahui apa faktor yang mendukung keberhasilan shuttle diplomacy ini?

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka pertanyaan penelitian ini adalah Apa
yang menyebabkan keberhasilan shuttle diplomacy Indonesia dalam menyelesaikan konflik LTS pada
masa pemerintahan SBY?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung keberhasilan
shuttle diplomacy Indonesia dalam menyatukan pandangan negara-negara ASEAN terkait konflik laut
Tiongkok Selatan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai:

a. Memberikan referensi ilmiah kepada pihak terkait dalam melihat permasalahan yang diteliti
khususnya mengenai upaya dan peran negara dalam penyelesaian suatu konflik dengan jalan
diplomasi.

b. Manfaat bagi peneliti untuk mengasah kemampuan dalam menganalisis dan memetakan konflik-
konflik yang terjadi di dunia internasional.

1.6 Studi Pustaka

Dalam melakukan analisis terhadap permasalahan yang diangkat, peneliti menggunakan beberapa
kajian maupun literatur sebagai bahan referensi untuk memperkuat dan mengembangkan penelitian
ini. Pertama, peneliti menggunakan jurnal yang diterbitkan oleh AJIS (Andalas Journal of
International Studies).19 Pada bagian yang membahas “Strategi Indonesia dalam Merespon
Kebangkitan Tiongkok pada Masa Kepemimpinan Presiden SBY” Didalam jurnal ini dijelaskan bahwa
kebangkitan ekonomi Tiongkok pasca perang dingin telah meningkatkan perhatian dunia terhadap
mereka. Peningkatan ekonomi yang dibarengi dengan peningkatan kapabilitas militer Tiongkok
secara cepat telah memicu kecemasan di kawasan Asia dan tak terkecuali negara-negara yang ada
disekitarnya termasuk Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus berhati-hati dalam menentukan
kebijakan luar negerinya serta menentukan strategi dalam menjaga hubungan baik antar kedua
negara. Terdapat dua strategi dalam menghadapi isu ini yaitu dengan cara hedging20 dan
constructive management21.

Tulisan dari jurnal ini membantu peneliti dalam menganalisis strategi kebijakan luar negeri Indonesia
terhadap permasalahan di Laut Tiongkok Selatan.Kedua, Journal “Perspectives on the South China
Sea”22yang diterbitkan oleh CSIS (Central for Strategic and International Studies) pada bagian yang
ditulis oleh Alice Bamenekankan bahwa isu Laut Tiongkok Selatan bukan hanya sebagai sekedar
“sengketa sederhana” diantara negara-negara di Asia Tenggara namun memiliki implikasi yang jauh
lebih besar daripada itu mengingat adanya hubungan yang kompleks terjadi diantara Tiongkok dan
negara-negara di ASEAN.

Isu Laut Tiongkok Selatan layak untuk dijadikan sebagai isu utama oleh ASEAN karena mulai
memudarnya pengaruh ASEAN sebagai “Regional Order” di Asia Tenggara. Tampilnya ASEAN di
dalam isu ini bukan hanya untuk menjadi penengah (tujuan keluar) namun juga untuk memperkuat
kembali fungsi-fungsi ASEAN (tujuan kedalam). Literatur ini berguna bagi peneliti dalam menganalisis
hubungan kompleks yang terjadi antara ASEAN dan Tiongkok serta kemungkinan-kemungkinan
dalam

penyelesaian konflik yang terjadi melalui cara multilateral (menggunakan ASEAN) memiliki
probabilitas penyelesaian yang lebih tinggi dibanding dengan cara bilateral. Ketiga, Tulisan Lawrence
Susskind and Eileen Babbit yang berjudul Overcoming the Obstacles to Effective Mediation of
International Disputes dalam buku “Mediation in International Relations: Multiple Approaches to
Conflict Management”23 yang dieditori oleh Jacob Bercovitch dan Jeffrey Z. Rubin menjelaskan
tentang pengertian, sejarah serta metode-metode mediasi dalam dunia internasional secara rinci.
Buku ini juga membantu penulis dalam menjawab pertanyaan “Kenapa mediasi yang dilakukan oleh
Indonesia dalam menyatukan suara negara-negara ASEAN terhadap permasalahan LTS bisa berhasil
hanya dalam waktu dua hari?” Buku ini menjadi rujukan dasar bagi peneliti dalam mengunakan teori
mediasi untuk menjelaskan isu yang diangkat.Keempat, Sandy Nur Ikfal Raharjo dalam jurnal yang
diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang berjudul “Peran Indonesia Dalam
Penyelesaian Sengketa Laut Tiongkok Selatan”24 memberikan gambaran umum dari sengketa yang
terjadi dan apa implikasinya bagi kepentingan nasional Indonesia dan apa peran yang dapat
dimainkan oleh Indonesia dalam penyelesaian sengketa. Jurnal ini penulis gunakan untuk
melengkapi data tentang sejarah konflik laut Tiongkok Selatan serta posisi Indonesia di dalam
konflik. Jurnal ini hanya memberikan gambaran penyelesaian konflik secara umum berbeda dengan
yang peneliti teliti, dengan memfokuskan pada pendekatan diplomasi secara multilateral.

Kelima, Analisis yang ditulis oleh Aaron L. Connelly yang berjudul“Indonesia di Laut China Selatan:
Berjalan Sendiri”25 menjelaskan perbandingan yang dibuat dalam kebijakan luar negeri Indonesia
pada era SBY dan era Jokowi. Pendekatan Indonesia terhadap dua krisis setelah pertemuan-
pertemuanASEAN, satu pada tahun 2012 di bawah kepemimpinan Yudhoyono dansatu pada tahun
2016 di bawah kepemimpinan Jokowi, menggambarkan perbedaannya. Analisis ini penulis gunakan
untuk memperkuat landasan kenapa penelitian difokuskan pada saat rezim SBY bukan pada rezim
sesudahnya. Peneliti juga lebih memfokuskan pada diplomasi ulang-alik yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia sehingga membuat penelitian ini berbeda daripada penelitian yang telah ada.

1.7 Kerangka Konseptual

1.7.1 Mediasi

Terdapat berbagai macam cara dalam penyelesaian konflik antara dua atau lebih pihak yang bertikai,
salah satunya adalah Mediasi. Mediasi merupakan salah satu penyelesaian konflik secara damai yang
menggunakan pihak ketiga (mediator), bisa berbentuk individu, kelompok, perusahaan maupun
negara dan bersifat tidak memaksa (non coercive) serta Tidak memakai kekerasan (non violence).
Mediasi dibutuhkan karena pihak-pihak yang terlibat didalamnya tidak bisa menyelesaikan
permasalahan tersebut karena beberapa situasi seperti masalah perbatasan, kesulitan dalam
penyelesaian kontrak, permasalahan dengan negara tetangga, dan masalah dalam perencanaan.
Mediasi dapat memberikan solusi jangka panjang dan praktis yang mungkin tidak didapatkan dari
solusi alternatif lainnya maupun melalui jalur hukum (pengadilan) secara langsung.

Proses mediasi dapat memperbaiki jalannya komunikasi, memperbaiki hubungan dan bisa
membangun kesepahaman yang lebih baik diantara pihak yang berkonflik sekaligus juga mencari
solusi terbaik yang bisa didapat untuk memuaskan semua pihak yang terlibat.

Mediasi biasanya digunakan dalam beberapa kondisi, yang pertama adalah ketika permasalahannya
memakan waktu yang lama, menemui jalan buntu dan situasinya kompleks, yang kedua adalah
mekanisme penyelesaian konflik yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bertikai telah mencapai hasil
impas, dalam artian masing-masing pihak tidak mau mengalah, yang ketiga adalah tidak ada pihak
yang siap untuk menanggung kerugian materil dan immateril dari konflik yang terjadi, lalu yang
terakhir adalah pihak yang bertikai telah setuju untuk bekerjasama dalam pemecahaan masalah.

Kehadiran seorang mediator dalam sebuah konflik apapun status dan strateginya, bisa mengubah
jalannya konflik. Lawrence Susskind dan Eileen Babbit menyebutkan lima prakondisi penting yang
menyebabkan sebuah usaha mediasi yang dilakukan oleh mediator baik dalam tingkatan individu,
organisasi maupun sebuah negara bisa berjalan dengan efektif28:

1. Pihak yang berkonflik harus memiliki kesadaran bahwa aksi unilateral(sebelah pihak) tidak akan
menyelesaikan konflik.

2. Perjanjian yang disusun merupakan alternatif untuk menghindarkan efek konflik yang
berkepanjangan baik secara ekonomi, politik maupun psikologi.

3. Delegasi/Perwakilan dari pihak yang bersengketa harus memiliki otoritas/pengaruh yang cukup
bagi pihak yang diwakilinya dan memiliki komitmen dalam menerapkan tindakan yang disepakati
bersama.

4. Adanya kepentingan internasional dan regional lain di dalam konflik sehingga diperlukan tekanan
menuju proses resolusi.

5. Pihak yang menjadi mediator (penengah) di dalam perundingan adalah pihak yang bisa diterima
oleh segala pihak.

Idealnya, sebuah usaha mediasi dianggap berhasil jika telah mencapai beberapa kondisi seperti,
berakhirnya penggunaan kekerasan dalam konflik, tercapainya sebuah perjanjian yang
menyelamatkan citra pihak yang terlibat baik di tingkat domestik maupun internasional, adanya
kesepakatan untuk mengimplementasikan semua perjanjian yang diusulkan, terjadinya hubungan
yang lebih baik antar negara yang berkonflik, menjadi contoh yang baik dimata internasional.

1.7.2 Shuttle Diplomacy sebagai Upaya Mediasi

Menurut David A. Hoffman, mediasi memiliki batasan yang luas, sehingga dalam prakteknya dapat
dilakukan improvisasi sesuai dengan kebutuhan. Salah satu bentuk dari improvisasi dalam mediasi
tersebut adalah Shuttle Diplomacy. Shuttle Diplomacy merupakan perpaduan dari cara mediasi dan
pertemuan langsung (biasanya dalam bentuk konferensi). 29 Istilah ini sering digunakan untuk
menggambarkan situasi di mana mediator melakukan perjalanan jauh untuk bertemu dengan pihak
pihak yang terlibat didalam suatu permasalahan secara bolak-balik dalam artian lebih dari sekali
kepada pihak yang bertikai. Dalam beberapa konflik, komunikasi langsung antara para pihak dalam
suatu pertemuan langsung bisa tidak berhasil dalam mengurangi ketegangan, dan dapat membuat
situasi semakin buruk.

Situasi perundingan bisa sangat tegang hingga tidak terjadinya pertukaran pandangan dan kompromi
secara adil, komunikasi secara langsung juga bisa mengakibatkan terjadinya pembacaan tuntutan
yang berulang-ulang dari pihak yang bertikai, memberikan suatu kondisi yang tak dapat diprediksi di
dalam perundingan tersebut. Dalam hal ini, diperlukan adanya proses negosiasi lebih lanjut untuk
membuat pertemuan lebih efektif yang dimediasi oleh pihak ketiga dalam tempat dan waktu yang
berbeda.

Proses negosiasi antara mediator (pihak ketiga) dan masing-masing pihak bertikai yang telah
dilakukan sebelumnya dilanjutkan dengan mempertemukan semua pihak secara langsung dalam
bentuk konferensi yang lebih besar dan membahas hal-hal yang sudah disepakati sebelumnya dan
menciptakan kesepakatan baru untuk

resolusi konflik.

Menurut Heidi Burgess30, inti dari diplomasi ulang-alik adalah:

1. Adanya pihak ketiga (dalam hal ini bisa individu, negara maupun organisasi internasional) yang
memposisikan dirinya secara netral dan objektif untuk menyampaikan informasi secara bolak-balik
antara para pihak yang bertikai. Mediator harus berada langsung diantara pihak yang berkonflik atau
mendalami konflik yang terjadi bukan hanya sekedar berdasarkan informasi dari media-media yang
tersedia atau dari perspektif tertentu saja dan bukan bagian dari pihak yang bertikai sehingga bisa
mengambil langkah se-netral dan se-objektif mungkin. Biasanya pihak ketiga yang menjadi mediator
dalam shuttle diplomacy adalah pihak yang memiliki pengaruh yang besar terhadap pihak yang akan
di mediasi tersebut sehingga bisa memberikan dorongan ataupun tekanan agar proses negosiasi
dapat berjalan dengan lancar.

2. Perantara tidak hanya berfungsi sebagai relay untuk pertanyaan dan

jawaban dari pihak-pihak yang di mediasi (dalam artian hanya menyampaikan pendapat pihak satu
kepada pihak yang lainnya), namun juga dapat memberikan saran untuk mengarahkan konflik
menuju resolusi dan melakukannya dalam ruang privateyang disediakan, untuk mengurangi konflik
yang tidak seharusnya diumumkan ke publik. Dengan menjaga komunikasi secara private dan tidak
langsung, para pihak tidak akan perlu menggunakan taktik debat yang biasa mereka gunakan dalam
percakapan publik, dan akan mampu membangun tingkat kepercayaan yang tidak dapat
dikembangkan dalam situasi perdebatan. Begitu kepercayaan dan tingkat saling pengertian ini
dikembangkan, maka komunikasi tatap muka melalui forum resmi bisa dilakukan lagi. Shuttle
Diplomacy bisa terjadi karena perkembangan zaman, dimana teknologi komunikasi dan transportasi
telah berkembang secara signifikan sehingga memudahkan mediator untuk melakukan perjalanan ke
negara-negara yang terlibat konflik.

Di dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Marty
Natalegawa menjalankan misi shuttle diplomacy ke Filipina, Vietnam, Kamboja dan Singapura. Posisi
Indonesia didalam konflik yang dipandang bukan sebagai pihak pengklaim atau dalam artian lain
sebagai pihak yang netral memudahkan misi diplomasi yang dijalankan. Perundingan terpisah yang
dilakukan dengan negara-negara yang bersangkutan berhasil mempengaruhi keputusan-keputusan
yang sudah maupun akan diambil sehingga tercapai satu suara bulat dalam forum multilateral untuk
menyelesaikan permasalahan laut Tiongkok

1.8 Metodologi Penelitian

1.8.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Metodologi merupakan proses, prinsip dan prosedur yang digunakan untuk pendekatan masalah
serta menemukan jawaban, dengan kata lain metodologi adalah suatu pendekatan umum yang
mengkaji topik penelitian.31 Pendekatan penelitian yang digunakan bersifat kualitatif. Menurut
Strauss dan Corbin, yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang
menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-
prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). 32Penelitian kualitatif
berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat atau kepercayaan objek penelitian dan tidak bisa
diukur dengan angka-angka. Jenis penelitian ini adalah deskriptif analisis di mana analisis dilakukan
dengan mengkaji fenomena yang diangkat menjadi lebih rinci.33

1.8.2 Batasan Penelitian

Penelitian ini dibatasi dari tahun 2012-2013 untuk melihat bagaimana proses terjadinya kegagalan
pertemuan AMM ke 45 di Kamboja yang merupakan pertama kali terjadi dalam organisasi ASEAN
selama 45 tahunnya berdiri dan bagaimana usaha Indonesia melalui menterinya saat itu untuk
menyatukan suara negara-negara ASEAN terhadap permasalahan Laut Tiongkok Selatan melalui
draft Six Points of Principles on the South China Seayang menggantikan hasil pertemuan ke 45 AMM

(ASEAN Ministerial Meeting) di Kamboja yang gagal pada tahun 2012. Penelitian ini dibatasi hanya
dalam ruang lingkup ASEAN mengingat masalah ini termasuk kedalam masalah internal organisasi
ASEAN. Pembatasan ini dilakukan untukmempermudah peneliti dalam menganalisis bagaimana
shuttle diplomacy yang di lakukan oleh Indonesia berhasil dalam menyatukan pandangan terhadap
konflik tersebut.

BAB II

LAUT CHINA SELATAN

Laut China Selatan yang merupakan kawasan perairan dan daratan dari gugusan kepulauan besar
dua pulau besar, yaitu Spratly dan Paracel serta bantaran sungai Macclesfield dan karang
Scarborough yang dimulai dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan.19 Memiliki potensi yang
memberikan keuntungan berupa sumber daya mineral, Laut China Selatan menjadi kawasan yang
banyak diklaim oleh negara-negara yang berada di sekitar kawasan seperti China, Taiwan, Vietnam,
Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Menurut U.S. Energy Information Administration potensi
sumber daya alam di LCS sangat besar, diperkirakan mempunyai kandungan minyak sekitar 11 milyar
barel dan gas alam mencapai 190 trilyun kaki kubik (Tfc) serta cadangan hidrokarbon yang penting
sebagai pasokan energi. Dengan jumlah pulau yang berjumlah 30.000 pulau, sebagian besar negara
di sekitar LCS mempunyai wilayah klaim dalam skala yang berbeda-beda, wilayah yang strategis
menjadi incaran yang digunakan sebagai sistem pertahanan. Dalam kawasan Laut China Selatan
pulau yang paling banyak diklaim yaitu kepulauan Prata atau Dongdha oleh Taiwan dan China,
Macclesfield Bank oleh China, Taiwan dan Filipina, kepulauan Paracel yang masuk dalam
pemerintahan China bagian dari provinsi Hainan, serta kepulauan Spratly.

2.1 Sejarah Konflik Laut China Selatan

Dalam sejarahnya, konflik LCS sudah ada jauh sebelum ada negara-bangsa di kawasan Asia Tenggara.
Konflik di LCS tidak hanya masalah kedaulatan atas kepemilikan pulau-pulau, tapi juga masalah hak
berdaulat atas landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif serta masalah penggunaan teknologi
baru dalam penambangan dasar laut.Kerajaan lokal pada saat itu sudah memetakan dan melihat
potensi di LCS. Sehingga muncul dorongan politik untuk menguasai kawasan LCS yang ramai sebagai
kawasan kapal dagang. Dinasti Han sebagai salah satu yang melihat LCS sebagai poros perdagangan
dengan jalur pelayaran barang dan jasa. Hal tersebut memicu aktor-aktor lokal seperti kerajaan
Funan, kerajaan Angkor, kerajaan Sriwijaya, kerajaan Ayutthaya, kerajaan Champa, dan kesultanan
Malaka terlibat dalam perebutan sumber daya dan potensi yang ada di LCS. Pada abad ke-8 sampai
abad ke-12, kerajaan-kerajaan tersebut mengontrol penuh LCS dan sekitarnya. Namun, pada abad
ke-12 sampai abad ke-15, armada-armada China mulai mendominasi LCS yang dikomandoi oleh
Laksamana Cheng cHo. Ketika pada abad ke-19 saudagar-saudagar barat dari Inggris dan Perancis
datang ke LCS, dominasi China mulai tergantikan oleh Eropa. Inggris negarayang pertama yang
secara resmi mengklaim dua pulau terbesar di kepulauan Spratly, yaitu pulau Spratly dan Amboyna
Cay pada tahun 1877 dengan tujuan eksploitasi guano secara legal.25 Pada pertengahan 1880,
Perancis telah mendirikan Uni Indochina dan pada tahun 1898 Perancis mendapatkan izin ke wilayah
Kouang-tch’eou-wan (saat ini dikenal dengan kota Zhanjiang). Namun, Jepang dan Amerika Serikat
muncul sebagai kekuatan saingan di LCS pada akhir abad ke-19. Kemudian Jepang mengambil alih
Taiwan dari China pada tahun 1895, dan Amerika Serikat menaklukkan Filipina dari Spanyol pada
tahun 1898.

Perdagangan Eropa terus meningkat di LCS hingga 1929 yang menandai puncak dari kekuatan Eropa.
Selama kekuasaan Eropa di LCS, Inggris dan Perancis menunjukkan minat pada kepulauan Spratly
dan Paracel. Pada tahun 1910 sampai 1920, Kementerian Koloni Perancis dan Kementerian Luar
Negeri setuju bahwa kepulauan Paracel berada di bawah kedaulatan China. Dengan adanya
persetujuan tersebut, pada tahun 1921 pemerintah provinsi Guangdong menyatakan kepulauan
Paracel berada dibawah administrasi pulau Hainan. Selain kepulauan Paracel wilayah yang menjadi
minat Eropa adalah kepulauan Spratly.

2.2 Laut China Selatan dalam Perspektif China

Semua klaim China di LCS berdasarkan pada historis, bahwa orang Tionghoa yang menemukan
pulau-pulau di LCS pada masa Dinasti Han abad ke-2 SM. Kemudian pemerintahan Qing mengambil
yuridiksi atas kepulauan Paracel pada awal abad ke-20.54 Klaim China terdefinisikan dalam nine dash
line, kawasan yang membentang beratus-ratus mil dari selatan hingga ke kawasan timur provinsi
Hainan. Garis putus-putus atau nine dash line meliputu sekitar 2.000.000 kilometer persegi ruang
maritim, setara dengan sekitar 22 persen dari luas daratan China tidak termasuk Taiwan dan pulau
Pratas. Garis putus-putus meliputi sekitar 13 kilometer persegi luas daratan yang mencakup
kepulauan Paracel, kepulauan Spratly, dan karang Scarborough. Beberapa analis kebijakan China
berpendapat bahwa kawasan tersebut dianggap sebagai perairan China baik sebagai perairan
internasional atau laut teritorial. Secara signifikan, nine dash line memotong bagian tengah dari ZEE
(Zona Ekonomi Eksklusif) Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, Indonesia dan Vietnam.

Seperti penjelasan disertai gambar bahwa nine dash line yang ditetapkan China memotong ZEE dari
Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, Indonesia, dan Vietnam.

Sehingga China mendapatkan protes dari negara-negara tersebut, salah satunya Filipina yang
membawa ke Permanent Court Arbitration (PCA). Tiga dasar materi yang diajukan oleh Filipina pada
22 Januari 2013, yaitu:

1. Menyatakan bahwa hak dan kewajiban negara-negara pengklaim LCS diatur oleh UNCLOS, dan
klaim China berdasarkan nine dash line tidak sesuai dengan UNCLOS.

2. Menetukan wilayah-wilayah klaim China dan Filipina berdasarkan Pasal 121 UNCLOS.

3. Memungkinkan Filipina untuk menggunakan hak-hak di dalam maupun di luar ZEE dan landas
kontinen yang ditetapkan dalam konvensi.Putusan dari materi gugatan Filipina yang dikeluarkan PCA
pada 12 Juli 2016,

yaitu:

1. China tidak memiliki hak historis di perairan LCS dan berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982
konsep nine dash line dinyatakn tidak memiliki landasan hukum.

2. Tidak ada apapun di kepulauan Spratly yang memberikan China hak ZEE.

3. China telah mencampuri hak tradisional warga Filipina untuk menangkap ikan, terutama di
Scarborough Shoal.

4. Eksplorasi minyak China di dekat Reed Bank melanggar kedaulatan Filipina.

5. China merusak ekosistem di kepulauan Spratly dengan aktivitas seperti penangkapan ikan
berlebihan dan menciptakan pulau buatan.

6. Tindakan China telah memperburuk konflik dengan Filipina. Banyak penulis di China
mengkategorikan dasar hukum dari garis putus-putus dilihat dalam empat sudut pandang.

1) Garis yang berfungsi untuk menampilkan kehendak mengenai kependudukan pulau-pulau


tersebut.

2) Garis yang menggambarkan ruang lingkup hak historis yang menunjukkan wilayah untuk
mengembangkan sumber daya.

3) Penafsiran batas perairan secara historis yang dicapai oleh kedaulatan China.

4) Garis sebagai gambaran ruang lingkup pengaruh China.Garis putus-putus atau nine dash line
mencerminkan kepentingan keamanan maritim China yang ada di LCS. China memandang LCS
sebagai wilayah yang memiliki kepentingan geostrategic inti dan sebagai bagian dari garis
pertahanan yang didirikan di darat dan di laut untuk melindungi populasi utama China dan pusat-
pusat ekonomi. Bagi China wilayah ini sangat penting bukan hanya karena banyaknya jenis ikan,
tetapi juga kekayaan lainnya yang dapat mendukung perkembangan ekonomi, politik, dan
keamanan. Letak geografis laut yang berdekatan dengan beberapa selat memungkinkan adanya
migrasi ikan dari satu ZEE ke ZEE lainnya. Selain itu, menurut perkiraan China tingkat produksi
minyak di LCS terutama di kepulauan Spratly mencapai 1,4-1,9 juta barel perhari.China menunjukkan
bahwa kemungkinan terdapat 105 miliar barel cadangan hidrokarbon di sekitar Spratly. Mayoritas
perdagangan China banyak berpusat di LCS.

10

Secara militer LCS sebagai penyangga maritim bagi provinsi-provinsi China selatan.65 Dalam
pandangan China LCS adalah wilayah yang ditemukan oleh dinasti dari China, yang menjadi dasar
adanya klaim wilayah China berupa garis putus-putus atau nine dash line. Selain itu, China melihat
LCS banyak memiliki potensi yang dapat menguntungkan China, seperti sumber daya mineral dan
beragam jenis ikan sehingga dapat menjadi dasar dari perkembangan ekonomi China. Banyaknya
potensi yang terdapat di LCS, China juga mengembangkan militernya di LCS guna menjaga hak
wilayah yang diklaim berdasarkan sejarah yang dipercaya China.

2.3 Kepentingan China di Laut China Selatan

Klaim kepemilikan atas wilayah Laut China Selatan didasarkan pada tiga hal pokok, yaitu kemajuan
ekonomi, politik, dan pertahanan serta keamanan.

1. Ekonomi

Sumber daya mineral berupa cadangan minyak di LCS yang menjadi kepentingan China dalam klaim
kepemilikan wilayah, yang digunakan dalam jangka panjang untuk menopang kebutuhan dalam
negeri.66 Dengan mengklaim lebih dari 95 persen wilayah LCS dan mengandalkannya sebagai 85
persen impor minyak mentah China.67 Melalui tiga perusahaan minyak, yaitu China National
Offshore Oil Corporation (CNOOC), China Petroleum and Chemical Corporation (Sinopec), dan China
National Petroleum Corporation (CNPC). Selain eksplorasi minyak, kepentingan ekonomi lainnya
seperti industri perikanan yang penting bagi kehidupan ekonomi penduduk di beberapa provinsi
yang berdekatan dengan LCS, seperti Guangdong, Hainan, dan Guangxi. Laut China Selatan juga
sangat penting digunakan sebagai jalur transportasi dengan Selat Malaka, yang mana empat perlima
dari impor China melewati Selat Malaka yang kemudian diteruskan ke LCS.

Laut China Selatan digunakan oleh pemerintah China sebagai bagian dari one belt one road (OBOR),
yang merupakan upaya China untuk menghidupkan kembali jalur sutra kuno yang sudah lama
menjadi rute kuno perdagangan 2000 tahun yang lalu. Diprakarsai oleh Dinasti Han dengan rute laut
melalui Asia Tenggara, Timur Tengah, hingga Venesia dan Eropa.70 Diluncurkan pada tahun 2013
oleh presiden Xi Jinping untuk fokus pada peningkatan dan penciptaan rute perdagangan.71 One
belt one road merupakan realisasi rencana pemerintah China untuk menargetkan ekspor dan impor
yang lebih luas ke banyak negara.

Tujuan lain dari OBOR adalah konektivitas dan kerjasama antar negara terutama China dan Eurasia.
One belt one road terdiri dari dua komponen utama, yaitu silk road economic belt (SREB) yang
berbasis darat, dan maritime silk road (MSR) yang berbasis laut. Peran SREB adalah meningkatkan
dan mengembangkan jalur darat, seperti membangun “jembatan tanah Eurasia” yang merupakan
sebuah rantai logistik dari pantai timur China sampai ke Eropa Barat. Salah satu elemen MSR dalam
OBOR adalah membangun rute laut yang membentang dari barat pantai timur China ke Eropa
melalui LCS dan Samudera Hindia. Dalam hal politik, Laut China Selatan dianggap sebagai teritorial
untuk memproyeksikan politik luar negeri China terhadap negara-negara Asia Tenggara. Sehingga
China dapat menegaskan perannya sebagai negara besar dalam kawasan regional.
11

2. Pertahanan dan Keamanan

Faktor yang melatar belakangi adanya pertahanan dan keamanan LCS oleh China adalah lemahnya
kekuatan laut China yang dapat mempermudah imperialisme barat, sehingga China membutuhkan
armada angkatan laut yang kuat dan pangkalan yang strategis.

Sikap pertahanan yang dilakukan China diLCS berkaitan dengan niatnya untuk memperoleh status
sebagai kekuatan maritime baik di tingkat regional maupun internasional.75 Dalam memperkuat
pertahanan dan keamanan China di LCS, China melakukan reklamasi dan juga konstruksi pada tahun
2014 di wilayah kepulauan Spratly (South Johnson Reef, Cuarteron Reef, Gaven Reef, Fiery Cross
Reef, Subi Reef, Mischief Reef, dan

Hughes Reef).

Tujuan dari adanya reklamasi adalah memperkuat kedaulatan wilayah klaim China, memperbaiki
kondisi hidup penduduk setempat, berkontribusi pada keamanan navigasi internasional, dan
meningkatkan proyeksi kekuatan militer.Wilayah kepulauan Spratly memiliki arti penting bagi
pertahanan. Digunakan sebagai tempat unrtuk melakukan pengamatan atau pencegatan terhadap
segala aktifitas militer negara lain.77 Sebelum melakukan reklamasi di kepulauan Spratly, China
sudah melakukan reklamasi dan pembangunan pelabuhan di kepulauan Paracel pada tahun 2012.
Reklamasi dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan kota Sansha yang oleh pemerintah akan
dibangun kontrol administratif dan juga meningkatkan kondisi kehidupan penduduk.78 China terus
mengklaim wilayah LCS menuju ke arah utara dari kepulauan Paracel, yaitu Tree Island ( Pulau
Zhaoshu) dan pulau Utara. Reklamasi tambahan dilakukan China di ujung selatan. Pulau Utara dan
membangun dinding penahan untuk mencegah erosi.

China juga membangun fasilitas berupa bangunan untuk administrasi.Walaupun, reklamasi yang
dilakukan China melanggar ketentuan UNCLOS yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan laut.
Karena wilayah reklamasi yang dilakukan China sudah melebihi batas 200 mil dan tidak termasuk
dalam wilayah ZEE China. Dalam UNCLOS Pasal 21 dijelaskan bahwa zona maritim dapat
memperpanjang wilayahnya tidak hanya dari tanah utama wilayah negara pantai, tetapi juga dari
setiap pulau yang berada di wilayah kedaulatannya. Selain melanggar UNCLOS, reklamasi yang
dilakukan China juga melanggar ketentuan DOC 2002 yang telah disepakati bersama negara-negara
ASEAN dengan China. Dijelaskan bahwa para pihak yaitu negara-negara ASEAN dan China berusaha
untuk menahan diri dalam melakukan kegiatan yang akan mempersulit atau meningkatkan
perselisihan dan mempengaruhi perdamaian dan stabilitas di wilayah LCS.80Dengan adanya
reklamasi tersebut memberi tanda bahwa pendekatan kebijakan China lebih fokus kepada wilayah
LCS karena keadaan geopolitik terlepas dari masalah sejarah di LCS. China menginginkan agar
sumber daya yang berada di LCS terhubung dalam kontrol SLOC (Sea Lines of Communication),
dalam hal tersebut nasionalis angakatan laut China berpendapat bahwa kepentingan keamanan yang
utama harus mencakup kedaulatan maritim dan perlindungan impor sumber daya alam.

Selain dari hal-hal diatas dari klaim yang dilakukan China, terdapat tiga tujuan utama di LCS, yaitu
1) Integrasi regional, adanya integrasi regional dengan negara LCS lainnya dengan alasan untuk
ekonomi dan politik. Untuk memudahkan China dalam menyalurkan pertumbuhan ekonomi melalui
sumber daya di LCS dengan aman tanpa adanya perselisihan.

2) Selain integrasi regional, China juga melakukan peningkatan keamanan sumber daya dengan
mengontrol sumber daya yang ada di LCS.

12

3) Meningkatkan keamanan maritim untuk melindungi perkembangan yang dilakukan China di LCS.

2.4 Laut China Selatan dalam Perspektif Amerika Serikat

Laut China Selatan telah menjadi isu hangat dan perdebatan di dunia internasional. Kawasan ini
telah menjadi perebutan oleh negara-negara yang berbatasan langsung atau yang memiliki
kepentingan di kawasan ini. Klaim dimulai oleh China atas kepulauan Spratly dan Paracel pada tahun
1974 dan 1992. Bukan hanya negara-negara yang berbatasan langsung dengan LCS, tetapi negara
diluar kawasan tersebut juga memiliki ketertarikan di LCS termasuk Amerika Serikat. Amerika Serikat
menilai bahwa LCS sangat dibutuhkan oleh Amerika Serikat karena dapat mendukung kekuatan
pasukan militer. Negara-negara di kawasan LCS juga memiliki kerjasama perdagangan dengan
Amerika Serikat.

Menurut Amerika Serikat perairan LCS perlu dijaga kestabilan keamanannya karena merupakan jalur
perairan internasional. Dalam klaim di LCS, peran China menjadi ancaman bagi Amerika Serikat
karena sangat mendominasi dalam melakukan klaim dan melakukan tindakan-tindakan yang
provokatif. Tindakan-tindakan China yang telah melibatkan kekuatan militer dapat mengancam
stabilitas dan dan perdamaian di kawasan LCS. Amerika Serikat menyatakan bahwa tidak memihak
dalam konflik LCS, walaupun mengkritik perilaku China di kawasan dan melakukan aliansi
pertahanan dengan negara-negara yang mengklaim wilayah LCS. Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat Rex Tillerson menyebutkan bahwa kegiatan pembangunan pulau yang dilakukan China
adalah illegal, dan mengatakan bahwa akses China ke pulau-pulau di LCS tidak diizinkan. Mengetahui
hal ini akan berpotensi mengancam keamanan Asia Pasifik, Amerika Serikat memutuskan untuk
membantu menyelesaikan konflik LCS. Mendukung segala usaha penyelesaian secara damai dan
diplomatis. Amerika Serikat memiliki prinsip bahwa dalam konflik LCS menghindari adanya kekuatan
militer. Pada masa pemerintahan Obama, menekankan pentingnya kerangka multinasional yang
fokus pada wilayah ASEAN. Dengan demikian keputusan yang dihasilkan akan bersifat regional dan
tidak memihak salah satu dari negara yang berkonflik. Bersifat mengikat secarahukum dan
cenderung bersifat sebagai forum internasional rule making yang dapat mempengaruhi seluruh
wilayah. Amerika Serikat mendukung perundingan multinasional, seperti ASEAN Regional Forum
(ARF) dan East Asia Summit (EAS) untuk mengatasi masalah keamanan laut termasuk konflik LCS
sebagai salah satu agenda resmi.Dalam konflik LCS, negara yang mendominasi di wilayah regional
tersebut adalah China yang memiliki perkembangan yang sangat pesat baik ekonomi maupun
militer. Pada awalnya ekonomi China bersifat tertutup karena ideologi komunis yang dianut.

Sejak tahun 1978, kepemimpinan China telah memperbarui ekonomi China dari ekonomi terencana
Soviet menjadi ekonomi yang berorientasi pasar. Dengan adanya perubahan tersebut, pemerintah
China fokus pada perdagangan asing sebagai kegiatan utama untuk pertumbuhan ekonomi. Salah
satunya dengan membuka lebih dari dua ribu zona ekonomi khusus dan melonggarkan hukum
investasi yang semula ketat dan tertutup untuk menarik modal asing. Selain perkembangan
ekonomi, China juga mengalami perkembangan militer karena investasi yang terus mengalami
kenaikan. Pengembangan kemampuan militer oleh The Peoples Liberation Army (PLA) seperti
personel, pelatihan, logistik, fasilitas, dan persenjataan. Dengan perkembangan ekonomi dan militer
yang dimiliki China mempengaruhi pandangan Amerika Serikat terhadap kekuatan China sebagai
negara yang memiliki kekuatan besar di LCS.87Amerika Serikat melihat bahwa ancaman China akan
mengganggu dan mengancam Amerika Serikat dimasa mendatang.

13

Laksamana Robert F. Willard, yang merupakan Komandan Komando Pasifik Amerika Serikat
menjelaskan bahwa nilai jalur laut kawasan LCS untuk perdagangan bilateral tahunan bernilai US$
5,3 triliun, dimana US$ 1,2 triliun terkait dengan Amerika Serikat.

Pemerintah Amerika Serikat telah mengeluarkan serangkaian pernyataan publik yang mengkritik
berbagai tindakan China yang provokatif, agresif, dan tidak stabil. Sehingga Amerika Serikat
melakukan kesepakatan dengan Filipina untuk meningkatkan kerjasama pertahanan dan juga
meningkatkan hubungan dengan Vietnam. Amerika Serikat dan Jepang telah berkomitmen untuk
menyediakan kapal penjaga pantai dan sarana lain untuk meningkatkan keamanan kmaritim Filipina.
Wilayah klaim paling luas atas hak di LCS adalah nine dash line, yang meliputi hampir seluruh LCS.
China dan Taiwan saling mengklaim nine dash line, tetapi tidak dapat menggambarkan dan
megklarifikasikan dengan jelas atas klaimnya terhadap nine dash line. Amerika Serikat menaruh
perhatian pada hal tersebut karena menghormati hukum dan norma internasional yang merupakan
fondasi mendasar dari sistem internasional.

Klaim yang begitu besar akan sangat mempengaruhi hak sejumlah negara lain, yang ingin
menggunakan hak eksplorasi atau memancing di tempat yang jelas merupakan perairan
internasional.Amerika Serikat tidak ingin terlihat terlibat dalam konflik LCS, para opembuat
kebijakan Amerika Serikat harus mempertimbangkan LCS dalam hal cara yang paling efektif untuk
mengatasi masalah sehingga dapat mengurangi ketegangan, mencegah penggunaan kekuatan
militer oleh berbagai pihak, melindungi hak-hak hukum masyarakat internasional, mendorong
langkah-langkah untuk memulihkan hubungan negara-negara yang terlibat, dan mempertahankan
hubungan baik dengan semua pihak. Konflik klaim wilayah selalu berkaitan dengan ZEE, dimana
Amerika Serikat harus mendorong negara-negara pengklaim untuk mencapai kesepakatan mengenai
zona penangkapan ikan yang memungkinkan nelayan dari negara-negara lainnya dapat memancing
tanpa ada gangguan namun sesuai dengan batasan, agar mencegah ancaman dari punahnya spesies
yang terdapat di LCS.Dalam konflik LCS Amerika Serikat melihat posisinya sebagai penengah dari
adanya konflik tersebut. Ikut serta dalam penyelesaian konflik bersama dengan ASEAN. Sebagai
negara yang memiliki kekuatan di dunia, maka Amerika Serikat perlu terlibat dalam konflik tersebut,
namun tidak luput dengan terlibatnya Amerika Serikat juga sebagai kepentingan nasional bagi
negaranya.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Klaim Republik Rakyat Cina (RRC) terhadap Laut Cina Selatan didasarkan atas potensi kekayaan alam
yang sangat besar. Klaim Republik Rakyat Cina atas Laut Cina Selatan ditetapkan dalam sembilan
garis putus-putus (nine dashed line)atas Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly
dan Macclesfield Bank, yang juga diakui oleh beberapa anggota negara ASEAN, seperti Malaysia,
Brunei Darussalam, Vietnam, dan Filipina. Penetapan sembilan garis putus-putus (nine dashed line)
oleh Republik Rakyat Cina tidak hanya menyebabkan pertentangan diantara beberapa negara
anggota ASEAN, namun pertentangan juga dinyatakan secara terbuka oleh Amerika Serikat yang
tidak menerima adanya pembangunan obyek-obyek militer, pembangunan mercusuar, dan
pembangunan fasilitas lainnya di Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly yang dilakukan oleh
Republik Rakyat Cina.

14

Laut Cina Selatan menyimpan potensi konflik yang sangat besar karena banyaknya pertentangan dari
sejumlah negara yang juga mengklaim wilayah yang terdapat di Laut Cina Selatan. Potensi konflik di
Laut Cina Selatan juga ditimbulkan oleh karena adanya tumpang tindih perbatasan antar negara.
Penetapan sembilan garis putus-putus (nine dashed line) oleh Republik Rakyat Cina dapat
dinyatakan tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam United Nations
Conventions On The Law Of The Sea 1982 (UNCLOS III). Penetapan sembilan garis putus (nine dashed
line) oleh Republik Rakyat Cina dilakukan secara sepihak tanpa adanya pemberitahuan kepada
negara lain yang berbatasan dengan wilayah Republik Rakyat Cina. Negara-negara yang juga
mengklaim (claimant states) Laut Cina Selatan memberikan pertentangan terhadap Republik Rakyat
Cina karena Republik Rakyat Cina tidak mematuhi ketentuan yang telah diatur dengan negara yang
berbatasan dengan wilayah Laut Cina Selatan dan negara yang pengklaim Laut Cina Selatan (claimant
states).

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dengan ini Penulis memberikan saran:

1. Ketentuan yang terdapat di dalam United Nations On The Law Of The

Sea 1982 (UNCLOS III) telah jelas mengatur pengaturan laut internasional maka Republik Rakyat Cina
dalam mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan seharusnya memperhatikan ketentuan yang telah
diatur secara jelas dalam United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982 (UNCLOS III) agar
tidak menimbulkan pertentangan dari beberapa negara anggota ASEAN dan negara-negara lainnya.

2. Republik Rakyat Cina seharusnya memberitahukan secara terbuka

kepada negara lain yang berbatasan dengan wilayah Laut Cina Selatan mengenai klaim beberapa
wilayah yang terdapat di Laut Cina Selatan agar tidak menimbulkan permasalahan tumpang tindih
klaim wilayah

di Laut Cina Selatan.

3. Republik Rakyat Cina seharusnya mematuhi setiap ketentuan yang telah diperjanjikan dengan
negara-negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan dan negara-negara yang mengklaim
wilayah Laut Cina Selatan (claimant states)agar tidak menimbulkan konflik antar negara.

4. Ketentuan yang sebelumnya telah diperjanjikan mengenai pengaturan

zona laut internasional di Laut Cina Selatan antara Republik Rakyat Cina dengan beberapa anggota
negara ASEAN dan negara pengklaim wilayah Laut Cina Selatan, apabila tidak dapat menyelesaikan
konflik antar negara maka seharusnya negara-negara yang terlibat dalam konflik melakukan
pertemuan kembali untuk membahas mengenai kelanjutan pengaturan zona laut internasional di
Laut Cina Selatan sehingga menghasilkan perjanjian yang secara tegas mengatur pengaturan zona
laut internasional di Laut Cina Selatan dan adanya pengaturan pengenaan sanksi pembayaran ganti
rugi dan pengenaan sanksi pidana bagi negara-negara yang melanggar ketentuan yang telah
disepakati sehingga dapat mengurangi potensi konflik yang akan terjadi dikemudian hari.

15

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

A. Hamzah, 1984. Laut, Teritorial, dan Perairan Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta.

Dikdik Mohamad Sodik, 2014. Hukum Laut Internasional, Refika Aditama, Bandung.

Etty R.Agoes, 1991. Konvensi Hukum Laut 1982, Abardin, Bandung.

I Made Pasek Diantha, 2002. Zona Ekonomi Eksklusif, Mandar Maju, Bandung.

J.G. Starke, Q.C (diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, S.H. Peneliti Bidang Hukum
Internasional BLHN), 2010. Pengantar Hukum Internasional 1, Sinar Grafika, Jakarta. Lexy J.
Maleong, 1991. Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung.

Mochtar Kusumaatmadja, 1983. Hukum Laut Internasional, Angkasa Offset, Bandung.

Mohd. Burhan Tsani, 1990. Hukum dan Hubungan Internasional, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Nur Yanto, 2014. Memahami Hukum Laut Indonesia, Mitra Wacana Media, Jakarta.

Wirjono Prodjodikoro, 1984. Hukum Laut Bagi Indonesia, Sumur, Bandung.


16

Anda mungkin juga menyukai