Anda di halaman 1dari 6

NAMA KELOMPOK :

1. Filsa risqina k (05)


2. Firnanda Elistyani (07)
3. Herawati Triana (14)
4. Kreysna afrialdo (20)
5. M Yusril alizzudin (31)

SENGKETA LAUT CHINA SELATAN

SEPERTI pada tahun-tahun sebelumnya, sampai Juni 2020 ini


ketegangan di kawasan Laut China Selatan (LCS) belum juga
menunjukkan peredaan. Grafiknya justru terus meningkat di
tengah mewabahnya virus korona. Pada Januari 2020 lalu,
misalnya, China diketahui melakukan klaim sepihak atas Laut
Natuna yang menjadi wilayah Indonesia. China juga
dikabarkan telah menenggelamkan kapal Vietnam di
Kepulauan Paracel pada April 2020. Dan masih segar dalam
pemberitaan adalah terjadinya insiden West Capella bulan
lalu di perairan Malaysia. Di tengah pengeboran lepas laut,
yang dilakukan kapal West Capella, China, dikabarkan
mengirimkan kapal survei dan coast guard untuk melakukan
pemindaian. Menyikapi langkah provokatif China itu,
Malaysia mengirim kapal angkatan lautnya ke lokasi tersebut.
Dalam insiden itu Amerika diketahui ikut terlibat.
Dengan kapal perangnya Amerika mengawal kapal Angkatan
Laut Malaysia dan menegaskan dukungan kepada negara-
negara ASEAN lainnya. Amerika menyebut dukungannya itu
sebagai presence operation sekaligus memperingatkan China
untuk tidak menciptakan ketidakamanan di LCS. Untuk
menunjukkan ketegasan atas China, militer Amerika Serikat
kemudian mengerahkan tiga kapal induk andalannya, yaitu
USS Ronald Reagan, USS Theodore Roosevelt yang berpatroli
di Samudera Pasifik bagian barat, dan kapal induk USS Nimitz
yang bergerak di sisi timur. Setiap kapal induk mengangkut
60 pesawat. Ini merupakan pengerahan kapal induk terbesar
di Samudera Pasifik sejak 2017. Para pejabat Angkatan Laut
AS mengatakan operasi tersebut dilakukan guna
menunjukkan komitmen terhadap kawasan dan demi
mengamankan kepentingannya di LCS. Amerika merasa
berhak melakukan ini karena pengadilan internasional
sendiri, pada 2016, telah memutuskan klaim China di LCS
tidak memiliki dasar hukum –tumpang tindih dengan klaim
Vietnam, Malaysia, Brunei, Taiwan, dan Filipina. Itu artinya
ada dua masalah krusial di LCS. Pertama, ketegangan yang
dipicu oleh masalah klasik dalam hubungan internasional,
yakni klaim kedaulatan. Kedua, keadaan yang diperkeruh
oleh kepentingan Amerika Serikat di LCS. Dalam konteks
inilah Indonesia perlu mengambil sikap. Penyebab Konflik
Istilah konflik di LCS sebetulnya merujuk pada gugusan
kepulauan Paracels yang masih dipersengketakan oleh tiga
negara (China, Vietnam, dan Taiwan) dan Kepulauan Spratly
yang dipersengketakan oleh enam negara (China, Taiwan,
Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei).
Namun Kepulauan Spratly merupakan titik api yang paling
potensial untuk berkembang menjadi wilayah konflik militer
di masa depan, tidak saja karena adanya tuntutan yang
tumpang tindih yang melibatkan keenam negara, tetapi juga
karena adanya kepentingan negara-negara besar (Jepang, AS,
Rusia) di perairan LCS (Usman & Sukma, 1997) atas jalur
perdagangan, cadangan minyak, dan gas alam. China,
misalnya, selama ini mengklaim kedaulatan di hampir seluruh
wilayah LCS. Pun negara-negara ASEAN seperti Filipina,
Vietnam, Malaysia, dan Brunei juga turut mengklaim wilayah
itu sebagai kedaulatannya. Bahkan Filipina dan China sempat
terlibat konflik bersenjata di wilayah yang masih direbutkan
oleh kedua negara: Scarborough Shoal. Wilayah itu diduga
memiliki kandungan gas alam dan minyak yang berlimpah.
Dengan melihat situasi tersebut, konflik di LCS rupanya
terjadi karena tiap negara yang bersengketa meyakini
wilayah tersebut adalah bagian dari kedaulatannya.
Identifikasi mengenai kedaulatan negara inilah yang
mengakibatkan konflik sering kali terjadi di antara negara
yang bersengketa. Secara historis kedaulatan negara
terbentuk secara mapan ketika perjanjian damai Westphalia
disepakati pada 1648. Kesepakatan ini telah memprakarsai
sebuah prinsip untuk tidak saling mencampuri urusan negara
lain. Prinsip itu dan kewajiban saling mengakui adalah dua hal
yang membuat negara menjadi berdaulat. Namun soalnya
adalah negara-negara itu bersifat hipokrit dan selalu ingin
campur-tangan dalam urusan satu sama lain jika menyangkut
kepentingannya.
Karenanya, sebagaimana dikatakan oleh Daniel Deudney
(ilmuwan politik/hubungan internasional dari Johns Hopkins
University) dalam tulisannya Binding Sovereigns: Authorities,
Structures, and Geopolitics in Philadelphian System (1996),
meskipun sistem otoritas dan kekuasaan Westphalia itu
dominan dalam politik dunia modern, ia tidaklah universal.
Kedaulatan hanya diakui jika mendapat pengakuan eksternal
(oleh negara) akan klaim-klaim otoritas final yang dibuat oleh
negara-negara lain. Namun sekali lagi itu pun bersifat
sementara karena kedaulatan mirip dengan institusi properti
privat, klaimnya tidak selalu mutlak (Kratochwil, 1992). Itulah
sebabnya mengapa penyelesaian konflik di LCS menjadi sukar
dilakukan. Dalam konteks itu, apa yang pernah dikatakan
Dewi Fortuna Anwar menjadi ada benarnya: isu sengketa LCS
tidak akan bisa diselesaikan sampai kiamat karena tidak ada
satu negara yang akan mau memberikan satu pulau pun yang
dianggap bagian dari kedaulatannya. Selain masalah klaim
kedaulatan, LCS juga masih menyisakan konflik. Sikap
konfrontatif Amerika dengan mengerahkan kekuatan lautnya
telah memperkeruh konflik di LCS. Sebagai respons terhadap
Amerika itu, China pun membalas dengan mengirimkan
kapal-kapal Angkatan Laut People’s Liberation Army (PLA),
yakni Liaoning dan Shandong. Jika kedua negara enggan
mengelola konflik secara konstruktif, banyak analis
mengkhawatirkan hal ini akan berujung pada perang. Sikap
Indonesia Duduk persoalan klaim kedaulatan memang ada
pada China. Sebab klaimnya mencapai 90% di kawasan LCS.
Modal politiknya adalah peta sembilan garis putus-putus
(nine dash line) yang diedarkan pada 1947 dan Mei 2009.
Hal inilah yang lalu memberikan implikasi tidak hanya pada
dilanggarnya kedaulatan negara yang bersengketa dengan
China saja, tetapi juga kedaulatan Indonesia karena wilayah
yang disengketakan itu bersinggungan langsung dengan ZEEI
di Laut Natuna, Kepulauan Riau. Menanggapi itu, Indonesia
perlu mengambil sikap tegas dan sikap itu bukanlah sikap
yang diambil oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo
Subianto dengan diplomasi seribu kawan terlalu sedikit, satu
lawan terlalu banyak. Sebab jika itu sikap yang ditempuh, ini
akan menjadi celah bagi China meningkatkan klaimnya atas
Natuna. Apalagi untuk urusan klaim kedaulatan di LCS,
strategi China adalah realisme politik—China akan
mengabaikan segala bentuk diplomasi dan keputusan hukum
internasional, termasuk UNCLOS 1982. Dengan sikap China
yang seperti itu, bukan saat yang tepat bagi Indonesia untuk
berbasa-basi diplomasi. Indonesia mesti menolak
sepenuhnya klaim China atas laut Natuna karena tidak
memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS
1982, termasuk juga penolakan atas penggunaan istilah
relevant waters . Namun kasus konflik AS-China di LCS adalah
suatu yang berbeda. Sikap Indonesia justru mesti mengambil
pendekatan diplomatik. Di sini Indonesia bisa memainkan
peranan dalam kerangka kerja sama multilateral seperti
banyak ASEAN Maritime Forum serta Extended Maritime
Forum, ASEAN Regional Forum dan East Asia Summit di mana
Amerika dan China berada di dalamnya. Pusaran konflik
Amerika-China ini akan membawa inisiatif bagi Indonesia dan
negara ASEAN lainnya untuk bersatu memperkokoh stabilitas
kawasan (Muhammad Haripin, 2020).
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada
Jum’at, 03 Juli 2020 – 07:00 WIB oleh KORAN SINDO dengan
judul “Konflik di Laut China Selatan”. Untuk selengkapnya
kunjungi:
https://nasional.sindonews.com/read/88760/18/konflik-di-
laut-china-selatan-1593695237?
_gl=1*18c7q9v*_ga*Q3Exc043cFZNeHEwczdGOWdjZjMwQ1
pCZVVmWkp6VFY5Y1RHSzg5WXJqVTViMkpIbE11ejJScXNrUk
9sdUtEUw

Anda mungkin juga menyukai