Anda di halaman 1dari 7

Nama : Yanti Trismala

Nim : 1111200015

Kelas : 4A Hukum

Mata Kuliah : Hukum Laut Internasional

Kuis Hukum Laut Internasional

Kronologi Kasus China Selatan

Kawasan Laut China Selatan meliputi perairan dan daratan dari gugusan
kepulauan dua pulau besar, yakni Spratly dan Paracels, serta bantaran Sungai
Macclesfield dan Karang Scarborough yang terbentang luas dari negara Singapura yang
dimulai dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan. Karena bentangan wilayah yang luas
ini, dan sejarah penguasaan silih berganti oleh penguasa tradisional negara-negara
terdekat, dewasa ini, beberapa negara, seperti Republik Rakyat China (RRC), Taiwan,
Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam, terlibat dalam upaya konfrontatif saling
klaim, atas sebagian ataupun seluruh wilayah perairan tersebut. Indonesia, yang bukan
negara pengklaim, menjadi terlibat setelah klaim mutlak RRC atas perairan Laut China
Selatan muncul pada tahun 2012. Karena sejarah navigasi dan perniagaan yang panjang
di sana, yang diikuti penguasaan silih berganti atas wilayah, negara-negara di kawasan,
dan bahkan, luar kawasan, telah memberi nama yang berlainan untuk wilayah yang
diperebutkan itu. Dalam kebanyakan bahasa yang digunakan para pelaut Eropa, laut
tersebut disebut sebagai South China Sea, atau Laut China Selatan. Pelaut Portugis, orang
Eropa pertama melayari wilayah perairan itu dan sekaligus memberikan nama,
mengatakannya sebagai Mar da China, atau Laut China. Mereka kemudian mengubahnya
menjadi Laut China Selatan. Demikian pula, Organisasi Hidrografik Internasional
menyebutnya sebagai Laut China Selatan, atau Nan Hai (Laut Selatan) dalam Bahasa
China. Yang lebih penting lagi, Laut China Selatan adalah kawasan perairan yang
strategis, yang kaya sumber daya alam (SDA). Konflik antarnegara yang terlibat saling
klaim kepemilikan atas pulau-pulau (kepulauan) di sana (claimant states) baru muncul di
dasawarsa 1970, dan berulang kembali di dasawarsa 80, 90 hingga 2010 ini. Namun,
tidak dapat disangkal di masa lalu, penguasapenguasa tradisional dari Tiongkok (China)
dan Vietnam, dan negara-negara baik yang terlibat saling klaim sekarang maupun tidak
itu, pernah terlibat memperebutkan kontrol atas wilayah perairan di sana. Potensi
kekayaan Laut China Selatan yang semakin dapat dieksplorasi belakangan ini
mengungkapkan kepada dunia bahwa Paracel. dan Spratly kemungkinan memiliki
cadangan besar Sumber Daya Alam (SDA), terutama mineral, minyak bumi dan gas
alam.

Pemerintah RRC sendiri sangat optimistik dengan potensi SDA yang ada di sana
melalui riset-riset yang terus dilaksanakannya. Berdasarkan laporan lembaga Informasi
Energi Amerika (Energy Information Administration --EIA), RRC memperkirakan
terdapatnya cadangan minyak di sana sebesar 213 miliar barel, atau sekitar 10 kali lipat
cadangan nasional Amerika Serikat (AS). Sedangkan para ilmuwan AS memperkirakan
terdapat sekitar 28 miliar barel minyak di kawasan Laut China Selatan. Adapun EIA
menginformasikan, cadangan terbesar SDA di sana kemungkinan berasal dari gas alam,
yang diperhitungkan sekitar 900 triliun kaki kubik, atau sama dengan cadangan minyak
yang dimiliki Qatar. Di samping itu, perairan kawasan Laut China Selatan merupakan
rute utama perkapalan dan sumber pencarian ikan bagi kehidupan banyak orang dari
berbagai negeri yang terletak di sekitarnya. Sengketa kepemilikan atau kedaulatan
teritorial di Laut China Selatan sesungguhnya merujuk pada kawasan laut dan daratan di
dua gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly. Dalam kedua gugusan kepulauan tersebut
terdapat pulau yang tidak berpenghuni, atol, atau karang. Wilayah yang menjadi ajang
perebutan klaim kedaulatan wilayah ini terbentang ratusan mil dari Selatan hingga Timur
di Provinsi Hainan. Republik Rakyat China (RRC) menyatakan klaim mereka berasal dari
2000 tahun lalu, saat kawasan Paracel dan Spratly telah menjadi bagian dari bangsa
China. Menurut Pemerintah RRC, pada tahun 1947, Pemerintah RRC mengeluarkan peta
yang merinci klaim kedaulatan RRC atas wilayah Laut China Selatan. Keterangan
Pemerintah RRC itu dibantah Pemerintah Vietnam, yang juga mengklaim kedaulatan atas
wilayah tersebut, dengan mengatakan bahwa Pemerintah RRC tidak pernah mengklaim
kedaulatan atas Kepulauan Paracel dan Spratly sampai dasawarsa 1940. Pemerintah
Vietnam kemudian menyatakan bahwa dua kepulauan itu masuk wilayah mereka, bukan
wilayah RRC, sejak abad ke-17, dan mereka memiliki dokumen sebagai bukti. Filipina
juga memiliki klaim kedaulatan yang sama, dengan mengangkat kedekatan geografis ke
Kepulauan Spratly sebagai dasar klaim terhadap sebagian wilayah kepulauan tersebut.
Juga, Malaysia dan Brunei memiliki klaim kedaulatan terhadap sebagian kawasan di Laut
China Selatan. Menurut kedua negara bertetangga dekat itu, perairan Laut China Selatan
masih dalam kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka, seperti yang ditetapkan
Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982. Memang Brunei tidak mengklaim
kepemilikan wilayah atas dua kepulauan itu, sementara Malaysia, menyatakan bahwa
sejumlah kecil kawasan di Spratly adalah kepunyaan mereka. Show of force dan manuver
agresif dan provokatif, dan bahkan, konflik terbuka di kawasan Laut China Selatan telah
terjadi berulang sejak dasawarsa 1970, selain telah berlangsung di masa lalu dalam
sejarahnya. Hal ini diperlihatkan dengan silih bergantinya kontrol atau penguasa di
wilayah itu, yang berdampak pada perubahan nama kawasan perairan tersebut.

Bentrokan yang parah tercatat dalam tahun 1974, yang telah menewaskan tentara
Vietnam. Pada tahun 1988 Angkatan Laut RRC dan Vietnam kembali terlibat konfrontasi
di Spratly, dengan Vietnam kehilangan 70 personil militernya. Angkatan Laut Filipina
juga pernah terlibat dalam ketegangan kecil dengan angkatan laut RRC, Vietnam, dan
Malaysia. Konflik antara Angkatan Laut Filipina dan RRC pernah terjadi di Dangkalan
Karang Scarborough. Begitu pula, antara Angkatan Laut Filipina dan Vietnam, yang
sempat memanas setelah kapal dari kedua negara terlibat dalam provokasi yang saling
memicu ketegangan. Belakangan, Pemerintah RRC mengeluarkan pernyataan keras
kepada negara-negara pengklaim kedaulatan atas Laut China Selatan untuk menghentikan
kegiatan eksplorasi minyak dan mineral di kawasan perairan tersebut. Sebaliknya,
Filipina menuduh Angkatan Laut RRC tengah membangun kekuatan militer di Spratly.
Sementara, menurut sumber Vietnam yang tidak dapat dipastikan, Angkatan Laut RRC
telah sengaja melakukan sabotase atas dua kegiatan eksplorasi Vietnam di Laut China
Selatan, yang kemudian menimbulkan protes massal anti-RRC terbesar di Hanoi dan
ibukota Ho Chi Minh. Pemerintah Vietnam pun tidak luput dari tudingan telah melakukan
provokasi oleh RRC, karena telah mengadakan latihan militer dengan menggunakan
peluru tajam di lepas pantai negaranya. Klaim mutlak atas seluruh wilayah perairan Laut
China Selatan, yang dilancarkan pemerintah China secara tiba-tiba pada tahun 2012, telah
memunculkan kekuatiran negara pengklaim dan non-pengklaim di sekitarnya, serta
negara luar kawasan atas masa depan kontrol, stabilitas, dan keamanan wilayah perairan
di sana. Kekhawatiran yang meningkat kemudian telah memicu eskalasi ketegangan,
akibat muncul manuver-manuver militer dan upaya saling unjuk kekuatan angkatan
bersenjata dan upaya provokasi dan intimidasi di perairan dan arena diplomasi.
Selanjutnya diperlihatkan perilaku agresif dan beberapa upaya provokasi yang dilakukan
angkatan laut RRC di wilayah perairan Laut China Selatan, yang sudah mereka klaim
secara mutlak, terhadap angkatan laut dan nelayan asal Filipina dan Vietnam, atau
sebaliknya. Aksi saling cegah dan usir dari kawasan perairan yang dipersengketakan itu
terus meningkat belakangan, dan cenderung mengarah pada terciptanya konflik berskala
rendah (low intensity conflict). Tetapi, tetap terbuka kemungkinan munculnya konflik
bersenjata terbuka secara luas dengan intensitas tinggi (high intensity conflict), jika
resolusi konflik permanen gagal ditemukan, mengingat besarnya kepentingan baik negara
yang mengklaim maupun tidak (claimant dan non-claimant states), serta negara luar
kawasan.1

Peran Indonesia Dalam Penyelesaian Sangketa Laut Selatan


Laut Cina Selatan (LCS) merupakan wilayah strategis, bila ada konflik dari
negara yang bersengketa tentu dampaknya akan merugikan negara-negara ASEAN.
Pandangan tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Makarim Wibisono dalam diskusi reboan
yang bertajuk “Posisi Indonesia dan Peran ASEAN dalam Konflik Laut Cina Selatan”
dan“Wilayah konflik bisa dimanfaatkan kekayaan lautnya, berupa perikanan maupun
kandungan tambangnya oleh pihak-pihak yang mengklaim. Negara Asia Tenggara
umumnya menginginkan LCS tetap menjadi wilayah perdamaian,” ujar Guru Besar
Hubungan Internasional (HI) UNAIR.

Prof Makarim juga menyayangkan ketiadaannya kejelasan mengenai koordinat


lokasi yang akurat dari nine dash line (Sembilan titik lokasi yang menunjukkan klaim
China atas wilayah Laut Cina Selatan). Padahal, menurut hukum internasional setiap
klaim atas suatu wilayah harus ada kejelasan lokasinya. “Tidak ada kepastian berapa
lintang utaranya, berapa bujur timurnya,” Dalam diskusi tersebut, orang Indonesia
pertama yang menjabat sebagai Ketua Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) tersebut mengingatkan konsekuensi konflik LCS bagi ASEAN.
Selain menurunkan minat FDI (Foreign Direct Invesment) untuk menanamkan modal di

1
Rizki Roza./Konflik Laut China Selatan Dan Implikasi Terhadap Kawasan/,(Jakarta Pusat: P3DI
Setjen DPR Republik Indonesia Dan Azza Grafika,2013), hlm7-10.
kawasan ASEAN, konflik LCS juga berkonsekuensi menimbulkan persaingan kekuatan
militer, sehingga mengalihkan daya ekonomi serta mengundang masuknya negara besar
untuk saling mencari pengaruh. “Hal ini akan menjadikan negara-negara yang kurang
daya dalam militer untuk melakukan aliansi dengan negara-negara kuat,” ujar Duta Besar
RI untuk PBB periode 2004-2007 tersebut. Dalam sengketa LCS, Prof. Makarim
mengungkapkan bahwa masing-masing pihak bersengketa menginginkan agar negara-
negara ASEAN berada dipihak negara bersengketa. Prof Makarim mencontohkan dalam
KTT ASEAN, Menteri Luar Negeri (Menlu) Tiongkok, Wang Yi, bertemu dengan Menlu
Laos, Kamboja, dan Myanmar untuk membicarakan sengketa tersebut, sedangkan
Amerika Serikat melobi ke negara Filipina.2

Indonesia berupaya menunjukkan peranan khusus dalam konflik Laut Cina


Selatan, yakni sebagai mediator dan kekuatan stabilitas. Indonesia memainkan peranan
tersebut dengan penuh percaya diri, terutama karena sejalan dengan pedoman tradisi
kebijakan luar negeri “bebas aktif”, suatu doktrin yang memiliki tujuan ganda. Pertama,
doktrin tersebut bertujuan menghindari ikut campur dalam kekuatan eksternal dan
memperkuat kebebasan negara dalam strategi non-blok. Kedua, politik luar negeri bebas
aktif juga menegaskan bahwa Indonesia tidaklah bersikap pasif, namun sebaliknya
menetapkan peran aktif dalam hubungan Internasional. Prinsip yang sama juga berada
dalam rencana Natalegawa untuk memperkuat ekuilibrium dinamis di Asia Tenggara,
melalui upaya Indonesia untuk mencari sebanyak mungkin dukungan di meja
perundingan serta menavigasi keseimbangan kekuatan di antara keseluruhan pihak.
Kebijakan tersebut faktanya dirancang untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai
penghubung diplomatis dan kekuatan penengah di kawasan tersebut.

Status terkini dari Indonesia di Laut Cina Selatan –sebagai fasilitator utama dalam
negosiasi, serta sebagai negosiator dan mediator– nampak seimbang hanya untuk
memperkuat laju pertumbuhan ekonomi dan keyakinan nasional, setidaknya hingga tahun
2009. Di tahun tersebut, Cina menyerahkan note verbale kepada Sekjen PBB, yakni suatu
pernyataan diplomatik yang dikenal sebagai Sembilan Garis Putus untuk membatasi
klaim tersebut di Laut Cina Selatan. Indonesia menunjukkan peranan khusus dalam

2
Dilan Salsabila,Peran Indonesia dalam laut china selatan,
http://news.unair.ac.id/2016/06/01/peran-indonesia-penyelesaian-sengketa-laut-cina-selatan/
diakses 22 Maret 2022 jam 18:25.
konflik Laut Cina Selatan, yakni sebagai mediator dan kekuatan stabilitas. Indonesia
memainkan peranan tersebut dengan penuh percaya diri, terutama karena sejalan dengan
pedoman tradisi kebijakan luar negeri “bebas aktif”, suatu doktrin yang memiliki tujuan
ganda.Indonesia dan ASEAN diharapkan dapat memperkuat posisinya mengenai Laut
Cina Selatan dan dapat bertindak secara kolektif, sekaligus menyayangkan tiga negara
ASEAN yang berada di posisi Tiongkok dalam proses penyelesaian sengketa ini. Adapun
bagi Amerika Serikat (AS), akan mendukung penuh ASEAN dalam upaya
mempertahankan Kebebasan Bernavigasi (Freedom of Navigation) di perairan manapun,
termasuk di Laut Cina Selatan.3

Salah satu sengketa yang dibawa ke badan arbitrase internasional adalah sengketa
Laut Cina Selatan. Sengketa wilayah Laut Cina Selatan merupakan persaingan klaim atas
perairan dan kepulauan di Laut Cina Selatan yang melibatkan negara-negara di Asia
Tenggara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei dan Asia Timur seperti Cina
dan Vietnam. Sengketa ini mengacu kepada klaim antara negara-negara di atas terhadap
kepulauan Spratly dan Paracels, sekaligus wilayah perairan 12 mil laut lepas garis pantai
di sekitarnya sesuai dengan peraturan UNCLOS (United Nation Convention on the Law
of the Sea). Adanya sengketa ini menyebabkan negara-negara di atas terlibat dalam
berbagai permasalahan diplomatik hingga konflik bersenjata.

Hakim di mahkamah ini mendasarkan putusan pada Konvensi PBB tentang


Hukum Laut yang termaktub di dalam UNCLOS (United Nation Convention on the Law
of the Sea 1982) yang ditandatangani baik oleh pemerintah China maupun Filipina.
Keputusan ini bersifat mengikat, namun Mahkamah Arbitrase tak punya kekuatan untuk
menerapkannya dan mahkamah itu tidak memiliki kekuatan untuk melakukan
pemaksaan. Perkara sengketa Laut China Selatan yang ditangani Mahkamah ini
didaftarkan secara unilateral oleh pemerintah Republik Filipina untuk menguji keabsahan
klaim China antara lain berdasarkan UNCLOS (The United Nations Convention on the
Law of the Sea) tahun 1982.China telah berargumen bahwa institusi itu tidak memiliki
yurisdiksi. Apapun putusan mahkamah, China telah mengatakan tidak akan “menerima,
mengakui, atau melaksanakan”. Tetapi, jika putusan Mahkamah menguntungkan Filipina,

3
Ghita Pesona,/Peran Indonesia alam Konflik Laut China selatan,(2021) Jurnal Hukum Kelautan.
Vol.1.No 2. (25 Januari 2021),hlm 4-6.
reputasi China menjadi rusak dan dilihat sebagai negara yang mengabaikan Hukum
Internasional. Ketegangan juga diperkirakan meningkat antara China dan Filipina, atau
Amerika Serikat yang memiliki aset militer di Laut Cina Selatan. Posisi Filipina,
sebagaimana ditegaskan Presiden Rodrigo Duterte, bersedia membagi sumber daya alam
dengan Beijing di Laut Cina Selatan, walaupun putusan mahkamah menguntungkan
Filipina.4

Legal Opinion

Menurut pendapat saya untuk kasus ini sebaliknya negara negara lain tidak perlu
ikut campur akan urusan sengketa laut china selatan selain negara yang terlibat dalam
sengketa tersebut,jika terlibat dalam sengketa tersebut hanya akan memperumit keadaan
saja sebaiknya china dan negara negara yang terlibat dalam sengketa laut china selatan ini
berunding kembali dengan cara yang damai dan di cari jalan terbaiknya untuk semua
negara negara yang terlibat supaya tidak terjadi konflik antara negara yang satu dengan
negara yang lain itu hanya akan menimbulkan permasalahan yang tiada hentinya.jika
china tetap memaksa dan mengcleam bahwa laut china selatan adalah milik mereka dan
walaupun sudah di bicarakan baik baik tetap saja tidak mau berunding maka dari itu
perkara ini lebih baik di selesaikan dengan membawa kasus ini ke pengadilan Arbitrase
Internasional untuk ditetapkan yang mana yang berhak atas laut china selatan dan mana
yang tidak berhak mendapat kan bagian dari laut china selatan.

4
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004,
p.52.

Anda mungkin juga menyukai