Anda di halaman 1dari 11

UJIAN AKHIR SEMSTER

HUKUM INTERNASIONAL

KONFLIK LAUT CHINA SELATAN ANTARA CHINA DENGAN


NEGARA – NEGARA DI ASIA TENGGARA

Dosen Pengampu : Dr. Muh, Risnain, SH., MH

Nama : Ahmad Hubaibi Swari

NIM : 019.04.0005

UNIVERSITAS ISLAM AL – AZHAR


1. Latar Belakang.

Laut China Selatan menjadi perairan yang rawan akan konflik


terbuka setelah China mengklaim sepihak sebagian besar teritorial itu.
Klaim sepihak China atas Laut China Selatan itu bertabrakan dengan
wilayah perairan sejumlah negara, yaitu Brunei, Filipina, Malaysia,
Singapura, dan Vietnam.

Semula, konflik Laut China Selatan menjadi konflik antara China


dengan negara Asia tenggara yang memiliki klaim di laut tersebut. Namun,
Agresivitas China di perairan yang menjadi salah satu jalur utama
perdagangan Internasional itu menjadikan sengketa Laut China Selatan
sabagai ancaman terhadap kemanan dan stabilitas dikawasan Asia
tenggara.

Demi mengantisipasi konflik terbuka di kawasan, negara ASEAN


bersama China menggagas deklarasi di Laut China Selatan (Declaration on
Conduct of the Parties/DoC) yang di tanda tangani di Phnom Penh,
Kamboja, pada November 2002. Setidaknya 17 tahun kemudian China –
ASEAN sepakat meningkatkan mendeklarasi itu menjadi kode etik (Code of
Conduct/CoC) sebagai pedoman negara bersikap terhadap Laut China
Selatan.

Laut China Selatan memang menggiurkan. Perairan itu adalah salah


satu pintu gerbang komersial yang krusial bagi sebagian besar industri
logistik dunia, dan menjadi sub-wilayah ekonomi strategis di kawasan Indo-
Pasifik.

Secara geografis, Laut China Selatan memainkan peran penting


dalam geopolitik Indo – Pasifik yang berbatasan dengan Brunei Darussalam,
Kamboja, China, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan,
Thailand, dan Vietnam. Wilayah Laut China Selatan meliputi Kepulauan
Spratly, Kepulauan Paracel, Pratas, Kepulauan Natuna, dan Gugus Karang
Scarborough.1

Duta besar China untuk Filipina Huang Xilian mengingatkan negara –


negara Asia Tenggara tidak terpancing dengan upaya Amerika Serikat
menyabotase stabilitas kawasan melalui intervensi dalam sengketa laut
China selatan. South China Morning Post menyebut Huang meminta agar
negara Asia Tenggara menggunakan cara yang tepat untuk menyelesaikan
konflik dengan China dari pada dimanfaatkan Amerika Serikat.

Seperti diketahui, Laut China Selatan memanas lagi. Gara-garanya


karena Menteri Luar Negeri Amerika Selatan, Mike Pompeo mengatakan
China tidak berhak mengklaim wilayah di Laut China Selatan. AS bahkan
mengerahkan dua kapal induknya ke perairan Laut China Selatan pada 17
Juli lalu. Dua kapal induk AS itu, USS Nimitz dan USS Ronald Reagan,
sebelumnya melakukan operasional dan latihan militer di perairan Laut
China Selatan pada 4 – 6 Juli. Laut China Selatan memiliki potensi
strategis dan menjadi rebutan karena sepertiga kapal di dunia melintasinya.
Selain itu pada kawasan ini tersedia cadangan energi yang sangat besar.

Sejumlah negara di Asia Tenggara memiliki perairan yang berbatasan


langsung dengan Laut China Selatan. Jadi tak mengherankan pula negara-
negara di Asia Tenggara kerap terlibat konflik dengan China terkait Laut
China Selatan.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyebut, posisi


Indonesia menekankan hak Indonesia atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
di Laut China Selatan sangat jelas dan konsisten. Hal ini sejalan dengan
Hukum Laut Internasional 1982. Sikap Indonesia atas ZEE itu juga
didukung oleh putusan Mahkamah Internasional pada tahun 2016.
Mahkamah Internasional dalam keputusan yang dikeluarkan pada 12 Juli

1
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210129104432-113-599890/laut-china-selatan-klaim-
teritori-hingga-ribut-as-china
2016, menolak klaim maritim China. China pun tidak menerima keputusan
itu.2

Konflik negara – negara Asia Tenggara dengan China terkait Laut China
Selatan :

1. Vietnam.

Vietnam mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Paracel dan Spratly


sejak abad ke – 17 dan punya dokumen sejarah untuk membuktikannya.
Pada Mei 2003 Kementerian Luar Negeri Vietnam pernah mengeluarkan
deklarasi yang menegaskan klaim Vietnam atas Laut China Selatan.

Perdana Menteri Vietnam pada 2019 lalu pernah menyampaikan


protes pada China. Kapal survei gas China dengan pengawalan bersenjata
disebut telah melanggar teritori dan mengganggu aktivitas eksplorasi
Vietnam.

2. Filipina.

Filipina mengklaim kedaulatan di bagian timur laut Kepulauan


Spratly, atau yang disebut Filipina sebagai Kalayaan, selain Scarborough
Shoal. PAda 2012 lalu, Angkatan Laut Filipina menahan nelayan China di
dekat Scarborough Shoal. Peristiwa ini memicu ketegangan di antara kedua
negara

Filipina pun mengajukan gugatan untuk membatalkan sembilan garis


putus China ke Mahkamah Internasional pada 2013. Garis-garis berbentuk
huruf U ini berawal dari selatan daratan China dan berujung di kawasan
Natuna, melintasi lautan di antara Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam,
dan Malaysia.

2
https://news.detik.com/berita/d-5102827/deretan-konflik-negara-asia-tenggara-dengan-china-terkait-laut-
china-selatan
Seperti yang dikutip dari VoA news, Mahkamah Internasional yang
berbasis di Den Haag memutuskan Filipina memiliki kedaulatan eksklusif
atas Laut Filipina Barat serta peta 9 garis putus China tidak sah secara
hukum.

3. Indonesia.

China mengklaim Laut Natuna masuk dalam wilayahnya. Hal ini


selalu menimbulkan konflik dengan Indonesia. Terakhir terjadi pada
Desember 2019 lalu. Saat itu sejumlah kapal asing penangkap ikan milik
China diketahui memasuki Perairan Natuna, Kepulauan Riau.

4. Brunei Darussalam.

Brunei mengklaim Louisa Reef, yang berada di landas kontinennya.


Karena Louisa Reef bagian dari Kepulauan Spratly, struktur laut itu juga
diklaim oleh China dan Vietnam.

5. Malaysia.

Seperti yang dikutip dari VoA, Malaysia mengklaim sebagian Laut


China Selatan di bagian utara Kalimantan, yang meliputi sedikitnya 12
struktur laut di Kepulauan Spratly. Kawasan ini termasuk Amboyna Cay
dan Barque Canada Reef yang dikuasai oleh Vietnam, dan juga Commodore
Reef dan Rizal Reef, yang dua-duanya dikuasai oleh Filipina.

Pada 2018 lalu, kapal penjaga pantai China menghabiskan 70%


waktunya untuk berpatroli di perairan Laut China Selatan yang diklaim
oleh Malaysia. Malaysia yang termasuk negara Asia Tenggara tidak berbuat
banyak untuk mengusir kehadiran kapal China tersebut.
2. Kepentingan Indonesia Terhadap Laut Chian Selatan.

Indonesia sebagai negara yang tidak terlibat dalam konflik Laut Cina
Selatan kini mulai terseret ke dalam pusaran konflik tersebut dikarenakan
China juga memasukkan perairan natuna di Kabupaten Natuna sebagai
wilayah maritimnya berdasarkan klaim Nine Dash Line. Hal tersebut
membuat Indonesia mengeluarkan protes keras atas tindakan China yang
memasukkan perairan Kabupaten Natuna sebagai wilayah maritimnya.
Perairan Natuna yang menjadi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia
diklaim oleh China sebagai kawasan perikanan tradisionalnya, ini
menyebabkan banyak nelayan-nelayan China yang secara bebas
menangkap ikan di kawasan tersebut yang kemudian merugikan pihak
Indonesia. Ekspansi China di kawasan Laut Cina Selatan secara agresif
dapat merubah posisi Indonesia yang awalnya netral dalam sengketa Laut
Cina Selatan menjadi berlawanan dengan China. Hal ini bukan hanya
karena klaim China atas perairan Natuna, tapi juga karena insiden-insiden
yang mengusik kedaulatan Indonesia di perairan Natuna yang melibatkan
kapal penjaga dari China.3

Indonesia mengirim protes diplomatik ke Beijing dan meningkatkan


patroli di Laut Natuna Utara untuk menunjukkan sikap tegas terhadap
klaimnya. Putusan Den Haag dalam hal ini menguntungkan Indonesia
karena pengadilan menetapkan bahwa sembilan garis putus ilegal di bawah
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Ini menegaskan kembali
kebijakan Indonesia tentang penegakan teritorial atas ZEE-nya dalam setiap
insiden dengan China di Laut Natuna Utara.

Namun, beberapa analis menganggap Indonesia telah menunjukkan


tanggapan yang tidak memuaskan terhadap putusan dan temuan

3
Edmondus, Sadesto, Tandungan, 2020, “SENGKETA LAUT CINA SELATAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM
INTERNASIONAL”, Universitas Kristen Indonesia Paulus, Volume 1 Nomor 2, hal 90,
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=1759033&val=18739&title=SENGKETA%20LAUT%
20CINA%20SELATAN%20DALAM%20PERSPEKTIF%20HUKUM%20INTERNASIONAL
pengadilan. Indonesia dapat berbuat lebih banyak dalam menanggapi
putusan pengadilan dengan mendorong putusan tersebut, untuk secara
resmi dimasukkan dalam pernyataan kebijakan luar negeri yang terkait
dengan ASEAN atau Indonesia, tutur Aristyo Rizka Darmawan dan Arie
Afriansyah.

Kementerian Luar Negeri Indonesia telah menyatakan posisi


Indonesia dalam putusan pengadilan dalam hal yang relatif netral tanpa
merujuk secara langsung. Indonesia menyerukan semua pihak untuk
menahan diri dari kegiatan eskalasi dan mengamankan Asia Tenggara dari
kegiatan militer yang dapat mengancam perdamaian dan stabilitas.

Meskipun Indonesia bukan negara penuntut dalam perselisihan Laut


China Selatan, Indonesia diuntungkan oleh putusan pengadilan
internasional. Indonesia memiliki kepentingan dalam memastikan
keamanan maritim di kawasan tersebut, sambil bekerja dengan negara-
negara Asia Tenggara lainnya untuk menjaga perdamaian dan stabilitas.

Indonesia harus mencari jalan untuk kerja sama antara negara-


negara yang memiliki posisi bersama terhadap UNCLOS dan penerapannya
di kawasan tersebut, Aristyo Rizka Darmawan dan Arie Afriansyah
menyimpulkan.4

4. Landasan Teori.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau


yang biasa disebut dengan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982
(UNCLOS 1982) merupakan perjanjian internasional yang dihasilkan dari
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga
(UNCLOS III) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun
1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab
negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman
untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Sebagai
4
https://www.matamatapolitik.com/netral-atau-tegas-mengukur-kepentingan-indonesia-di-laut-china-
selatan-analisis
instrumen hukum internasional, maka Konvensi Hukum Laut 1982 menjadi
dasar hukum bagi setiap negara dalam menentukan delimitasi maritim.
Oleh karena itu, Konvensi Hukum Laut 1982 menjadi landasan untuk
menyelesaikan sengketa internasional yang terkait dengan wilayah maritim
suatu negara.5

Menurut Ahmad Almauduy Amri, Putusan PCA menyatakan bahwa


negara tidak boleh mengklaim zona maritim di luar ketentuan yang sudah
diatur di dalam Konvensi Hukum Laut 1982, dimana dalam Pasal 121 ayat
(1) ditetapkan bahwa :

1. An island is a naturally formed area of land, surrounded by water,


which is above water at high tide.

2. Except as provided for in paragraph 3, the territorial sea, the


contiguous zone, the exclusive economic zone and the continental
shelf of an island are determined in accordance with the provisions of
this Convention applicable to other land territory.

3. Rocks which cannot sustain human habitation or economic life of


their own shall have no exclusive economic zone or continental shelf.

5. Pembahasan.

Klaim yang membuat repot negara-negara tetangga ternyata dipicu


dari kebijakan pemerintahan Partai Kuomintang (saat itu di Taiwan). Bahwa
wilayah China mencapai 90 persen Laut China Selatan. Meski saat itu
China tidak pernah menyinggung isu Natuna dihadapan PBB, sejak 1996
Indonesia telah mengerahkan lebih dari 20.000 personil TNI untuk menjaga
Natuna yang memiliki cadangan gas terbesar di Asia. Memasuki era
Presiden Joko Widodo, pihaknya kembali menegaskan dengan keras, bahwa

5
Edmondus, Sadesto, Tandungan, 2020, “SENGKETA LAUT CINA SELATAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM
INTERNASIONAL”, Universitas Kristen Indonesia Paulus, Volume 1 Nomor 2, hal 95,
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=1759033&val=18739&title=SENGKETA%20LAUT%
20CINA%20SELATAN%20DALAM%20PERSPEKTIF%20HUKUM%20INTERNASIONAL
Sembilan Titik yang diklaim China tidak memiliki dasar hukum
internasional apa pun.

Indonesia salah satu negara yang terancam dirugikan akibat


Sembilan Titik yang digambar China. Menurut Kementrian Luar Negeri,
klaim China atas Natuna telah melanggar Zona Ekonomi Eksklusif milik
Indonesia. Posisi Natuna sangat jauh dari China. Natuna justru berdekatan
dengan batas Vietnam dan Malaysia. Sehingga tidak masuk akal jika China
mengklaim Natuna masuk wilahnya.

Pemerintah Indonesia tetap melakukan beberapa upaya diplomatik


dengan China, agar sengketa Laut China Selatan tidak meluas sampai ke
Natuna. Kedua belah pihak sudah sepakat mengedepankan diplomasi
dengan mengimplementasikan Declaration on the Conduct of Parties in the
South China Sea (DOC).

Selain itu, Indonesia juga sudah mengusulkan zero draft code of


conduct South China Sea yang bisa dijadikan senjata bagi diplomasi
Indonesia. Tiga poin tersebut, yaitu :

1. Menciptakan rasa saling percaya.

2. Mencegah terjadinya insiden.

3. Mengelola insiden, jika menang insiden terjadi dan tidak dapat


dihindari.

Indonesia bersama ASEAN serta China dalam upaya menyelesaikan


masalah Laut China Selatan dengan terciptanya Declaration on the Conduct
of Parties in the South China Sea pada tahun 2002 dianggap sebagai salah
satu implementasi Doktrin Natalegawa.6

6
https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/04/180000169/sejarah-konflik-natuna-dan-upaya-
indonesia?page=all
6. Kesimpulan.

Konflik Laut China Selatan menjadi Konflik antara China dengan


negara di Asia Tenggara yang memiliki klaim atas Laut tersbur, Demi
mengantisipasi konflik terbuka di kawasan, negara ASEAN bersama China
menggagas deklarasi di Laut China Selatan (Declaration on Conduct of the
Parties/DoC) yang di tanda tangani di Phnom Penh, Kamboja, pada
November 2002.

Indonesia menjadi negara yang terlibat dalam konflik Laut Cina


Selatan dikarenakan China juga memasukkan perairan natuna di
Kabupaten Natuna sebagai wilayah maritimnya berdasarkan klaim Nine
Dash Line. Hal tersebut membuat Indonesia mengeluarkan protes keras
atas tindakan China yang memasukkan perairan Kabupaten Natuna
sebagai wilayah maritimnya. Hal ini bukan hanya karena klaim China atas
perairan Natuna, tapi juga karena insiden-insiden yang mengusik
kedaulatan Indonesia di perairan Natuna yang melibatkan kapal penjaga
dari China.

Pemerintah Indonesia tetap melakukan beberapa upaya diplomatik


dengan China, agar sengketa Laut China Selatan tidak meluas sampai ke
Natuna. Selain itu, Indonesia juga sudah mengusulkan zero draft code of
conduct South China Sea yang bisa dijadikan senjata bagi diplomasi
Indonesia. Tiga poin tersebut, yaitu :

1. Menciptakan rasa saling percaya.

2. Mencegah terjadinya insiden.

3. Mengelola insiden, jika menang insiden terjadi dan tidak dapat


dihindari.
Daftar pustaka

1. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210129104432-
113-599890/lau-china-selatan-klaimteritori-hingga-ribut-as-china

2. https://www.news.detik.com/berita/d-5102827/deretan-konflik-
negara-asia-tenggara-dengan-china-terkait-laut-china-selatan

3. Edmondus, Sadesto, Tandungan, 2020, “SENGKETA LAUT CINA


SELATAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL”,
Universitas Kristen Indonesia Paulus, Volume 1 Nomor 2, hal 90,
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=175903
3&val=18739&title=SENGKETA%20LAUT%20CINA%20SELATAN%20
DALAM%20PERSPEKTIF%20HUKUM%20INTERNASIONAL

4. https://www.matamatapolitik.com/netral-atau-tegas-mengukur-
kepentingan-indonesia-di-laut-china-selatan-analisis

5. https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/04/180000169/seja
rah-konflik-natuna-dan-upaya-indonesia?page=all

Anda mungkin juga menyukai