Anda di halaman 1dari 3

Nama : Syahla Nur Azizah

Kelas : X-7

Akar Konflik China-Indonesia di Perairan Natuna

Polemik pelanggaran batas laut Indonesia bukan hal baru. Sebagai archipelagic state (negara kepulauan)
terbesar di dunia, pelanggaran batas laut terjadi di Sabang hingga Merauke. Pelanggaran batas perairan
Laut Natuna oleh China, misalnya. Potensi kekayaan laut Natuna –gas bumi dan ikan— jadi musababnya.

Selain itu, Natuna kita tahu adalah lintasan laut internasional. Lantaran itu China kerap kali melakukan
klaim wilayah Natuna miliknya. Setidaknya sampai hari ini. Status Indonesia sebagai negara kepulauan
belum berubah sejak dulu. Keuntungan itu membuat Indonesia memiliki hak kegunaaan dan
pengelolaan wilayah lautnya seluas 5.8 juta km².

Demikian pula segala potensi ekonomi maritim yang terdapat di dalamnya seharusnya dapat
dimanfaatkan secara maksimal oleh Indonesia. Namun, status negara kepulauan terlalu kecil untuk
Indonesia yang memiliki jumlah lautan lebih besar dibanding daratan. Padahal Indonesia memiliki
potensi besar naik selevel menjadi sebuah negara maritim.

Sebuah negara yang mampu berdikari memanfaatkan seluruh potensi yang mampu diberikan oleh
lautan. Potensi itu salah satunya hadir dalam kepulauan Natuna dengan hasil laut dan cadangan gas
yang melimpah ruah.

“Kendati demikian, terdapat perbedaan antara negara kepulauan dengan negara maritim. Negara
kepulauan adalah ciri dari satu negara yang secara geografis terdiri atas banyaknya pulau yang terikat
dalam suatu kesatuan negara karena disatukan oleh laut.”
“Sedangkan negara maritim adalah satu negara yang menggunakan dan menguasai semua kekuatan
strategis nasionalnya, di lautan sebagai kekuatan laut yang didukung oleh kekuatan maritim seperti
armada niaga, armada perikanan, industri dan jasa maritim, infrastruktur serta potensi sumber daya
kelautan lainnya serta kekuatan angkatan lautnya sebagai armada perang yang handal,” tulis Lisbet
dalam buku Diplomasi Indonesia dan Pembangunan Konektivitas Maritim (2018).

Potensi laut Natuna tak main-main. Sejak dulu ikan laut Natuna telah menarik negara-negara lain karena
potensi keuntungan besar yang bakal didapat. Namun, tak mungkin dapat mencicipi keuntungan karena
Indonesia adalah pemilik sah dari kawasan laut Natuna.

Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, komoditas perikanan tangkap potensial di Kabupaten
Natuna terbagi dalam dua ketegori, yaitu ikan pelagis dan ikan demersal. Jumlah ikan laut Natuna itu
yang dapat ditangkap dapat mencapai 400-500 ribu ton per tahun. Perihal potensi cadangan gas alam
pun begitu.

Disebutkan gas alam di Natuna adalah yang terbesar di Asia Pasifik, bahkan dunia. Itu baru dari potensi
hasil laut dan cadangan gas alam. Belum lagi terkait potensi Natuna dalam bidang politik dan
pertahanan-keamanan.

“Sementara dalam perspektif politik, Kepulauan Natuna memiliki arti penting dalam diplomasi maritim
Indonesia. Keberadaan Kepulauan Natuna membuat wilayah perairan Indonesia menjadi sangat luas
yang membelah wilayah Semenanjung Malaya dan Serawak."

"Kehilangan wilayah Kepulauan Natuna akan berimbas pada hilangnya wilayah laut Indonesia yang
sangat luas. Dalam konteks pertahanan-keamanan, Kepulauan Natuna merupakan kepulauan terdepan
Indonesia dalam konstelasi dinamika konflik Laut China Selatan,” ujar Rodon pedrason dkk dalam buku
Pengelolaan Pertahanan Perbatasan Maritim Kepulauan Natuna (2021).

Awal mula konflik Natuna

Potensi kekayaan Natuna itulah yang jadi sebab banyaknya pencurian dan pelanggaran yang dilakukan
negara-negara lain. China salah satu diantaranya. Ambisi China ingin menguasai Natuna telah muncul
sejak 1990-an. Ambisi itu semakin menguat semenjak tahun 2009. China mencoba melakukan klaim
historis atas Natuna. Klaim itu mengindentifikasi wilayah Natuna adalah bagian sah dari China.
“Menurut versi Tiongkok, mereka memasukan wilayah Natuna ke dalam peta wilayah mereka
didasarkan pada sembilan titik garis imajiner yang biasa disebut dengan Nine dash line yang selama ini
diklaim Tiongkok dan menandakan perbatasan maritimnya.”

“Namun dari sembilan titik garis ini Indonesia tidak mengakuinya karena menurut Indonesia hal itu tidak
memiliki dasar hukum internasional apapun. Sembilan titik imaginer itu sendiri merupakan salah satu
penyebab menculnya konflik di wilayah Laut Tiongkok Selatan,” ungkap Rani Purwani Ramli dkk dalam
tulisannya di Jurnal Hubungan Internasional Hasanuddin berjudul Sengketa Republik Indonesia –
Republik Rakyat Tiongkok di Perairan Natuna (2021).

Klaim China membuat repot Indonesia. Beberapa kali kapal perang Indonesia-China bersitegang di
perairan Natuna. Keberanian China pun disinyalir karena kuatnya keinginan China menguasai Natuna.
Apalagi, China kerap kali mengeluarkan pernyataan ambigu bahwa Natuna memang berada di dalam
teritorial Indonesia. Akan tetapi, China tak menyebut Natuna adalah bagian integral milik Indonesia.

Aksi China mengganggu aktivitas di perairan Natuna terus berlanjut. Pada 2019, nelayan China dan
otoritas resmi pemerintahannya itu terpantau intensif masuk wilayah Natuna. Padahal, pengadilan
Internasional lewat United Nations Convention of the Law of the Sea (UNCLOS) telah menetapkan "Nine
Dash Line" milik China yang telah ada sejak 1947 itu tidak memiliki dasar historis yang kuat.

Didasari UNCLOS tahun 1982 itu, sikap politik luar negeri Indonesia tegas. Pemerintah menolak klaim
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di wilayah Laut Natuna dan Laut China Selatan. Selain itu, keputusan
pengadilan arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait klaim negara-negara di Laut China
Selatan juga memperkuat keteguhan Indonesia soal teritori dan kedaulatan laut negeri.

“Pendirian Indonesia ini didasarkan UNCLOS 1982 yang berlaku secara internasaional dan juga sesuai
dengan hasil Mahkamah Internasional pada tahun 2016 sehingga mitra perundingan Indonesia tidak
dapat menggunakan pulau-pulau kecil sebagai proyeksi ZEE dan landas kontinen. Pada kasus ini,
Indonesia hanya melakukan klaim wilayah kepulauan yang sudah lama menjadi wilayah kedaulatannya
yaitu Natuna dan Anambas.” Tutup Syarifurohmat Pratama Santoso dalam buku Percaturan Geopolitik
Kawasan Laut China Selatan (2021).

Anda mungkin juga menyukai