Anda di halaman 1dari 9

UJIAN AKHIR SEMESTER HUKUM LAUT INTERNASIONAL

Disusun Oleh:

Nama : Baiquni Susunan Aji


NIM : 11000121130422

TEMA KASUS:

PENYELESAISAN SENGKETA DAN ZONA EKONOMI EKSLUSIF

FAKULTAS HUKUM UNDIP

2023/2024

Diponegoro University, Kampus Jl. Dr. Antonius Suroyo, Tembalang, Semarang City, Central
Java 50275
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara berdaulat yang terdiri dari gugusan pulau yang diapit oleh
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, serta termasuk ke dalam kategori negara kepulauan
terbesar ke-2 di dunia. Selain itu, di wilayah perbatasan, Indonesia juga dikelilingi oleh negara
Pantai (costal state) lainnya sehingga batas teritorial saling bersinggungan satu dengan lainnya.
Namun, atas dasar fakta tersebut, tidak jarang antara Indonesia dengan negara Pantai lainnya
kerap terjadi sengketa, terutama mengenai batas wilayah. Seperti halnya yang telah terjadi
selama ini, Indonesia kerap kali bersitegang dengan negara China perihal penetapan batas
teritorial laut, yang terjadi di wilayah Laut Natuna Utara. Perlu diketahui, persoalan mengenai
batas-batas wilayah laut atau penetapan batas wilayah laut sudah diatur di dalam hukum laut
internasional atau khususnya pasal 57 UNCLOS 1982, seperti pengaturan mengenai batas
wilayah laut pada Zona Ekonomi Eksklusif, yakni sepanjang 200 mil dari garis pangkal.
Sejatinya, Indonesia telah menarik 200 mil dari garis pangkal yang kemudian mempengaruhi
batas wilayah di laut Natuna Utara. Akan tetapi, China mengklaim bahwa Indonesia telah
melanggar ketentuan sembilan garis putus-putus ke setiap negara yang bersinggungan dengan
Laut Cina Selatan, yang mana garis tersebut memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
yang berada di wilayah Laut Natuna. Atas dasar tersebut, China hingga saat ini mengklaim
bahwa sebagian wilayah laut Natuna merupakan bagian dari laut Cina Selatan dan penarikan
garis pangkal sejauh 200 mil dianggap tidak berlaku. Untuk itu, perlu dikaji secara komprehensif
mengenai sengketa yang terjadi di wilayah ZEE Indonesia dengan klaim China terkait batas
wilayah laut Cina Selatan.

Di samping itu, selain sengketa yang terjadi antara Indonesia dengan China perihal
penerapan batas teritorial di Laut Natuna, juga terjadi perselisihan dengan Malaysia terkait
dengan blok Ambalat yang menjadi wilayah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Perlu
diketahui, Ambalat terletak di laut Sulawesi atau Selat Makasar dengan luas 15.235 kilometer
persegi dan terletak di perbatasan antara Sabah dan Kalimantan Utara. Pada dasarnya, blok
Ambalat telah resmi dan diakui menjadi milik Indonesia berdasarkan Perjanjian Tapal Batas
Kontinen Indonesia-Malaysia yang ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1969 di Kuala
Lumpur, yang kemudian menjadi dasar hukum atas kepemilikan wilayah blok ambalat. Akan
tetapi, Malaysia mengklaim bahwa kepemilikan tersebut tidak sah karena wilayah blok Ambalat
masih termasuk ke dalam yurisdiksi pulau Sipadan dan Ligitan, yang pada saat itu sengketanya
dimenangkan oleh Malaysia. Melihat kondisi tersebut, tentu dalam rangka ekspansi wilayah
Malaysia memiliki kesempatan untuk dapat memiliki dan menguasai wilayah blok Ambalat yang

1
hingga kini masih diperselisihkan. Akibatnya, aktivitas perekonomian dan kondisi geo politik
Indonesia menjadi terganggu dengan adanya tumpang tindih perbatasan dengan Malaysia,
yang mana Malaysia juga kerap mengintervensi aktivitas di sekitar wilayah blok Ambalat yang
kaya akan minyak dan gas bumi. Dengan begitu, perlu dilihat secara lebih jelas apakah klaim
Malaysia mengenai wilayah Ambalat dapat dipertanggungjawabkan.

PERMASALAHAN

Perselisihan antara Indonesia dan China terkait dengan batas wilayah teritorial di Laut
Natuna Utara :

1. Bagaimana kronologis sengketa yang terjadi antara Indonesia dengan China yang
memperselisihkan legitimasi wilayah Laut Natuna?
2. Apa yang menjadi isu permasalahan atas kasus sengketa wilayah teritorial di Laut
Natuna?

Perselisihan antara Indonesia dan Malaysia terkait dengan wilayah perbatasan di Blok
Ambalat :

1. Bagaimanakah kronologis atas sengketa Indonesia dan Malaysia terkait dengan


perselisihan batas teritorial di Blok Ambalat?
2. Apa yang menjadi isu permasalahan atas kasus sengketa wilayah perbatasan di Blok
Ambalat?

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Kronologis Sengketa Indonesia dan China terkait Wilayah Laut Natuna

Pada awalnya, tepatnya tahun 1993, China membentuk peta berdasarkan klaim
pribadi yang memetakan sebagian wilayah di sekitar perairan China. Dalam
pemetaannya, China mengklaim bahwa sebagian wilayah laut Natuna merupakan bagian
wilayah Laut Cina Selatan melalui instrument sembilan garis putus-putus atau dikenal
sebagai nine dash line. Melalui instrument tersebut, ternyata pemetaan yang dilakukan
oleh China memasuki wilayah ZEE Indonesia sehingga dari sinilah awal terjadinya

2
sengketa terkait dengan pengklaiman wilayah.1 China berpendapat bahwa wilayah laut
Cina Selatan merupakan kedaulatan mutlak sejak klaim yang dilakukan pada tahun 1947
sehingga sebagian wilayah yang memasuki wilayah laut Cina Selatan merupakan mutlak
kedaulatan China. Hal tersebut didasarkan pada sejarah masa lampau bahwa bangsa
China meyakini wilayah laut Cina Selatan dan sekitarnya merupakan kedaulatan wilayah
China. Atas klaim tersebut, pada tahun 2017 indonesia menyatakan bahwa ujung selatan
Laut China Selatan adalah wilayah zona ekonomi eksklusif dan tetap menjadi wilayah
teritorial Indonesia di bawah naungan UNCLOS 1982, yang kemudian dinamakan
dengan Laut Natuna Utara. Atas penamaan tersebut konflik antara Indonesia dan China
semakin memanas dengan pendirian China bahwa Laut Natuna Utara tetap menjadi
wilayah Laut Cina Selatan. Kemudian, pada tahun 2020 terjadi insiden di Laut Natuna
Utara yang semakin memperparah sengketa Indonesia dan China, yakni masuknya
kapal pencari ikan dan kapal penjaga Pantai China di wilayah perairan Natuna.
Setelahnya, pada tahun 2021 China semakin memperparah keadaan dengan menuntut
Indonesia melakukan pemberhentian aktivitas pengeboran migas di wilayah Laut Natuna
Utara, dan tetap mengklaim secara sepihak bahwa Indonesia melakukan aktivitas di
wilayah perairan Cina Selatan. Atas dasar tersebut, dalam rangka menjaga kedaulatan
terutama di wilayah perbatasan, Indonesia tidak mengindahkan tuntutan China dan tetap
terus melakukan aktivitasnya dengan menyediakan kapal-kapal angkatan laut di sekitar
wilayah Laut Natuna Utara.

B. Isu Permasalahan Atas Kasus Sengketa di Wilayah Perairan Natuna

Hal yang menjadi isu atas kasus tersebut adalah dengan klaim China melalui
nine dash line atau sembilan garis putus-putus yang mengklaim sebagian wilayah ZEE
atau laut Natuna merupakan bagian dari wilayah Laut Cina Selatan. Klaim tersebut
berbentuk seperti huruf U yang membentangi negara-negara seperti Malaysia, Filipina,
Vietnam, Indonesia, dan Thailand.2 Selain itu, atas klaim tersebut terdapat lebih dari
50.000 km persegi wilayah yang tumpang tindih antara wilayah laut Cina Selatan dengan
Laut Natuna Utara.3 Jika dikaji melalui pasal 57 UNCLOS 1982, penarikan ZEE adalah

1
Majalah Demersial (Dari Laut Untuk Pembangunan), Edisi April 2006, Pusat Data Informasi Departemen Kelautan
dan Perikanan, Sebagaiman dikutip oleh M.John, dkk., Perlindungan Terhadap Tuna Sirip Biru Selatan (Southern
Bluefin Tuna) Dari Illegal Fishing Dalam ZEEI di Samudera Hindia, Jurnal Mahkamah Vol. 19 No. 1, April 2007, hlm.
70.
2
P. Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 3
3
T. May Rudy, Hukum Internasional 2, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 18

3
200 mil ditarik dari garis pangkal sedangkan klaim tersebut tidak memenuhi ketentuan.
Hal tersebut karena total wilayah Laut Cina Selatan adalah seluas 2.000.000 km2 atau
90% wilayah laut Natuna Utara. Selain itu, kapal China juga kerap kali mendatangi
wilayah Laut Natuna Utara yang merupakan bagian dari ZEE Indonesia. Pada
hakikatnya, tidak masalah apabila kapal China melintasi ZEE Indonesia dengan maksud
penggunaan hak lintas damai. Akan tetapi, yang menjadi titik permasalahan adalah
ketika kapal penangkap ikan China memasuki wilayah perairan Natuna dengan maksud
mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah perairan Natuna.
Terkait hal tersebut, Pasal 47 ayat 6 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa negara
kepulauan yang bertetangga atau berdampingan wajib kiranya untuk membuat
perjanjian bilateral di antara kedua Negara pantai. Klaim Cina mengenai daerah
kegiatan perairan Cina di zona ekonomi eksklusif Indonesia yang berdasarkan
Traditional Fishing Grounds di laut Natuna Utara hanya bersifat unilateral dan klaim
tersebut tidak berdasar, karena UNCLOS 1982 hanya mengenal Traditional Fishing
Rights. Perlu diketahui, UNCLOS 1982 tidak mengatur mengenai traditional fishing
ground melainkan UNCLOS 1982 hanya mengatur mengenai Traditional Fishing
Rights, bahkan untuk melakukan kegiatan Traditional Fishing Rights harus ada
perjanjian bilateral, sementara Indonesia tidak pernah melakukan perjanjian tersebut
dengan Cina. Untuk menjawab permasalahan tersebut, Indonesia sejak 2016 mengganti
nama laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Penggantian nama tersebut
merupakan bentuk sikap Indonesia atas menolak klaim China dengan bersandar kepada
UNCLOS 1982, terkait dengan penentuan batas-batas wilayah laut. Penamaan tersebut
juga dilegitimasi oleh putusan mahkamah Internasional pada bulan Juli 2016. Oleh
karena itu, klaim China tidak berdasar dan bertentangan dengan UNCLOS 1982 karena
hanya merupakan klaim unilateral atau sepihak.

SIMPULAN

Sengketa antara Indonesia dan China merupakan sengketa terkait dengan tumpang
tindih batas wilayah perairan. China dengan klaim secara unilateral mengklaim bahwa
sebagian besar wilayahnya merupakan bagian dari kedaulatan wilayah perairan Cina
Selatan. Akan tetapi, klaim tersebut tidak berdasar karena menyalahi ketentuan pasal 57
UNCLOS 1982 yang mengharuskan tiap negara menarik garis pangkal sepanjang 200

4
mil.4 Namun, klaim dari China ternyata tidak berdasar pada aturan formil Internasional,
yakni UNCLOS 1982 dan hanya merupakan klaim yang didasarkan pada sejarah dan
tidak berdasar. Oleh karena itu, pengklaiman Laut Natuna sebagai bagian dari laut Cina
Selatan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan hanya sebagai bentuk
kepentingan politik negara China belaka.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Kronologis Sengketa Indonesia dengan Malaysia di Wilayah Blok Ambalat

Pada awalnya, Indonesia dan Malaysia menyapakati Perjanjian Tapal Batas


Kontinen Indonesia-Malaysia yang ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1969 di
Kuala Lumpur. Perjanjian tersebut merupakan penentuan landas kontinen dan ZEE
antara kedua negara tersebut, yang mana salah satu kesepakatannya blok Ambalat
merupakan wilayah perairan Indonesia. Namun, pada tahun 1979 Malaysia justru
mengkhianati perjanjian Tapal Batas Kontinen yang mana Blok Ambalat diklaim sebagai
wilayahnya, dengan memasukkan wilayah ke dalam peta Malaysia. Atas pengklaiman
tersebut, Indonesia menyatakan sikap menolak terhadap peta tersebut dengan didukung
atas protes yang juga diutarakan oleh Filipina, Singapura, Thailand, Tiongkok, Vietnam,
karena dianggap sebagai upaya atas perebutan wilayah negara lain. Pada tahun 2005,
Malaysia dengan tetap pada pendirian atas klaim yang terdapat di dalam peta, Malaysia
melakukan aktivitas pengeboran minyak disertai kapal-kapal patroli yang selalu melintasi
blok Ambalat dengan alasan bahwa wilayah perairan tersebut merupakan wilayah
Malaysia. Kemudian, pada tahun 2009, Indonesia dan Malaysia mengambil langkah
politik dengan mempertemukan masing-masing kepala negara dengan tujuan
meredakan konflik di Blok Ambalat. Awalnya, Malaysia menyatakan alasan bahwa
penarikan garis pangkal kepulauan dimulai dari pulau Sipadan dan Ligitan yang
merupakan bagian wilayah perairan Malaysia sejak dimenangkannya sengketa pada
tahun 2002.5 Namun, alasan tersebut ditolak karena Malaysia merupakan negara Pantai
bukan negara kepulauan sehingga tidak bisa melakukan penarikan garis pangkal
4
Heru Prijanto, Hukum Laut Internasional, Bayumedia, Malang, 2007, hlm. 11.
5
M.John, dkk., Perlindungan Terhadap Tuna Sirip Biru Selatan (Southern Bluefin Tuna) Dari Illegal Fishing Dalam
ZEEI di Samudera Hindia, Jurnal Mahkamah Vol. 19 No. 1, April 2007, hlm. 86.

5
kepulauan. Alhasil, konflik terus terjadi hingga saat ini dan sampai saat ini belum
ditemukan solusi atas sengketa tersebut.

B. Isu Permasalahan Atas Sengketa Indonesia Terkait Wilayah Perairan Blok Ambalat

Hal yang menjadi permasalahan adalah terkait dengan penetapan batas wilayah
perairan di Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia. Perlu diketahui, bahwa negara
yang saling berhimpitan satu sama lain wajib membentuk perjanjian bilateral guna
menetapkan batas wilayah atau batas kontinen yang adil sesuai dengan kesepakatan
bersama. Pada awalnya, Blok Ambalat telah disepakati oleh kedua negara melalui
perjanjian Tapal Batas Kontinen Tahun 1969 sebagai bagian dari wilayah perairan
Indonesia. Akan tetapi, Malaysia justru mengingkari perjanjian tersebut dengan
mengeluarkan peta wilayah versi terbaru pada tahun 1979.6 Di dalam peta tersebut,
Malaysia memetakan wilayah perairan Blok Ambalat ke dalam kedaulatan wilayahnya.
Padahal, sudah jelas melalui perjanjian Tapal Batas Kontinen 1969 Blok Ambalat telah
disepakati merupakan bagian dari kedaulatan negara Indonesia. Atas dasar tersebut,
Malaysia mengeluarkan pendapat yang menyandarkan pada Konvensi Hukum Laut
1958, terkait “ “tiap pulau berhak mempunyai laut territorial, zona ekonomi eksklusif, dan
landas kontinennya sendiri”, yang mana hal tersebut justru menyalahi ketentuan
UNCLOS 1982. Menurut Unclos 1982, negara dalam menentukan rezim penetapan
batas landas kotinen mempunyai specific rule yang membuktikan keberadaan pulau-
pulau yang relatively small, socially, and economically insignificant dan tidak dianggap
sebagai special circumstation dalam penentuan garis batas kontinen. Dalam hal ini,
Malaysia bukanlah negara kepulauan sehingga tidak berhak mengklaim Blok Ambalat
karena penarikan garis pangkal sudah menyalahi karakteristik Malaysia sebagai negara
Pantai (costal state). Menurut UNCLOS 1982, sebuah negara pantai (negara yang
wilayah daratannya secara langsung bersentuhan dengan laut) berhak atas zona maritim
laut territorial, ZEE, dan landas kontinental sepanjang syarat-syarat yang memungkinkan
sesuai dengan kondisi geografisnya, serta tidak dapat menarik dari titik pulau terluar. Hal
tersebut kemudian diperkuat dengan ketentuan UNCLOS 1982 yang hanya
memperbolehkan negara Pantai untuk menarik garis pangkal biasa (normal baselines)

6
Rivai H. Sihaloho, Penetapan Garis Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan India Dalam Penegakan
Kedaulatan Teritorial Ditinjau Dari Hukum Internasional

6
dan garis pangkal lurus (straight baselines), sehingga Malaysia tidak dapat menarik garis
pangkal melalui pulau Sipadan dan Ligitan. Untuk menjawab permaslahan tersebut,
Mahkamah Internasional menyediakan penyelesaian sengketa internasional berdasarkan
ketentuan pasal 33 Konvensi Den Haag 1899, yakni penyelesaian secara nonlitigasi dan
penyelesaian secara litigasi.7 Penyelesaian sengketa secara nonlitigasi terdapat
beberapa cara seperti negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Sedangkan penyelesaian
secara Litigasi terdiri dari penyelesaian melalui jalur arbitrase dan Mahkamah
Internasional.

Pertama, penyelesaian melalui metode negosiasi merupakan penyelesaian


dengan menghadirkan pihak yang bersengketa, yakni Indonesia dan Malaysia untuk
melakukan suatu kompromi dengan membentuk kesepakatan. Kemudian, kesepakatan
tersebut melahirkan suatu solusi atau konsekuensi mengenai permasalahan blok
Ambalat. Kedua, penyelesaian dilakukan melalui metode konsiliasi dengan cara yang
lebih formal. Penyelesaian tersebut dilakukan dengan cara kedua belah pihak
membentuk suatu komisi khusus sebagai pihak ketiga untuk mempersoalkan
permasalahan blok ambalat dengan memberikan rekomendasi, saran, dan putusan yang
bersifat tidak mengikat.8 Kemudian, penyelesaian lainnya dapat dilakukan dengan cara
mediasi melalui pihak ketiga sebagai mediator. Dalam hal ini, kedua belah pihak dapat
menerima mediator dari berbagai unsur seperti negara, organisasi internasional, dan
individu. Mediator bertugas sebagai pihak netral atau pihak penengah yang
mendamaikan kedua belah pihak dan aktif memberikan saran dan rekomendasi terhadap
persoalan Blok Ambalat. Apabila penyelesaian dilakukan tidak membuahkan hasil, maka
cara penyelesaian yang tepat dapat melalui jalur litigasi dengan melalui mahkamah
internasional. Cara ini merupakan ultimum remidium atas keseluruhan cara yang tidak
menemui solusi hingga akhirnya ditempuh melalui jalur litigasi. Selain itu, ada pula cara
lainnya seperti dengan melalui mekanisme arbitrase. Mekanisme tersebut kurang lebih
sama dengan konsiliasi hanya saja putusan yang dibuat oleh pihak ketiga bersifat final
dan mengikat kedua belah pihak. Jadi, persoalan mengenai penetapan batas wilayah
perairan blok Ambalat hingga kini masih menjadi permasalahan pelik dan tidak kunjung
menemui hasil akhir yang memuaskan bagi kedua belah pihak, sehingga kedua negara
masih bersitegang terkait permasalahan tersebut.

7
Gultom, Elfrida, Hukum Pengangkutan Laut. Jakarta:literata Lintas Media. 2008.
8
Fransisco Orego Vicuna, 1984 The exclusive economic zone, a latin American perspective, westview press,
Colorado, hlm 143-158.

7
SIMPULAN

Penetapan batas wilayah laut antara Indonesia dan Malaysia menghasilkan sengketa,
terutama terhadap kedudukan Blok Ambalat. Dalam hal ini, Malaysia mengklaim Blok
Ambalat sebagai bagian dari kedualatannya. Padahal, melalui perjanjian Tapal Batas
Kontinen 1969, Blok Ambalat merupakan bagian dari wilayah perairan Indonesia dengan
Malaysia telah menyepakati hasil perundingan tersebut. Namun, Malaysia menyangkal
bahwa dengan Pulau Sipadan dan Ligitan yang merupakan wilayah perairan Malaysia,
maka penarikan garis pangkal dimulai dari kedua pulau tersebut sehingga Blok Ambalat
termasuk ke dalam wilayahnya. Hal tersebut tentu telah menyalahi ketentuan UNCLOS
1982 yang mana Malaysia sebagai negara Pantai (costal state) hanya dapat melakukan
penarikan secara garis normal dan penarikan garis pangkal lurus. Untuk itu, klaim
Malaysia tidak berdasar dan kedua belah pihak dapat mempersoalkan sengketa dengan
metode penyelesaian secara litigasi maupun non litigasi.

Anda mungkin juga menyukai