Anda di halaman 1dari 2

Nama:fibi ardiansyahputra

Nim:202110110311390
Matkul: hukum internasional

(pelanggaran internasional)

Sengketa Perairan Laut Cina Selatan

Wilayah perbatasan yang didasarkan pada batas fisik dinamis, seperti sungai, laut, dan
sebagainya cenderung memberikan konsekuensi pada suatu negara. Konsekuensi kemudian
muncul yaitu adanya sengketa antara dua belah pihak maupun beberapa pihak dengan klaim
pada wilayah yang sama. Kasus-kasus tersebut bukan sebuah kasus yang baru saja terjadi,
sebelumnya ada kasus sengketa laut yang melibatkan Cina dengan Filipina, dan sekarang
kasus Laut Cina Selatan yang namanya diubah oleh Pemerintah Indonesia menjadi Laut
Natuna Utara.

Penggantian nama Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara menimbulkan ketegangan,
karena Indonesia mengklaim bahwa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia benar.
Terkait hal ini didasarkan pada aturan Hukum Laut internasional yang mengatur tentang
ZEE, dan Perairan Natuna memang masih bagian dari ZEE, sejauh 200 mil. Penggantian
nama tersebut sebagai reaksi Pemerintah Indonesia dalam rangka menegakkan kedaulatan di
wilayah perbatasan. Cina melakukan klaim atas Perairan Cina Selatan didasarkan pada nine
dash line yang merupakan bagian dari kebijakan Pemerintah Cina ketika lepas dari
pendudukan Jepang tahun 1947. Selepas pendudukan Jepang, Pemerintah Kuomintang
menerbitkan peta dengan klaim teritorial di zona yang jauh dari territorial Cina, yaitu dengan
11 garis putus-putus yang mencakup Perairan Laut Cina Selatan. Ketika itu tidak ada respon
atas kebijakan Pemerintah Cina tersebut. Dalam perkembangannya, 11 garis putus-putus
tersebut dikurangi menjadi 9 garis putus-putus atau yang dikenal sekarang dengan istilah nine
dash line. Berdasarkan klaim itulah Cina bertindak sebagai negara yang berhak melakukan
aktivitas di Perairan Cina Selatan (Natuna), seperti penangkapan ikan di wilayah Perairan
Natuna. Hal tersebut membuat gusar Pemerintah Indonesia karena Perairan Natuna, sesua
dengan aturan Hukum Laut Internasional termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
sejauh 200 mil. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia memberikan kebijakan tegas dengan
mengeluarkan peta dengan klaim bahwa Perairan Natuna adalah hak milik Indonesia yang
ditunjukkan dengan penggantian nama Laut Cina Selatan dengan Laut Natuna Utara.

Pemerintah Cina menganggap tindakan yang dilakukan oleh Indonesia sangat tidak masuk
akal, karena Laut Cina Selatan telah dikenal secara luas oleh masyarakat internasional,
sehingga penggantian nama tersebut tidak memiliki arti apapun bagi kedua belah pihak. Poin
yang dapat diambil adalah geopolitik jangka panjang Pemerintah Cina berhasil pada satu sisi.
Disisi lain klaim yang dilakukan Pemerintah Cina sama sekali tidak memiliki dasar, karena
klaim wilayah territorial perairan Cina jauh dari garis pantai Cina (base line). Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) ditentukan sejauh 200 mil dari base line yang dimiliki oleh suatu negara.
Kondisi tersebut tidak dimiliki oleh Cina karena klaim atas wilayah Perairan Cina Selatan
(Natuna) hanya didasarkan pada historis.

Secara hukum internasional, kekuatan Indonesia terhadap klaim atas Perairan Cina Selatan
(Natuna) lebih kuat dibandingkan klaim yang dilakukan oleh Cina. Penggantian nama
perairan terkait, juga dinilai sebagai langkah tegas Pemerintah Indonesia dalam rangka
mewujudkan kedaulatan negara di wilayah perbatasan. Kondisi tersebut adalah kondisi positif
bagi Indonesia karena Perairan Natuna kaya akan sumberdaya alam, maka wajar bila wilayah
tersebut menjadi incaran beberapa negara untuk memanfaatkannya. Namun, berkaitan dengan
upaya tersebut, satu pertanyaan yang akan muncul yaitu apakah klaim Indonesia atas wilayah
Perairan Natuna mendapat dukungan dari ASEAN? Forum ASEAN pernah membahas terkait
masalah sengketa ini, namun tidak dilakukan secara mendalam. Secara umum, ASEAN
sebagai pihak netral dalam penyelesaian kasus ini. Masalah ini bukan masalah yang sepele
karena melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Cina menunjukkan bahwa alur politik
Cina untuk membangun diri sebagai penguasa regional sangat terlihat, dengan menguasai
jalur perdagangan dan sumberdaya di sekitar Perairan Cina Selatan (Natuna) maka Cina
secara tidak langsung memiliki kuasa atas wilayah tersebut.

Secara umum, Indonesia sangat membutuhkan dukungan ASEAN dalam mewujudkan


kedaulatannya atas Perairan Cina Selatan (Natuna). Dukungan solid ASEAN terhadap
Indonesia akan turut membangun kawasan regional ASEAN yang kuat dan mampu
menghadapi rongrongan dari negara adidaya lainnya. Jika Indonesia berjalan sendiri tanpa
dukungan ASEAN, maka klaim yang dilakukan Indonesia tersebut justru menimbulkan
kelemahan bagi Indonesia mapun ASEAN. Perlu melihat pandangan A.L. Conelly, bahwa
strategi Pemerintah Indonesia dapat melemahkan negara-negara ASEAN di hadapan Cina,
maksudnya negara-negara tetangga akan berpikiran untuk melakukan claiming atas wilayah
perairan yang sama, dan ini akan meruntuhkan kekuatan ASEAN, karena negara ASEAN
yang akan memiliki klaim antara lain Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Pandangan Conelly
tersebut dapat terjadi jika forum ASEAN tidak solid, dan memang benar dapat melemahkan
negara-negara ASEAN di hadapan Cina. Jika ditindaklanjuti dari pandangan Conelly tersebut
maka akan terjadi konflik berlarut di wilayah Perairan Cina Selatan (Natuna) yang dapat
mengundang pihak ketiga yaitu Negara adidaya untuk turut campur dalam proses sengketa
dengan dalih membantu penyelesaian sengketa, namun pada akhirnya turut mengambil
keuntungan dari sengketa tersebut.

Solusinya adalah penentuan batas perairan didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak,
dalam hal ini Pemerintah Indonesia dan Cina. Namun, keduanya tidak menggunakan dasar
yang sama dalam melakukan klaim atas wilayah Perairan Cina Selatan (Natuna). Oleh sebab
itu, adanya forum internasional dalam penyelesaian hal ini sangat dibutuhkan. Terlebih jika
ada peraturan tambahan terkait klaim batas yang didasarkan pada batas zonasi dan historis,
dengan kesepakatan-kesepakatan yang merujuk pada penyelesaian konflik secara damai.

Anda mungkin juga menyukai