Anda di halaman 1dari 4

SEJARAH KONFLIK PULAU NATUNA

KOMPAS.com - Pulau Natuna berada di Provinsi Kepulauan Riau dan berada dekat dengan
Laut China Selatan. Kawasan tersebut sampai saat ini menjadi sumber konflik antara
kedaulatan Indonesia dengan China. Diambil dari jurnal Konflik Kepulauan Natuna antara
Indonesia dengan China (2017) oleh Butje Tampil, isu tersebut menguak setelah Presiden
Republik Indonesia Joko Widodo mengkritik peta dari China yang memasukkan daerah
Natuna ke dalam wilayahnya. Sejarah Natuna Natuna terdiri dari tujuh pulau dengan Ibu Kota
di Ranai. Pada 1957, Kepulauan Natuna masuk dalam wilayah Kerajaan Pattani dan Kerajaan
Johor di Malaysia. Namun pada abad ke-19, Kepulauan Natuna akhirnya masuk ke dalam
kepenguasaan Kedaulatan Riau dan menjadi wilayah dari Kesultanan Riau. Natuna sampai
saat ini masih menjadi jalur strategis dari pelayaran internasional. Baca juga: Kekayaan dan
Potensi Natuna Setelah Indonesia merdeka, delegasi dari Riau ikut menyerahkan kedaulatan
pada Republik Indonesia yang berpusat di Pulau Jawa. Pada 18 Mei 1956, pemerintah
Indonesia resmi mendaftarkan Kepulauan Natuna sebagai wilayah kedaulatan ke Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).

Konflik Natuna Berada di kawasan dengan sumber daya alam melimpah dan berbatasan
langsung dengan laut bebas membuat Natuna menjadi incaran banyak negara tetangga.
Kontraversi diawali dari Malaysia yang menyatakan bahwa Natuna secara sah seharusnya
milik Malaysia. Namun untuk menghindari konflik panjang, pada era konfrontasi 1962-1966
Malaysia tidak menggugat status Natuna. Lepas dari konflik tersebut, Indonesia membangun
berbagai infrastruktur di kepulauan seluas 3.420 kilometer persegi. Etnis Melayu menjadi
penduduk mayoritas di Natuna, mencapai sekitar 85 persen. Suku Jawa sekitar 6,34 persen
dan etnis Tionghoa sekitar 2,52 persen. Baca juga: Kabupaten Natuna, Jalur Pelayaran
Internasional Selepas kofrontasi Indonesia-Malaysia, sentimen anti China di kawasan Natuna
muncul. Dari 5.000-6.000 orang, tersisa 1.000 orang etnis China. Kemudian muncul
slentingan warga keturunan Tionghoa menghubungi Presiden China saat itu, Deng Xiaoping
untuk mendukung kemerdekaan Natuna. Meski banyak pihak yang memaksa merebut
Natuna, secara Hukum Internasional, negosiasi yang dibangun China tidak dapat dibuktikan
sampai saat ini. Pada 2009 secara nyata China melanggar Sembilan Titik ditarik dari Pulau
Spartly ditengah Laut China Selatan, lalu diklaim sebagai wilayah Zona Ekonomi
Eksklusifnya. Saat itu Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memprotes
langkah China melalui Komisi Landas Kontinen PBB. Di mana garis putus-putus yang
diklaim China sebagai Pembaharuan peta 1947 membuat pemerintah Indonesia atas negara-

1 |PKN kelas 9 (kedaulatan)


negara yang berkonflik akibat Laut China Selatan. Baca juga: Dianggap Langgar Teritori di
Natuna, Kemenlu China Sebut Negaranya Punya Hak Klaim yang membuat repot negara-
negara tetangga ternyata dipicu dari kebijakan pemerintahan Partai Kuomintang (saat itu di
Taiwan). Bahwa wilayah China mencapai 90 persen Laut China Selatan. Meski saat itu China
tidak pernah menyinggung isu Natuna dihadapan PBB, sejak 1996 Indonesia telah
mengerahkan lebih dari 20.000 personil TNI untuk menjaga Natuna yang memiliki cadangan
gas terbesar di Asia. Memasuki era Presiden Joko Widodo, pihaknya kembali menegaskan
dengan keras, bahwa Sembilan Titik yang diklaim China tidak memiliki dasar hukum
internasional apa pun. Bahkan dikutip dari Surat Kabar Jepang Yomiuri Shimbun, Presiden
Joko Widodo mengatakan China perlu hati-hati dalam menentukan peta perbatasan lautnya.
Indonesia salah satu negara yang terancam dirugikan akibat Sembilan Titik yang digambar
China. Menurut Kementrian Luar Negeri, klaim China atas Natuna telah melanggar Zona
Ekonomi Eksklusif milik Indonesia. Posisi Natuna sangat jauh dari China. Natuna justru
berdekatan dengan batas Vietnam dan Malaysia. Sehingga tidak masuk akal jika China
mengklaim Natuna masuk wilahnya. Baca juga: Rekam Jejak Pelayar China di Natuna
Sampai saat ini Natuna masih menjadi sasaran negara-negara asing untuk berlayar masuk ke
wilayah tersebut. Bahkan Indonesia beberapa kali masih menangkap kapal-kapal asing yang
masuk ke Natuna. Dilansir dari Kompas.com kapal penangkap ikan dan coast guard China
diduga melakukan pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif dengan memasuki Perairan Natuna
pada 31 Desember 2019. Mereka juga melakukan pelanggaran ZEE seperti melakukan
praktik illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing di wilayan tertitori Indonesia.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Masudi meminta China untuk
patuh terhadap ketentuan yang telah ditetapkan UNCLOS 1982 tentang batas teritori. Selain
itu kementrian Luar Negeri telah mengirimkan nota protes resmi dan memanggil Dubes
China untuk Indonesia di Jakarta. Keberadaan Natuna dilihat dari hukum Landas Kontinen
suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah
permukaan laut yang terletak di luar teritorial. Baca juga: Dikaitkan dengan Natuna, Berapa
Utang Indonesia ke China? Teritorial yang dimaksud adalah sepanjang 200 mil laut dari garis
pangkal. Landas Kontinen negara pantai tidak boleh melebihi batas-batas yang sudah diatur
dalam Pasal 76 ayat 4 hingga 6. Salah satu masalah penting dari klaim China adalah garis
demarkasi. Tidak ada peta yang bisa menunjukkan seperti apa bentuk garis tersebut. Pasalnya
tidak ada penjelasan dari pihak China. Sembilan Titik atau Nine Dash Line China tidak bisa
disahkan sebagai perbatasan teritorial karena tidak sesuai dengan hukum internasional.
Dalam hukum internasional mengatakan bahwa perbatasan teritorial harus stabil dan

2 |PKN kelas 9 (kedaulatan)


terdefinisi dengan baik. Sembilan Titik yang dibuat China tidak stabil karena dari 11 menjadi
sembilan garis tanpa alasan. Kemudian tidak ada definisi secara jelas dan kuat. Selain itu
tidak memiliki koordinat geografis dan tidak menjelaskan bentuk bila semua garis
dihubungkan. Baca juga: TNI Gelar Rapat Tertutup untuk Operasi Pengamanan Natuna
Pemerintah Indonesia tetap melakukan beberapa upaya diplomatik dengan China, agar
sengketa Laut China Selatan tidak meluas sampai ke Natuna. Kedua belah pihak sudah
sepakat mengedepankan diplomasi dengan mengimplementasikan Declaration on the
Conduct of Parties in the South China Sea (DOC). Selain itu, Indonesia juga sudah
mengusulkan zero draft code of conduct South China Sea yang bisa dijadikan senjata bagi
diplomasi Indonesia. Tiga poin tersebut, yaitu: Menciptakan rasa saling percaya. Mencegah
terjadinya insiden. Mengelola insiden, jika memang insiden terjadi dan tidak dapat dihindari.
Keterlibatan ASEAN Indonesia bersama ASEAN serta China dalam upaya menyelesaikan
masalah Laut China Selatan dengan terciptanya Declaration on the Conduct of Parties in the
South China Sea pada tahun 2002 dianggap sebagai salah satu implementasi Doktrin
Natalegawa. Baca juga: Kekayaan Laut Natuna, Menyimpan Banyak Keramik Kuno
ASEAN juga mengupayakan perubahan DOC menjadi Code of Conduct (COC) sehingga
kesepakatan perjanjian konstruktif terkait sengketa wilayah tersebut bisa mengikat masing-
masing pihak. ASEAN juga memaksimalkan fungsi mekanisme kerja lembaga internalnya
yang telah disepakati khususnya di bidang maritim dan implementasi di lapangan.
ASEAN memperkuat upaya kerja sama bilateral secara berkelanjutan untuk tujuan
pemanfaatan bersama dalam potensi sumber daya alam di wilayah sengketa baik antara
sesama anggota ASEAN maupun yang sedang bersengketa.

3 |PKN kelas 9 (kedaulatan)


JAKARTA - Sikap Pemerintah Indonesia yang menolak negosiasi terhadap China terkait
kedaulatan perairan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau dinilai sudah tepat. Anggota Komisi I
DPR, Willy Aditya mengatakan, sikap pemerintah Indonesia telah sesuai dengan perspektif
hukum internasional.
"Sikap pemerintah tidak bernegosiasi terhadap ZEE di Natuna sudah tepat dan legal dalam
perspektif hukum internasional," kata Willy kepada Okezone, Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Menurut politikus Partai NasDem itu, sikap menteri terkait kehadiran kapal China di Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia juga sudah satu suara.
Pasalnya, kata Willy, seluruh menteri sepakat untuk tidak bernegosiasi dengan China
mengenai perairan Natuna.
"Perbedaan bahasa yang disampaikan ke publik antara Menlu, Menhan dan Menkomaritim
itu hanya cara saja," tuturnya.
Untuk menghadapi hal seperti ini, Willy menekankan, sikap pemerintah memang harus
kompak. Mengingat, hal ini merupakan pembahasan mengenai kedaulatan Indonesia.
"Semua kompak tidak mengakui apa yang diklaim Tiongkok di atas ZEE kita di Natuna,"
pungkasnya.

4 |PKN kelas 9 (kedaulatan)

Anda mungkin juga menyukai