Anda di halaman 1dari 13

KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA DALAM KLAIM DI LAUT TIONGKOK

SELATAN

A. Pendahuluan

Wilayah Laut Tiongkok Selatan yang di kelilingi sepuluh negara pantai (RRT
dan Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei
Darussalam, Filipina) menjadi wilayah yang sangat strategis bagi lalu lintas perdagangan laut
internasional. Luas perairan Laut Tiongkok Selatan yang meliputi Teluk Siam yang dibatasi
Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin yang dibatasi Vietnam dan
RRT. Kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS) merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis
dan strategis yang sangat penting, kondisi geografis posisinya yang strategis sebagai jalur
pelayaran perdagangan (SLOT) dan jalur komunikasi internasional (SLOC) yang
menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Hal ini telah merubah jalur Laut
Tiongkok Selatan menjadi rute tersibuk di dunia, karena lebih dari setengah perdagangan
dunia berlayar melewati Laut Tiongkok Selatan setiap tahun.

Kandungan kekayaan alam yang ada di kawasan Laut Tiongkok Selatan telah
menyebabkan terjadinya konflik klaim wilayah antara Tiongkok dan sebagian negara-negara
anggota ASEAN yang berada wilayah Laut Tiongkok Selatan. Menurut data Kementrian
Geologi dan Sumber Daya Mineral Daya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) memperkirakan
bahwa wilayah Spratly mempunyai cadangan minyak dan gas alam 17,7 miliar ton (1. 60 ×
1010 kg), lebih besar di banding Kuwait negara yang menempati ranking ke 4 yang
mempunyai cadangan minyak terbesar dunia saat ini dengan jumlah 13 miliar ton (1,17 ×
1010 kg)1.

Sementara kandungan gas alam di Laut Tiongkok Selatan mungkin merupakan


sumber hidrokarbon yang paling melimpah. Sebagian besar hidrokarbon kawasan Laut
Tiongkok Selatan dieksplorasi oleh Brunei, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan
Filipina. Perkiraan menurut United States Geological Survey dan sumber lain-lain
menunjukkan bahwa sekitar 60% -70% dari hidrokarbon di Laut Tiongkok Selatan adalah
gas2. Penggunaan gas alam yang makin meningkat tiap tahunnya, menjanjikan keuntungan

1
Karmin Suharna, “Konflik Dan Solusi Laut Tiongkok Selatan dan Dampaknya Bagi Ketahanan Nasional,”
Majalah Tannas, Edisi 94 2012, 33-41.
2
Ibid.

1
yang menggiurkan apabila memperoleh klaim atas laut Tiongkok selatan.Wilayah Laut
Tiongkok Selatan yang luas juga mengandung potensi perikanan yang besar banyaknya
pertemuan arus laut di wilayah tersebut, megakibatkan banyaknya jumlah ikan ada yang dan
sumber daya perikanan yang melimpah. Dari beberapa faktor tersebut, merupakan alasan
yang menyebabkan laut Tiongkok selatan menjadi sengketa antara 4 negara di walayah
ASEAN yaitu Vietnam, Philipina, Malaysia dan Brunei dan juga Tiongkok dan Taiwan
sebagai negara yang dilintasi laut Tiongkok selatan.

Tiongkok mengklam bahwa Laut Tiongkok Selatan merupakan wilayah


kedaulatannya sejak jaman dulu, Tiongkok berpedoman pada latar belakang sejarah
Tiongkok kuno tentang peta wilayah kedaulatan Tiongkok. Menurut Tiongkok Pulau, pulau
dan wilayah Laut Tiongkok Selatan ditemukan oleh pendahulu Tiongkok yakni Dinasti Han
sejak 2 abad sebelum Masehi yang pada abad 12 sebelum Masehi oleh Dinasti Yuan pulau
pulau dan wilayah laut di LTS di masukkan kedalam peta teritori Tiongkok. Pada awal ke-19
dan abad ke 20 Tiongkok mengemukakan bahwa kepulauan Spratly jaraknya kurang lebih 1.
100 km dari pelabuhan Yu Lin (P. Hainan) sebagai bagian dari kepulauan Nansha dan
Kepulauan Paracel yang terletak di sebelah utara Kepulauan Spratly, jaraknya kurang lebih
277,8 km dari Pulau Hainan sebagai bagian dari Kepulauan Xisha bagian dari provinsi
Hainan.Pada tahun 1947 Tiongkok memproduksi peta Laut Tiongkok Selatan dengan 9 garis
putus-putus dan membentuk huruf U, serta menyatakan semua wilayah yang ada di dalam di
garis merah terputus putus itu adalah wilayah teritori Tiongkok. Sejak tahun 1976 Tiongkok
telah menduduki beberapa pulau di Kepulauan Paracel dan pada tahun 1992 hukum Tiongkok
menegaskan kembali klaim tersebut.

Indonesia sebenarnya tidak termasuk negara yang mengklaim wilayah Laut


Tiongkok Selatan khususnya Kepulauan Spratly. Namun, klaim Tiongkok dan Taiwan di
Laut Tiongkok Selatan dengan 9 garis terputus dan bentuk huruf "U" mencakup kepada
landas kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, ZEE secara otomatis mencakup
ladang gas Indonesia yang di pulau Natuna. Indonesia berpedoman pada UNCLOS (United
Nation Convention Law Of The Sea) yang ditujukan untuk memperjelas ketentuan batas laut
suatu negara. UNCLOS sebagai pedoman hukum laut internasional , menyatakan bahwa
memberikan hak kepada setiap Negara untuk menjadikan lautan dengan radius 200 mil dari
daratan sebagai EEZ (Exclusive Economic Zone).

2
EEZ merupakan lautan yang diberikan hak aktor Negara untuk dieksploitasi dan
digunakan kepentingan perekonomian secara domestik Negara. Wilayah lautan diluar dari
wilayah EEZ ini akan dianggap sebagai International Waters (Perairan Internasional) yang
tidak boleh dieksploitasi oleh Negara. Vietnam, Taiwan, Filipina, Brunei, Malaysia dan AS
merupakan beberapa Negara yang terus menerus memaksa agar Tiongkok mentaati resolusi
yang berdasarkan pada UNCLOS. Bagi Tiongkok ratifikasi ini sangat merugikan karena
wilayah teritori yang klaim Tiongkok berupa titik merah yang membentuk hurup U
bertentangan dengan prinsip Konvensi PBB tentang Hukum laut (UNCLOS 1982).

Politik luar negri Indonesia yang bebas aktif menjadi alasan Indonesia menjadi pihak yang
netral dalam penyelesaian konflik ini. Indonsesia tidak ikut campur dengan penyelesaian
konflik Tiongkok dengan negara lain. Namun, Indonesia mengajak dan memprakasai agar
konflik ini dapat di selesaikan secara damai. Indonesia memprakrasai pembuatan workshop
yang dihadiri kesebelas delegasi dari negara yang terlibat konflik ini. Sebanyak 11 delegasi
dari negara mengikuti Workshop Konflik Laut Tiongkok Selatan (LTS) ke-26 di Kota
Bandung pada Rabu hingga Kamis 16-17 November 2016 lalu. Workshop tidak ditunjukkan
menyelesaikan sengketa melainkan berkontribusi untuk menciptakan situasi yang kondusif.
Dalam workshop ini membahas database maritim, lingkungan, pelatihan SDM bidang
maritim dan studi sumber daya alam di Laut Tiongkok Selatan3. dalam konflik ini Indonesia
dan negara- negara lain memiliki kepentingan masing- masing untuk mempertahankan
kedaulatan negara, dan merasa benar terhadap setiap keputusan yang diambil. Seperti dalam
paradigm realis bahwa negara merupakan aktor yang rasional dan semua kebijakan yang di
ambil masing masing negara di aggap paling baik untuk negaranya.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana kebijakan luar negeri Indonesia mengenai klaim di Laut Tiongkok Selatan ?

C. Kerangka Teori

3
Roni Kurniawan, Workshop Laut Tiongkok Selatan di Bandung Bahas 4 Proyek, (Bandung: Metro TV News,
2016), dalam http://internasional.metrotvnews.com/asia/lKYmX1WK-workshop-laut-Tiongkok-selatan-di-
bandung-bahas-4-proyek pada 18 Oktober 2017 pukul 17.00 WIB.

3
Untuk menjawab rumusan masalah diatas, kami menggunakan konsep mengenai
kepentingan nasional (national interest). Kepentingan nasional merupakan fondasi yang
menentukan perilaku dan arah kebijakan luar negeri suatu negara. Negara ataupun aktor
internasional lainnya akan cenderung mengarah pada upaya-upaya mengejar kekuasaan atau
power.

Para ahli mengemukakan bahwa dengan power, suatu negara bisa memiliki
pengaruh besar terhadap negara lainnya. Selain itu, si negara pemilik power bisa
mengembangkan dan memelihara kontrol terhadap negara yang lainnya. Negara juga
biasanya akan menggunakan powernya untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Pandangan
seperti ini seperti yang dijelaskan oleh Morgenthau. Lebih tepatnya pemahaman seperti ini
berfokus pada perspektif realisme klasik yang tokohnya ialah Morgenthau4.

Morgenthau juga menjelaskan mengenai kepentingan nasional yang dikaitkan


dengan kepentingan regional. Sesuai dengan buku karangan Mohtar Mas’oed dalam konsep
kepentingan nasional, dijelaskan mengenai Morgenthau yang berpandangan bahwa
kepentingan nasional suatu Negara mendahului kepentingan regional. Baginya, bentuk
aliansi yang bermanfaat harus dilandasi oleh keuntungan dan keamanan di mana harus ada
timbal balik dari negara-negara yang membentuk aliansi. Apabila dari sebuah aliansi yang
diciptakan namun didalamnya tidak dapat memenuhi kepentingan negara yang ikut serta,
kecil kemungkinan aliansi tersebut dapat bertahan lama5.

Dalam kepentingan nasional, terdapat pembedaan yang mendasar yakni;


kepentingan nasional yang bersifat vital atau esensial juga kepentingan nasional yang bersifat
non-vital atau sekunder6. Kepentingan nasional yang bersifat vital biasanya berkaitan dengan
kelangungan hidup negara tersebut serta nilai-nilai inti (core values) yang menjadi identitas
kebijakan luar negerinya. Sedangkan kepentingan nasional non-vital atau sekunder tidak
berhubungan secara langsung dengan eksistensi negara itu namun tetap diperjuangkan
melalui kebijakan luar negeri. Kepentingan vital menjelaskan seberapa jauh kepentingan
tersebut ada dan digunakan, dimana lebih kepada keadaan darurat suatu negara sehingga
harus segera diputuskan. Berbeda dengan kepentingan non-vital yang digunakan karena

4
Sudjatmiko Totok, “Analisis Kepentingan Dibalik Kegigihan Tiongkok Untuk Menjadi Anggota MTCR,”
Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan 5, no.1 (2008) : 15-31.
5
Mas’oed Mohtar, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES, 1990).
6
Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Graha Ilmu,2008), 67-69.

4
prosesnya berlangsung lama namun hasilnya dan fungsinya dapat dirasakan lebih baik
dikemudian hari dengan jangka waktu yang lama.

Sengketa Laut Tiongkok Selatan merupakan tantangan bagi stabilitas kawasan di


Indonesia. Dimana Laut Tiongkok Selatan sendiri berbatasan dengan perairan Indonesia di
Kepulauan Natuna. Dengan demikian maka negara-negara di sekitarnya ingin
memperebutkan untuk menguasainya. Ambisi negara besar seperti Tiongkok ingin
menguasainya dan bahkan ingin menjangkau lebih luas niat memilikinya melalui klaim
historis yang dilakukan atas wilayah Natuna. Indonesia harus bisa menunjukan power nya
agar bisa mencapai kepentingan nasionalnya.

Peran suatu negara dalam memberikan bahan sebagai dasar dari kepentingan
nasional tidak dipungkiri akan menjadi kacamata masyarakat internasional sebagai negara
yang menjalin hubungan yang terlampir dari kebijakan luar negerinya. Dengan demikian,
kepentingan nasional secara konseptual dipergunakan untuk menjelaskan perilaku politik luar
negeri dari suatu negara7. Hal yang paling utama ialah dengan menjaga stabilitas keamanan
di wilayah yang disengketakan itu. Maka dari itu perlu dilahirkan kebijakan-kebijakan yang
bisa menekan keserakahan Tiongkok di perairan LTS.

Indonesia dalam kasus ini juga menerapkan beberapa kebijakan dan memperketat
pengamanan di batas-batas wilayah Indonesia. Hal ini dilakukan bukan semata-mata hanya
mematuhi sebuah prosedur melainkan untuk mempertahankan kedaulatan negara
(kepentingan nasional) dari ancaman eksternal, dalam kasus ini yang jelas terlihat arogansi
Noya adalah pihak Tiongkok.

D. Pembahasan
 Sejarah Klaim Laut Tiongkok Selatan

Pada 1947 Tiongkok sudah menetapkan klaim teritorialnya atas Laut Tiongkok
Selatan. Saat itu Tiongkok masih dikuasai Partai Kuomintang pimpinan Chiang Kai Sek. Saat
itu, pemerintahan Kuomintang menciptakan garis demarkasi yang mereka sebut sebagai
"eleven-dash line". Berdasarkan klaim ini Tiongkok menguasai mayoritas Laut Tiongkok
Selatan termasuk Kepulauan Pratas, Macclesfield Bank serta Kepulauan Spratly dan Paracel
yang didapat Tiongkok dari Jepang usai Perang Dunia II. Klaim ini tetap dipertahankan saat

7
P. Anthonius Sitepu, Studi Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), 163.

5
Partai Komunis menjadi penguasa Tiongkok pada 1949. Namun pada 1953, pemerintah
Tiongkok mengeluarkan wilayah Teluk Tonkin dari peta "eleven-dash line" buatan
Kuomintang. Pemerintah Komunis "menyederhanakan" peta itu dengan mengubahnya
menjadi "nine-dash line" yang kini digunakan sebagai dasar historis untuk mengklaim hampir
semua wilayah perairan seluas 3 juta kilometer persegi itu8.

Celakanya klaim Tiongkok itu kini bersinggungan dengan kedaulatan wilayah


negara-negara tetangga di kawasan tersebut. Kini tak kurang dari Filipina, Brunei
Darussalam, Taiwan, Vietnam dan Malaysia berebut wilayah tersebut dengan Tiongkok.
Sengketa kepemilikan atau kedaulatan teritorial di Laut Tiongkok Selatan sesungguhnya
merujuk pada kawasan laut dan daratan di dua gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly.
Wilayah yang menjadi ajang perebutan klaim kedaulatan wilayah ini terbentang ratusan mil
dari Selatan hingga Timur di Provinsi Hainan. Tiongkok menyatakan klaim mereka berasal
dari 2000 tahun lalu, saat kawasan Paracel dan Spratly telah menjadi bagian dari bangsa
Tiongkok. ada tahun 1947, Pemerintah Tiongkok mengeluarkan peta yang merinci klaim
kedaulatannya atas wilayah Laut Tiongkok Selatan.

Keterangan Pemerintah RRT itu dibantah Pemerintah Vietnam, yang juga


mengklaim kedaulatan atas wilayah tersebut. Vietnam mengatakan bahwa Tiongkok tidak
pernah mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Paracel dan Spratly sampai dasawarsa 1940.
Pemerintah Vietnam kemudian menyatakan bahwa dua kepulauan itu masuk wilayah mereka.
sejak abad ke-17 kedua negara memiliki dokumen sebagai bukti 9. Filipina juga memiliki
klaim kedaulatan yang sama, dengan mengangkat kedekatan geografis ke Kepulauan Spratly
sebagai dasar klaim terhadap sebagian wilayah kepulauan tersebut. Malaysia dan Brunei
memiliki klaim kedaulatan terhadap sebagian kawasan di Laut Tiongkok Selatan. Menurut
kedua negara bertetangga dekat itu, perairan Laut Tiongkok Selatan masih dalam kawasan
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka, seperti yang ditetapkan Konvensi PBB tentang
Hukum Laut tahun 1982. Memang Brunei tidak mengklaim kepemilikan wilayah atas dua

8
Ervan Hardoko, Laut Tiongkok Selatan Perairan Menggiurkan Sumber Sengketa 6 Negara, (Jakarta: Kompas,
2016), dalam
http://internasional.kompas.com/read/2016/07/13/17401251/laut.Tiongkok.selatan.perairan.menggiurkan.sumb
er.sengketa.6.negara pada 19 Oktober 2017 pukul 19.22 WIB.
9
Anonim, Sengketa Kepemilikan Laut Tiongkok Selatan, (Jakarta: BBC, 2011), dalam
http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2011/07/110719_spratlyconflict&ei=U5hqm7BB&lc=di
pada 19 Oktober 2017 pukul 20.12 WIB.

6
kepulauan itu, sementara Malaysia, menyatakan bahwa sejumlah kecil kawasan di Spratly
adalah kepunyaan mereka10.

Keterlibatan negara Indonesia dalam manajemen konflik di LTS, adalah sesuatu


yang didasari pada kepentingan nasional untuk turut serta dalam pemeliharaan perdamaian
dunia dan kesadaran akan manfaat dari penyelesaian konflik tersebut. Indonesia berusaha
untuk menemukan dan mencegah timbulnya penyebab konflik. Kalau dilihat dari asas
manfaatnya, pencapaian sebuah resolusi konflik bagi persoalan Laut Tiongkok Selatan tidak
saja bermanfaat secara ekonomi, tapi juga politik dan keamanan 11. Indonesia harus selalu
mewaspadai situasi keamanan di Laut Tiongkok Selatan yang sering di jadikan sengketa oleh
beberapa negara di kasawan. Konflik di kawasan akan mempengaruhi kondisi keamanan
karena secara geografis letak Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara yang
terlibat sengketa. Konflik juga akan mempengaruhi Secara ekonomi, karena selain letak
Indonesia yang secara geografis sangat dekat dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
wilayah itu juga salah satu jalur lintas ekonomi internasional, dimana ekspor impor Indonesia
melewati jalur tersebut.

 Laut Tiongkok Selatan Bagi Indonesia

Seperti yang kita ketahui, laut menjadi sarana utama berbagai kepentingan
strategis bertemu, karena laut memiliki peran yang sangat penting tidak hanya dari segi
politik dan keamanan, namun juga dari segi ekonomi. Dalam perspektif politik dan
keamanan, laut menjadi wilayah yang tak terpisah dari batas-batas kedaulatan negara. Selain
itu, klaim wilayah karena kaitannya dengan posisi dan keberadaan sumber daya alam
seringkali memicu konflik antar negara. Selanjutnya, dari bidang ekonomi, laut merupakan
sarana transportasi untuk perdagangan internasional dan suplai energi yang menyokong
sebuah negara juga menggunakan laut sebagai jalur transportasi energi.

Sebagai satu-satunya kawasan dengan tingkat heterogenitas yang tinggi kawasan


Asia Pasifik seringkali dipandang sebagai kawasan yang sangat rentan terhadap konflik
dengan dasar keseimbangan kawasan yang tergolong rapuh. Salah satu konflik teritorial yang
mengemuka di kawasan Asia Pasifik adalah konflik maritim di Laut Tiongkok Selatan, yang
10
Rizki Roza, Konflik Laut Tiongkok Selatan dan Implikasinya terhadap Kawasan, (Yogyakarta : P3DI
Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika, 2013).
11
I Nyoman Sudira, Konflik Laut Tiongkok Selatan dan Politik Luar Negeri Indonesia ke Amerika dan Uni
Eropa, (Jakarta: Media Neliti, 2016), dalam https://media.neliti.com/media/publications/96566-ID-konflik-
laut-Tiongkok-selatan-dan-politik-lu.pdf pada 19 Oktober 2017 pukul 19.53 WIB.

7
melibatkan beberapa negara di kawasan ini termasuk diantaranya Tiongkok, Taiwan, Filipina,
Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam12.

Pada 1974, setahun setelah keterlibatan AS di Vietnam resmi diakhiri dengan


Perjanjian Damai Paris, Tiongkok bergerak cepat "mengamankan" wilayah ini. Militer
Tiongkok dikirim untuk menduduki sisi barat Kepulauan Paracel. Mereka mengibarkan
bendera dan mengalahkan satu garnisun pasukan Vietnam di sana. Pasukan Vietnam mundur
dan mendirikan pos permanen sekaligus menduduki Kepulauan Spratly. Di saat yang sama
Tiongkok memperkuat militernya di Pulau Woody, pulau terbesar di Kepulauan Paracels13.

Setelah Vietnam Utara dan Selatan bersatu dan membentuk Republik Sosialis
Vietnam, negeri itu tetap mengukuhkan klaim terhadap Spratly dan Paracels. Vietnam
mengklaim Tiongkok tak pernah mengklaim kepemilikan Kepulauan Spratly dan Paracels
sebelum 1940-an. Sementara, Vietnam mengaku telah menguasai kedua kepulauan tersebut
sejak abad ke-17 dan mengklaim memiliki berbagai dokumen itu membuktikan hal tersebut14.

Seolah dua negara belum cukup untuk memanaskan situasi di kawasan tersebut,
Filipina ikut meramaikan suasana dengan mengklaim kepemilikan Kepuluauan Spratly.
Filipina mendasarkan klaim ini semata karena lokasi geografisnya yang dekat dengan
Kepulauan Spratly sehingga menganggap kepulauan itu sebagai bagian dari
wilayahnya.Filipina dan Tiongkok berebut gundukan Scarborough yang di dalam bahasa
Tiongkok disebut dengan nama Pulau Huangyan, rangkaian pulau karang seluas 46 kilometer
persegi. Kawasan sengketa ini berada sejauh 160 kilometer dari daratan Filipina dan berjarak
lebih dari 800 kilometer dari Tiongkok.

Lalu masih ada Malaysia dan Brunei yang juga mengklaim wilayah di Laut
Tiongkok Selatan yang menurut kedua negara ini masuk ke dalam zona ekonomi eksklusif
mereka seperti ditetapkan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Brunei
tidak mengklaim satu pulau pun di kawasan ini, sementara Malaysia mengklaim beberapa

12
Atika Mega Chairina, Konflik Laut Tiongkok Selatan dalam Kacamata Indonesia, (Jakarta: Kompasiana,
2016), dalam https://www.kompasiana.com/indobicara/konflik-laut-Tiongkok-selatan-dalam-kacamata-
indonesia_56f61ccd6c7e61ec072c2af4 pada 19 Oktober 2017 pukul 21.52 WIB.
13
Ervan Hardoko, Laut Tiongkok Selatan, Perairan Menggiurkan Sumber Sengketa 6 Negara, (Jakarta:
Kompas Internasional, 2016), dalam
http://internasional.kompas.com/read/2016/07/13/17401251/laut.Tiongkok.selatan.perairan.menggiurkan.su
mber.sengketa.6.negara pada 19 Oktober 2017 pukul 22.01 WIB.
14
Ibid.

8
pulau kecil di Kepulauan Spratly sebagai wilayah negeri itu. Untuk menyelesaikan sengketa
ini, Tiongkok memilih untuk melakukan negosiasi bilateral dengan negara-negara yang
menjadi lawan sengketa di Laut Tiongkok Selatan.

Negara-negara yang tidak mengklaim kawasan tersebut juga mempunyai


kepentingan sendiri. Kawasan perikanan Laut Natuna yang berbatasan dengan Laut Tiongkok
Selatan juga menyimpan cadangan gas alam penting bagi Indonesia. Lebih jauh lagi, Korea
Selatan dan Jepang, walaupun tidak mengklaim kepemilikan atas Laut Tiongkok Selatan,
mengandalkan kawasan bebas tersebut untuk memenuhi lebih dari separuh kebutuhan energi
mereka. Sementara ekonomi Asia terus tumbuh dengan mencengangkan dalam dua dekade
terakhir, stabilitas regional dan akses ke Laut Tiongkok Selatan menjadi kepentingan global.

Laut Tiongkok Selatan merupakan bagian dari Samudera Pasifik yang meliputi
sebagian wilayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas
sekitar 3.5 juta km². Secara geografis Laut Tiongkok Selatan terbentang dari arah Barat Daya
ke Timur Laut, yang batas Selatannya 3°LS, antara Sumatera Selatan dan Kalimantan [Selat
Karimata] dan batas utaranya ialah Selat Taiwan dari ujung utara Taiwan ke pesisir di Fujian
di Tiongkok daratan. Laut Tiongkok Selatan merupakan wilayah perairan terluas kedua
setelah kelima samudera di dunia15.

Bila dilihat dalam tata Laut Internasional, kawasan Laut Tiongkok Selatan
merupakan kawasan yang memiliki nilai strategis, ekonomis, dan politis. Sehingga kawasan
laut ini memiliki potensi konflik dan kerja sama yang tinggi. Selain karena kawasan Laut
Tiongkok Laut Selatan merupakan jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta jalur
distribusi minyak, kawasan ini juga memiliki kandungan kekayaan alam yang sangat besar.
Sehingga menjadikan kawasan ini sebagai objek sengketa klaim wilayah siapa pemilik
kawasan ini sesungguhnya.

Persoalan ini menjadi semakin kursial karena klaim-klaim tersebut saling


tumpang tindih yang disebabkan karena kedua pulau tersebut memiliki cadangan minyak
mentah yang berlimpah. Sehingga masing-masing negara mengklaim kepemilikannya baik
secara historis maupun secara legal formal (tertulis), demi kepentingan masing-masing
negara. Berdasarkan peta “U” [nine dash line] yang dikeluarkan oleh Pemerintah Tiongkok
tahun 1993, permasalahan bukan hanya terfokus kepada Pulau Spratly dan Pulau Paracel saja,
namun berimbas langsung pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang mengganggu

15
Op Cit, Chairina 2016.

9
stabilitas nasional khususnya pada aspek politik, ekonomi, dan pertahanan Indonesia. Faktor
inilah yang mendorong Indonesia berperan aktif dalam menyelesaikan solusi sengketa di
wilayah Laut Tiongkok Selatan. Penguasaan kawasan Laut Tiongkok Selatan memberi
keuntungan besar bagi penguasaan ekonomi melalui jalur perdagangan laut dan berpengaruh
langsung kepada negara-negara kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Ketergantungan
ekonomi antar negara kawasan ASEAN akan terganggu dengan adanya, sengketa di Laut
Tiongkok Selatan. Konflik yang terjadi, dapat menyebabkan terganggunya stabilitas
perekonomian yang disebabkan naiknya harga dari hasil eksplorasi pertambangan minyak
mentah dan gas bumi dunia yang berpengaruh terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara [disingkat APBN] Indonesia akibat terganggunya wilayah utara Kepulauan Natuna.
Dan secara otomatis dengan adanya perubahan APBN juga mempengaruhi penurunan atau
peningkatan anggaran pada masing-masing Kementrian.

Jika di lihat dari kacamata politik terhadap konflik tersebut, Indonesia memiliki
orientasi kebijakan luar negeri yang bersifat netral. Peran aktif Indonesia dengan tidak
memihak maupun yang turut serta dalam konflik Laut Tiongkok Selatan merupakan salah
satu cerminan politik luar negeri Indonesia, yaitu bebas aktif. Dalam konteks konflik Laut
Tiongkok Selatan ini, artian bebas yakni dengan tidak memihak, sedangkan aktif yakni
Indonesia turut serta dan bergabung dalam organisasi-organisasi internasional seperti,
ASEAN dan tetap mengupayakan perdamaian kawasan. Tidak dipungkiri Indonesia memiliki
pengaruh besar di ASEAN yang mengantarkan Indonesia menjadi primadona dalam konflik
Laut Tiongkok Selatan. Walaupun konflik ini merupakan ancaman kestabilian keamanan
nasional, Indonesia menyikapi konflik ini dengan bijak dengan tetap berpedoman pada politik
luar negeri yang bebas aktif, namun tetap memelihara kerjasama bilateral maupun
multilateral dan menciptakan perdamaian dalam konflik Laut Tiongkok Selatan ini. Terkait
konflik kawasan Laut Tiongkok Selatan, perlu adanya upaya pembangunan sistem pertahanan
nasional Indonesia sesuai dengan kebutuhan. Upaya ini dilakukan untuk keutuhan wilayah
Indonesia yang berbatasan langsung dengan Laut Tiongkok Selatan, yaitu kawasan
Kepulauan Natuna yang merupakan penghubung antara kawasan Samudera India dan Laut
Tiongkok Selatan menjadi pilihan lintasan terpendek bagi kapal-kapal perang yang ingin
menuju wilayah konflik di Laut Tiongkok Selatan dan kondisi demikian dapat menimbulkan
komplikasi tersendiri terhadap Indonesia.

Sikap netral Indonesia dalam menyikapi konflik Laut Tiongkok Selatan


memberikan keuntungan bagi Indonesia dalam hal modernisasi alat utama persenjataan

10
[Alusista] pertahanan nasional dengan menjaga hubungan bilateral diantara negara-negara
kawasan ASEAN. Namun, perlu untuk direnungkan dan diperhatikan keberadaan pulau-pulau
terluar yang menjadi batas teritorial Indonesia dengan negara tetangga lainnya. Ini bukan
hanya tugas Pemerintah, tetapi juga merupakan tugas Bangsa Indonesia untuk
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas ini tidak
muncul ketika konflik itu sudah terjadi, melainkan harus dimulai sejak dini. Sehingga tidak
terulang kembali kejadian Pulau Sipadan-Ligitan dalam konflik ini. Jika kita telah
mempunyai “rasa memiliki” maka sudah tercipta fondasi awal kekuatan pertahanan
Indonesia. Untuk tahan selanjutnya, adalah kerjasama antara pemangku kekuasaan dengan
masyarakat Indonesia guna mencegah perembesan atau perluasan [spill over] konflik Laut
Tiongkok Selatan yang secara tiba-tiba mengarah ke pulau-pulau terluar Indonesia,
khususnya terkait dengan konflik ini, yaitu wilayah utara Kepulauan Natuna, sekaligus juga
mengamankan eksplorasi pertambangan minyak yang berada sekitar ZEE Indonesia.

 Politik Luar Negeri Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa Laut Tiongkok Selatan

Merunut panjang waktu yang akan dibutuhkan dalam menyelesaikan konflik di


kawasan Laut Tiongkok Selatan, maka diperlukan suatu upaya yang mampu untuk tetap
menjaga stabilitas kawasan, keamanan hingga kondusifitas hubungan hingga akhirnya konflik
ini dapat terselesaikan. Upaya yang Indonesia lakukan adalah melalui jalur diplomasi yang
kemudian lebih dikenal sebagai langkah awal diplomasi preventif Indonesia. Salah satu cara
dalam diplomasi preventif Indonesia adalah dengan membangun serta meningkatkan rasa
saling percaya (Confidence Building Measures) antara pihak-pihak yang bertikai16.

Penyelesaian persoalan Laut Tiongkok Selatan dengan kekuatan militer patut


menjadi perhatian yang serius bagi Indonesia. Indonesia yang dihadapkan pada konstruksi
sosial yang ada, perlu melakukan telaah terhadap berbagai langkah strategis terutama untuk
mengkalkulasi potensi munculnya Tiongkok sebagai ancaman utama bagi Asia Tenggara.
Lebih jauh, fokus Indonesia yang menyadari bahwa instabilitas di kawasan berpeluang
sebagai goncangan tersendiri bagi keutuhan internal ASEAN. Apabila keempat negara
anggota ASEAN yang memiliki konflik klaim wilayah di kawasan Laut Tiongkok Selatan
tetap bersikukuh mempertahankan kepentingan masing-masing negara, maka eksistensi
ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara akan dipertanyakan. Oleh karena itu,
16
Eduardus, The South Tiongkok Sea Dispute: Prospects for Preventive Diplomacy, (Washington DC: USIP,
2013) dalam http://www.usip.org/pubs/specialreports/early/snyder/South_Tiongkok_Sea1.html pada 19
Oktober 2017 pukul 18.12 WIB.

11
inisiasi Indonesia untuk mengambil langkah aktif dan reaktif terhadap konflik ini didukung
oleh anggapan negara-negara lain bahwa Indonesia adalah pihak yang netral. Indonesia
dilihat mampu memahami kerumitan konflik ini karena faktor geografis antara Indonesia-
Laut Tiongkok Selatan tidak terlampau jauh.

Menanggapi fluktuasi dalam konstelasi politik global terkini, Indonesia berdiri


sebagai negara yang masih mengedepankan politik bebas aktif dalam menyikap dinamika
politik global17. Dewasa ini, perjalanan dan peran politik luar negeri Indonesia dalam konteks
global cukup menjadi perhatian. Partisipasi aktif Indonesia dalam berbagai persoalan-
persoalan global dan regional mendapatkan berbagai apresiasi baik di dalam maupun di luar
negeri. Salah satu bukti nyata keberhasilan Indonesia adalah dengan terciptanya Declaration
on The Conduct of The Parties in the South Tiongkok Sea pada tahun 2002, dianggap sebagai
salah satu implementasi dari perspektif luar negeri Indonesia yang dikenal dengan “Doktrin
Natalegawa” (Dynamic Equilibrium) atau keseimbangan dinamis18. Yudha Kurniawan
menambahkan bahwa doktrin tersebut merujuk pada suatu kondisi yang ditandai oleh
hubungan antar negara yang mengedepankan kemitraan dan berlandaskan keyakinan bahwa
sangat dimungkinkan dikembangkan suatu tatanan internasional yang baru yang bersifat win-
win dan bukan zero-sum19.

Yudha Kurniawan menambahkan bahwa perspektif dynamic equilibrium


memiliki dua termin penting. Dynamic merujuk pada dinamisme politik global. Dalam
sebuah Rapat Kerja antara Kementerian Luar Negeri dengan Komisi 1 DPR RI pada bulan
Juni 2011, Marty Natalegawa selaku Menteri Luar Negeri Indonesia memaknai dinamisme
politik global sebagai sebuah hal yang selalu terjadi. Artinya, negara-negara di dalam politik
global selalu mengalami perubahan baik dalam hal kekuasaan, kekuatan, maupun
pengaruhnya. Dalam hal ini Marty percaya bahwa dinamisme adalah suatu keniscayaan atau
“dynamism is a given”20. Termin kedua adalah equilibrium atau keseimbangan.

17
Yudha Kurniawan, "Kontribusi Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Laut Tiongkok Selatan”, Paper ini
dipresentasikan pada Konvensi Nasional Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) II,
Bandung, 2011.
18
Yudha Kurniawan, Natalegawa: ASEAN ‘Needs Blueprint, (Jakarta: Asia Society, 2011), dalam
http://asiasociety.org/policy-politics/strategic-challenges/intra-asia/natalegawa-asean-needs-blueprint pada
19 Oktober 2017 pukul 21.15 WIB.
19
Yudha Kurniawan, “Menlu RI: Hubungan Indonesia-Tiongkok Berada Pada Level Tertinggi”, Tabloid
Diplomasi, No 43 Tahun IV, 15 Mei-14 Juni 2011, hal 23.
20
Op Cit, Kurniawan 2011.

12
Keseimbangan merujuk dimana tidak ada kekuatan yang dominan yang berlandaskan tiga
prinsip utama; common security, common stability, dan common prosperity21. Dengan
doktrin tersebut, maka persoalan-persoalan politik dan keamanan global yang dihadapi oleh
Indonesia akan dihadapi dengan tujuan keamanan, kestabilan dan kemakmuran bersama
dengan mekanisme kerjasama. Jika mencari titik temu antara dua konsepsi diatas, maka baik
kebijakan luar negeri bebas aktif dan Doktrin Natalegawa merupakan konsep yang sesuai
dengan amanat Konstitusi Indonesia pada UUD RI 1945 khususnya alinea ke empat.

E. Kesimpulan

Hal yang dapat kami simpulkan dari makalah ini adalah bila dilihat dalam tata
Laut Internasional, kawasan Laut Tiongkok Selatan merupakan kawasan yang memiliki nilai
strategis, ekonomis, dan politis. Sehingga kawasan laut ini memiliki potensi konflik dan kerja
sama yang tinggi. Penyelesaian persoalan Laut Tiongkok Selatan dengan kekuatan militer
patut menjadi perhatian yang serius bagi Indonesia. Indonesia yang dihadapkan pada
konstruksi sosial yang ada, perlu melakukan telaah terhadap berbagai langkah strategis
terutama untuk mengkalkulasi potensi munculnya Tiongkok sebagai ancaman utama bagi
Asia Tenggara. Lebih jauh, fokus Indonesia yang menyadari bahwa instabilitas di kawasan
berpeluang sebagai goncangan tersendiri bagi keutuhan internal ASEAN dan sebenarnya
keputusan Indonesia sudah cukup baik dengan tidak memihak pihak manapun, khususnya
pihak Tiongkok karena merekalah yang cenderung memprovokasi berbagai pihak. Akan
tetapi akan lebih baik lagi apabila disertai dengan pembaharuan perlengkapan keamanan di
laut dan penambahan prajurit di batas-batas terluar Indonesia karena apabila dibandingkan
dengan Tiongkok, perlengkapan Indonesia jauh lebih usang dan lebih out of date
dibandingkan milik Tiongkok yang jauh lebih canggih.

21
Barry Buzan, “Regions and Power: The Structure of International Security”, (New York: Cambridge
University Press, 2003).

13

Anda mungkin juga menyukai