Anda di halaman 1dari 11

POLITIK KEAMANAN MARITIM CHINA DI LAUT CHINA SELATAN

PADA TAHUN 2014

Disusun untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Politik Luar Negeri Indonesia
Dosen: M. Tri Andika Kurniawan, S. Sos., M.A.

Oleh:
Laksamana Pramudya Satrio Utomo
(1211004050)

DEPARTEMEN ILMU POLITIK


FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS BAKRIE
JAKARTA
2022
A. Latar Belakang Terjadinya Sengketa di Laut China Selatan

Perairan laut China selatan mencakup beberapa ratus pulau pulau kecil,
terumbu karang, dan atol, hampir semuanya tidak berpenghuni dan tidak dapat dihuni
dengan luas laut Berdasarkan hasil Konvensi Hukum Laut Internasional atau “United
Nation Convention on the Law of the Sea” (UNCLOS) pada tanggal 10 Desember
1982 di Montego Bay, Jamaica, luas wilayah laut china selatan mencapai 1.400.000
km². Di dalam nya berisi kandungan minyak,gas alam,kekayaan bawah laut yang
dapat digunakan sebuah negara untuk benrkembang ke arah yang lebih baik dengan
mengelola dan menjaga sumber daya alam tersebut agar tidak hilang serta dirampas
oleh negara lain. Namun praktek ini masih ditemui khususnya di wilayah yang
bergesekan atau bertumpuk dengan batas batas negara lain. hal ini menyebabkan
adanya pengakuan hak memiliki sebuah wilayah apalagi wilayah tersebut kaya akan
sumber daya alam yang sangat berlimpah dan dapat membuat sebuah negara memiliki
cadangan minyak, gas alam, maupun hasil laut.

Sengketa tersebut dapat ditemukan di perairan Laut China Selatan yang


terletak di perbatasan antara beberapa negara dimana perairan tersebut menyimpan
banyak kekayaan alam serta cadangan minyak serta gas yang berlimpah dengan
perkiraan sebanyak Diperkirakan cadangan migas Laut China Selatan kurang lebih 11
miliar barel dan gas alam sebanyak 190 triliun kubik gas alam. Serta jumlah biota
yang berpotensi tersebut terdiri dari ikan pelagis besar sebanyak 185.855 ton, ikan
pelagis kecil 330.284 ton, ikan demersal 131.070 ton, ikan karang konsumsi 20.625
ton, udang penaeid 62.342 ton, dan lobster 1.421 ton. Biota laut yang beragam
tersebut bisa dijadikan sebagai komoditas untuk mendongkrak perekonomian sebuah
negara maka tak heran wilayah ini menjadi incaran negara negara yang merasa
memiliki hak menjadikan wilayah natuna sebagai wilayah perekonomian contohnya
membuat kilang pengeboran minyak dan gas alam serta tambak untuk pengelolaan
serta budidaya ikan di kawasan tersebut. Serta laut china selatan merupakan 10% dari
perairan penangkapan ikan di dunia.

Dari beberapa negara yang wilayahnya melintasi laut China selatan China,
Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam Lah yang bersikukuh bahwa perairan laut
China selatan merupakan wilayah ekonomi dari salah satu negara tersebut. awal
konflik natuna sudah mencuat pada tahun 1993 dimana China mengeluarkan sebuah
peta dengan menanamkan sebuah garis putus putus yang disebut “nine dash line”
dimana garis garis tersebut membatasi wilayah ekonomi China di laut natuna
disanalah permasalahan utama mulai muncul antara beberapa negara dan China.
Permasalahan tersebut terus berkembang sampai sekarang dimana banyaknya illegal
fishing yang terjadi di perairan laut China selatan yang menyebabkan terjadinya
gesekan antara beberapa negara karena tumpang tindihnya peta laut yang belum
diselesaikan sampai sekarang. Selain itu protes keras China pada batas ZEE yang
ditetapkan dalam UNCLOS menyebabkan perselisihan terus berlanjut, karena sejarah
China yang panjang dengan wilayah laut china selatan mejadi makin panjang. Hal
tersebut membuat klaim historis yang diyakini oleh China serta pembuatan nine dash
line yang juga didasari pada klaim tersebut. Masalah menjadi semakin memanas
dengan adanya munculnya pulau pulau buatan yang mulai dikerjakan oleh China pada
tahun 2014. Beberapa karang karang tanpa dasar yang diduduki oleh China kemudian
diubah menjadi suatu pulau pulau yang bertujuan menjaga kawasan yang diyakini
oleh China sebagai wilayah negara tersebut. hal ini dilakukan China demi menjaga
kedaulatan negaranya karena hal hal di wilayah laut china selatan sangat berpengaruh
pada ekonomi serta hubungan baik antar negara yang berada pada wilayah tersebut
yang memang dihuni beberapa negara karena ada tumpang tindih perbatasan ZEE
yang tumpang tindih secara historis, akibatnya terjadi perselisihan yang mengakar
sangat dalam sampai bisa ditarik ke masa dinasti China terdahulu hingga penjajahan
yang dilakukan negara negara eropa pada benua asia.
Dalam permasalah kajian yang dilakukan Arief Bakhtiar Darmawan mengkaji
bagaimana permasalahan di wilayah Laut China Selatan dengan memberikan
perspektif dalam masalah ego yang mengakibatkan permasalahan ini menjadi lebih
besar dari yang dibayangkan selain karena perilaku China yang membuat beberapa
negara geram dan membuat munculnya ketidak percayaan yang ditimbulkan oleh
perilaku tersebut. Kemudian pada kajian yang dilakukan oleh Muhar Junef lebih
berfokus pada proses historis yang melatarbelakangi sengketa yang terjadi di Laut
China Selatan karena proses historis Laut China Selatan sudah dimulai dari 1947
dengan meletakan nine interrupted mark yang menjadikan Laut China sebagai hak
dari China .

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, artikel ini mengangkat pertanyaan penelitian yaitu:
bagaimana strategi politik keamanan maritim China di Laut China Selatan?

C. Teori

1. Teori realisme
Realisme adalah kepercayaan/keyakinan bahwa semua benda yang
terlihat adalah nyata, nyata, bukan hanya gambar. Realisme bersifat objektif,
terdiri dari materi dan hukum alam. Percaya atau tidaknya seseorang terhadap
keberadaan suatu benda tidak mengubah sifat dan bentuk benda tersebut,
benda tersebut tetap nyata dan bukan ilusi. Orang yang paham realisme
berpendapat bahwa otak manusia itu seperti kanvas, sehingga representasi
yang sebenarnya harus dijelaskan dari sudut pandang pikiran manusia.

2. Teori kepentingan nasional dari perspektif realisme


Jika kita mengikuti perspektif para ahli tentang realisme salah satunya
adalah Hans Morgenthau yang melihat realisme sebagaimana yang ia tuliskan
dalam bukunya Politics among nation mendefinisikan realis sebagai konsep
interest dan power yang selalu terikat dan berkesinambungan. selain itu
pentingnya sebuah negara memiliki national interest yang akan membuat
sebuah negara ada pada jalan yang seharusnya ditambah lagi Menurut Hans J.
Morgenthau kepentingan nasional adalah “kemampuan minimum negara
untuk melindungi dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultur dari
gangguan negara lain”. Jika penggabungan antara realist dan national interest
maka akan muncul sebuah ciri ciri dari hubungan tersebut yang keluar misal
nya dapat dilihat bahwa negara yang menganut paham realis akan lebih
mementingkan instrumen kebijakan militer dan economic power serta akan
terus mengarah pada goals yang negara tersebut tentukan.
3. Teori Keamanan Maritim
Menurut salah satu ahli dalam masalah Teori Keamanan Maritim yakni
McNicholas keamanan maritim menurutnya adalah “langkah-langkah yang
diambil oleh pemilik, operator, administrator kapal, fasilitas pelabuhan,
instalasi lepas pantai, serta organisasi kelautan untuk melindungi wilayah laut
dari pembajakan, sabotase, penyitaan, pencurian, dan gangguan lainnya”.
selain karena ketakutan kehilangan batas sebuah negara laut juga merupakan
cadangan sumber daya alam yang melimpah serta laut juga merupakan sebuah
fasilitator untuk melumpuhkan suatu negara salah satu ahli yakni Alfred T.
Mahan mempercayai dalam teorinya wawasan bahari bahwa laut memiliki
potensi yang besar sebagai salah satu alat untuk menguasai dunia.

D. Pembahasan
Salah satu penyebab terjadinya gejolak di Perairan Laut China Selatan adalah
dengan adanya klaim dari negara lain yang merusak keharmonisan dan mengancam
keamanan dari laut china selatan
1. China
Sebagai pemberdaya lama laut china selatan yang telah dideklarasikan sejak
1948 yang dimana dirinci dalam sebuah peta dan digambarkan 9 garis putus putus
yang menurut China sebagai batas wilayah mereka serta klaim secara historis dimana
wilayah tersebut merupakan jalur dagang yang sudah mereka pergunakan sejak zaman
dahulu. Hal lain yang memperkuat China dalam hal perebutan wilayah adalah dengan
pendudukan pulau pulau kecil di sekitar laut china selatan sebagai upaya menarik
garis terjauh agar memperlebar luas wilayah teritorial negara tersebut pada bagian laut
china selatan, salah satunya adalah pulau parcel yang dimana pulau tersebut sudah
diduduki cina sejak 1976.
Pulau tersebut merupakan pulau paracel yang merupakan sebuah pulau yang
terletak di tengah tengah laut china selatan dimana dalam pemahaman China sendiri
pulau tersebut sudah ditemukan dari 2 abad sebelum masehi oleh dinasti Han,
kemudian kepemilikan tersebut diperkuat oleh dinasti dinasti lain yang menjadi
penerus China khususnya dinasti Yuan yang membuat peta tentang kepulauan tersebut
setelah dinasti Yuan berganti menjadi dinasti Ming dan Qing yang masih
mempertahankan kepulauan paracel pada peta yang dibuat pada dinasti dinasti
tersebut. Walaupun terkesan melampaui waktu yang panjang nyatanya hal tersebut
yang dilakukan oleh China dengan melihat sisi historis yang bisa dimanfaatkan dalam
mempertahankan batas wilayahnya. Selain itu Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20,
China mengusulkan Kepulauan Spratly, yang terletak kira-kira 1.100 kilometer dari
pelabuhan Yu Lin (P. Hainan), sebagai bagian dari Kepulauan Nansha, dan
Kepulauan Paracel yang terletak di sebelah utaranya, untuk membentuk pulau-pulau
tersebut. Pulau - pulau Spratly, jaraknya dari Pulau Hainan sekitar 277,8 km sebagai
bagian dari Provinsi Hainan

Gambar 1
Peta Minyak di Kawasan Laut Cina Selatan.

Sumber: www.vox.com diakses pada 26 Desember 2022

Peta di atas menggambarkan bagaimana pengaruh pulau paracel terhadap


penguasaan wilayah laut china selatan dengan menarik garis terluar dari pulau paracel
China mendapatkan keuntungan yang besar karena pulau paracel berada di tengah
tengah laut china selatan. Jika kita mengkaji aspek strategis di dalamnya dengan
menggunakan pulau paracel sebagai bentuk pertahanan yang dikombinasikan dengan
laut china selatan yang tenang makan kombinasi tersebut dapat berdampak besar bagi
China di laut china selatan yang mempunyai luas sekitar 3.5 juta meter persegi. Selain
pulau paracel ada gugusan pulau lain yang dapat menambah kekuatan china yakni
gugusan pulau spratly dimana gugusan pulau tersebut dapat dieksploitasi dan
dibangun Pangkalan militer maritim. penggunaan dan pengembangan termasuk
industri amunisi, lapangan terbang jet tempur, markas besar militer. Dari penjelasan
dapat disimpulkan bahwa pulau parley yang berada di wilayah Laut China Selatan
merupakan potensi strategis (militer) yang dapat dimanfaatkan oleh negara yang
memenangkan sengketa di daerah ini. Contoh lain dari potensi strategis laut Cina
Selatan adalah peristiwa selama Perang Dunia Kedua (PD II).

2. Vietnam
Dalam permasalahan ini Vietnam mengklaim secara historis bahwa kepulauan
Paracels dan Spratly merupakan bagian dari negara tersebut mulai dari abad ke-17.
selain itu Vietnam berpendapat bahwa China tidak memiliki pulau Paracels dan
Spratly. Klaim tersebut didasari dari sejarah yang negara tersebut percayai.
Klaim Vietnam atas Kepulauan Spratly juga didasarkan padanya Akuisisi
Kaisar Gia Long pada tahun 1802 bergabung dengan Vietnam pada tahun 1832.
Kaisar Minh Mang yang memerintah Kekaisaran Vietnam pada tahun 1834 juga
mendirikan pagoda dan loh batu Kepulauan Spratly (Asnani Usman, 1997, p. 6). Dari
sisi lain saat Prancis masih menjajah Vietnam dua kepulauan tersebut merupakan
salah satu daerah dari kepulauan lepas pantai provinsi Khanh Hoa. Hal tersebut
merupakan salah satu bagian dari klaim yang dilakukan Vietnam demi
mempertahankan batas negara yang membentang luas sampai laut china selatan.
Walaupun penyampaian yang dilakukan oleh Vietnam lebih lemah
dibandingkan China yang menyebabkan keraguan beberapa negara yang berkonflik
pada daerah tersebut, namun Vietnam bersikeras bahwa China merupakan dalang dari
ketidaksinambungan yang menyebabkan kesulitan bukti yang dialami oleh Vietnam,
karena pada masa penjajahan China pada tahun 211 SM dan prancis yang terbilang
singkat, pihak Vietnam berpendapat bahwa bukti bukti asli kepemilikan dari pulau
paracel dan Spratly yang merupakan milik Vietnam sudah dihilangkan oleh pihak
China pada saat penjajahan terjadi (Asnani Usman, 1997, pp. 6-7).
Beberapa hal sudah dilakukan oleh Vietnam guna mengembalikan
kepemilikan pulau paracel dan spratly dengan mengikuti Perjanjian Perdamaian San
Fransisco 1951. Dengan membawa Tran Van Huu sebagai perwakilan Vietnam dalam
perjanjian tersebut yang diikuti pernyataan “... kami menegaskan hak kami atas
Kepulauan Spratly dan Paracel, yang selalu menjadi milik Vietnam”. Pada tahun
1956, Vietnam memasukan Kepulauan Spratly kedalam Provinsi Phuoc Tuy, dengan
sebuah dekrit yang terjadi pada 22 Oktober 1956 (Asnani Usman, 1997, p. 7).

3. Malaysia
Awal mula keterlibatan dari Malaysia dalam kasus ini dimulai dengan
dikeluarkannya Peta Baru Menunjukkan Sempadan Perairan dan Pelantar Benua
Malaysia (selanjutnya disingkat: Peta Baru). Peta baru tersebut dikeluarkan sebagai
langkah dari upaya perluasan ZEE Malaysia yang menyentuh bagian dari LCS.
Kemudian pada tanggal 25 april 1980 Malaysia kemudian melakukan perluasan ZEE
secara resmi (Maksum, 2017, p. 11). Beberapa kepulauan kecil di sekitar wilayah
LCS dianggap sebagai kawasan sah dari Malaysia. Terumbu layang-layang (Swallow
Reef), Matanani (Mariveles Reef), dan Ubi (Dallas Reef) merupakan beberapa
wilayah karang yang diakui oleh Malaysia sebagai wilayah perluasan dari ZEE yang
mereka deklarasikan. Salah satu terumbu karang yang diakui Malaysia yakni Louisa
reef merupakan terumbu karang yang juga diakui oleh Brunei Darussalam. Klaim dari
Malaysia tersebut didasari dari pendudukan inggris pada zaman penjajahannya di
Malaysia yang menyatakan bahwa karang tersebut termasuk kedalam kawasan dari
sabah dan sarawak.
Sebagai negara pesisir, Malaysia mempertahankannya Perairan Laut Cina
Selatan merupakan kawasan yang berharga untuk mewakili kepentingan ekonominya.
Seperti negara-negara ASEAN lainnya pada umumnya Malaysia juga melakukan
banyak perdagangan luar negeri dengan banyak negara. Terutama Jepang, Amerika
Serikat, Taiwan, China, ,Korea Selatan , Filipina dan Brunei Darussalam.
Salah satu cara Malaysia dalam menjaga teritorinya di LCS adalah dengan
membangun sebuah pangkalan angkatan laut yang berada di serawak sebagai salah
satu cara untuk menjaga teritorinya dan kepentingan Malaysia pada bagian laut china
selatan.
4. Filipina
Pengakuan Filipina pada wilayah laut china selatan dimulai pada tahun 1955
dimana klaim tersebut diawali dari salah satu wilayah yang masuk kedalam negara
Filipina yakni wilayah negara kalayaan. Klaim tersebut dapat dilakukan karena
temuan dari salah satu direktur maritim Filipina yakni Thomas Cloma yang
menyatakan penyerahan wilayah kalayaan kepada Filipina pada tahun 1974 membuat
wilayah wilayah yang dimiliki oleh kalayaan merupakan wilayah dari Filipina . Hal
ini membuat Filipina memiliki seluruh wilayah 33 pulau, dermaga, gosong, karang
dan perikanan Kepulauan Spratly seluas kurang lebih 649.776 kilometer persegi.
Kemudian pada tahun 1978 Filipina berusaha memperkuat klaimnya terhadap
wilayah laut china selatan dengan menduduki beberapa pulau lainnya dikawasan
tersebut diantaranya Pulau Weat York (Likas), Pulau Flat (Patag),Pulau Nashan
(Lawak), Pulau Loaita (Kota), Northeast Cay (Paraola), Lankiam Cay (Panata) ,Pulau
Thitu (Pagasa) dan Commodore reef.
Alasan Filipina sangat ingin memiliki wilayah laut china selatan karena
banyaknya sumber minyak yang bertebaran di dasar laut china selatan. Karena
Filipina masih menjadi salah satu negara yang bergantung pada minyak yang
persentasenya sebesar 95% Dengan ditemukannya sumur-sumur minyak baru di lepas
pantai Palawan, kebutuhan impor minyak Filipina bisa berkurang drastis.
Namun minyak bukan merupakan kepentingan yang diincar oleh Filipina
dalam penguasaan wilayah laut china selatan. Kepentingan lain yang ingin negara
tersebut dapatkan adalah lalu lintas perdagangan yang mengakomodir proses ekspor
maupun impor kepada wilayah ASEAN ataupun negara negara di luar ASEAN
lainnya. Selain itu faktor keamanan menjadi masalah bagi Filipina dimana dalam
sejarahnya kepulauan spratly pernah menjadi salah satu pangkalan jepang yang
digunakan untuk menyerang Filipina . Atas kekhawatiran tersebut mustahil bahwa
Filipina akan melepaskan kepemilikan pada pulau spratly ke negara lain.

5. Brunei Darussalam
Kepemilikan wilayah yang dikemukakan oleh Brunei diawali dengan
mendapatkan kemerdekaan dari inggris pada tahun 1985 yang kemudian mengawali
sengketa pada laut china selatan serta Vietnam yang diakibatkan pelebaran garis batas
yang merupakan turunan dari inggris. Atas dasar klaim tersebut Brunei berpendapat
bahwa kawasan Louisa reef (bagian dari Kepulauan Spratly) merupakan wilayah
milik negara tersebut.
Kepentingan yang dijaga oleh Brunei di wilayah laut china selatan adalah
pentingnya jalur laut demi kelangsungan ekspor impor yang menjadi salah satu
penunjang ekonomi brunei, selain itu nilai ekspor dari brunei ke negara-negara seperti
Amerika Serikat,Taiwan ,dan Jepang bisa mencapai $598 juta (Asnani Usman, 1997,
p. 29).

Kemudian bagaimana China bisa menjaga serta mengamankan wilayahnya


pada laut china selatan. Selain mengamankan wilayah yang negara tersebut klaim dari
sejarahnya China juga menjaga cadangan perekonomian yang terdapat pada laut china
selatan dalam bentuk minyak, gas alam, serta biota yang berpotensi menghasilkan
banyak keuntungan bagi China.

Gambar 2
Proses pembuatan Fiery cross island

Sumber: https://amti.csis.org diakses pada 08 Januari 2022


Salah satu cara yang dilakukan oleh China adalah dengan membuat pulau
buatan di kawasan laut china selatan. Proses tersebut mulai dilakukan oleh China pada
tahun 2014 beberapa pulau karang seperti Cuarteron Reef, Subi Reef, Mischief Reef,
Johnson Reef, Hughes Reef, Gaven Reef, dan Fiery Cross Reef adalah pulau pulau
yang di bangun oleh China sebagai bagian dari melebarkan batas pada kawasan laut
china selatan serta menjaga kawasan yang memiliki sumber daya alam lebih dari
kawasan lain.

Gambar 2
Gambar Fiery cross island pada tahun 2015

Sumber: https://amti.csis.org diakses pada 08 Januari 2022


Jika dilihat dari gambar diatas yang merupakan keadaan pada tahun 2015
pulau tersebut dilengkapi dengan landasan pesawat, radar serta beberapa rudal yang
digunakan sebagai bentuk pertahanan pada pulau tersebut. Dengan didirikannya pulau
tersebut maka dapat dilihat bahwa keseriusan China dalam penanganan masalah di
laut china selatan. Serta pulau pulau lain yang ada dalam kekuasaan China juga
melakukan hal yang sama demi menjaga kepentingan negara tersebut.
Selain itu pulau pulau tersebut merupakan bagian dari “The cabbage strategy”
yang merupakan sebuah cara yang dilakukan China untuk menjaga serta menduduki
pulau pulau di wilayah laut china selatan. Strategi ini dilakukan dengan menumpuk
kapal milik China di wilayah yang sedang diperebutkan agar menimbulkan ketidak
imbangan kekuatan pada wilayah tersebut. Contoh dalam aplikasi dalam penggunaan
“The cabbage strategy” diperlihatkan pada bulan Oktober 2013, rangkaian peristiwa
serupa terjadi di Pulau Ayungin di Kepulauan Spratly, menyebabkan konfrontasi yang
tidak merata antara beberapa kapal China dan Penjaga Pantai Filipina.Strategi tersebut
juga dilakukan secara bersamaan dengan pembangunan pangkalan laut yang
dilakukan pada pulau pulau kecil tersebut karena demi melaksanakan strategi yang
diterapkan seperti pulau ayungin perlu banyak armada kapal yang harus di bawa serta
siap untuk melakukan strategi tersebut yang menciptakan overload armada kapal
China dari jumlah kapal lawan yang menjaga pulau tersebut. Maka pembangunan dari
pulau pulau buatan sangat penting bagi keberlangsungan dominasi China di laut china
selatan.
Hal-hal tersebut dilakukan oleh China demi menjaga kepentingan nasionalnya
pada laut china selatan, segala bentuk agresivitas China merupakan bentuk proteksi
terhadap wilayah yang merupakan penerapan dari keamanan maritim suatu wilayah
demi mempertahankan national interest yang diperjuangkan setiap negara demi
memajukan serta mempertahankan proses pemerintahannya.

E. Kesimpulan

Dari penjelasan diatas yang mendeskripsikan bagaimana campur tangan


dimulai pada wilayah laut china selatan kebanyakan negara mendapatkan klaimnya
dari sisi sejarah, adapun negara yang mendapatkan klaimnya dari proses penjajahan
yang membuat beberapa wilayah yang dulunya diduduki oleh penjajah menjadi milik
negara yang bebas dari jajahannya. Serta pendekatan national interest yang dimiliki
negara dalam mempertahankan wilayah lautnya. Pembangunan pulau-pulau buatan
yang dilakukan oleh China sebagai bentuk dari pertahanan maritim memang
menimbulkan banyak permasalahan, serta strategi yang dilakukan untuk mendapatkan
pulau lain di sekitar pulau spratly juga memiliki polemiknya masing masing. Tetapi
hal yang dilakukan China merupakan sebuah bentuk kepercayaannya kepada klaim
serta sejarah yang dicatat pada zaman dinasti terdahulu China dan dilanjutkan sampai
sekarang seperti yang terjadi pada nine dash line. Faktor ekonomi juga menjadi
maupun termasuk dalam national interest yang dilindungi oleh China.
Daftar Pustaka

Al Fikry, A. H. (2022). Diskursus prinsip negara hukum demokrasi atas permasalahan


konstitusionalitas undang-undang nomor 3 tahun 2022 tentang ibu kota
negara. Jurnal Hukum Lex Generalis, 3(8).
Andryanto, D. (2021). Women’s Participation in Village Developent Planning: Case
of Indonesia. Journal of Public Administration Studies, 006(02), 13–18.
https://doi.org/10.21776/ub.jpas.2021.006.02.3
Badan Pusat Statistik. (2022). Retrieved from www.bps.go.id website:
https://www.bps.go.id/indicator/12/1975/1/jumlah-penduduk-pertengahan-
tahun.html
Dewi, M. S. (2022). Implementasi Pendekatan Participatory Development Planning
oleh Pemerintah Desa Setelah Diundangkannya Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa. Jurnal Hukum Lex Generalis, 3(8), 663–675.
https://doi.org/10.56370/jhlg.v3i8.292
Eriton, M. (2021). Sistem Civil Law – Muhammad Eriton, S.H., M.H. Retrieved
January 1, 2023, from http://eriton.staff.unja.ac.id/ website:
http://eriton.staff.unja.ac.id/2021/04/07/sistem-civil-law/
Fauzi, E., Nurmandi, A., & Pribadi, U. (2020). JPPUMA: Jurnal Ilmu Pemerintahan
dan Sosial Politik UMA (Journal of Governance and Political Social UMA) A
Literature Review on Smart City and Smart Governance. Journal of
Governance and Political Social UMA), 8(1), 84–89.
https://doi.org/10.31289/jppuma.v8i1.3304
Firdaus, F. R. (2022). Public Participation after the Law- Making Procedure Law of
2022. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 16(3), 495.
https://doi.org/10.30641/kebijakan.2022.v16.495-514
Hamson, Z. (2020). Studi Literatur: Politik Uang Dalam Pemilu di Indonesia. Politik
Uang Dalam Pemilu Di Indonesia.
https://doi.org/10.13140/RG.2.2.28092.26241
Ilham, R., 1M., & Suwanto, Y. (2022). JUDICIAL REVIEW. Jurnal Demokrasi Dan
Ketahanan Nasional |, 1(2), 2022.
INPRES No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan
Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit [JDIH
BPK RI]. (2018). Retrieved January 1, 2023, from peraturan.bpk.go.id
website: https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/92813/
Jurusan, A., Islam, E., Ekonomi, F., Islam, B., & Bukittinggi, I. (2016). Model
Strategi Bertahan Hidup Rumah Tangga Miskin (Sebuah Literature Review).
Journal of Islamic & Social Studies, 2(2).
Kurniawan, R., Ali, C., & Perdana, R. (2022). The Concept of Omnibus Law in The
Indonesian Legislation System: Is Integration Possible? BALTIC JOURNAL of
LAW & POLITICS a Journal of Vytautas Magnus University, 15(3).
https://doi.org/10.2478/bjlp-2022-002061
Lebda, A., Putri, Y., 1G., & Suprobowati. (2022). Analisis Penyusunan UU Cipta
Kerja Dalam Kaitannya Dengan UU No.12 Tahun 2011 dan Putusan MK
Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Jurnal Demokrasi Dan Ketahanan Nasional |,
1(3), 2022.
Listiningrum, P., Bachtiar, R., Mahira, D. F., & Suwardiyati, R. (2021). Juridical
analysis of policy concerning oil palm estate management in Indonesia.
Legality : Jurnal Ilmiah Hukum, 29(1), 16–26.
https://doi.org/10.22219/ljih.v29i1.14376
Mas Aryani, N., Putu, A., Danyathi, L., & Hermanto, B. (2022). Quo Vadis Protection
of The Basic Rights of Indonesian Workers: Highlighting the Omnibus
Legislation and Job Creation Law, 17, 103–120.
Pabia, Y. S., Matsunami, J., & Subanu, L. (2022). Collaborative Governance in Child-
Friendly City Policy Implementation in Kendari City, Southeast Sulawesi
Province, Indonesia. Jurnal Perencanaan Pembangunan: The Indonesian
Journal of Development Planning, 6(2), 249–266.
https://doi.org/10.36574/jpp.v6i2.328
Prasetio, D. E., & Widodo, H. (2022). Ius Constituendum Pengujian Formil Dalam
Perubahan Konstitusi. AL-MANHAJ: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial
Islam, 4(1), 1–12. https://doi.org/10.37680/almanhaj.v4i1.1478
Prastyo, A. (2022). LIMITATION OF MEANINGFUL PARTICIPATION
REQUIREMENTS IN THE INDONESIAN LAW-MAKING PROCESS.
Jurnal Hukum Dan Peradilan, 11(3), 405.
https://doi.org/10.25216/jhp.11.3.2022.405-436
Ragandhi, A., Hadna, A. H., Setiadi, S., & Maryudi, A. (2021). Why do greater forest
tenure rights not enthuse local communities? An early observation on the new
community forestry scheme in state forests in Indonesia. Forest and Society,
5(1), 159–166. https://doi.org/10.24259/fs.v5i1.11723
Salam, A. (2015). PENGARUH POLITIK DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI
INDONESIA | Mazahib. Journal.uinsi.ac.id, 14(2). Retrieved from
https://journal.uinsi.ac.id/index.php/mazahib/article/view/341
SIANIPAR, M. M., Muchamad Ali SAFA’AT, M. A. S., SETIA NEGARA, T. A., &
WIDIARTO, A. E. (2022). LAW AND PUBLIC PARTICIPATION IN
INDONESIA. Journal of Public Administration, Finance and Law, 23(23),
275–284. https://doi.org/10.47743/jopafl-2022-23-24
Simanjuntak, P. mario, Julranda, R., & Effendi, S. F. (2022). Padjadjaran Law
Review.
Sungkar, L., Dramanda, W., Harijanti, S. D., & Zulfikar, A. Y. (2022). Urgensi
Pengujian Formil di Indonesia : Pengujian Legitimasi dan Validitas. Jurnal
Konstitusi, 18(4), 748. https://doi.org/10.31078/jk1842
Yuan, L. A. P., & Suprobowati, G. D. (2022). Analisis Penyusunan UU Cipta Kerja
Dalam Kaitannya Dengan UU No.12 Tahun 2011 dan Putusan MK Nomor
91/PUU-XVIII/2020. Jurnal Demokrasi Dan Ketahanan Nasional |, 1(3),
2022.

Anda mungkin juga menyukai